online degree programs

Sabtu, Februari 02, 2008

Saya Melihat Surga Kang!


Entah mengapa ketika saya naik kendaraan umum, entah angkot, mikrolet, atau pun busway di jakarta yang penuh sesak ini, dan memandang wajah anak-anak kecil yang begitu polos maka serasa saya melihat surga dipancaran wajahnya...
ketika tadi saya habis dari Gramedia Matraman (pusat) dan melihat seorang tua yang mengamen dengan seruling dengan begitu mendayu..bagi saya begitu menyentuh dan menyayat kalbu...bukan seperti pengamen lain yang "memaksa" memberi..Bapak tua itu dengan duduk lesehan, di depannya diletakkan topi terbuka untuk siapa saja yang apresiatif pada "pentas"-nya...entah seribu atau berapa...
Di situ saya melihat, pada wajah orang-orang yang sudah uzur, yang telah kenyang pengalaman duniawi, yang telah mengendap rasa dan emosinya, dan menjadi bijak, ... saya melihat surga di pancaran wajahnya
pada penjual warteg yang selalu tersenyum ramah pada saya yang bahkan belum terlalu dikenalnya di seberang rel kereta itu, dengan telaten melakukan rutinitas yang bagi saya begitu membosankan, namun ia begitu ikhlas menjalani, tanpa keluh kesah, betul-betul ikhlas dengan kehidupan dan keadaannya....melayani orang sebaik2nya dengan senyum untuk semuanya...saya melihat surga di pancaran wajahnya
namun saya belum melihat surga di wajah saya sendiri...karena kepolosan mulai luntur, kesehajaan belum ada, apalagi kebijakan, pengendapan rasa, keikhlasan, dan lainnya...jiwa serasa sellau bergolak...menuntut smuanya...ya Allah jadikanlah aku yang melihat surga di pancaran hamba-hambaMu itu termasuk penghuni surgaMu....atau setidaknya jadikanlah aku yang selalu mengharap RidhoMu...
Edi Subkhan

3 komentar:

Anonim mengatakan...

kebahagian letaknya tidak di Jakarta, Semarang atau sebagai apa atau sebagai itu...
kebahagian ada di jiwa dan pikiran kita....!

Anonim mengatakan...

Kebahagiaan...??? Apaan tuh...??

Anonim mengatakan...

iya, kebahagiaan itu sangat relatif. setiap orang mempunyai kebahagiaan yang berbeda seperti halnya (atau mungkin menurut) ideologi yang diyakini. seperti itu mas edi?
kebahagiaan, apa yang membuat mas gintong bahagia bisa sama juga bisa berbeda dengan apa yang membuat mas edi bahagia, dan yang saya yakini kebahagiaan bukan kalkulasi (matematis) antara nikmat dan tidak nikmat.
tetapi serelatifnya kebahagiaan, untuk mencapainya sangat bisa direncanakan dan diusahakan.
nuwun..