online degree programs

Rabu, Februari 20, 2008

KRITIK LOGIKA ARISTOTELIAN*


“Semua orang ingin hidup di atas biaya negara.
Mereka lupa: negara ingin hidup di atas biaya semua orang.”

Claude Frederic Bastiat**

Sebelum terbentuk masyarakat, individu terlahir lebih dulu. Dia hidup dalam sebuah keluarga. Ketergantungan pada orang tua menjadi sesuatu yang tak terhidarkan bagi si anak. Dia menyusi dan berbicara seperti yang disimbolkan keluarga oleh orang tuanya.

Makin kompleksnya sistem kekeluargaan dalam komunitas, keluarga-keluarga membentuk desa, yang kemudian menjadi kota. Maka munculah pemerintahan. Disini awal mula terjadi relasi antara si pemerintah (pelayan dalam arti idealnya) dan yang diperintah: yaitu rakyat (atau yang dilayani dalam arti ideal).

Sering kali dalam melihat politik, para ahli mengacu pada sistem yang ada pada masyarakat Yunani kuno. Karena di Yunani memiliki sistem pemerintahan yang “unik”. Ada beberapa ratus kota di Yunani, dan di setiap kota berpenduduk ratusan ribu---orang Yunani menyebutnya Polis. Dan polis terbesar ialah Athena, ada sekitar tiga ratus ribu penduduk. Setiap kota memiliki corak pemerintahannya masing-masing.

Masa itulah cikal bakal istilah demokrasi. Para filsuf membuat konsep ideal mengenai relasi pemerintah dan yang diperintah. Atau dalam arti ideal, antara yang melayani dengan yang dilayani. Dalam konsepnya, karena individu bagian dari masyarakat maka dia tidak bisa lepas dari hukum masyarakat---yang diwakili oleh para legilator serta eksekutif plus yudikatif: ketiganya sebagai sistem ideal pemerintahan. Dalam keputusan bersama itulah peran politik berjalan.

Pendekatan tersebut menjadi cikal bakal konsep politik di masa sekarang. Melalui berbagai tambahan-tambahan oleh filsuf sesudahnya.


Politik sebagai salah satu Ilmu Tentang Manusia

Kata politik setidaknya mengacu pada komunitas ideal pada zaman Yunani kuno. Sedangkan sistem idealnya ialah demokrasi: suatu pemerintahan oleh rakyat. Sebagai bidang ilmu sendiri, kajian politik berkembang, melebihi bidang-bidang kajian ilmu yang lainnya. Sampai-sampai proporsinya menjadi kurang seimbang dengan kajian ilmu lainya (semisal: sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi, geografi dsb). Menurut bahasa saya pribadi: terlalu dibesar-besarkan.

Padahal, sebagai bagian dari kajian ilmu manusia, ilmu politik hanya sebagian kecil dari kajian ilmu tentang masyarakat (social). Politik mengkaji hubungan antara individu dengan komunitasnya dari sudut pandang sistem pengaturan kekuasaannya. Sosiologi mengkaji individu dengan individu lain dari sudut pandang interaksi yang membentuknya sehingga menciptakan organisasi, antropologi mengkaji individu karena gagasan kolektifnya yang membentuk sistem budaya, psikologi mengkaji manusia sebagai makhluk otonom yang memilik jiwa (pikiran, perasaan dan tubuhnya), sejarah mengkaji manusia berdasarkan tindakannya berdasarkan waktu, geografi mengkaji manusia berdasarkan dimana dia bertempat tinggal dan bagaimana pola-pola itu terjadi di muka bumi, dan sebagai makhluk ekonomi manusia harus mengkonsumsi, berproduksi serta berdistribusi, serta yang terakhir manusia sebagai makhluk pembelajar dalam kajian ilmu Pendidikan. Saya sendiri kurang memahamai mengapa dalam mengkaji manusia, kita menjadi terpecah belah seperti ini?


Manusia sebagai Makhluk Berfikir

Dari berbagai penjabaran mengenai posisi ilmu yang mengkaji manusia diatas, saya sengaja mengingatkan, bahwa manusia itu “unik” bila dilihat dari berbagai sudut pandang. Dan saat ini kita melihat peradaban manusia sedikit-demi sedikit memperlihatkan paradok-paradok yang menegangkan sekaligus menggelikan (menurut saya). Para intelektual “berkoar-koar” tentang konsep serta gagasan yang mencoba menggerakan sejarah dunia. Anehnya, semua orang, termasuk intelektual, ikut-ikutan tanpa dengan kritis menelaah gagasan tersebut: Dengan bahasa saya: kita mengalami sindrom “kebaruan”, artinya apa yang baru itulah yang baik.ha2...(menurut saya ini pemikiran yang paling bodoh yang sering kita lakukan)

Aristoteles memang bukan yang pertama membicarakan tentang negara. Sebelumnya Plato lebih dulu membahas tapi masih dalam tataran konsep ideal. Kedua filsuf, baik Plato maupun Aristoles, merupakan generasi “pemikir” terbaik pasca kematian Socrates yang menyedihkan: karena dituduh memprovokasi anak muda untuk memberontak. Padahal, saat itu Socrates sedang mengajak anak muda untuk “menggunakan pikirannya”.


Manusia sebagai Warga Negara dalam Pengertian Aristoteles

Aristoteles mengembangkan dengan konkret mengenai gagasan negaranya Plato, selain itu juga sedang mengembangkan kemampuan dalam hal ilmu logika. Aristoteles mejabarkan dengan rinci pemikiran-pemikiran politiknya. Ringkasnya: Aristoteles memberikan panduan pemikiran bagaimana individu harus menjadi warga negara yang baik dan bagaimana seharusnya negara memperlakukan individu.

Dengan demikian, apa yang “dilakukan” individu dan “dimiliki” individu ada dibawah wewenang “negara”. Termasuk hak milik pribadi yang manusia kumpulkan selama hidupnya. Dalam sudut pandang inilah, Aristoles terlalu menyederhanakan relasi yang dikembangkannya. Dia hanya melihat manusia sebagai “bagian” dan “milik” komunitas ataupun “negara”.


Kecenderungan-Kecenderungan

Sekarang, konsep relasi individu dan negara menjadi perdebatan yang sangat sengit. Sebagai bagian dari komunitas, individu harus tunduk pada komunitas yang mengaturnya (sekarang disebut negara---dan barangkali di masa depan kita akan meneliti istilah “negara” seperti saat ini ketika kita meneliti kerajaan ataupun peradaban kuno seperti yang kita lakukan sekarang). Dan perdebatan ini akan kita lihat lebih seru dengan kendaraan globalisasi yang melaju kencang. Relasi dunia yang terdiri dari hubungan “negara-negara bentukan pasca kolonial” dengan “akumulasi modal internasional melalui perusahaan multinasional, serta pemerintahan global, institusi global, ideologi transnasional sampai dengan “desa global” (global vilage) hingga dalam bahasa global akan muncul dua jenis orang: “pemenang dan pecundang”. Begitu banyak jargon-jargon hinga kita lupa bahwa yang kita bicarakan itu: Manusia.

Kerumitan tersebut, ibarat benang yang sudah sengaja kita kusutkan, tapi anehnya kita marah karenanya....barangkali Tuhan sekarang sedang tertawa melihat kita. Sekian...


*Giyanto: Mantan Filsuf tinggal di Semarang

**kutipan ini diunduh dari Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Aristoteles memang tokoh yang sentral kedudukannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam perspektif historis maupun filosofis. Selain sebagai pencetus zoon politicon dan konsep negara polish di green peeace Athena, dia juga menjaid kiblat kebijakan pemikiran hukum yang menekankan pada hakekat hukum untuk mewujudkan keadilan, ketertiban dan kepastian.

Anonim mengatakan...

Sekarang kita saatnya merefleksikan konsep tersebut...
bukannya memakannya mentah-mentah...

Anonim mengatakan...

Gik...jangan khawatir soal makan memakan serahkan pada saya...
tapi jika km sekarang menyebut dirimu sebagai mantan filsuf, artinya sekarang kamu bukan filsuf. Padahal saya lebih salut ketika seorang "pengusaha" naik derajatnya menjadi seorang filsuf daripada seorang filsuf turun derajatnya menjadi sekadar pengusaha he...

Anonim mengatakan...

Ha2...
apalah artinya sebuah nama...
yang penting kita bicara kebenaran,
sayangku...

(Marlon Brando dalam The Last Tanggo in Paris)