online degree programs

Minggu, Juni 29, 2008

Ngilangin Stres Jilid II

Mengapa Ayam Menyebrang Jalan?

Jawaban menurut:

Guru TK:
Supaya sampai ke ujung jalan.

Plato:
Untuk mencari kebaikan yang lebih baik.

FBI:
Beri saya lima menit dengan ayam itu, saya akan tahu kenapa.

Aristoteles:
Karena merupakan sifat alami dari ayam.

Captain James T. Kirk
Karena dia ingin pergi ke tempat yang belum pernah ia datangi.

Martin Luther King, Jr.
Saya memimpikan suatu dunia yang membebaskan semua ayam menyeberang jalan
tanpa mempertanyakan kenapa.

Machiavelli
Poin pentingnya adalah ayam menyeberang jalan! Siapa yang peduli kenapa!
Akhir dari penyeberangan akan menentukan motivasi ayam itu.

Freud
Fakta bahwa kalian semua begitu peduli pada alasan ayam itu menunjukkan
ketidaknyamanan seksual kalian yang tersembunyi.

George W Bush
Kami tidak peduli kenapa ayam itu menyeberang! Kami cuma ingin tau apakah
ayam itu ada di pihak kami atau tidak, apa dia bersama kami atau melawan
kami. Tidak ada pihak tengah di sini!

Darwin
Ayam telah melalui periode waktu yang luar biasa, telah melalui seleksi
alam dengan cara tertentu dan secara alami tereliminasi dengan menyeberang
jalan.

Einstein
Apakah ayam itu menyeberang jalan atau jalan yang bergerak di bawah ayam
itu, itu semua tergantung pada sudut pandang kita sendiri.

Nelson Mandela
Tidak akan pernah lagi ayam ditanyai kenapa menyeberang jalan! Dia adalah
panutan yang akan saya bela sampai mati!

Thabo Mbeki
Kita harus mencari tahu apakah memang benar ada kolerasi antara ayam dan
jalan.

Mugabe
Setelah sekian lama jalan dikuasai petani kulit putih, ayam miskin yang
tertindas telah menanti terlalu lama agar jalan itu diberikan kepadanya dan
sekarang dia menyeberanginya dengan dorongan ayam-ayam veteran perang. Kami
bertekad mengambil alih jalan tersebut dan memberikannya pada ayam,
sehingga dia bisa menyeberanginya tanpa ketakutan yang diberikan oleh
pemerintahan Inggris yang berjanji akan mereformasi jalan itu. Kami tidak
akan berhenti sampai ayam yang tidak punya jalan itu punya jalan untuk
diseberangi dan punya kemerdekaan untuk menyeberanginya!

Isaac Newton
Semua ayam di bumi ini kan menyeberang jalan secara tegak lurus dalam garis
lurus yang tidak terbatas dalam kecepatan yang seragam, terkecuali jika
ayam berhenti karena ada reaksi yang tidak seimbang dari arah berlawanan.

Miyabi
Ooohh... Aahhh... Mmmhhh... Ohh yeeahh...

Programmer Java J2EE
Tidak semua ayam dapat menyeberang jalan, maka dari itu perlu adanya
interface untuk ayam yaitu nyeberangable, ayam-ayam yang ingin atau bisa
menyeberang diharuskan untuk mengimplementasikan interface nyebrangable,
jadi di sini sudah jelas terlihat bahwa antara ayam dengan jalan sudah
loosely coupled.

Programmer Flasher
Karena pada keyframe tersebut terdapat actionscript yang bertuliskan
perintah 'GoTo And Run' ...

LB Moerdani
Selidiki! Apakah ada unsur subversif?

Sutiyoso
Itu ayam pasti ingin naik busway.

Soeharto
Ayam-ayam mana yang ndak nyebrang, tak gebuk semua! Kalo perlu ya
disukabumiken saja.

Habibie
Ayam menyeberang dikarenakan ada daya tarik gravitasi, dimana terjadi
percepatan yang mengakibatkan sang ayam mengikuti rotasi dan berpindah ke
seberang jalan.

Darwis Triadi
Karena di seberang jalan, angle dan lightingnya lebih bagus.

Nia Dinata
Pasti mau casting '30 Hari Mencari Ayam' ya?

Desi Ratnasari
No comment!

Dhani Ahmad
Asal ayam itu mau poligami, saya rasa gak ada masalah mau nyebrang kemana
juga...

Julia Perez
Memangnya kenapa kalo ayam itu menyeberang jalan? Karena sang jantan ada disana ! Daripada sang betina sendirian di seberang sini, yaaaaaaaaahhh dia kesanalahh.. . Cape khan pake alat bantu terus?

Roy Marten
Ayam itu khan hanya binatang biasa, pasti bisa khilaf.. (sambil
sesenggukan) .

Butet Kartaredjasa
Lha ya jelas untuk menghindari grebekan kamtib to?

Roy Suryo
Kalo diliat dari metadatanya, itu ayam asli.

Megawati
Ayamnya pasti ayam wong cilik. Dia jalan kaki toh?

Harmoko
Ayam itu menyebrang berdasarkan petunjuk presiden

and the best answer is.......... .....( eng ing eng )

Gus Dur :
"Kenapa ayam nyebrang jalan? Ngapain dipikirin? Gitu aja kok repot!
Bukannya kerja tapi malah baca ginian..."

hehehehe.... .. (Nia Sjarifudin)

Kamis, Juni 26, 2008

Ada Cinta Di Embun Pagi

Sejenak ber-arm chair selepas memanjakan mata dan rasa, memandang sebuah kotak ajaib (baca : televisi), terbersit kalimat sederhana ”bahkan dia tak terlupakan dalam larut aktualisasi jama’ah”. Gerak maju juga percikan aktualisasi mengedepankan kemampuan untuk mengabaikan, tentang makan, minum, sebuah sosok sampai rokok, apalagi sekedar rektor yang tak lagi mau jongkok! Tangan tetap manjumput kacang, bibir tetap menyeruput kopi, hidung tetap bersenggama dengan asap rokok, tapi mengalir begitu saja seperti tanpa rasa. Maslow terlihat benari.
Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia menyebut cinta berarti suka sekali ; sayang benar
ii. Jika diberikan imbuhan me-i, maka membentuk sebuah laku, mencintai. Erich Fromm menjelaskan setiap teori tentang cinta harus dimulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia : cinta merupakan suatu orientasi karakter yang menentukan hubungan seseorang dengan dunia secara keseluruhaniii. Daniel Goleman dan John Gray secara tidak langsung menceritakan representasi cinta melalui empati, kemampuan mendengarkan, sebuah wonderfull feeling that comes to everyone at sometimes in his/her live. Jalaludin Rumi menarikan pena-nya dalam sebuah sajak,


Cinta mengubah duri menjadi mawar

mengubah cuka jadi anggur

mengubah malang jadi untung

mengubah secih jadi riang

mengubah setan jadi nabi

mengubah iblis jadi malaikat

mengubah sakit jadi sehat

mengubah kikir jadi dermawan

mengubah kandang jadi taman

mengubah penjara jadi istana

mengubah amarah jadi ramah

mengubah musibah jadi muhibah

itulah cinta


Dalam latar seminar fiktif, oleh tokoh fiktif, Anna Althafunnisaiv menjawab sebuah pertanyaan tentang cinta melalui Syair murid Syamsi Tabriz


Sekalipun cinta telah kuraikan dengan jelas dan panjang lebar

Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keterangankku sendiri

Meskipun lidahku telah mampu menguraikannya dengan terang

Namun tanpa lidah ternyata lebih terang

Sementara pena begitu tergesa menuliskannya

Kata pecah berkeping begitu sampai pada cinta

Dalam menguraikan cinta

Akal terbaribg tak berdaya

Bagai keledai terbaring dalam lumpur

Cinta sendirilah yang menerangkan cinta!


Cinta adalah bahasa manusia, dengan siapapun mereka berhubungan. Erich Fromm membagi cinta menjadi cinta diri, cinta keibuan, cinta erotis, cinta saudara, dan cinta tuhan. Dalam semua hubungan yang melibatkan manusia, selalu ada cinta, karena cinta adalah bahasa kemanusiaan.

Jika cinta telah tersempitkan dalam romansa kisah muda-mudi yang berkawan lalu kawinv, maka inilah bentuk korupsi yang jauh lebih jahat dari telikungan dana SPL. Keluasan makna dipangkas, dikerdilkan, dan dikotak-kotakkan sehingga terkesan tak saling berhubungan. Batas-batas dibuat dalam tembok tinggi nan tebal, membuat komplek-komplek tetapi melupakan sesungguhnya mereka berada dalam satu dusun cinta, menafikan sejarah yang memisahkan kaum Muhammad dan kaum jahilliyah dengan hanya berbatas sarang laba-labavi. Korupsi pemaknaan kata yang mengakibatkan menjulangnya sebuah tembok batas pada akhirnya tak mampu mengalahkan kodrat manusia, rasa penasaran dan ingin tahu. Mereka mencoba menaiki tembok yang dibangunnya, mereka ingin tahu apa yang ada dibalik tembok, dan mengintipnya, bahkan membagun tangga untuk melewati tembok batas yang dibuatnya sendiri. Tidak terima dengan batas yang tipis dan menerawang tetapi jelas, lalu membuat batas yang kokoh tapi di-tidakjelaskan. Dengan ini manusia terjebak dalam inkonsistensi tindakan dan ketidak mampuan menerima.

Cinta adalah daya, yang bisa mendorong manusia mendekati sesuatu, atau menjauhinya demi mendekati sesuatu yang lain. Karena itulah cinta selalu ada dalam setiap hubungan yang melibatkan manusia. Di sisi lain cinta hanya sekedar kata yang tak akan berdaya apa-apa jika maknanya telah dikerdilkan. Sedangkan kata adalah bagian dari unsur terpenting dalam hubungan manusia, yaitu bahasa. korupsi makna cinta, juga bagian lain dalam bahasa, adalah korupsi yang paling mendasar sehingga menyempitkan berbagai dimensi lain dalam tata (harmonis) kehidupan.



Ahmad Fahmi Mubarok


i Teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow

ii KBBI, 2003

iii Dalam ’The Art of love” (terjemahan)

iv Salah satu tokoh dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karangan Habiburrahman El-Shirazy

v Diadopsi dari puisi mbeling Remi Sylado

vi Kisah Hijrah Rasulullah

Catatan : puisi dikutip langsung dari novel Habiburrahman El-Shirazy

Rabu, Juni 25, 2008

DUNIA SERBA TUHAN ATAWA TUHAN SEMAKIN BANYAK

Oleh: Mularto Mulyohadi


Di mana-mana semakin banyak tuhan
Di Irak dan Iran
Di Israel dan Afganistan
Di Libanon dan Nikaragua
Di India dan Srilangka
Di Jepang dan Cina
Di Korea dan Pilipina

Tuhan semakin banyak
Di Amerika dan Rusia
Di Eropa dan Asia
Di Afrika dan Australia
Di NATO dan PAlta Warsawa
Di PBB dan badan-badan dunia

Dimana-mana tuhan, ya Tuhan
Disini pun semua serba tuhan
Disini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Ya Tuhan, di sana-sini semua serba tuhan
Pernyataanku pernyataan tuhan!
Kebijaksanaanku kebijaksanaan tuhan!
Keputusanku keputusan tuhan!
Pikiranku pikiran tuhan!
Pendapatku pendapat tuhan!
Tulisanku tulisan tuhan!
Usahaku usaha tuhan!
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama'ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan!

Ya Tuhan!


Catatan: dikirim melalui email oleh : mularto@gmail.com

Selasa, Juni 24, 2008

2 mata kita..


Sederhana saja,,

Kadang, ketika kita melihat sebuah bola, yang nampak hanya bentuk lingkaran.
ketika kita melihat rel kereta api, seakan-akan keduanya bersatu di suatu titik.
Dan masih banyak lagi "ketika-ketika" yang lain, jika kita mau sedikit berpikir dan mencari, tentu saja..
Banyak kali kita "ditipu mentah-mentah" oleh panca indra kita, benda bulat, tetapi mata menyebutnya lingkaran. seperti itu bukan?

Mari kita lanjutkan,,
jika pernyataan diatas dianggap benar, maka tak ada bedanya dengan analogi "penipuan" panca indra kita.
Mengapa bola terlihat lingkaran?
Mengapa ujung rel nampak bersatu?
dalam konteks ini, pembahasan tidak pada ilusi, fatamorgana, dan fenomena-fenomena lainnya, walaupun hal tersebut tidak bisa lepas dari analogi diatas.
Bola terlihat lingkaran, rel bersatu, hanya karena kita melihatnya dari satu tempat, dan satu sudut. pada saat kita mau mencoba menggeser tempat duduk, berpindah posisi lain, dengan angel yang sedikit berbeda (apalagi melihat dalam setiap sudut dan tempat, mendekati sempurna tentu saja',,) hasil yang berbeda akan kita dapat. Sederhana bukan? Lalu apa pentingnya pemaparan sederhana seperti itu?

Kembali beranalogi,,

Pemaparan diatas, dengan semua analoginya, dimaksudkan menjadi analogi yang semoga saja tepat tetnang bagaimana cara kita melihat dunia dan pernik2nya. Bayangpun sepicik apa kita, dunia yang begini luas, kehidupan dan permasalahannya yang kompleks hanya kita lihat dari satu tempat dan sudut? Lucu sekaligus menyedihkan.
Mari kita mulai putar kunci, injak kopling, masukkan persneleng, dan injak gas. Slow but sure tak apalah, setidaknya kita tidak stagnan. Semua terasa begitu sempit ketika kita melihat dari sisi yang sempit, mari berlari ke tanah lapang, mari, mari,,
DUNIA ITU LUAS..



ahmad fahmi mubarok

OKKa Itu Perlu!!!

Okey saya sebagai mantan mahasiswa yang setidaknya pernah menjadi panitia OKKa, dan setidaknya sebagai yang merasa selalu memperjuangkan intelektualisme di kampus, termasuk kritisisme, kedewasaan, etika, norma, nasionalisme merasa perlu memberi sumbang saran untuk masalah ini, ...

Kita sampai sekarang selalu diajari untuk berpikir holistik, komprehensif, radikal (sampai ke akar masalah), substansial, tak sekadar partikular, namun pada kenyataanya pembelajaran dan sistem serta kultur di kampus membentuk kita untuk selalu berpikir sempit, parsial, dan bukan hal yang substansial. Padahal masalah takkan pernah selesai jika dilihat sebagai masalah parsial saja, penyeleseian mesti menyeluruh dan ini mestinya berangkat dari hal substansial yang melandasi dan menyebabkannya.

Panitia berbuat kekerasan, militeristik, materialistik, tidak menyentuh pengenalan akademik, intelektual, itu memang satu masalah yang mungkin menjadi alasan diambilalihnya OKKa oleh pihak kampus. Namun mesti disadari bersama bahwa ada sebuah masalah besar yang mesti ditangani oleh segenap civitas akademika di kampus, yakni lunturnya nasionalisme, hedonisme, kultur bebas, orientasi kerja an sich, mandulnya intelektualisme, jeratan neoliberalisme, dangkalnya ideologi mahasiswa, ancaman ideologi dan kepentingan politis sektarian masuk kampus, kampus dan pengetahuan sekadar jadi komoditas dagang, elitisme pendidkan, dan masalah-masalah besar lainnya.

Masalah inilah yang dihadapi calon mahasiswa ketika ia nanti menjadi mahasiswa. Istilah yang diambil birokrat Unnes sekarang adalah program pengenalan akademik (PPA) klo gak salah, pertanyaan saya...apakah cukup mahasiswa dikenalkan hanya pada satu dimensi kehidupan perkuliahan, yaitu dimensi akademik saja. Apa tanggungjawab sosial, intelektual, dan politik mahasiswa bisa didapatkan dari pahamnya ia akan dimensi akademik? Apakah sensitivitas sosial dapat diasah dari diktat-diktat akademik? Apakah loyalitas pada almamater, kekeluargaan dengan kakak kelas, kehangatan sosial dengan dosen dan segenap civitas akademika kampus lain dapat terbangun dari doktrin-doktrin akademik? Apakah adaptasi dan rasa memiliki almamater dapat diindoktrinasikan secara akademik? Apakah untuk membangkitkan rasa nasionalisme sebagai anak bangsa yang mulai luntur ini dapat dengan pengenalan akademik saja? Apakah untuk mengikis kultur bebas dan hedonisme cukup dengan petuah-petuah akademik? Apakah fenomena mentalitas mahasiswa untuk menjadi sekadar pekerja dapat dikikis dengan mantra-mantra akademik? Apakah mahasiswa dapat disulap seketika menjadi intelek dengan orientasi akademik? Apakah mahasiswa akan tahu peta dan jerat neoliberalisme dari ajaran-ajaran akademik? Apakah mahasiswa akan tahu bahwa mereka menjadi incaran dan mangsa dari kekuatan dan kepentingan ideologis sektarian masuk kampus via khotbah-khotbah akademik? Apakah mahasiswa akan tahu pendidikan sekarang hanya jadi sekrup kecil dari roda besar kapitalisme melalui ceramah akademik? Apakah Kehidupan Kampus itu hanya dimensi akademik?

Bagi saya, dimensi akademik saja tidak pernah akan cukup menjadikan mahasiswa sepenuhnya mahasiswa!

Mungkin birokrat Unnes jika saya husnudzon, mungkin hanya melihat bahwa kelemahan mahasiswa adalah intelektualisme, maka yang diberikan pada mahasiswa baru adalah intelektualisme. Ini jelas keliru besar, karena masalah mahasiswa tidak hanya intelektual, apalagi ketika intelektualisme direduksi hakikat maknanya sekadar menjadi dimensi akademik saja. Ibarat sebuah keranjang buah yang isinya apel, jeruk, pir, anggur, dan ketika anggurnya busuk, bukannya membuang keranjangnya dan mengganti dengan keranjang kecil yang isinya hanya apel! Dus, yang dibuang adalah tradisi militeristik di OKKa, materialisme dalam meminta pungutan pd mahasiswa, dan penugasan yang mubazir, bukannya menghilangkan OKKa. Eh...sudah begitu menggantinya dengan hanya memberikan materi akademik yang hanya mengasah pemahaman awal soal kampus terutama bidang akademik saja. Jelas sekali di sini yang dilihat hanya masalah parsial dan penyelesaiannya pun parsial. Ironis juga ketika yang diberikan hanya bidang akademik kampus, namun yang memberikan adalah mereka yang memiliki dan turut membangun kultur akademik tidak sehat, kultur yang sama sekali dari gairah intelektualitas, bagaimana bisa menggugah mahasiswa jika begitu? Jika begitu mahasiswa kita betul-betul bagaikan dijadikan keledai dengan tutup mata yang hanya tahu jalur akademik, tidak tahu lainnya.

Bagi saya, militerisme di OKKa, materialisme di OKKa, minimnya penanaman dimensi intelektual, dan masukknya kepentingan ideologis yang start mulai OKKa adalah salah!!! Tapi ini lebih salah lagi dengan PPA, mahasiswa menjadi buta sensitivitas sosialnya, tidak tahu mereka jadi mangsa ideologi sektarian, tak terurus rasa naisonalismenya, ....

Edi Subkhan, dengan pertanggungjawaban penuh atas isi tulisan ini!!!

Senin, Juni 23, 2008

Applications for Australian Development Scholarships Open




Indonesians committed to shaping the future of their country are invited to
apply for the 2008 Australian Development Scholarships (ADS).

"The scholarships are an important opportunity for Indonesians to further
their education and build networks in Australia ," Australian Ambassador's
to Indonesia Bill Farmer said. "This academic and personal experience is
invaluable and helps talented Indonesians make a difference on their return
to Indonesia ."

The scholarships are managed by the Australian Agency for International
Development (AusAID) and provide funding for study at Masters and Doctorate
levels in Australia . They are targeted to individuals who are committed to
addressing development issues in sustainable growth and economic
management; democracy, justice and good governance; investing in people,
including in health and education; and safety and peace.

"The Australian Scholarships program is conducted in close partnership with
the Indonesian Government. The impact of the program is visible through the
thousands of ADS alumni who have returned to Indonesia and contribute to
this country in areas of development priority," Mr Farmer said.

The program aims to improve the quality of human resource in Indonesia and
the fields of study offered are annually reviewed based on the development
needs of Indonesia .

Up to 300 ADS scholarships are available to commence in 2009-10, with half
allocated to women. Thirty per cent are provided to people from eastern
Indonesia and Aceh.

ADS is a merit-based scholarship program available to people from the
government and non-government sectors who hold an S1 degree. Candidates are
required to meet all eligibility criteria including Grade Point Average
(GPA) of at least 2.9 (on a scale of maximum 4.00), minimum IELTS 5.0 or
TOEFL 500 (obtained in 2007 or 2008) and be no more than 42 years of age at
the time of application.

Applications for ADS 2008 close on 5 September 2008.
For more information visit: www.australianschol arships.gov. au or
www.adsjakarta. co.id

Programme Officer (Rural Development / Livelihoods) , Dili, Timor-Leste

Applications are invited for the following position:

Programme Officer (Rural Development / Livelihoods) , Dili, Timor-Leste
(Reference Number: 08/ID/017)

The International Department is based in Maynooth , Ireland and a number of overseas locations. It is comprised of 6 geographical regions, (South East Asia; Middle East, Central & South Asia; Latin America; Central & West Africa; East & Horn Africa; Southern Africa) a co-financing unit, a PCM unit and an emergency response unit. There are several cross-organisationa l teams that are inextricably linked to the International Department, following the 6 themes of our strategic plan – governance and human rights, building sustainable livelihood's, preparing for and responding to emergencies, HIV and gender.

Trócaire first placed staff in the South East Asia Region in 2005 to manage Trócaire’s response to the Indian Ocean Tsunami as well as programmes in Timor-Leste. Trócaire began funding partners in Timor-Leste in 2000. In 2006 Trócaire began a process of focusing its work in 25 priority countries and placing more staff overseas. Timor-Leste has been identified as a priority country and staff were first placed in-country in July 2007.

As Programme Officer you will develop and implement Trócaire’s programming in Timor-Leste, focusing particularly on issues of livelihoods. A major part of the Programme Officer’s role will also be providing support and assistance to funded partners. Coordination, networking and advocacy will also be important aspects of this position.

As Programme Officer you will report to the Country Representative in Timor Leste. You will be based in Dili, Timor Leste with regular travel throughout the country and occasional travel outside the country.

This post is offered on a two year fixed term contract basis on the Overseas Programme Officer Salary Scale

The closing date for receipt of applications is Wednesday 2nd July 2008.

For full details of his position, please see job description attached.

To apply, please send a copy of your CV and covering letter (quoting the reference number above) to:

Joseph Shannon
Human Resources Manager
Trócaire
Maynooth, Co. Kildare
Ireland
Email: hr@trocaire. ie
Fax:353-1-6290664

(See attached file: SEARO - D - PO Livelihoods & Rural Dev Timor Leste.doc)

Sekadar Usul & Mengingatkan


Oh, iya temen-temen sekalian, tidak terasa sudah kita sudah memiliki sekian banyak artikel dan puisi, bbaik berupa grundelan seperti tulisan-tulisan saya yang gak mutu itu, atau yang filosofis seperti tulisannya Mas Fahmi, yang mencoba memahamkan tapi tak juga dapat memahamkan saya yakni Kang Gik, sampai yang sangat serius seperti tulisannya Mas Luluk, dan jangan lupa puisi-puisi liris Gus Taufik...dan banyak lagi yang tak tersebut namanya yang jauh lebih bagus kualitasnya dibanding saya tentunya....


Tentu kita ingat dulu sebuah komitmen untuk membuat sebuah karya intelektual, walaupun masih dalam fobia...seperti kata-kata Kang Gik dulu, apa kira-kira kita sudah pantas menulis sebuah buku dengan konstruksi logika, filosofi, dan ideologi yang mungkin kita salah memahaminya, karena jujur saja di Unnes ataupun Semarang masih minim guru-guru yang memberikan pengetahuan tentang itu pada kita, terlebih lagi teori-teori kontemporer sekarang ini... terlepas dari itu semua, saya hanya ingin yuk sekarang mulai kita pilah-pilah sesuai dengan tema dasar dari sebuah tulisan yang diposting di sini, kemudian dikumpulkan jadi satu, hingga dapat dimusyawarahkan bersama untuk dibuat draft buku...walaupun mungkin kita akan kesulitan membuat bab dan jdulnya karena begitu beragamnya bahasan...tapi itu gak masalah, yang penting dimulai sekarang.


Dan dari sekian banyak yang selalu intens dan masih muda dengan gelora intelektual yang menyala-nyala dan kualitas intelektual yang jauh di atas saya, maka agaknya saya secara personal merekomendasikan Mas Fahmi untuk mulai pekerjaan yang “berat” ini, kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan Mas Fahmi siapa lagi, dan kalau tidak dimulai...ya ngapain kita nulis dan buat komitmen, kira-kira begitu. Untuk awal agaknya dapat dipilah –ini spontanitas saya tanpa melihat teliti artikel yang ada- menjadi misalnya, tema untuk bab (1) filsafat dan paradigma keilmuan, (2) demokrasi dan politik, (3) kemahasiswaan, (4) psikologi, (5) sosial dan budaya, mungkin itu...sedangkan untuk puisi saya tak tahu harus bilang apa lagi klo tidak menyerahkannya pada yang memiliki otoritas intelektual dalam hal sastra, siapa lagi klo bukan Gus taufik...rak yo ngono to mestinye. Oke....suwun itu usul saya...o iya, ini usulah judul buku yang tak jelas jenis kelaminnya itu.. “memikirkan kembali kemanusiaan dan keindonesiaan kita” ....hehehe....skadar usul bung...

Minggu, Juni 22, 2008

Kopi Hangat Rasa Ilmu Hukum


Persoalan kerapuhan sistem hukum kita, mulai dari penegakan hukum, desain dan tatanan hukum di institusi Negara, serta kelemahan yang nampak banyak terlihat dari produk-poduk hukum, bisa di ulas dan di carikan resolusi dari akar subtansial “cara berhukum” –meminjam istilah Prof Sacipto Rahardjo– kita selama ini. Pondasi yang melatar belakangi kemunculan metode, pemikiran dan operasionalisasi baru di dunia hukum patut di bedah secara mendalam, menyajikan telaah kritis yang berlandaskan materialisme, idealisme atau logika. Kajian subtansial tentang hukum Indonesia sangat jarang terdengar menjadi peluang intelektual bagi siapapun untuk mendapatkan ruang perhatian, menawarkan gagasan pencerahan terhadap persoalan hukum yang melanda bangsa Indonesia.

Saya memiliki sebuah keyakinan, bagi sebuah jurnal hukum yang menyajikan dialektis hukum subtansial, lambat laun akan memperluas dan memperbesar area targetnya, memiliki karakter yang di nilai cukup kuat, namun tidak kehilangan arah sintesis nyata sebagai jawaban atas persoalan-persoalan hukum selama ini. Sebuah jurnal yang memetakan aliran pemikiran ilmu hukum dari perspektif historis dan global, kemudian mendiskipsikan bagaimana kondisi dan perkembangan aliran pemikian hukum di Indonesia dan kemudian secara subtansial akan menjawab dilema atas kehidupan berhukum, pada akhinya akan mampu menyajikan secara komprehensif analisa-analisa yang matang dan lebih berbobot.

Seumpamanya diskursus dimulai dari meniti perkembangan hukum di Indonesia dari sudut aliran pemikiran dalam ilmu hukum secara konvensional (Barat). Mulai dari gaya pemikiran hukum alam; positivisme; utilitarisme; hukum murni; historisme; sosiologis; antropologis; dan realisme. Hukum alam terejawantahkan oleh tokoh-tokohnya mulai dari Plato dalam The Republic dan The Law-nya, Socrates, Aristoteles mewakili kubu Yunani, sementara Cicero dan Gaius merepresentasikan tokoh hukum alam Romawi, selanjutnya tokoh-tokoh abad pertengahan seperti Augustine, Isidore, Thomas Aquinas, dan William of Occam, berikutnya para filosof idealisme transcendental seperti Kant dan Hegel, dan masih banyak tokoh lain yang tidak bisa disebut satu persatu penganut aliran pemikiran hukum alam ini. Positivis oleh Auguste Comte (1798-1857) atau Herbert Spencer (1820-1903), aliran utilis yang ditandai dengan kemunculan tokoh pemikirnya seperti Jeremy Bentham, John Struart Mill, kemudian aliran hukum murni oleh Hans Kelsen, aliran historis dikuatkan oleh Friedrich Carl von Savigny, Antropologis didukung oleh Leopold Pospisil, Sosiologis bagi orang seperti Max Weber, Emile Durkheim dan Realisme oleh Oliver Wendell Holmes.

Bagi banyak orang atau inteletual akademik yang tertarik pada perkembangan aliran pemikiran hukum tentu tak akan kesulitan menempatkan penulis atau tokoh hukum Indonesia dan mengkaji pemikirannya secara holistic dan dikaitkan dengan perkembangan dan realitas aliran pemikiran hukum diatas. Bagaimana menempatkan kajian terhadap pemikiiran sosiologis Prof. Sacipto Rahardjo, pemikiran realismenya Prof. Jimly As’sidiqie, pemikirannya hukum murni versi Prof. Muladi atau Prof Barda Nawawi, kemudian di kaitkan dengan konteks persoalan hukum di Indonesia, mulai dari perubahan konstitusi, perubahan peraturan perundang-undangan, peristiwa sengketa hukum dan fenomena yang lain. Ke semuanya itu akan menjadi hasil karya yang menarik untuk disimak dan mencerahkan untuk di baca oleh semua kalangan tanpa batas.


Menguak Tabir Kontur Pemikiran Klasik


Menguak Tabir Kontur Pemikiran Klasik1

Oleh : Awaludin Marwan, SH2



Menyelami akar kultur pemikiran barat, jelas sudah kita sama halnya berhadap-hadapan dengan sejarah filsafat barat ataupun dasar-dasar filsafat. Pembicaraan asal muasal, karateristik, pasang-surut dan gaya pemikiran klasik dalam terminologi yang dialektis, tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Karena pemikiran klasik sarat akan karya metodologis akan alam dan mengalir tanpa sistematika yang jelas. Ada semacam perbedaan yang tipis antara buah karya pikir intelek dengan lamunan tanpa rumus pijakan rasionalitas yang bisa dipertanggung jawabkan.

Penulis mencoba memberanikan diri untuk menyederhanakan konteks pemikiran klasik dalam era perkembangan yang dibatasi oleh eksistensi ajaran Sokrates. Dari titik ini, dipahami bahwa hanya ada dua perkembangan dasar bangunan pemikiran, yakni praSokrates dan sesudahnya. Oleh karenanya, pemikiran sokrates pada awalnya hanya hasil antithesis atau reaksi dari pemikiran kaum sofis.3

Skema dasar pemikiran praSokrates diilhami oleh kegelisahan tentang alam dan sesuatu yang ada –baik itu terbatas maupun tak terbatas– yang tercerai berai (ekkrisis) tanpa sistematika dan rasionalitas yang jelas. Kekalutan tentang siang yang berubah menjadi malam, terbitnya matahari dan munculnya rembulan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Pengenalan tulisan sempat disepakati menjadi pintu gerbang permulaan pemikiran, umpamanya, setelah zaman batu muda (neolithikum), pengetahuan mesir dengan piramidanya, sungai nil dan babylonia di daerah Mesopotamia 3000 SM sekitar lembah Trigis dan Euphrat yang telah mengenal tulisan4. Pemikiran dan gagasan tentang hubungan antarmanusia dan cara membangun komunitas/ kota sudah ada, cumin ketokohan tak banyak tampak, atau sengaja tak ditampakkan (dalam kerangka The Will to Power sindrom Nisczthe). Di belahan India, sekitar lembah sungai Indus, mengenal tulisan pengobatan dan ramuan jamu untuk penyembuhan penyakit. Dan, daerah China mengenal pengetahuan ditandai dengan halnya yang sama India, pengobatan menggunakan tusuk jarum (akupunkture), dalam buku yang muncul tahun 1200 SM, yang menyebut kekuatan Yin atau Yang, juga hal yang di tulis oleh ahli-ahli negarawannya, semisal Stun Tzu. Bisa ditarik sebuah benang merah bahwa letak kelahiran filsafat bisa saja relevan dengan “tulisan”. Begituhalnya dengan kemunculan filsafat barat yang banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan.

Pergolakan argumentasi muncul saat mula kemunculan filsafat klasik yang dimulai dari Sokrates. “Tulisan” jadi parameter absolute bagi klaim suatu kerangka pikir yang bisa di promosikan. Kendati Sokrates lebih dikenal melalui buku-buku Plato dan Aristoteles. Sokrates tidak pernah meninggalkan warisan berupa buku dengan materi pikirnya, akan tetapi ajarannya hidup dan seperti tak ada pengkhiatan terhadapnya, hanya kisaran pengembangan dan penelaahan etis untuknya, meski konon hidupnya diakhiri dijatuhi hukuman mati dengan minum racun. Meski pada akhirnya ajarannya dengan menggunakan “metode ironi”5, yang kemudian lebih terlihat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja untuk membingungkan orang dan membuatnya berpikir. Gaya pemikiran induksi, pola umum ke khusus, lebih tepatnya dinamai penyimpulan juga dikemukakan pertama kali oleh Socrates. Keutamaan, ungkap Socrates, meletakkan dasar sebuah generalisasi sesuatu hal yang ada pada tingkatan yang abstrak dan bisa diterima oleh banyak kalangan, bukan berarti semuanya mengatakan benar, tapi ada suatu “definisi umum”. Dari “definisi umum” inilah kemudian terejawantahkan ke dalam anasir-anasir yang pada perkembangannya sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Umpanya, alat untuk mencapai eudaimonia atau kebajikan atau keutamaan (arête) sebagai halnya yang diuraikan sebelumnya. Sederhananya juga bisa dikatakan, bahwa ajaran Socrates juga menekankan pada penggunaan pengetahuan untuk kebahagiaan manusia, meraih suasana batin yang sempurna.

Walupun tak begitu di kultus dan di agung-agungkan, karya Plato bisa di bilang sebagai tugu peringatan atau reinkarnasi dari pemikiran Sokrates. Lebih jauh dari itu, karya-karya raksasa Plato cukup bombastis, dan terkenal sebagaimana buku-bukunya yang dia tulis sendiri berjudul: Apologia, Politea, Sophistes, Timiaos, dan sebagainya. Plato mengutamakan titik pijak pemikiran yang bisa saja alternatif dari dialektika yang diperdebatkan oleh Herakleitos dengan perhentiannya dengan Parmenides sebuah yang dinamis dan selalu berubah, yakni yang kekal di sebut dengan “Idea”, jelas Plato6. Idea tak hanya sebuah gagasan yang subjektif dan instrumental, namun bersifat objektif, sehingga berdiri sendiri bisa memimpin pertemuan pikiran manusia berdasarkan kesamaan.

Selain itu, Plato juga mengajarkan tentang jiwa. Jiwa dan tubuh merupakan dua hal yang ada serta harus dipisahkan. Jiwa berdiri sendiri. Tubuh yang ditopangi oleh jiwa. Lepas dari itu, Plato juga membagi ulasan tentang Negara ideal ke dalam tiga golongan: tertinggi, pembantu, dan terendah. Pikiran-pikiran Plato juga dikenal di ranah perkembangan hukum dengan bukunya The Republik dan The Laws, yang lebih berisikan refleksi dari tesis bahwa Negara ideal haruslah dipimpin oleh orang yang berkualitas atau cendikia, sulit menemukan orang dengan kapasitas sedemikian rupa, hingga pendapat Plato tentang hukum tertulis pun dikumandangkan, dan menjadi rujukan hingga saat ini.7

Tokoh lain yang acapkali menjadi rujukan filosofis maupun teoritis adalah Aristoteles. Bagi seorang yang dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, Makedonia, hasil karyanya sangatlah banyak. Sebagian ahli membaginya ke dalam 8 (delapan) bagian : logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik, dan ekonomi, dan akhirnya retorika dan poetika.8 Kesamaan Plato dan Aristoteles Tua terletak pada dua macam pengenalan, yaitu: pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Salah satu bedanya, bagi banyak filsof yang mencoba mengakurkan Plato yang cenderung pada takaran perenungan, sementara Aristoteles lebih menitik beratkan pada pengalaman-pengalamannya, sangatlah sulit. Pemikirannya yang cukup berkontribusi di dalam perkembangan dunia pemikiran hukum, adalah hukum harus diarahkan mewujudkan partisipasi seluruh rakyat dalam gagasan keadilan—karena keadilan merupakan kepentingan rakyat (justice is the interest of the people) yang mengilhami arah perkembangan aliran pemikiran filsafat hukum baik itu posivistik, modern, ataupun realisme.

1 Diskusi perdana kaum sekaranis di gubung Democracy Watch Organization (Dewa-Orga)

2 Filosof Amatir, permulaan pemikiran luluk muda tentang filsafat

3 Tidak ada tulisan ataupun karya yang secara jelas dan tegas mengklasifikasikan kaum sofis sebagaimana pemikirannya yang di kritik oleh Sokrates. Namun subtansi pemikirannya dalam warna yang sama bila diamati, seperti Thales (625-545 SM) dengan gerhana mataharinya dan air sebagai asal mulanya kehidupan; Anaximandros asas pertama semensta adalah api, lain halnya dengan Anaximenes yang tidak dapat enerima pandangan Anaximadros, menempatkan hal yang tak terbatas (to apeiron) menjadi asas pertama alam semesta, maka digantilah api itu dengan udara memadat maka timbullah secara berturut-turut itu angin, air, tanah, dan batu. Sementara bagi Pythagoras lahir di Samos, Kroton, Italias Selatan, usaha mempelajari ilmu pasti, lebih dikenal dengan teori segitiganya. Xenophanes membedakan jelas monoteistis dan politeistis, tentang Ilahi yang Esa, Kekal, dan tanpa awal mula sesuatupun. Herakleitos terkenal dengan “menjadi”nya, perpindahan energy, dinamisasi. Parmenides yang hampir senada dengan Plato tatkala ditarik di zamannya, bahwa “ada” terdapat yang kekal, yakni idea, kemudian pernyataan ini dikukuhkan oleh Empedoklas (492-432 SM). Selanjutnya Anaxagoras terkenal dengan anasir-anasir rizomata (akar) dan spermata (benih-benih). Leukippos dan Demokritos dipandang mengajarkan tentang atom (atomos). Lihat, Dr. Harun Hadiwijono, 2008, Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Hal. 15-32

4 Maman Rachman, 2003, FIlsafat Ilmu. UPT UNNES Press. Jakarta. Halm 4.

5 Ibid, halm. 36

6 Sudarsono, 2001. Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar. Jakarta. PT, Rineka Cipta. Halm 46.

7 Teguh dan Barkatullah, 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Study Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Halm. 33

8 Lihat, Dr. Harun Hadiwijono, 2008, Sari Sejarah,….Op.Cit. Halm. 45

Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas


Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam konteks perilaku pemilih (voting behavior) tidak bisa disalahkan. Refleksi sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah, kontruksi sadar dan cerdas memilih terwujud.


Konsepsi pendidikan kaum tertindas pernah mengemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke -19 mangandung sejumlah orientasi filosofis pendidikan ke suatu yang lebih memanusiakan, demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.

Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan dimana keterbatasan kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan sosialisasi yang di lakukan oleh penyelenggara tidak menyentuh dan mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka.

Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk mengiring mereka mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Dengan bermodalkan cara konvensional menawarkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog, memberanguskan kesadaran, layaknya sistem pendidikan politik otoriter –meminjam ungkapan Freire– seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas.

Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–mengutamakan penggiringan massa hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog sendiri, bagi Freire merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Dengan dialog kritis, secara otomatis mendorong tranformasi sosial dan pembebasan serta mencerdaskan secara politis khalayak pemilih.

Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat ini mengharuskan prakondisi yang mana diperlukannya karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas jauh dari faktor tersebut, maka perlu pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi kaum tertindas yang mensejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis.

Kaum tertindas bisa diartikan mereka pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, yakni 519, 60 jumlah penduduk miskin sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang dengan 17, 70 penduduk miskin. Kaum inilah yang pertama kali perlu diketengahkan pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya.

Dilema ketidak-sadaran dan ketidak-kecerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional, persoalan fundamental ini di sandingkan dengan fenomena golput di dalam setiap pemilihan. Golput, dimotori oleh, keterbatasan informasi, apatisme, dan apolitis. Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan melahirkan bertambahnya angka golput.

Prihatmoko (2008) pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004, angka golput (22,06 persen) dibawah partai pemenang pemilu/ PDI-P (23,09 persen). Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 persen) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 persen). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 persen) masih mengalahkan golput (28 persen). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 persen) dikalahkan golput (31,14 persen). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 (42,31 persen) dari 26 pilkada kabupaten /kota. Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan dan Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian secara presentasi pilkada yang dimenangkan golput meningkat dari 41,18 daerah (2005), 42,86 persen(2006) menjadi 50 persen(2007). Dari sebelas pilkada itu, rata-rata golput sebesar 36,74 pesen jauh diatas suara bupati/walikota terpilih sebesar 26,10 pesen. Selisih perbandingan itu rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 persen dan bupati/walikota terpiliih 35,12 persen. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.

Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas ini. Sekali lagi, dalam karya Freire, Pedagogy of The Oppresed, menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan, dalam konteks yang lebih operasional, bisa dilakukan oleh penyelenggara melalui sosialisasi. Sosialisasi diselenggarakan oleh penyelenggara harus memposisikan diri sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah dan menganggap dialog sebagai instrumen terpenting, memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik.

Kalaupun perlu, sosialisasi, kedepan haruslah diatur sedemikian rupa menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk mencoblos atau menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih untuk berpikir, mampu membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat, sehingga pada akhinya, pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.


Awaludin Marwan, SH Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA-ORGA) Jawa Tengah

Pengajian untuk Kampanye Diwaspadai Pemantau Pilgub

Semarang, CyberNews. Lembaga Pemantau Pilgub Democration Watch Organization (Dewa Orga) mewaspadai adanya dugaan pelanggaran sosialisasi pilgub dengan memanfaatkan media pengajian untuk kampanye pasangan calon gubernur.

Direktur Executif Dewa Orga, Awaludin Marwan menilai, kegiatan pengajian yang diduga dimanfaatkan pula untuk kampanye diduga hampir terjadi di semua daerah.

''Mungkin karena mayoritas masyarakat kita beragama islam, sehingga media pengajian dinilai lebih efektif,'' kata dia saat beraudiensi dengan Panwas Pilgub Jateng di Kantor Jl Trilomba Juang, Kamis (29/5).

Dewa Orga bersama lembaga pemantau Fiat Justicia ditemui Ketua Panwas Pilguib Sriyanto Saputro, Sutopo Subiyantoro dan Richardus Habuyanto (anggota panwas). Kedua lembaga pemantau itu, aku dia, telah diferivisikasi KPU Jateng. Pada pemantauan pilgub ini, dua lembaga tersebut akan memfokuskan diri pada pemantauan kemungkinan adanya penyalahgunaan jabatan yang dilakukan pasangan calon gubernur/ wakil gubernur.

Sejumlah daerah yang menjadi fokus pantauan mereka yakni Semarang, Kendal, Kudus, Jepara dan Kebumen. Sementara, Fiat Justicia yang akan mengerahkan 200 relawan, akan disebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah.

Saat ini, setidaknya ada empat kandidat yang menjabat sebagai kepala daerah. Dengan begitu, lanjut dia, persaingan dalam memenangkan pilgub tidak adil. Para kepala daerah itu yakni Abdul Kholiq Arif, Sukawi Sutarip, Rustriningsih dan M Tamzil dimungkinkan memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan dukungan masyarakat.

Awaludin berharap mereka bisa mengundurkan diri. ''Dari sisi aturan memang tidak harus mundur, namun ini lebih pada masalah etika, supaya persaingan bisa berjalan dengan lebih adil,'' ujar dia.

Ketua Panwas PilgubSriyanto Saputro menyambut baik langkah yang dilakukan dua lembaga pemantau tersebut. Dia berharap pematau bisa selalu berkoordinasi dengan Panwas, terlebih pada saat menemukan indikasi pelanmggaran.

''Koordinasi sangat penting dilakukan, supaya tidak terjadi over lapping. Di sisi lain, hal ini juga bisa mengedepankan fungsi dan tugas masing-masing.''

(Widodo Prasetyo /CN09)

Banyak Pengajian Masyarakat Disisipi Kampanye Cagub Jateng

Thursday, 29 May 2008


SEMARANG(SINDO) � Sejumlah calon gubernur (cagub) dan calon wakil
gubernur (cawagub) Jateng beserta tim suksesnya banyak melakukan
kampanye terselubung melalui pengajian.

Selain karena mayoritas penduduk Jateng beragama Islam, kampanye
terselubung melalui pengajian tersebut dinilai lebih mengena dan bisa
memengaruhi pemilih. Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Pilgub
Jateng Dewa Orga, Awaludin Marwan, menilai kampanye terselubung
dengan model pengajian umum tersebut hampir terjadi di semua daerah
di Jateng.

"Mungkin karena mayoritas masyarakat kita beragama Islam sehingga
pengajian lebih efektif," terangnya saat berkoordinasi dengan Panwas
Pilgub Jateng di Kantor Panwas, Jalan Mugas, Semarang, kemarin. Dewa
Orga yang datang bersama lembaga pemantau lainnya, Fiat Justicia,
ditemui Ketua Panwas Jateng Sriyanto Saputro didampingi anggota
panwas Sutopo Subiyantoro dan Richardus Habuyanto.

Awaludin menambahkan, Dewa Orga dan Fiat Justicia akan memfokuskan
diri pada kemungkinan terjadinya penyalahgunaan jabatan yang
dilakukan cagub dan cawagub yang saat ini masih menjabat sebagai
kepala daerah.

Menurut dia, persaingan untuk memenangkan Pilgub Jateng 22 Juni
mendatang sebenarnya tidak adil. Sebab, beberapa cagub yang masih
menjabat kepala daerah bisa memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat. Jadi, pihaknya berharap mereka bisa
mengundurkan diri atau cuti sementara dari posisinya hingga pilgub
selesai.

"Dari sisi aturan memang tidak harus mundur, tetapi ini lebih pada
masalah etika, supaya persaingan bisa berjalan dengan lebih adil,"
tegasnya. Ketua Panwas Pilgub Jateng Sriyanto Saputro menyambut baik
temuan tersebut. "Koordinasi ini sangat penting dilakukan, supaya
tidak terjadi overlapping di lapangan. Supaya semua pihak bisa
mengerti tugasnya masing-masing dan menghormati lembaga lain,"
tegasnya.(khusnul huda)

Jumat, Juni 20, 2008

SINDROM KETERATURAN: MENYOROTI KEBIJAKAN OKKA

Tak hanya negara, yang sukanya ngatur-ngatur. Sekarang para akedemisi juga lagi kena penyakit yang demikian. Kecenderungan ini telah lama terlihat. Dari kegiatan ilmiah mahasiswa yang hampir sepenuhnya diambil alih para pejabat kampus, sampai dengan pelaksanaan kuliah lapangan. Dan yang terbaru adalah pergantian OKKA menjadi Pengenalan Akademik yang dipanitiai para dosen.

Asumsi yang mendasari kebijakan tersebut tentu saja ialah: bahwa mahasiswa itu tidak becus apa-apa. Tentu saja ada yang boleh sepakat ataupun tidak sepakat mengenai asumsi ini. Berasumsi demikian bukan saja merupakan kekeliruan cara berpikir tapi juga berbahaya bagi proses pembelajaran itu sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa filosofi pengajaran kita ialah filosofi behavioristik, bahwa semua harus ditata sedemikian rupa biar si pembelajar ”dapat belajar” dengan optimal. Berdasarkan asumsi para pejabat kampus diatas, mari kita telah cara berfikir mereka satu per satu, baik alasan serta dampaknya.

Pertama, tidak dapat disangkal, bahwa penggambilalihan kegiatan OKKA oleh pihak rektor dikarenakan alasan ”kekacauan” yang pernah terjadi di berbagai event kegiatan orientasi kampus pada masa lalu merupakan ulah dari panitia sendiri (baca: mahasiswa). Sifat militeristik, penugasan yang terkesan aneh, corak kegiatan yang kurang ilmiah dan lain sebagainya. Dengan demikian, menganggap panitia sebagai tidak dapat ”mendidik” calon mahasiswa baru bukan saja merupakan fakta nyata tapi juga merupakan realitas yang perlu dipahami. Tapi pertanyaannya, apakah jika mahasiswa bersikap dan berbudaya tidak ilmiah ialah kesalahan mahasiswa itu sendiri? Atau itu sebenarnya dipengaruhi oleh kultur akademik secara umum, yang sebenarnya memang telah lama tidak ilmiah?

Kalau saya lebih memilih pertanyaan yang terakhir. Bukti dari kekurangilmiahan kultur akademik sudah menyolok sejak lama. Dari event-event rutin seperti peringatan hari nasional, sampai dengan peringatan Dies Natalis dan beberapa kebijakan kampus yang cenderung melenceng dari kultur ilmiah. Seperti yang pernah disinggung dalam diskusi KEP, mengapa dalam melaksanakan peringatan Hardiknas, kok kita malah melakukan upacara bendera, mengapa tidak melakukan diskusi publik, seminar atau jagong ilmiah. Kan yang begituan lebih intelek? Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Akademisi kita lebih suka disengat terik matahari untuk menghormat bendera, kemudian dibacakan doktrin dari Gubernur atau Menteri Penddiikan. Barangkali hal ini memang sudah hobi, atau barangkali karena akadimisi kita memang tidak pernah berfikir. Kalo demikian, salahkah apabila mahasiswa sendiri tidak berfikir ilmiah? Wong kulturnya saja memang tidak ilmiah.

Kedua, selain kultur, bisa jadi penyebab kegiatan orientasi mahasiswa yang telah lama tidak ilmiah karena menurut cara berfikir panitia, bahwa tugas yang aneh-aneh, dan terkesan militeristik, merupakan rasionalisasi dari panitian bahwa itu demi pendewasaan bagi mahasiswa baru. Argumen tersebut tentu saja logis dan rasional. Walaupun kesannya kurang tepat apabila dilaksanakan dalam kultur kampus. Tapi dengan menggunakan alasan tersebut untuk mengambil alih seluruh kegiatan mahasiswa atas dasar keteraturan dan keamanan kampus merupakan kebijakan spekulasi yang dapat mengorbankan proses pembelajaran yang seharusnya didapat oleh mahasiswa baru maupun panitian sebagai kakak kelas.

Ketiga, dampak dari pengambilalihan kegiatan OKKA jelas sangat membuat berang para aktivis kampus. Setelah sekian lama dikotak-kotakan menjadi agen event organizer (EO) dan sebagai pelaksana lapangan kepentingan birokrat kampus. Pengambilalihan kegiatan OKKA jelas-jelas menodai kemandirian para aktivis sebagai agen pembelajar. Mana mungkin terjadi pembelajaran apabila kemerdekaan serta kemandiriannya telah diambil alih dengan paksa melalui surat sakti dengan label Peraturan Rektor. Keputusan ini, walaupun dengan maksud bijak, dari sisi relenvansi pembelajaran jelas bukan merupakan langkah yang bijaksana.

Dan yang terkhir, dan semoga saja dugaan saya keliru, hal ini terkait hasrat fulus dari proyek besar yang namanya OKKA, bayangkan apabila semua pengeluaran yang dibelanjakan oleh mahasiswa baru dapat masuk ke Rekening Rektor, wah bisa kaya gua? Ndak usah susah-sasah kayak gua (baca: Giy) untuk berdagang. Wah repot-repot...

Dengan demikian, demonstrasi yang dilakukan oleh fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan kemarin untuk menuntut agar OKKA kembali diurus mahasiswa, bukan saja reaksi yang wajar. Tapi ini juga merupakan bukti kebenaran yang telah lama ada bahwa: Paksaan dalam bentuk apapun tidak memberi manfaat, sebaliknya, dia akan menciptakan kekacauan!

Giyanto: Status masih Mahasiswa

Rabu, Juni 18, 2008

Kontroversi di Akhir Tahun Ajar

Akhir tahun ajar adalah saat yang membuat banyak manusia menjadi lebih sibuk dari hari biasa. Semua institusi pendidikan bersiap-siap melepas dan menerima anggota barunya. Bermula dari Ujian Nasional, selebrasi kelulusan, pendaftaran sekolah, dan tak lupa keributan kecil tentang sepatu dan buku baru. Terjadi semacam babak baru kehidupan yang melibatkan tawa dan air mata. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Arinie Hidayati, karena adanya proses meninggalkan sesuatu untuk menempuh sesuatu yang baru. Tetapi di lain sisi, hal yang menarik dari dinamika itu adalah selalu adanya kontroversi yang seperti sudah menjadi keniscayaan.

Ujian Nasional tentu bukan hal asing bagi siswa SD, SMP, maupun SMA. Ujian penuh ketegangan, sebuah ujian penentuan kelulusan seorang siswa dari institusi pendidikan. Ketidakseimbangan ketika durasi belajar sedemikian tahun hanya ditentukan dengan beberapa jam saja menjadi ”bahan obrolan” banyak media dan menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Ujian Nasional mejadi hal yang hangat untuk beberapa saat, sebuah kontroversi bersifat ritualistik disertai regulasi yang berputar-putar.

Tak berbeda dengan tragedi Monas 1 Juni lalu, yang oleh Amien Rais dikatakan sebagai pengalihan isu kenaikan BBM, demikian halnya dengan selebrasi kelulusan Ujian Nasional. Konvoi dan aksi coret-mencoret seragam sekolah yang dianggap mengganggu ketertiban umum pun menimbulkan kontroversi. Benturan antara ekspresi kebahagiaan di satu pihak, dan ketertiban umum di pihak lain. Bersamaan dengan ramainya corat-coret seragam sekolah, luntur pulalah perbincangan tentang Ujian Nasional. Sedangkan keributan kecil tentang buku dan sepatu baru seolah-olah mengucapkan selamat tinggal bagi penyelesaian polemik Ujian Nasional.

OKKA ; Obyek Kontroversi Kelas Atas

Dalam lingkup yang lebih kecil, Unnes terkesan tak mau ketinggalan untuk ikut andil dalam berbagai ”keributan” akhir tahun ajaran. Demi menyambut kedatangan anggota keluarga baru, sebuah acara akbar pun di gelar, Orientasi Kehidupan Kampus (OKKA). Dari nama kegiatan tersebut, dapat dilihat bahwa OKKA diharapkan dapat mempersiapkan anggota-angota baru kampus agar terbiasa dengan kehidupan kampus. Kegiatan ini mempersiapkan mahasiswa baru agar terbiasa dengan perbedaan-perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan kehidupan SMA.

Selanjutnya, ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan sejatinya merupakan pemicu ketidakpuasan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi sebuah konflik dan kontroversi. Pada kenyataannya, banyak kontroversi lahir dari 4 kata tersebut (OKKA). Mulai dari kekerasan terhadap peserta, pelecehan terhadap panitia, penyelewengan dana, keributan-keributan selama kegiatan, sampai dengan klaim materi yang tidak sesuai dengan hakikat OKKA. Berbagai ketidaksesuaian ini mendorong pihak rektorat untuk berupaya memberlakukan Surat Keputusan DIKTI (Th. 2001) tentang pelarangan kegiatan semacam itu, yang sekarang ini masih dalam tahap Rancangan Surat Keputusan Rektor. Upaya pelaksanaan OKKA yang ”mendidik” terlihat dari poin-poin rancangan Rancangan Surat Keputusan tersebut dengan memberlakukan penghapusan atribut, pembatasan kurikulum yang dirasa bisa mewujudkan OKKA bercorak akademis, dan juga penghematan (baca : pemotongan) biaya operasional kegiatan. Dan sampai sekarang pun kontroversi dan negosiasi sebagai buntut Rancangan Surat Keputusan tersebut masih belum terselesaikan.

Sebenarnya, permasalahan tidak terletak pada ”kita harus memperjuangkan ini!” atau ”hal ini dilakukan agar tidak terjadi keributan!”. Tetapi lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal seperti yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai hiper reality. Feomena gunung es yang terlihat kecil di permukaan, tetapi dibalik itu ada ”kejadian-kejadian” lain yang disamarkan oleh kejadian permukaan tersebut. Atau meminjam bahasa Jean Bauldilldard sebagai simulacrum, sebatas rekayasa dan kepura-puraan. Atau menurut hermeneutika Saussure sebagai signifier (penanda), yang dalam hal ini terdapat banyak kemungkinan apa yang ditandainya.

Hidup Mahasiswa!

Ahmad Fahmi Mubarok,

Mahasiswa FIP Unnes

EMPAT P (PEMERINTAH)

Seandainya seseorang "makan" bukan dari keringatnya sendiri, maka bisa dikatakan dia adalah pengemis....
Dan bila dia meminta dengan paksaan melalui undang2, maka bisa dikatakan dia itu
perampok....(Giy)
Dan Jika dia makan dari hasil keringat orang lain dengan jalan "mengakali", disebut
penipu....
Kalau mengambil tanpa diketahui pemiliknya adalah pencuri.... (Imam Semar)

Indonesia ; Sebuah Dongeng Tentang Negeri Di Awan

Negara adalah organisasi, yang dipersyarati adanya wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Kemunculan nama Indonesia untuk pertama kalinya dalam daftar nama negara tentu merupakan kesanggupan pemenuhan syarat tersebut. Tetapi hal yang dilupakan, bahwa pada dasarnya negara adalah sebuah konsep abstrak yang ”dipaksakan” untuk membahasakan dirinya dalam realita. Bisa jadi pada mulanya persyaratan adanya negara seperti yang diungkapkan di atas, tidaklah muncul sebelum negara itu ada, melainkan melalui analisa dari negara yang telah ada dan juga kesepakatan bersama tentang syarat yang pada akhirnya diajukan.

Hal ini tak harus didekonstruksi, karena pengaruhnya yang telah meluas dan terinternalisasikan dalam mindset masyarakat, lagipula salah kaprah bukan hal istimewa terjadi dalam sejarah.

Indonesia ; Hanya Setengah Negara

Merujuk dari persyaratan sebuah negara, mungkin saja Indonesia pernah memilikinya pada masa lalu. Setelah mengalami perjalanan waktu demikian panjang, Indonesia tentu telah mengalami berbagai perubahan. Sekarang ini, semua syarat negara yang (tadinya) dimiliki oleh Indonesia mengalami ”konslet” yang sangat berpotensi menghilangkan Indonesia dalam peta dunia.

Pertama, dengan batas wilayah yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, Indonesia seperti tak mampu lagi menghargai batas yang telah diklaimnya sendiri. Kemerdekaan Timor Timur mengisyaratkan adanya kekecewaan mendalam yang dirasakan. Pengkhianatan batas teritori oleh negara lain seperti klaim terhadap pulau Ambalat tak ayal mengukuhkan ketidakmampuan Indonesia mengurus tubuhnya sendiri. Dalam hal ini ada dua hal yang telah terlampaui, pengingkaran batas secara fisik, dan juga pengingkaran atas ikatan emosional antar wilayah. Hal ini bisa jadi merupakan suatu bentuk pelampiasan atas kejenuhan praktik sentralisasi, sehingga mengembangkan perasaan centraphobia (ketakutan terhadap pusat) yang tersusun rapi sepanjang rentang orde baru. Euforia otonomi daerah sebagai perubahan habitus, meminjam bahasa Bordieu, dilakukan karena sentralisasi yang dianggap telah keterlaluan dalam mengintervensi kebebasan banyak pihak.

Kedua, ratusan juta manusia pemegang KTP Indonesia adalah bukti pemenuhan syarat yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun hal ini tidak berarti ratusan juta manusia itu adalah milik Indonesia, (kebanyakan) mereka hanya secara kebetulan terlahir di dalam garis batas wilayah Indonesia dan ”dipaksa” menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Tentu menjadi berbeda jika semua manusia mempunyai kebebasan untuk memilih negaranya, negara-negara di seluruh dunia ditempatkan dalam sebuah daftar yang bisa dipilih, salah satunya Indonesia. Permasalahan dalam syarat kedua yang dimiliki oleh Indonesia telah berbuah konflik dengan berbagai macam latar belakang dan pemicunya. Indonesia telah terdepak dari pentas konflik masyarakat. Pola pikir oposisi biner, ”aku adalah A, dan karena kamu tidak sama denganku, maka kamu adalah B”, sebagai pelaku pendepakan atas Indonesia dalam setiap konflik yang terjadi. Kehadiran Indonesia hanya sebatas tedheng aling-aling dan pembenaran tindakan, agar tak dipeyorasikan sebagai tindak separatis.

Ketiga, kedaulatan pemerintah tak lagi dianggap sakral. Secara logika sederhana, pemerintah ada karena ada yang diperintah. Pemerintah dibuat untuk ”menetapkan perintah-perintah” demi kepentingan orang yang diperintah. Jika ”perintah-perimtah” yang ditetapkan oleh pemerintah kini menjadi bulan-bulanan aksi demonstrasi, memperlihatkan adanya penolakan atas ”perintah” tersebut. Pemerintah tak lagi mempunyai daulat jika melihat berbagai penolakan yang meluncur tajam dari pihak yang merasa termarjinalkan.

Keempat, pengakuan luar negeri. Pindah-tangan pulau Ambalat, pembakaran kapal nelayan, pengusiran Sutiyoso, tak kurang bukti pengingkaran luar negeri terhadap Indonesia. Indonesia seolah tak ada, hanya cerita negeri dongeng tentang negara yang penuh bahaya tetapi terlalu indah untuk tidak dikunjungi.

Indonesia ; Antah-berantah

Dengan kecacatan syarat tersebut, ternyata Indonesia masih saja menghabiskan energi untuk perpecahan, provokasi, adu domba, narsisisme kekuasaan, eksklusivisme kelompok, egoisme daerah, diertai buaian romantisme masa lalu. Indonesia seakan telah kehilangan dreamland tempat berlabuh, menurut Yasraf Amir Piliang.

Pola chaos yang terbentuk mengisyaratkan kesunyian visi, sehingga harus memaklumkan munculnya opsi penghapusan Indonesia, ke-tak harus adaan-Indonesia. Mengembalikannya pada prinsip-prinsip dasar manusia, yang tak membutuhkan negara. Tetapi bukankah itu juga sebuah romantisme masa lalu, pengingkaran terhadap kenyataan bahwa ini adalah permasalahan yang ditimbulkan oleh Indonesia? Sampai di sini Indonesia harus berani menyelesaikan masalah sebagai Indonesia, sebuah penyelesaian yang Indonesiawi dengan meneguhkan eksistensi ”wilayahnya” terhadap rakyat dan pihak asing melalui kedaulatan pemerintah.

Terus bertahan dalam kungkungan pola semacam itu tak berpengaruh apa-apa selain melebarkan tawa ”si monyet”, sekaligus merintis penulisan novel berjudul ”Indonesia ; Sebuah Dongeng Tentang Negeri Di Awan”

Ahmad Fahmi Mubarok

Senin, Juni 16, 2008

Matinya Para Filsuf

Di tengah dunia yang berlari (runaway world –Giddens) sekarang ini hanya sedikit orang yang berminat pada filsafat, mahasiswa filsafat makin lama makin berkurang; jurusan, program studi pusat kajian filsafat pun hanya satu-dua yang dapat bertahan, perguruan tinggi yang dulu terdapat studi filsafat banyak yang dihapus. Dan baru-baru ini pemerintah menyatakan akan “meninjau ulang” jurusan-jurusan yang sudah “jenuh”, termasuk filsafat, karena dianggap filsafat sudah tida ada peminatnya lagi dan tak ada lapangan kerja yang mau memekerjakan lulusan filsafat. Konon jurusan-jurusan yang “jenuh” tersebut akan digabung atau dihapus, dan mahasiswa yang masih tersisa akan coba dicarikan pekerjaan.

Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, lalu filsuf atau minimal lulusan program studi filsafat akan dicarikan pekerjaan apa? Inilah yang tidak tepat bagi pemerintah dalam memahami keberadaan filsafat, filsuf, dan pusat-pusat belajar filsafat utamanya di perguruan tinggi. Pemerintah selalu memahami secara salah bahwa lulusan pendidikan formal mesti bekerja pada sektor riil, yang nantinya akan menghasilkan materi untuk perputaran ekonomi dan ujung-ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat dan negara. Terlebih dalam pendidikan yang sudah menghamba pada kapitalisme sekarang ini, maka seseorang yang belajar pada bidang studi apa saja, anggapan masyarakat dan pemerintah bahwa tujuannya adalah untuk bekerja dan menghasilkan uang, tak lebih. Seakan tidak tersisa ruang untuk memandang bahwa pendidikan pada hakikatnya justru adalah untuk menjadikan seseorang lebih bijak dalam memahami hidup dan kehidupan; dewasa dalam berpikir, bersikap dan bertindak; lebih manusiawi, serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dan ketika filsafat memang lebih berat dan menitikberatkan kajian dan pembelajarannya pada hidup dan kehidupan serta ilmu pengetahuan, maka ia menjadi tidak dianggap dalam paradigma pendidikan kapitalis.

Filsafat dapat dipahami sebagai sebuah bidang kajian akademik dan jalan hidup. Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinyatakan sebagai the mother of science (induk segala ilmu pengetahuan), filsafat menjadi hidup ketika dilestarikan dan dikembangkan secara akademik, yakni dengan dikaji dan dikritisi, serta ditransfromasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sebagai jalan hidup, laku hidup, maka ia cukup telah menjadi mulia sebagai pandangan hidup saja. Dengan begitu menjadi filsuf sebenarnya bukan obsesi intelektual ketika dimaknai sebagai cara pandang tentang kehidupan yang akan menjadikan seseorang yang memelajarinya menjadi lebih bijak.

Oleh karena itu, pada akhirnya timbul pendapat bahwa jika dengan lelaku keseharian seseorang sudah dapat memahami kehidupan dan menjadi bijak, maka untuk apa belajar filsafat secara akademik? Justru ketika filsafat dinyatakan sebagai telah melingkupi segenap kehidupan ini, walaupun ini mungkin tidak disadari oleh orang-orang yang tidak mencoba memahami kehidupan secara hakikat, maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang privat dan publik sehari-hari, dan oleh karena itu secara tidak langsung pada hakikatnya dalam keseharian kita telah berfilsafat. Inilah alasan substansial mengapa seseorang enggan belajar filsafat dalam konteks sebagai sebuah kajian keilmuan yang “diklaim” memengaruhi segala hal.

Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa seseorang belajar filsafat untuk menjadi filsuf, yang nantinya akan mengajar filsafat kepada seseorang yang belajar filsafat, dan seseorang ini pun akan menjadi filsuf yang kelak akan mengajar filsafat pada generasi selanjutnya. Jadilah semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun selama ini filsuf dipandang produknya hanya buku, artikel ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran, gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk modal materi.

Selama ini belum banyak institusi sosial yang memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemen-departemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun lambat laun peminat berkurang dan pada akhirnya semua program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang filsafat pada universitas-universitas eks IKIP tersebut.

Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak pernah mencari lulusan filsafat atau filsuf untuk menjadi dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat di situ, apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah, program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah intelektual dan sekadar menjalankan rutinitas akademik yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis, yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat, bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi, wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk gairah untuk terus belajar dan menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada.

Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial termasuk institusi pendidikan sudah tak merasa memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para filsuf akan menjadi makhluk langka yang kian puah, dan pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan tanpa adanya filsuf.

Edi Subkhan, penulis kehidupan


Sabtu, Juni 14, 2008

IMPIAN PARA PEREMPUAN

Oleh :Aliftah Ahadiyah

Setiap manusia punya impian. Tak terkecuali perempuan. Mereka berfikir, merasakan dan berpartisipasi dalam peradaban. Perempuan diibaratkan sebagai sebaik-baiknya perhiasan. Selain itu, perempuan juga disimbolkan sebagai tiang negara.

Saya tertarik untuk bertanya kepada beberapa orang perempuan tentang impian mereka. Ditengah derasnya arus feminisme dan kesetaraan gender, pada dasarnya perempuan ingin tetap hidup sesuai kodratnya. Menikah, melahirkan, menyusui dan mendidik anak-anak mereka. Meskipun berkarir adalah salah satu impian mereka, ini tidak lain karena para perempuan ingin mandiri, ingin beraktualisasi diri dan dihargai sepenuhnya.

Pada umumnya, perempuan sadar, kaumnya termarginalkan. Itu karena faktor-faktor yang mendukung kesana. yang terlalu sempit kalau hanya dijelaskan disini. Yang pasti, beberapa perempuan seakan-akan mendukung memarginalkan kaumnya. Namun, diluar itu, setiap perempuan punya impian yang sama. Impian untuk menjunjung martabat kaumnya, menjunjung tinggi kodratnya.

Berikut ini beberapa pendapat perempuan tentang impian mereka:
" Impianku menjadi istri dan ibu yang baik."(Rose, 21th)
" Kalau yang aku impikan sebagai perempuan ga muluk-muluk banget. Ku cuma pengen sukses entah itu di rumahtanggaku, entah dalam karir trus juga dalam hubungan spiritualku dengan Allah. Itu aja."(Eggsi, 20th)
" Yang aku impikan sebagai seorang perempuan adalah perempuan yang bisa menjadi istri dan ibu yang baik dalam keluarga. Menjadi perempuan yang tegar dan tangguh."(DeKa, 20th)
" Yang ku impikan , ga dianggap lemah ma cowo!karena qt sebagai perempuan juga bisa. Ya, walaupun mang basicnya qt lebih lemah tapi qt juga bisa kalau punya niat dan tekad."(Green, 20th)
" Aku pengen bisa jadi ibu rumah tangga yang baik dan sukses dalam berkarir."(Dear, 21th)
" Jadi perempuan seutuhnya, dihargai sebagai perempuan, jadi yang lebih dari perempuan lain.bersinar dalam hidup, keluarga, karir dan semua peran yang dipegang sebagai perempuan, jadi cahaya buat semua insan.(Riha, 20th)
" Impianku jadi wanita karir dan ibu rumah tangga yang baik buat keluarga."(Leea, 21th)
"

Pada dasarnya, setiap perempuan mempunyai tiga impian yang sama. Menjadi istri yang baik, menjadi ibu yang baik dan berkarir. Namun, apakah impian tersebut hanya sekedar impian saja atau memang sebuah tujuan hidup. Dalam hal ini, banyak perempuan yang terhenti meraih impian-impian tersebut karena ketidakberdayaannya menghadapi kenyataan.Berapa banyak istri yang tidak hormat pada suaminya, tak menyusui karena takut ga seksi, atau kesibukannya berkarir sampai tak memperhatikan keluarga. Hal itu dapat disebabkan ketidakkonsistenan perempuan dengan apa yang menjadi tujuan hidup mereka.

Barangkali ini juga akan terjadi pada perempuan-perempuan yang berpendapat itu. Ketika saatnya tiba, dan impian segera datang tapi mereka tak waspada pada benturan-benturan dalam masyarakat yang gampang saja melibas mimpi-mimpi mereka.Salah satunya tradisi yang membuat sempitnya kesempatan perempuan untuk beraktualisasi diri.

Tetapi, itu semua dikembalikan pada perempuannya sendiri. Benar-benar mau mewujudkan impian itu atau hanya sekedar keinginan tanpa usaha. Karena tak ada manusia yang sempurna. Begitupun perempuan.

Aleev

Tentang Kesehatan Mental Menurut Abdul Aziz El-Quussy

Abdul Aziz El-Quussy melihat kesehatan mental sebagai kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Baginya, setiap tindakan manusia dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar tidak akan keluar dari bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan. Seperti yang dilakukan oleh makhluk hidup lainnya, untuk menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan, serta mempertahankan jenis. Demikian juga dengan manusia yang melakukan interaksi sebagai salah satu bentuk penyesuaian diri yang disebut adjusment. Lebih jauh lagi, Abdul Aziz El-Quussy berpendapat apabila manusia tidak dapat menyesuaikan diri dengan ligkungan bisa dikatakan kesehatan mentalnya terganggu. Untuk memperjelas konsepnya tentang kesehatan mental, contoh sederhana yang diberikannya adalah, jika seseorang ketika berada dalam situasi yang menghadapkannya dengan seekor singa, maka ketakutan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi jika seseorang takut ketika berhadapan dengan binatang yang tak dianggap buas oleh pandangan umum, kelinci misalnya, maka ketakutan seperti itu dipandang sebagai penyesuaian yang tidak wajar.

Abdul Aziz El-Quussy menganalogikan kesehatan mental dengan kesehatan jasmani. Kesehatan jasmani adalah keserasian sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran biasa yang terdapat dalam lingkungan. Keserasian di sini adalah bekerjasamanya fungsi-fungsi jasmani untuk kepentingan seluruh tubuh. Maka dalam keadaan sehat, jangan sampai ada satu bagian anggota tubuh yang bekerja lebih besar atau lebih kecil dari yang diperlukan oleh tubuh. Misalnya kelebihan thyroid gland daripada kadar yang diperlukan oleh tubuh, maka terjadilah exophthalmic goiltre, dan kekurangannya akan menimbulkan myxodema. Analogi ini dikembalikan pada konsep kesehatan mental dengan mengganti kata ”jasmani” dengan kata ”jiwa”, demikianlah Abdul Aziz El-Quussy menjabarkan konsep-konsepnya.

Dari uraian sebelumnya, bahwa kesehatan mental bukanlah sekedar sunyi dari penyakit, karena hal itu tidak cukup mejamin kemampuan manusia menghadapi goncangan-goncangan dalam hidup, dan tidak pula selalu disertai dengan perasaan bahagia secara positif. Tetapi diterangkan juga bahwa kesehatan mental adalah tercapainya kebahagiaan individu. Hasil-hasil perseorangan-jika itu menjadi tujuan-pasti akan berhadapan dengan keinginan orang lain, yang mungkin akan mengurangi atau menghancurkannya. Bukan pula kesehatan mental sekedar usaha kebahagiaan masyarakat, karena tercapainya kebahagiaan mesyarakat tidak selalu menimbuklan kebahagiaan perseorangan. Ini berarti menjaga hubungan sosial merupakan hal penting, sehingga membawa kepada tercapainya tujuan perseorangan tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial. Secara tidak langsung Abdul Aziz El-Quussy menyatakan manusia tidak harus selalu mengikuti masyarakat sebagaimana adanya, akan tetapi juga berusaha mengadakan perubahan di dalamnya untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Yang diharapkan terjadi di sini adalah masing-masing individu dan masyarakat sama-sama berusaha meningkatakan dan pihak lain.


Ahmad Fahmi Mubarok

Rabu, Juni 11, 2008

MATAHAR LELAH

mengapa matahari bisa lelah..?
pohon-pohon meranggas terlalu banyak menuntut.
langit lepas.
awan menepi.
selain kepada malam,
rasa gelisah tak benar-benar ku bagi.

Malik

Selasa, Juni 10, 2008

Batas Kecewa ; Kecewa Tanpa Batas

“......no exist alone. Hunger allows no choice. To the citizen or the police, we must love each another or die”

Seorang sastrawan Inggris, W.H Auden, yang hasil karyanya menjadi salah satu bacaan Chairil Anwar mengatakan demikian. Dalam kalimat tersebut, Auden ingin mengatakan pentingnya saling mencintai antar sesama sebagai suatu hal yang indah, sebuah harapan tentang kedamaian. Tetapi sejak zaman asu ora enak, ketidaksesuaian antara kenyataan dengan harapan adalah sumber dari kekecewaan manusia. Yang perlu digaris bawahi, kekecewaan adalah asal mula dari sebuah konflik. Kembali pada Auden, agaknya kalimat tersebut menjadi sesuatu yang jauh di atas sana, tak tergapai oleh semua manusia, bahkan mungkin utopis untuk masa sekarang ini.

Pada kenyataannya, permasalahan yang terjadi bukanlah saling mencintai atau membenci. Kebanyakan permasalahan di Indonesia lebih kepada hal-hal praksis, hal-hal nyata, bukan pada tingkat gagasan. ”Kesempurnaan” Pancasila dan tujuan pendidikan nasional tak kurang menjadi cerminan tingkat kecerdasan putra bangsa ketika menggambarkan sebuah harapan. Tap MPR No. II/MPR/1993 menyatakan ”Kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani rohani.” Nyatalah bahwa kesulitan kita bukanlah bagaimana menyusun sebuah gagasan yang baik, benar, dan sempurna, melainkan hal yang jauh lebih sederhana dari itu, bagaimana mengatur dan melampiaskan sebuah kekecewaan.

Kekecewaan Massal
Jika melihat secara personal, agaknya memang demikianlah yang terjadi. Tetapi Indonesia bukanlah personal, Indonesia terdiri dari ratusan juta personal yang tak pernah tidak merasa kecewa. Dan kerumitan akan bertambah ketika satu kekecewaan yang dirasakan oleh banyak personal yang dipicu oleh sebab yang sama, sebuah kekecewaan massal.

Dalam pembahasan banyak personal, maka yang berlaku bukanlah aku-kamu-dia, melainkan kita-mereka-kalian. Dalam pembedaan tersebut terdapat konsep tertentu yang pada akhirnya digunakan sebagai pembatas antara kita-mereka-kalian. Batas yang dibuat sendiri menjadi hal penting yang tak hanya bisa mengikat ruang dan waktu, dan pada akhirnya mengikat dirinya sendiri dalam situasi kebingungan. Batas juga menjadi pembeda dan dasar pengelompokan masing-masing personal. Sebuah metafora pun bisa tersentuh oleh batas. Sedangkan dalam konteks ini, Indonesia hanyalah satu batas diantara ratusan bahkan ribuan batas yang ada. Lantang suara Soekarno 63 tahun lalu barangkali telah menyamarkan batas-batas lain yang mengikat dirinya dan kita semua, dia memberlakukan Indonesia seakan-akan sebagai satu-satunya batas. Tetapi pada akhirnya Soekarno pun tak mampu mengalahkan batasnya, batas kesabaran, batas kekuasaan, batas kesehatan, juga batas usia. Demikian halnya Indonesia yang tak bisa mempertahankan (dipertahankan) dirinya, setelah beriring berjalannya masa.

Dalam pembedaan kita-mereka-kalian, terdapat proses sosial yang terjadi di dalam masing-masing batas tersebut. Suatu proses yang melibatkan lebih dari satu personal sehingga mengharuskan adanya kerjasama antara masing-masing personal. Berkaitan dengan hal ini, Goenawan Mohammad mengatakan ”tiap kehendak bekerja sama mengandung kesadaran akan batas—kata lain dari kerendah-hatian”. Selain meneguhkan ”kecerdasan” manusia Indonesia dalam menyusun gagasan yang indah, Ia juga berusaha menganjurkan untuk menyadari masing-masing batas dan keterbatasan diri dalam bentuk kerendah-hatian. Mungkin Ia lupa bahwa ”kerjasama” juga mengikat dirinya dalam sebuah batas, batas yang kembali membedakan antara kita, bukan mereka, atau kalian.

Dunia Tanpa Batas
Dalam konteks kekinian, FPI, Ahmadiyah, Aliansi Kebangsaan, hanyalah beberapa dari banyak batas yang mengikat. Masing-masing pihak semakin menebalkan batasan yang diyakininya, sekaligus menyamarkan batas lain. Hal inilah yang menjadi titik persamaan, sebuah tuntutan untuk menghilangkan salah satu batas, sehingga menumbuhkan dunia dengan hanya satu batas. Selain itu, simpulan bahwa kesulitan Indonesia ketika mencoba mewujudkan sebuah gagasan, juga diambil dari apa yang terjadi di sini. Batas personal yang ditempatkan pada batas komunal, batas dalam konteks kemanusiaan yang diterapkan dalam sebuah gagasan, batas kekerasan yang telah terkhianati, menunjukkan kemampuan untuk menempatkan suatu batas sesuai dengan batasnya bukanlah menjadi kepandaian kita. Sampai disini permasalahan terasa begitu pelik. Namun satu hal lagi, bahwa bukan berarti batas bukanlah sesuatu yang kekal dan benar-benar luar biasa. Pada akhirnya batas akan terkalahkan oleh batas lainnya. Polemik yang sekarang ini terjadi mungkin akan tergantikan oleh polemik lain, dengan batas-batas lama yang dibarukan. Maka dari itu dunia tak harus menghilangkan batas, batas adalah atribut kehidupan manusia.

Selanjutnya, pernyataan diatas bukan tak terbantahkan. Keberagaman tafsir memungkinkan adanya kesan pesimis dan bahkan nihilis yang akan terbaca dari sana. Maka dalam batas inilah, apa yang dilakukan oleh semua pihak sebagai upaya memperjuangkan sesuatu tak harus di cela dan di cekal. Memberikan ruang dalam batas kita untuk disinggahi oleh batas lain, selain itu, seperti dalam lagu 80-an berjudul ”kadarwati”, terucap syair ”bersama kita siapkan kecewa”, juga merupakan usaha kecil lain yang bisa menjadi opsi untuk ”chaos yang teratur”.


Ahmad Fahmi Mubarok