online degree programs

Jumat, Agustus 05, 2011

Komunitas Embun Pagi "Generasi" ke Berapa dan Mau Jadi Apa?

Pada mulanya adalah kegelisahan dan harapan yang menjadikan beberapa orang pilihan tersebut bertemu dan diskusi. Pertemuan diadakan tiap malam hari Selasa Kliwon hingga kelompok tersebut familiar disebut sebagai perkumpulan Selasa Kliwon. Pertemuan itu diadakan di rumah Soerjomentaram atau dikenal sebagai Ki Ageng Suryomentaram. Sembilan orang anggotanya selain Ki Ageng Soerjomentaram dan Soetatmo Soeriokoesoemo adalah: Pronowidigdo, Prawirowiworo, R.M. Gondoatmodjo, B.R.M. Soebono, Soerjopoetro, Soerjoadipoetro, R. Soetopo Wonobojo, Soerjodirdjo, dan Soewardi Soerjaningrat.

Disebut orang pilihan karena mereka adalah elite intelektual waktu itu, Soewardi Soerjaningrat baru kembali dari pembuangannya yang sekaligus ia gunakan sebagai cara untuk mempelajari sebanyak-banyaknya pengetahuan—terutama pendidikan—di negeri Belanda, Gondoatmodjo adalah pemimpin Budi Utomo yang bekerja pada komite perkumpulan beasiswa Dharma Wara dan mewakili Paku Alam pada komite nasional dalam membentuk Dewan Rakyat, Soetatmo juga mewakili Paku Alam, Soetopo Wonobojo aktif juga di Budi Utomo dan lain-lainnya yang hampir semuanya terkait dengan Budi Utomo dan Paku Alam.

Dari perkumpulan tersebut yang paling senior adalah Ki Ageng Suryomentaram, ia sekaligus adalah pemimpin kelompok Selasa Kliwon. Ki Ageng Suryomentaram lahir sebagai anak raja Yogyakarta, yakni Hamengku Buwono VII, namun ia lebih memilih keluar istana dan bersatu dengan rakyatnya menjadi petani biasa di desa, ia juga kemudian meletakkan gelar kebangsawanannya dan memakai gelar “Ki”. Senior berikutnya adalah Soetatmo Soeriokoesoemo dan tentu saja Soewardi Soerjaningrat yang sudah tenar ketika pada Juli 1913 protes pada pemerintah Hindia Belanda soal perayaan ulang tahun kemerdekaan Belanda dari Napoleon Bonaparte.

Dari perkumpulan itulah pada 3 Juli 1922 Perguruan Taman Siswa lahir sebagai gagasan dari Soewardi mengenai perlunya pendidikan bagi rakyat, ia merumuskan tujuh butir tujuannya dalam mendirikan Taman Siswa yang kemudian menjadi formulasi yang tidak bisa diubah dan harus dihormati. Pada 31 Desember 1922 Soewardi bermusyarah dengan Soetatmo untuk menentukan karakter dan aktivitas Taman Siswa ke depan, hingga pada 6 Januari 1923 Soetatmo mengundang para pemimpin Taman Siswa ke kediamannya untuk membentuk Komite Sentral (Instituutraad) dengan Ketua Satu dijabat oleh Soetatmo Soeriokoesoemo, Ketua Dua oleh Soerjopoetro, Sekretaris oleh Soewardi Soerjaningrat. Pada pertemuan itu Taman Siswa ditegaskan sebagai sekolah untuk mendidik rakyat. Begitu Taman Siswa berdiri, kelompok Selasa Kliwon membubarkan diri…[1]

***

Pada pertengahan tahun 2007 segerombolan anak-anak muda berkumpul, ngobrol ngalor-ngidul tak tentu arah, yang jelas satu yang mengemuka: kegelisahan, harapan, pertanyaan-pertanyaan, protes, dan imajinasi tentang masa depan yang tidak jelas. Tiap Selasa malam mereka kumpul di kost saling bergiliran, mendiskusikan hal-hal yang mungkin remeh-temeh, hal yang paling riil sampai yang paling abstrak dan tidak mungkin nyantol dalam benak mahasiswa awam waktu itu: filsafat! Lalu kemudian tiap pertemuan dibuat tema-tema tertentu, tema pertama tentang ideologi, kedua tentang politik, pendidikan dan seterusnya. Tanpa harus disuruh bagi yang berlebih kantongnya akan siap sedia membawa cemilan, mengikhlaskan diri menyeduh kopi susu untuk bekal ngobrol sampai pagi, atau sekadar berkreasi seni membuat bulatan-bulatan kepulan asap dari rokok yang sampai sekarang saya tidak pernah bisa melakukannya hmmm…

Penggagasnya kalau boleh disebut adalah (1) Muhammad Taufiqurrohman (Gus Tauf/Santri Sirun), waktu itu mantan Ketua BEM FBS Unnes, mahasiswa sastra Inggris yang memang sejak dilahirkan sudah ditakdirkan untuk cenderung menjadi pengorganisasi yang hebat; (2) Kang Keristiyan Mulyono, mahasiswa FBS juga yang jagoan nyeduh kopi susunya gak ada saingannya (sayang sekarang saya beralih ke susu jahe dan sejenisnya), beliau inilah sobat setia Gus Tauf yang betul-betul setia mendengarkan curhatan atau—mungkin juga—makiannya hehe, Kang Mul—begitu kami biasa memanggilnya—adalah pekerja keras, ulet, tangguh dengan pedoman nilai Jawa kuno “alon-alon asal kelakon”; (3) Kang Hanafi, mahasiswa FBS juga yang saya ingat waktu itu presentasi soal perdagangan karbon, juga seorang ulet pekerja sampai sekarang; (4) lalu seorang “khidzir” yang saya sering sebut “njeng sunan jogokali”, komentar-komentar sufistik-mistiknya selalu telak menghunjam di balik gegap gempita argumen rasional-kritis teman-temen lain; (5) Kang Riboet, cerpenis, penyair, dan budayawan muda yang tak diragukan lagi; (6) Giyanto, waktu itu mahasiswa adalah aktivitas sambilannya, sedang yang utama adalah wirausahawan muda pemilik rental di Sekaran, juga peminat kajian praxiologi; (7) Awaludin Marwan, ketua DPM Unnes waktu itu (dengan segenap kemampuan lobi dan politiknya yang tidak dimiliki kawan lainnya); (8) Kang Malik Abdul Karim, aktivis mahasiswa Muhammadiyah Unnes; (9) Kang Yoghas, legenda aktivis di FBS…dkk-dkk….

Diskusi refleksi kecil 17 Agustus 2010 Komunitas Embun Pagi (Semarang)

Lalu bergabung lagi beberapa kawan lainnya, ada Mas Fahmi Mubarok, mahasiswa Psikologi FIP Unnes waktu itu; Mas Said Muhtar, mahasiswa aktivis jurusan Hukum Unnes, sering datang juga mas Pompi dari HTI, Mas Abdul Haris Fitriyanto (Acong), mahasiswa Psikologi yang juga aktivis BEM FIP, juga akhirnya ikut juga Ucok dan Iqsan, kawan seperjuangan Om Awaludin Marwan di Undip yang sekali dua kali ikut meramaikan diskusi sudah pindah ke Sampangan. Saya waktu itu sampai sekarang hanyalah cantrik setia, yang cita-cita tertinggi saya tidak lebih dari menjadi moderator diskusi, itu saja… (Kalau ada yang merasa kurang silakan ditambahi sendiri orang-orangnya yak..!) Kumpulan anak-anak muda yang betah ngobrol apa saja dari jam 8 malam sampai subuh itu menamakan dirinya Komunitas Embun Pagi, entah bagaimana filsafatnya, semua berhak menafsirkannya sendiri-sendiri (konon begitu kesepakatannya hmm…)

Perioder pertama adalah ketika diskusi tiap Selasa malam dilakukan para penggagasnya masih berdiam di sekitar kampus Unnes, yakni kira-kira pada masa akhir aktivitas kuliah. Periode kedua adalah ketika Gus Tauf dan saya hijrah ke Jakarta untuk belajar disambi bekerja, pada periode inilah kawan-kawan giat menulis di blog yang beralamatkan di: komunitasembunpagi.blogspot.com. Seperti awal mula, banyak hal ditulis dan diskusikan, Gus Tauf karena lanjut studi pada program pascasarjana di UI (ambil kekhususan Cultural Studies) maka satu dua kali nulis soal budaya dari perspektif cultural studies, Giyanto menulis soal ekonomi dan Praxiologi, Luluk (Awaludin Marwan) menulis soal politik, hukum, filsafat dan lainnya, Fahmi dan Haris menulis psikologi dan aktivisme mahasiswa, Kang Yoghas menulis hal-hal yang seakan remeh tapi ternyata bermakna filosofi mendalam, dan lain-lainnya.

Puncak periode ini ditandai dengan peluncuran buku—atau tepatnya “semacam buku”—yang diberi judul “Embun Pagi Nglindur” di FBS Unnes yang dihadiri tiga Guru utama komunitas embun pagi, yakni Prof. Abu Su’ud, Pak Saratri Wilonoyudho, dan Kang Puthu. Pada periode kedua itu juga Luluk ikut melanjutkan studinya di Undip, magister hukum, juga yang tadi belum disebut tapi selalu berminat dalam interaksi dengan komunitas embun pagi adalah Mbak Elin (Nur Amri El Insiyati) juga studi lanjut di UI (ambil magister Psikologi).

Periode ketiga ditandai oleh migrasi aktivitas interaksi sosial dan tulis menulis dari blogspot menuju jejaring sosial facebook. Periode ketiga ini blog makin sepi dan akhirnya sama sekali berhenti tidak ada up date tulisan, bukan berarti tidak ada yang menulis lagi dari kawan-kawan embun pagi, namun semuanya ditumpahkan dalam bentuk catatan-catatan di facebook yang memang memungkinkan untuk lebih bisa diakses dan publikasikan secara luas secara berjejaring ketimbang blogspot. Periode ketiga ini juga banyak yang kemudian studi lanjut, bahkan Luluk kembali memecahkan rekor untuk ambil S2 dua kali, yakni ke Onatie (Spanyol), itu belum lagi Luluk telah menerbitkan buku-buku tentang filsafat hukum yang konon laku keras di kalangan terbatas. Selain itu juga ditandai oleh eksperimen munculnya wujud gerak intelektual yang digagas oleh beberapa kawan, antara lain adalah Sekolah Tan Malaka oleh Muhtar Said, sekolah filsafat oleh Luluk (setelah balik dari Spanyol), eksperimen terakhir bahkan sempat menggandeng Gramedia untuk bedah buku di toko bukunya (jl. Pemuda Semarang), juga diskusi lintas disiplin-lintas generasi yang didukung penuh oleh Prof Tjetjep Rohendi Rohidi di Stonen (Semarang) tiap bulan.

Dan sejarah pun masih berlanjut, masih banyak eksperimen-eksperimen gerakan sosio-kultural-intelektual yang dapat diciptakan oleh teman-teman lainnya sampai sekarang dan nanti….

***

Maksud saya begini: komunitas-komunitas seperti embun pagi adalah komunitas sejenis kelompok diskusi Selasa Kliwon yang didirikan oleh Ki Ageng Suryomentaram, Soetatmo, Soewardi dan lainnya waktu itu, yakni komunitas embrionik yang memang fungsinya adalah untuk melahirkan komunitas-komunitas lain yang lebih spesifik dan jelas gerakannya. Apakah akan bergerak di bidang hukum, politik, pendidikan, budaya atau apa? Kelompok Selasa Kliwon memilih bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa yang digagas awalnya oleh Soewardi, setelah itu kelompok Selasa Kliwon membubarkan diri, karena ibarat tujuan kelompok tercapai maka secara sukarela “harus” membubarkan diri. Tentu pertimbangan dari kelompok Selasa Kliwon untuk memilih bergerak dalam bidang pendidikan—atau bagi saya dapat disebut juga sebagai gerak politik pendidikan—tentu berdasarkan pada analisis kritis kondisi dan situasi sosial, kultural, politik, dan ideologi waktu itu. Apa yang dilakukan oleh kawan-kawan “jebolan” komunitas embun pagi adalah eksperimen serupa, yakni mencoba untuk melakukan gerak yang lebih spesifik, menjadi “intelektual organik” dan “intelektual spesifik” sekaligus.

Mau bereksperimen apa saja tentu boleh, asalkan dasarnya jelas, paham peta politik dan ideologi, keberpihakannya juga jelas. Misalnya gerak sosial yang mau dibuat—entah komunitas diskusi baru, program kursus, gerakan advokasi, wirausaha, dll—harus jelas sasaran dan tujuannya apa? Secara personal, komunitas embun pagi ibarat kawah candradimuka yang mungkin memang tidak melahirkan orang-orang hebat, gerakan hebat atau sejenisnya, mungkin memang kapasitasnya sekadar sebagai “kawah candradimuka” tempat temu kangen, berbagi gelisah dan harapan, saling memotivasi, saling berdebat, dan hal-hal sejenis. Rasanya memang sejak awal sama sekali tidak ada Renstra dan target obsesif bahwa komunitas embun pagi harus jadi komunitas mapan di Semarang, tidak ada! Yang ada hanyalah mewarnai, menjadi bagian dari jejaring komunitas intelektual di Semarang, turut meramaikan, turut menjadi bandul “penyeimbang” dan sejenisnya.

Justru komunitas macam embun pagi inilah yang mestinya dibutuhkan di tengah hampir semua komunitas ingin memapankan dirinya, membangun karakter uniknya sendiri, namun ya itu saja, paling banter yang bisa dihasilkan adalah perhelatan diskusi, seminar, menerbitkan buku, dst, namun tidak mampu menghasilkan gerak sosial, kultural dan politik yang lebih riil secara meluas dan berjejaring. Sekarang mungkin adalah awal dari periode keempat dari komunitas embun pagi, saatnya memikirkan kembali bahwa yang perlu dipikirkan lagi secara serius bukanlah komunitas embun pagi itu sendiri, melainkan komunitas embun pagi akan melahirkan komunitas apa, gerakan sosial apa, partai politik apa (kalau perlu hehe…), sekolah alternatif macam apa, koperasi rakyat jenis apa, advokasi hukum berbentuk apa, pusat studi bidang apa, penerbitan buku genre apa dan lainnya.

Gus Tauf setelah usai studi di Jakarta sekarang ngajar di Unsoed, Luluk setelah lulus dari Undip dan Onatie sekarang mengajar di Unisula, Om Andy Volare sekarang sembari kuliah juga jadi dosen, Om Said sekarang mulai studi lanjut di Undip, Om Haris jadi dosen di FIP Unnes, Om Fahmi studi lanjut di UGM, Kang Malik jadi dosen di Pontianak, Om Giyanto dosen di IKIP PGRI di Palembang, dan lainya (mungkin hanya saya yang masih luntang-luntung gak jelas hehe…). Artinya, masing-masing personal punya perkembangan intelektual, psikologis dan bahkan spiritual masing-masing, secara kolektif juga sudah kelihatan pergeseran gerakan dari mana mau ke mana. Inilah sekali lagi saatnya bagi kita untuk merumuskan keadaan, membaca dan memahami kembali peta sosial, kultural, politik, ideologi sekitar kita, kontemplasi diri untuk memahami kembali juga sampai di mana perjalanan diri personal kita masing-masing, membuat sebanyak mungkin eksperimen gerakan-gerakan yang lebih riil dan konkrit. Bagi saya tentu tidak perlu membubarkan diri sebagaimana kelompok diskusi Selasa Kliwon bubar ketika Taman Siswa berdiri, embun pagi sebagai komunitas atau sekadar sebutan untuk sebuah konsep silaturahmi dan ruang berbagi gelisah dan harapan harus tetap ada, karena dari situlah minimal kita belajar satu sama lain, dan maksimal bisa berbagi ide tentang gerak sosial bagaimanakah yang dapat dibangun entah di Semarang, Purwokerto, Palembang, Pontianak dll….

Saya jadi teringat bagaimana kawan-kawan NGO—atau yang diperhalus oleh Orba menjadi LSM—di Jakarta, mulai memikirkan alternatif lain selain NGO, karena sebagaimana pernah diulas oleh Mansour Faqih (alm.) bahwa NGO sebagai satu bentuk gerakan sosial juga bermasalah, terutama soal pendanaan dan ideologinya. Satu yang dapat digagas mungkin adalah adanya komunitas semacam embun pagi ini yang murni dan berupaya tetap murni sejak dari gagasannya. Namun, bagaimanapun kerasnya keinginan saya atas komunitas embun pagi tersebut, tidaklah tangis tidaklah imperatif…

Tabik,

E.S.

Footnote

[1] Empat paragraf penggalan fakta sejarah di atas diambilkan dari buku Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 103-118.