online degree programs

Selasa, Februari 12, 2008

NILAI POLITIK DAN MIMBAR AKADEMIK


Kurang lebih baru dua minggu blog ini terbit. Tapi saya merasa kesepian, tidak seperti ketika saat diskusi, kita begitu bersemangat. Apakah karena saya yang cenderung suka tergesa-gesa untuk selalu menulis, atau karena disebabkan oleh kegirangan di embun pagi, saya sendiri kurang tahu. Tapi, pikiran saya sedikit was-was mengenai “produktivitas temen-temen di embun pagi”. Bukankah kita di sini sama-sama belajar. Namun saya merasa, bahwa yang nulis cuma itu-itu saja.

Okelah, apa yang dikatakan Kang Taufik bisa saya terima. Mungkin temen-temen punya kendala teknis---karena harus ke warnet dan membutuhkan biaya. Atau barangkali seperti yang dikatakan Edi, mungkin kita kurang percaya diri untuk mengungkapkan gagasan kita. Apapun alasannya, saya merasa temen-temen itu mandul!!!

Kambing hitam yang bisa saya salahkan sementara mungkin budaya kita. Entah itu budaya apa, atau nilai-nilai tertinggi dalam hidup kita, dan itu pun nilai apa, yang tahu ialah pribadi kita masing-masing.

Begini, kita disini tidak mencari kebenaran maupun pembenaran, akan tetapi di blog ini, setidaknya ketika masih belia, kita memiliki cukup banyak kesempatan untuk saling belajar, berbagi, bertinteraksi, ataupun berkorespondensi. Dan harapan sangat tinggi saya pertaruhkan di pundak temen-temen untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasannya demi mewarnai kehidupan sosial dan pribadi kita agar dapat, setidaknya bisa dikatakan “intelektuil”, kalaupun itu sulit dicapai setidaknya untuk bisa bersenang-senang.

Menarik untuk mengomentari hasil poling sementara. Dari pilihan pertanyaan, sangat jelas bahwa kita memang lebih banyak tertarik dengan kajian politik. Walaupun dalam setiap tulisan tidak semuanya mengkaji politik. Akan tetapi wacana-wacana yang sering kita lontarkan lebih banyak didominasi “wacana kritik kuasa”. Artinya, secara keseluruhan bahwa dalam frame berfikir, kita selalu mengacu pada persoalan politik. Seolah-olah setiap situasi, kesalahan bertitik awal pada interaksi antara yang kuasa dan yang dikuasai. Saya tidak bermaksud menyalahkan kerangka berfikir yang demikian, akan tetapi apakah tidak ada alternatif cara berfikir yang lain?

Kedua, barangkali kita memang hidup dikampus yang memiliki budaya bahwa nilai politik lebih tinggi daripada nilai-nilai ilmiah, semisal kebebasan berpendapat, yang menghargai inovasi-inovasi atau gagasan-gagasan kritis. Anehnya, guru besar kita yang duduk di ruang senat tidak memiliki patokan-patokan yang jelas mengenai seorang rektor yang “ideal”. Yang menurut kriteria saya minimal bisa baca tulis. Dan rektor kita sekarang, yang bukan hasil pilihan kita, benar-benar buta huruf. Menyedihkan!!!

Singkatnya, nilai tertinggi dari lingkungan dimana kita belajar menurut saya sangat berpengaruh. Dengan kata lain, lingkungan kita menjadikan pikiran kita tidak sehat. Ironisnya, itu merupakan kampus kita, dimana seharusnya kebebasan mimbar akademik ditegakkan.


*Giyanto: Mahasiswa Unnes




4 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya, Gik...ntar saya akan buat makalah tentang ruang publik pendidikan yang salah satu bahasannya menyangkut kebebasan akademik yang mestinya diakomomodasi dalam konsep mimbar akademik/mimbar bebas akademik. Itu belum menjadi tradisi dalam dunia kampus kita, ruang publik kampus kita masih diisi oleh sentimen politik dan agama, hingga khawatir kebebasan berbicara dan menjadi kritis lewat akomodasi ruang publik dalam kampus menjadi sarana perlawanan pada hegemoni kekuatan intelektual dominan.

Mahasiswa mesti berada di garda depan dalam memperjuangkan ini mestinya, tapi sayang ada mahasiswa yang juga jilat sana jilat sini tuk cari karier di kampus lewat orgnisasi mahasiswa intrakampus, dan tentunya mereka tak berani meng-goal-kan membuat ruang publik untuk berintelektual ria, karena seperti sejarah Amerika yang mana ruang publiknya begitu menentukan masa depan bangsa, yang juga banyak dipengaruhi oleh media dan pencitraan diri (lihat kasus Obama), maka ruang publik bisa menjadi alat legitimasi politik untuk mengambil alih kekuatan dominan pihak intelekutal yang berkuasa.

Kira-kira begitu sederhananya, selamat berjuang sahabat-sahabat!

Edi Subkhan, di Jakarta

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

luluk bercanda
Mainset kita memang berbeda...tapi itulah kita bak taman dengan beragam bunga, smakin indah to. yang penting tetap solit dan sohib to yaw.
Politik menurut saya merupakan suatu hal yang tak bisa dipisahkan menjadi sebuah sistem yang berdiri sendiri. Tapi politik sebuah sub sistem dari sebuah sistem besar kehidupan disamping hukum, ekonomi, sosial (teori sibermatikanya Talcot Parson ituloh). Itu secara teoretis
Dari sisi fakta, smakin kita jauh dari ranah politik maka smakin jauhnya kita bisa memberikan pengaruh akan arti pentingnya pemahaman "baik, benar, tepat" pada elit dan sistem yang sudah bobrok. Sama halnya juga ketika kita juga menentukan pilihan untuk hidup menyendiri di sebuah pulau tanpa penghuni. Banyak Lembaga Internasional memberikan perhatian pada sebuah "prinsip keseimbangan". Itulah sebenarnya vision yang sejati, keseimbangan artinya bisa adil, tanpa dominasi baik pemerintah atau sipil. Maka upaya untuk mencapai keseimbangn perlu galakkan mulai saat ini.
Kita melihat, siapa sih yang lebih berat saat ini?apakah pemerintah atau masyarakat? dari pelanggaran HAM (makanya saya nulis kajian HAM), sumber daya yang dimiliki minimal bisa kita lihat siapa yang kuat. dari sinilah lahir sebuah pilihan kira-kira kita ingin menguatkan pemerintah atau masyarakat...upaya penguatan inilah yang kadang kental akan warna politik...

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

Luluk bercanda
anti partai politik, sebuah semboyan yang bagus di tengah transisi demokrasi indonesia yang saat ini masih rapuh dan dipenuhi dengan ketidak pastian.
partai bagi mirriam budiardjo sebuah alat yang miliki pengaruh kuat dalam penataan dan perubahan kehidupan bersama.
Pertanyaan yang cukup dasar, apakah tanpa partai kita tidak bisa melakukan perubahan ?
Jelas bisa!!!!!1955, 1998 kita kalangan pemuda menggulingkan rezim yang pada saat yang bersamaan partai banyak yang cuci tangan.
Jadi fungsi sesungguhnya balancing power, agent of change, and pressure adalah kita emelem masyarakat sipil. Partai hanya formalitas melalui legislatif seolah-olah manjalankan fungsinya menurut UU tapi ya akhirnya UUD (ujung-ujungnya duit). bwahahahahahahahahahahah 10X

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas komentarnya, sekarang saya bebas di kios saya sendiri, itu menurut saya "mimbar akademik sementara". Saya bangga dan bersyukur punya sahabat kalian...thank!!!