online degree programs

Jumat, Januari 30, 2009

Rekor Masuk Neraka


Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).

Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang dan hukum negara.

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita.

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada ”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram.

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa.

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat.

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar’i, berhak menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu?

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.

Emha Ainun Nadjib, ....diambilkan dari Seputar Indonesia (Jumat, 30/01/09)

Catatan pemosting: Nuwun sewu Cak untuk kesekian kalinya saya terpaksa posting artikel jenengan di blog kami ini, smoga dimaafkan...lagian khan tidak mengurangi royalti jenengan di Sindo tho hehehe.... Wadhuh Cak, refleksi jenengan ini kok rasanya mengingatkan saya pada genre tulisan jenengan Cak, yang di Markesot dan Slilit Sang Kiai itu loh, hehe... ruuueeennyaaaaahhh banget!!! Saya jadi bertanya-tanya Cak, klo jenengan masuk neraka karena merokok dan di sana enak-enakan, kangen-kangenan sama Mbah Siroj, Buya Hamka, dan mungkin juga Gus Mus (nuwun sewu Gus) lha apa saya mesti jadi perokok juga biar dapat turut bersilaturahmi di neraka dan mendengarkan jagongan Cak Nun sama beliau-beliau itu?? Rasanya mungkin gini, orang masuk neraka yang mana khan karena sebabnya apa, klo orang masuk neraka karena sebab merokok dapat dipastikan ia akan dikumpulkan ditempat -di neraka itu- sama mereka yang masuk karena merokok juga, lha klo saya pengen kumpul sama jenengan itu artinya saya khan mesti juga merokok Cak hehehe.... Whaduh kok rasanya saya jadi gak enak di surga klo temen-temen saya di neraka, gimana ya caranya biar saya juga turut di neraka saja, silaturahmi sama beliau-beliau itu... suwun

Edi Subkhan, pemosting....

Senin, Januari 26, 2009

Buah Cerita dari Lasem di Hari Imlek

Siang ini, setelah perjalanan dari Surabaya, saya berkesempatan melewati kota tua di ujung timur propinsi Jawa Tengah, kota Lasem. Kota ini memang tidak asing bagi saya karena selama tiga tahun, dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, setiap pagi dan sore saya selalu melintasi kota ini dalam rangka berangkat dan pulang dari SMA di kota Rembang. Sungguh sebuak kenangan yang selalu lekat dalam benak saya sampai hari ini. Dan hari ini, kembali saya melintasinya sekali lagi. Sepanjang jalan di Lasem sampai dengan kota Rembang, ada sesuatu yang menarik dalam penglihatan saya. Di sisi jalan, banyak sekali mobil-mobil ber-plat jauh, misal H (Semarang), L (Surabaya) dan B (Jakarta) terparkir dengan rapi. Bukan sembarang mobil, mobil-mobil ini tidak mencerminkan keadaan lazim karena sebagian besar dari mobil ini adalah mobil mewah. Sepintas lalu saya melihat Mercedez Benz seri C dan E berdampingan dengan Kijang Innova (kalau tidak salah versi automatic). Kemudian saya lihat pula beberapa sedan BMW keluaran baru, Toyota Camry dan Harrier, bahkan sebuah Ford Everest. Disamping itu tentu saja berbagai macam mobil kelas MPV macam Isuzu Panther Touring, Suzuki APV dan beberapa city car seperti Honda Jazz, Toyota Yaris dan Suzuki Swift. Lasem siang ini bagai showroom terbuka mobil new middle/high-end, bersanding dengan dokar, bus mini dan becak yang memang sudah merajai jalanan Lasem sejak dahulu kala.

Tentu saja bukan mobil-mobil ini yang hendak saya ceritakan, melainkan fenomena yang menyebabkan kehadiran mobil bawaan teknologi dan peradaban modern tersebut. Hari ini, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, Lasem –dan kota-kota pesisir utara pulau Jawa seperti Tegal, Pekalongan, sampai dengan Tuban, Gresik dan Surabaya, saya pikir- memang menjadi kota tujuan mudik masyarakat suku Tionghoa. Sejak berabad-abad silam, Lasem memang terkenal sebagai tanah leluhur suku Tionghoa. Di kota ini masih bisa banyak dijumpai rumah-rumah yang dibangun dengan motif budaya arsitektur cina yang sangat amat kental. Bangunan ini rata-rata di bangun pada pertengahan abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 dan sekarang berubah fungsi menjadi gudang atau gedung tua yang sekadar dihuni oleh beberapa orang kerabat saja. Hanya sedikit yang masih terawat. Saya pernah menemani Ayah –yang seorang penggemar tanaman hias- mencari pot-pot cantik yang dijual di sebuah rumah kuno tersebut. Begitu memasuki halamannya, serasa saya disedot ke dalam sebuah mesin waktu yang melemparkan saya barang seratus tahun kebelakang, pada masa kejayaan para Cino Lasem tergambarkan pada bentuk bangunan, perabot, dekorasi dan ukiran yang menghiasinya.

Maka hari ini, untuk menghargai leluhur mereka, masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi konglomerat di berbagai kota, bahkan sampai Singapura, Australia dan Kanada, mudik ke “kampung halaman” mereka. Di komplek pemakaman Tionghoa Gunung Bugel, beberapa kilometer sebelah selatan Lasem, mereka berkumpul untuk sekadar melihat sekeliling atau khusuk berdoa di depan makam leluhur mereka, mungkin dengan menyalakan beberapa dupa. Moment sekali dalam setahun ini tampaknya benar-benar dimanfaatkan, tak beda dengan budaya nyekar pada bulan ramadhan yang dilakukan masyarakat muslim di daerah Lasem ini. Kesibukan memang mulai terasa sejak beberapa hari belakangan. Seorang teman di Surabaya mengatakan bahwa saya datang di waktu yang tidak tepat, karena ia dan keluarga hendak merayakan “Lebaran Cina”. Ia harus mempersiapkan segala sesuatu, mungkin berupa pernak-pernik, penganan dan berbagai macam kue yang menjadi ke-khas-an Imlek. Mereka sekeluarga hendak berbelanja di Pasar Atom, katanya. Dan benar saja, ketika saya melintasi Pasar Atom, daerah ini sudah penuh sesak dijejali masyarakat, Tionghoa dan Jawa berbaur, entah untuk membeli atau melihat apa. Saya tidak sempat menelisik barang khas Imlek apa saja yang dijajakan di pasar ini. Saya hanya sempat berkelakar dengan seorang penjual di kios kelontongnya, bahwa seandainya pemerintah hendak mendirikan PLTN di Surabaya, maka tidak usah bingung-bingung lagi untuk mencari bahan bakunya. Pemerintah bisa mendapatkannya di Pasar Atom dengan melimpah ruah… “Lhoh? Dak bissa, Dek. Dak bolleh bangun Nukler ndek sinni. Ditollak samma arek-arek, nanti…”. Saya menebak penjual tersebut berasal dari pulau Madura.

Kembali ke bahasan Lasem, moment tahun baru Imlek memang menjadi momen khusus, paling tidak tujuh tahun belakangan ini. Imlek sebetulnya bukanlah acara yang betul-betul baru, karena sebelum tahun 1966, momen ini bahkan dirayakan bahkan lebih semarak daripada tahun-tahun ini. Namun sejak tragedi nasional tahun 1965, Imlek menjadi hal yang tabu, bahkan dilarang, sekalipun tidak ada satupun kaitan secara historis-ideologis antara Imlek dan tragedi tersebut. Kemudian, di era yang sudah lumayan terbuka kali ini, sedikit atau banyak Imlek menjadi berkah tersendiri buat Lasem, karena paling tidak, dari segi ekonomi, cipratan uang bisa didapatkan dari belanja “saudara jauh” yang setahun sekali mampir di kota ini. Menganalisis hal tersebut, ingatan saya tertuju pada masa sekitar tahun 2005, dimana saya bersama “saudara sinoro wedi”, mas Ahmad Syaifudin yang sekarang menjadi staff pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang, melakukan penelitian mengenai akulturasi masyarakat Jawa dan Tionghoa di Kota Semarang. Penelitian ini, dengan segala kelemahan metode dan analisisnya karena kekurangtahuan penulis, membuka pemahaman saya mengenai betapa masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Semarang yang mungkin bisa menjadi semacam cerminan untuk kota-kota lain di pulau jawa, terikat erat oleh suatu budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dan asimilasi, melebur membangun pola kebudayaan masyarakat Semarang sekarang. Paling tidak, moment-moment yang secara khas dilakukan oleh masyarakat Tionghoa, juga dinikmati dan dirasakan pula oleh masyarakat Jawa layaknya budaya sendiri, begitu pula sebaliknya. Sungguh sebuah kejujuran kemanusiaan yang tidak bisa dipungkiri, kecuali oleh iri-dengki dan tamak-serakah yang membutakan hati berbalut kesombongan dan eksklusifitas. Penelitian yang kami lakukan itu, sekalipun hanya membidik bidang sosial budaya dan sedikit analisis ekonomi sederhana, sepertinya dapat membuktikan bagaimana sebenarnya masyarakat Jawa dan Tionghoa di kota Semarang pernah lahir, besar dan tumbuh dalam nuansa kebersamaan. Pola-pola seperti ini yang mungkin bisa menghapus luka –jika itu dikatakan luka- akibat pergesekan yang pernah terjadi yang sebetulnya lahir dari dramatisasi dan kambinghitam anasir politis belaka. Pendekatan-pendekatan budaya yang misalnya dalam bentuk kesenian dan forum-forum kebersamaanlah, yang saya yakini bisa membangun dialog antar tokoh, antar warga untuk mengikis habis tembok kepicikan pandangan satu sama lain. Saya pernah sangat akrab –bahkan sampai saat ini- dengan seorang wanita Tionghoa yang anggaplah sebuah kebetulan saja pernah juga menjadi dosen pembimbing saya dalam menulis skripsi. Tetapi lebih jauh, saya menggaris bawahi bahwa keakraban kami justru terasa dalam karena kami sering melakukan diskusi mengenai berbagai hal, terutama hal antara Jawa dan Tionghoa. Ia berulang kali memberikan kesematan pada saya mengikuti acara-acara budaya Tionghoa dimana ia menjadi panitia atau pemrakarsanya. Oleh karena itu beberapa kali saya sempat berdialog, walaupun singkat dengan tokoh Tionghoa untuk memahami bagaimana pandangan mereka mengenai disharmoni ini. Ia pula, dengan lugas, mengungkapkan bahwa kesalahpahaman dan kekolotan pemikiran ini harus segera dilenyapkan. Dua etnis anak ibu pertiwi bernama Indonesia Raya ini, yang kebetulan digolong-golongkan oleh ilmu pengetahuan menjadi ras yang berbeda, harus membangun kesepahaman dalam hati, bahwa segala daya dan upaya harus dilakukan untuk memuarakan kesimpulan pada kemanusiaan, kemudian berlanjut pada kebangsaan. Semua itu, saya tambahi, hendaknya diawali dan dimotori oleh generasi muda dari kedua pihak.

Pada masa-masa tenang seperti ini, memang mengungkapkan topik ini justru terkesan mengungkap-ungkap kembali ketenangan yang telah ada, menyingkap-nyingkap kedamaian yang telah “terjalin”. Tapi perlu diingat, siapa yang menyangka bahwa Mei 1998 akan menjadi kerusuhan rasial ? Siapa yang menduga Februari 1980 di Solo berubah menjadi pengungkapan kesumat kebencian ? Siapa yang memprediksi bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, harga minyak tanah naik seratus rupiah saja, telah terjadi huru-hara antar etnis berujung pembakaran di kecamatan Sarang dan Kragan kabupaten Rembang? Inilah api dalam sekam. Api yang diciptakan dengan sangat efektif sejak berabad silam oleh kolonialisme, disimpan dalam sekam kesenjangan-kecemburuan kronis berbalut kepicikan dan kebodohan membaca sejarah. Inilah api dalam sekam, yang pada masa tahun pemilu ini bisa dipolitisir untuk meraih simpati dan mendulang suara yang biasanya lantas dilupakan begitu saja begitu hajatan usai, atau disulap menjadi pematik kekacauan jika memang diperlukan untuk merebut kekuasaan.

Biarlah api menjadi api, dan sekam menjadi sekam. Keduanya, paling tidak, bisa disandingkan dalam kandang lembu untuk perapian dan cadangan pangan, jika memang Indonesia saat ini tidak lebih dari kandang lembu belaka.

Sugeng warso enggal kagem sedherek Tionghoa, mugi dados berkah tumraping sedoyo. Waallohu a’lam, bi showab.

Semarang, 26 Januari 2009.
Yog, ardiansyah_jfc@yahoo.com

Kamis, Januari 22, 2009

Pesta Rakyat

Indonesia dalam waktu dekat akan mengadakan pesta demkorasi -lebih indahnya disebut dengan pesta rakyat-. Karena dalam pesta rakyat ini, harapan perubahan untuk menjadi yang lebih baik, pada diri setiap orang akan dipertaruhkan. Setidaknya itulah yang di terapkan dalam masyarakat Amerika saat menghadapi pesta demokrasi.

Jika kita berbicara masalah demokrasi tentu tidak akan pernah lepas dari hal yang namanya ”politik”. Karena politik adalah alat yang menjalankan roda demokrasi agar bisa berjalan dengan mulus. Apesnya politik telah dimaknai sebagai cela ketimbang keluhuran(Robet&Ronny .2008).

Dalam pemikiran kedua tokoh tersebut dilandaskan pada suatu realita dalam sebuah perpolitkan. Saat ini politik bisa dibaratkan dengan kerusuhan dan pembohongan publik. Ini bisa dilihat pada kasus kerusuhan pilkada di Maluku Utara yan telah memakan ratusan jiwa, sehinggga banyak orang yang mengungsi ketempat lain.
Kerusuhan bisa terjadi disebabkan, calon pejabat masih menggunakan uang untuk merebut seuara rakyat. So..ketika mereka kalah dalam persaingan di Pilkada dalam benak mereka akan selalu merasakan dirugiakan.

Di Indonesia politik uang masih dominan walaupun sudah di larang dalam peranturan perundang-undangan pemilu, walaupun politik uang itu dikatagorikan sebagi pelanggaran pidana dalam pemilu, namun tetap saja masih berperan sentral dalam pemenangan pemilu.
”Politik uang merupakan cara yang digunakan caleg untuk mempengaruhi pemilih. Namun, kelemahan dalam peraturan tentang praktik politk uang ini adaah sulit dibuktikan(Fahmi, Kompas,3/1/2009:4).

Selain menggunakan uang para calon pejabat tersebut juga menggunakan politik citra, semua pada berlomba-lomba memmbangun citra yang baik dimata masyarakat, ini bisa kita lihat dengan strategi yang dilakukan oleh SBY. SBY Mempolitisir kebijakan tentang penurunan harga BBM. Penurunan harga BBM tersebut dijadikan alasan sebagai kesuksesan era kepemimpinnya. Bahkan beliau mengklaim itu adalah keberasilan Partai Demokrat yang dibinannya. Di Istana Kepresidanan juga dilakukan biruisasi seperti kuningisasi milik Golkar orde baru. Tanda pengenal wartawan yang dulu warnanya didominasi warna merah sekarang diganti dengan warna biru begitu juga dengan karpet-karpet yang ada di istana diganti dengan biru semua. Itulah yang digunakan SBY untuk mengenalkan Partai demokrat yang beground-nya adalah warna biru.

Runtuhnya Rezim Gusdurisme

Menjelang pesta demokrasi juga diwarnai pembuangan para tokoh lama didunia partai politk seperti gusdur, sungguh aneh, Gusdur yang nota bene dulu adalah pendiri PKB sekarang tidak terlihat dalam struktur organisasi PKB yang di ketuai oleh Muhaimin, padahal PKB bisa besar karena kharisma beliau.

Perpecahan ditubuh PKB dimanfaatkan oleh partai lain seperti PDI-P untuk mengambil suara dari PKB yang taat pada gusdur, dan tawaran itu di tanggapi baik oleh Gusdur. Gusdur menyarankan kepada pengikutnya agar berkoalisi dengan PDI-P. Memang dalam lembaran historisnya Gusdur mempunyai ikatan yang baik dengan Megawati.

Sangat sulit untuk bisa mebaca pikiran gusdur, tersirat dalam pikiran penulis, Mungkin peristiwa di tubuh PKB adalah isarat akan runtuhnya rezim Gusdur atau bahkan Gusdur dengan sengaja meruntuhkan dirinya sendiri karena sudah bosan dengan arena perpolitikan dan hanya ingin terjun ke dunia Intlektual lagi.

Muhtar Said
Mahasiswa Hukum Unnes SMester 6

Senin, Januari 19, 2009

“KUIS”

Adakah mendung yang tidak menyebabkan hujan?

Adakah cermin yang tidak memantulkan bayang-bayang?

Adakah kepemilikan yang tidak menyebabkan kehilangan?

Adakah cinta yang tidak menyebabkan kebencian?

Adakah muda yang tidak menjadi tua?

Adakah kelahiran yang tidak diiringi kematian?

Adakah pencarian yang tidak mampu mendapatkan apa-apa?

Adakah kesuksesan yang tidak diiringi kegagalan?

Adakah prestasi tanpa kompetisi?

Adakah penilaian tanpa obyek?

Adakah motivasi tanpa tujuan?

Adakah kebebasan tanpa tanggung jawab?

Adakah manusia tanpa tuhan?

Atau, Adakah ada tanpa keberadaan?

TUHAN TOLONG JAWAB!

(Giy)

Minggu, Januari 18, 2009

JILBAB

Jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muththahharuun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlaq yang mulia, keikhsanan.

Dalam konteks kekinian, dimana unsur-unsur peradaban semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan pun mengarah kepada globalisasi, maka makna jilbab pun berkembang. Meminjam istilah Yi-Fu-Tuan, kita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita termasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanan-kesungguhan moral dalam bentuk apapun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat sebuah realitas religius yang dirasakan amat mendalam.

Fenomena menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia, bahwa gerakan jilbab di Indonesia justru dipelopori oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah menengah non-pesantren-institusi “sekuler”. Dari sini, popularitas jilbab kian mengemuka dan sangat menarik untuk didiskusikan kompromi yang terjadi, tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Cadar jarang dikenakan para mahasiswi di institusi perguruan tinggi Islam, justru dikenakan oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi sekuler. Perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam dikemudian dalam kehidupan mereka (instant?).

Jilbab di Indonesia, adalah merupakan suatu peristiwa “100% modern bahkan terlampau modern” dimana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini, serta menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian, dan sekaligus sipemakai juga menolak hegemoni Barat.

Jilbab : Genealogi di Indonesia
Pada awal mula “kedatangan” jilbab atau kerudung [jawa : kudung] hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu sipemakai pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, semisal pada saat melayat, shalat tarawih jama’ah, atau pada saat hari raya [‘iedul fitri & ‘iedul adha]. Sedangkan wanita yang mengenakannya kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang wanita yang telah ber-haji [hajjah] atau kalangan tertentu saja seperti pesantren. Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Jilbab pada dekade 80 dan 90-an [terlebih saat sekarang] telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda.

Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan : disinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya. Jilbab bagi mereka adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab, mereka bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya laki-laki dalam melahirkan teologi kekuasaan. Misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, mesti banyak juga yang membantah asumsi itu.

Jilbab hari ini, pemaknaannya begitu beragam. Membawa kecenderungan kearah ideologis. Bagi mereka yang kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak—tergantung perasaan dan keadaan—jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu station spiritualitas tertentu. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa saja di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotik terhadap jilbab dengan kesimpulan yang terlalu fatalis.

Jilbab : Antara Syari’at dan Fashion
Mengemukanya jilbab—utamanya 10 tahun terakhir—bisa dikategorikan sebagai sebuah fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama “kudung gaul”, “jilbab trendi” atau “jilbab Britney”. Wanita yang mengenakan kerudung up to date tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah. Jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian semisal sweater atau t-shirt yang “kekecilan” [body-fit], tak ayal lekak-lekuk tubuhnya terdeteksi dan tergantung di atas pinggangnya, inipun masih dipadu dengan celana [jeans atau katun] yang—demi sebuah ke”matching”an—juga ketat, stretch atau hipster.

Gejolak diatas memang tengah menjadi suatu trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karena itu cara pandang mereka berbeda dengan yang pertama tadi. Jilbab bagi mereka sangatlah banal dan permukaan, selain itu dalam pergaulan pun mereka mengikuti etika yang berlaku komunitas anak gaul seperti cara berpacaran, hanging out di pusat perbelanjaan, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya, dan berteriak-teriak histeris, bahkan na’udzubillah dalam beberapa kasus ada yang hamil diluar nikah. Kudung gaul dalam hal ini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi schyzofrenic.

Jilbab atau kudung gaul telah menancapkan keberadaannya sebagai salah satu model dalam relasi seks [relasi kuasa juga?]. Ia adalah sebilah cermin dari wajah kehidupan masyarakat, yang derapnya seiring dengan gelombang liberalisasi seks yang tengah melesak di tabir sexual clash of civilization. Eksistensi jilbab menjadi semakin complicated, ia merupakan bentuk kapitalisasi tubuh.

Di luar optik hukum [syari’at], jilbab—dalam sejarah awalnya—merupakan produk budaya yang bergandengan dengan kepercayaan mistik dan lambat-laun menjadi praktik seksualitas dengan lambaran agama. Ia diadopsi dan dimodifikasi menjadi format yang melampaui dunia rasionalitas dan sangat ekstrim. Jilbab gaul tetap eksis karena bergelinjang dengan pasang-surut libido manusia, diperkokoh oleh budaya dan agama, serta diperlempang oleh kekuatan modernitas dan materialitas. Dalam hal ini, faktor keterpikatan materi yang kapitalistik tak dapat diabaikan begitu saja, karena ia adalah katalisator dalam praktik jilbab gaul.

Senyampang zaman, jilbab semakin terpincuk oleh tuntutan kapitalisasi yang telah merasuk secara mundial. Kenyataan ini menjadi fenomena universal yang telah melumuri wajah seksualitas saat ini. Dunia telah menggelorakan “revolusi tubuh” yang dihela oleh—memakai istilah Pierre Bourdeau—cultural capital dan kian hingar-bingar, membisingkan serta mengangkangi segala yang berceruk jiwani dengan serbaneka cara manusia dalam menjalankan roda kapitalisasi tubuh.

Dalam terpaan modernisasi dan kapitalisasi tersebut, tak akan ada kekuatan apapun yang mampu membendung laju segala bentuk keliaran seksualitas manusia. Jilbab laksana sebutir lampu pijar disela-sela taburan cahaya gemerlap dunia seksualitas manusia. Ia akan terseok-seok menyangga diri sebagai “jalan alternatif” untuk mengarahkan gerak libido manusia yang cenderung bebas. Tak ayal, jilbab gaul yang telah disematkan justru turut berpartisipasi menyemarakkan wajah seksualitas yang kian capitalized.

“Busana muslimah kian up to date”, begitu kesan yang muncul, dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya seperti yang terjadi pada tahun 1996-an di mana dihelat peragaan busana dengan tema “Tendensi Busana Muslim” di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta, memajang karya 12 desainer papan atas tanah air. Peragaan busana kali itu merupakan terobosan baru, suatu show yang menyajikan kemewahan dan keanggunan busana muslimah yang mengkilap, serta sanggup membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan [hargaRp.45.000,-].

Acara ini merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dahulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan sebagaimana lazimnya peragaan busana lainnya, hanya sekitar 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, selebihnya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Atau paling tidak, untuk melepaskan keinginan terpendam sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “aneh”—suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan mode busana yang itu-itu saja—tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat dan kaidah yang digariskan dalam syari’at Islam.

Jilbab : Double-Interpretation ditengah Masyarakat Kekinian
Faktanya, gaya visual memang bisa menyatu dengan gaya hidup, karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan, dibanding dengan hari ini, orang zaman dahulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindah-pindah tempat. Sebagaimana yang ditambahkan oleh Alvin Toffler, sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan akibat pengaruh hegemoni budaya massa, sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai sub-kultur [konsekuensi peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern].

Dalam perspektif ini, maka busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai sebuah gaya hidup yang menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang saat ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumen, yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesuka hati. Sehingga terjadilah ketidakpastian akan nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem ”parade gaya hidup” inilah maka perubahan yang radikal dan ironis dalam bingkai idiom busana muslimah pun terjadi secara lompatan paradigmatik maupun sintagmatik.

Saat ini, idiom jilbab/hijab atau busana muslimah tersebut diubah secara paradigmatik. Jilbab misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam jilbab, atau bahan-bahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher “jenjang”nya.

Secara sintagmatik, jilbab misalnya, dipadukan dengan sweater atau t-shirt ketat dan dipasangkan dengan celana atau jeans yang ketat pula [kadang sampai kelihatan pusar atau bagian belakang pinggangya]. Sebagai pelengkap yang di”harus”kan, kosmetik tebal [tergantung selera] dan parfum yang telah direkomendasikan menjadi acuan panduan berpakaian remaja muslim, biasanya keluaran griya busana atau mode yang mengusung label islami. Selain itu, pilihan warna yang dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching semata. Mengacu pada estetika pop saja.

Fashion pada dasarnya adalah suatu antusiasme yang singkat terhadap sesuatu semisal pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria yang tidak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlaku sangat singkat. Dalam tatanan masyarakat modern, fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri, sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan erat dengan perkembangan mode atau fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi—dalam hal ini adalah busana muslimah—ditentukan oleh pola-pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif. Inilah ideologi.

Hijab atau jilbab sebagai busana muslim kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus. Dia tidak lagi dikaitkan sebagai praktek tahayul yang naïf, tidak pula dengan tabu, akan tetapi dengan image [semata] atau dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruktif [syari’at]. Seperti yang terjadi pada hippies, punk dan lainnya, jilbab pun tak lepas dari sentuhan “raja midas” kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya, dalam acara-acara religius di televisi, setelah syarat utama sang presenter terpenuhi—cantik, gaul abis, terkenal, artikulatif dan memiliki image ramah dan mampu improvisasi gesture—maka dilengkapilah dengan jilbab sebagai kode acara tersebut. Hal serupa tidak selalu “diberlakukan” pada presenter pria. Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter tampil dalam suatu acara bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit baik one-piece maupun two-piece sebagai kodenya.

Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada jilbab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya, yang tentu saja, menghilangkan image spiritualitasnya. Digantikan dengan image yang baru sama sekali. Atau janggut yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para penganut Islam fundamentalis, kini dijungkir balikkan menjadi kode milik anak gaul dengan diberi warna-warni yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam, tampak terlalu canggih untuk bisa dipahami oleh gaya hidup pop (habitus), apalagi makna-makna spiritual. Bukankah jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain?

Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini. Namun kemudian ia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tidak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain. Seperti, gaya punk, yang “menantang” orang lain dengan pearching, peniti, rantai dan kalung anjing. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para pemakainya. Sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka. Tapi, pada kenyataannya tidak ada orang yang iseng melakukannya.

Jilbab : Dekonstruksi Kedalaman Niat
Menjadi sesuatu yang “wajar” karena pakaian cenderung dikenakan sebagai representasi ideologi yang seakan dijajakan dalam suatu etalase, dalam suatu “demokrasi selera” dari sekian banyak tawaran pilihan gaya hidup yang disediakan terutama dalam “dunia gemerlap”. Jilbab hanyalah salah satu dari sekian daftar pakaian yang kudu dikenakan dalam menjalani profesi sebagai “jema’at party”.

“Jilbab Britney” tampaknya secara terang-terangan ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan antara religiusitas dan ke-seksi-an yang mereka gabungkan dalam style fashion-nya. Pakaian adalah ekspresi dari suatu jalan hidup, jilbab merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol bagaimanapun dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang dapat diisi dengan petanda apapun. Oleh karena itu, jilbab merupakan personal symbol yang membawa makna baik ditingkat personal maupun kebudayaan, karena tidak semua orang memakainya.

Begitulah ketika semua produk telah di-“kapital”-kan. Dan agama pun menjadi komoditi yang tak luput dari jeratan mata rantai kapitalistik (sangat terasa sekali dampaknya di negara dunia ketiga), atau dalam bahasa gaul-nya, Mc.Donaldisasi Agama.Dan simbol-simbol agama seperti jilbab telah menjadi sebuah trend gaya hidup yang sengaja diciptakan oleh pasar, dengan bumbu doktrin-doktrin agama agar lebih “sesuai” syari’at sebagai penutup aurat. Fenomena sama juga merambah pada pengajian gaul plus ustadz-ustadz yang funky pula, yang dikonsumsi oleh kalangan jetset dan artis. Jilbab dengan berbagai bentuk dan jenisnya—yang dari waktu ke waktu [pasar] terus mendikte para pemakainya—menjadi sangat permukaan sekali. Sekali lagi ini terlepas dari niatan terdalam si pemakai dalam ber-jilbab. Jilbab yang telah menjadi bagian dari gaya hidup pop ini pada akhirnya ”bersujud” pada kepentingan pasar, yaitu pasar yang kapital.

Secermat dan secanggih apapun semiotika dalam menguraikan wacana jilbab tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini. Karena, hal tersebut selalu berkaitan antara kepribadian sipemakai dan pemaknaan subjektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop secara diametral dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul.

Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan kearah yang makin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fethisisme terhadap berhala, yang ada berganti menjadi pemberhalaan terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pun dengan jilbab sebagai simbol keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa tahayul-tahayul yang naïf, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak kearah yang makin halus dan lembut berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang makin sophisticated.

Dalam garis tipis, halus dan licin itulah, kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya dalam mencari Zat Tanpa Batas, bernama Tuhan. Bersiapkah mendekonstruksi niat pemakaian simbol-simbol keagamaan-mu? Bismillah…..wa Allahu a’lamu bi ash-shawaab..



fah_itusaja@yahoo.com

Krisis Silaturahmi

m

Pada suatu waktu Komunitas Embun Pagi (KEP) mengadakan sebuah diskusi kecil tentang tragedi Palestina. Dengan niat membuka kran dialog, KEP mengundang seorang teman anggota jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pemantik (pembicara). Secara jujur kami merasa teman-teman HTI dan teman-teman pergerakan Islam lainnya memang mempunyai perhatian yang lebih serius soal isu Palestina. Jadi, kami pikir tidaklah masalah mengundang mereka untuk bicara dan berbagi pengetahuan tentang isu tersebut.


Undangan pun segera kami kirimkan ke semua teman-teman lintas ideologi, pergerakan, dan agama. Dan memang harus kami akui dan terlepas setuju atau tidak dengan beberapa pandangan teman HTI kita tersebut, terdapat beberapa pandangan yang “tak terduga” seperti yang kami bayangkan sebelum kami berdiskusi. Ada sesuatu yang semula kami anggap sebagai pandangan HTI tetapi ternyata bukan dan sebaliknya yang kami angggap bukan pandangan HTI tetapi tenyata iya.


Begitulah, bertatap langsung dengan seseorang (sebuah kelompok) yang kita anggap liyan (the other) memang bukan sebuah perkara yang mudah tetapi ternyata cukup menyehatkan. Jika ada yang layak dicatat adalah bukan terletak pada soal pandangan-pandangan dan isi diskusi tersebut melainkan pada reaksi yang muncul setelah acara tersebut. Beberapa teman mengirimkan sms kepada penulis mempertanyakan (atau mungkin menggugat); “mas, kemarin saya menerima undangan diskusi. Memangnya apa hubungan KEP dengan HTI?”, “bro, apa maksudnya mengundang HTI?”, “mengapa yang diundang HTI, bukan PMII, HMI, atau IPNU”, “hati-hati konspirasi apalagi ni” dan berbagai macam reaksi yang penulis dengar baik secara langsung maupun tidak.


Di zaman yang penuh dengan pretensi dan “kepentingan” ini, penulis bisa memahami reaksi-reaksi tersebut. Juergen Habermas menunjukkan pada kita bahwa pengetahuan (knowledge) pasti tidak pernah terlepas dari kepentingan manusia (human interest). Dalam bukunya Knowlwedge and Human Interest, Habermas menunjukkan bahwa pengetahuan seberapapun objektifnya tidaklah pernah netral dan oleh karenanya bebas dari “kepentingan”. Oleh karena itu, bagi Habermas yang diperlukan seberapapuj beratnya untuk diusahakan adalah komunikasi yang mengandaikan terjadinya kemungkinan terjadinya dialog di dalamnya.


Michael Foucault, seperti halnya Habermas, mempunyai pandangan yang tidak berbeda perihal “kepentingan“. Bagi Foucault, setiap pengetahuan selalu mengandung sebuah relasi kuasa di dalamnya. “Kepentingan” dalam perspektif Foucault bahkan selalu bernama kepentingan utuk menguasai. Maka rekomendasi Foucault pun berbeda dengan Habermas. Foucault merekomendasi bukan pada dialog melainkan perjuangan dan keberpihakan yang tegas pada suatu posisi. “We must choose sides and fight!” demikian katanya. Demikianlah jika kita berbicara tentang “kepentingan”. Pertanyaannya adalah mungkinkah sesuatu terlepas dari sebuah “kepentingan”? Belajar dari keduanya, penulis berpikir bahwa ada yang lebih penting untuk selalu dipertanyakan sepanjang masa, yaitu apakah “kepentingan” itu?


Tidak sama dengan Habermas, penulis menganggap bahwa “kepentingan” itu adalah dialog itu sendiri. Dialog adalah “kepentingan” itu dan bukannya rekomendasi. Dialog adalah sesuatu posisi setara yang menyebabkan semua bisa bebas berkomunikasi. Oleh karenanya, penulis menganggap bahwa dialog itu sendiri merupakan kepentingan yang traumatik (yang tak akan mungkin terwujud) sebagaimana Keadilan. Juga berbeda dengan Foucault, penulis tidak menolak dialog karena “hipokrisi dan kenaifan” yang diandaikan Foucault dalam dialog. Sebab, dialog adalah isi dari imperatif dan bukan imperatif itu sendiri.


Penulis pernah mendengar sebuah ayat kitab suci AlQuran yang kurang lebih mengatakan bahwa Tuhan (Allah Swt) menciptakan perbedaan laki-laki dan perempuan, suku-suku dan bangsa-bangsa tidak lain adalah untuk saling mengenal (lita’arofuu). Saling mengenal inilah yang penulis maksud dengan dialog. Mungkin kita tidak pernah tuntas untuk mengenal seluruh perbedaan dengan bahkan sampai musnahnya peradaban manusia. Namun, demikianlah mungkin tugas kemanusiaan kita. Berpelukan mesra, saling berbagi, saling bicara terus menerus demi kebaikan bersama.


Jangan-jangan, kita mengalami krisis silaturahmi. Pretensi-pretensi, kecurigaan, dendam, dan segala konspirasi telah membuat kita lupa bahwa silaturahmi tidak selalu kompromi. Dialog bukan berarti manut (setuju). Seolah-olah kemungkinan untuk mencapai titik temu-titik temu seperti yang direkomendasikan Cak Nur merupakan sebuah utopia. Atau jangan-jangan memang impian itu adalah utopia. Jika memang utopia, lalu mau apa? Bunuh diri atau segera datang mengunjungi tetangga? Saya tidak tahu.


Mungkin syarat untuk itu semua sangat sederhana dan sudah banyak kita yang tahu, yaitu pada diri kita sendiri. Bisakah kita menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan, dendam pribadi, kepentingan pribadi, karir, dan segala kepentingan diri untuk belajar mendengar apa yang tidak ingin kita dengar dan menyapa yang tidak ingin kita sapa? Bisakah kita mengusahakan ketulusan hati, keikhlasan niat, kepercayaan pada sesama sahabat dan kekosongan pamrih dari segala usaha bersama dalam masyarakat? Bisakah akhirnya di tengah hidup yang penuh “kepentingan” ini kita berkata merdeka!. Mungkin benar kata sebuah sabda bahwa musuh terberat tak lain adalah diri kita sendiri.


Tiba-tiba kang Mul memutar suara bang Iwan Fals:

Tak habis pikir aku tak mengerti/ Mengapa ada oang yang senang membunuh

Hanya karena uang semata/ Atau demi kuasa dan nama


Demdam-dendam celaka/ Menghasut kita tak jemu menggoda

Damai-damai dimana/ Bersembunyi tak ada ujungnya


Kapan berakhirnya situasi seperti ini/ Tidak bisakah kita saling berpelukan/ Ooo…


Bukankah indah hidup bersama/ Saling berbagi saling menyinta

Terasa hangat sampai ke jiwa/ Memancar ke penjuru dunia


Jangan goyah percayalah, teman/ Berat itu melawan diri sendiri

Selamat datang kemerdekaan/ Kalau kita mampu menahan diri



Muhammad Taufiqurrohman
Penggemar Iwan Fals

Jumat, Januari 16, 2009

Post-realitas, metafisika, sosial, ekonomi, demokrasi, and others...







Bila di dalam ketelanjangan dan kecabulan media, tak ada lagi batas antara baik/buruk, benar/salah, asli/palsu, realitas/fantasi, maka yang terjadi
adalah semacam kematian budaya (death of culture).”
Yasraf Amir Piliang (2004)



Adalah Yasraf Amir Piliang saya kira orang yang paling dapat dikatakan sebagai juru bicara posmodernisme di Indonesia, terutama dalam mengartikulasikan konsepsi teoritis Jean Baudrillard –walaupun dalam salah satu ulasannya di Dunia yang Dilipat , Yasraf menyatakan bahwa Baudrillard tidak termasuk pemikir posmo- konsepsi semiotik-hipersemiotik, dan lainnya. Satu bukunya yang menukik pada kedalaman permenungan filosofis atas realitas kebudayaan kontemporer adalah Posrealitas: Relitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, terbitan Jalasutra, Yogyakarta, 2004. Buku tersebut dibagi menjadi empat bagian besar, bagian I membincangkan pososial, bagian II tentang poshororisme, bagian III posdemokrasi, dan bagian IV posmoralitas. Dalam analisis buku ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membahas semua isi buku ini, namun hanya pada beberapa bagian dari buku saja, terutama pada beberapa istilah kunci dn yang relatif relevan dengan peristiwa kekinian. Buku-buku Yasraf memang sangat padat hingga tidak mudah disarikan substansinya, karena tiap paragraf seakan sudah merupakan substansi itu sendiri, yang masih dapat lebih dijabarkan berlembar-lembar lagi.

Yasraf menyatakan bahwa telah terjadi perubahan besar pada awal milenium ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya tercipta berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut realitas. Nah, dalam realitas baru tersebut, tanda tidak lagi merefleksikan realitas, representasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran, informasi tidak lagi mengandung objektivitas pengetahuan. Dunia baru tersebut, sebaliknya adalah dunia yang dibangun oleh berbagai bentuk distorsi realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna. Realitas baru itulah yang pada dasarnya lebih tepat dikatakan sebagai kondisi posrealitas (post-reality). Kondisi posrealitas adalah sebuah kondisi, yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui, atau diambil alih oleh penggantinya, yang diciptakan secara artifisial via ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut sebagai yang nyata (the real).

Sementara itu posmetafisika merupakan penjelasan dari proses akhir dari metafisika, yang di dalamnya inheren dengan pengertian posrealitas, dalam pengertian akhir dari realitas sebagai konsekuensi berakhirnya metafisika. Yasraf menyatakan bahwa konsep berakhirnya metafisika tak dapat dilepaskan dari Heidegger yang memang telah memproklamasikan matinya metafisika. Namun, matinya metafisika bukan sama sekali mati, melainkan telah sampai pada energi paling akhir. Dalam relasinya dengan dunia realitas bentukannya, posrealitas adalah kondisi ketika dunia realitas dan potret dunia yang dibentuk berdasarkan klaim-klaim kebenaran metafisika telah mengalami kemunduran, yang membuka peluang bagi terbentuknya realitas-realitas baru, berdasarkan potret baru dunia, yang dibentuk di atas klaim posmetafisika. Akhir dunia metafiska, menurut Heidegger, dimulai ketika klaim ontologi yang menjadi fondasi dunia realitas mengalami kemerosotan. Di dalam kemerosotan itu, dunia realitas tidak lagi menggantungkan pembentukan dirinya pada mode-model kebenaran metafisis tersebut, yaitu pada logos, oidos, substansi, esensi, Tuhan. Meskipun demikian, pembangunan yang nyata (eksis) tidak diserahkan sepenuhnya pada hasrat atau kehendak, sebagaimana yang disarankan Nietszche dan para pendukung post-strukturalisnya, melainkan pada apa yang disebut Heidegger sebagai Yang Ada (Being), yang ditafsirkan dengan tafsiran baru.

Posrealitas ini juga didefinisikan sebagai semacam pembalikan dunia realitas Platonisme, yaitu dengan memandang dunia penampakan (appearance) yang bersifat mengindra (sensous) sebagai dunia realitas sejati (true reality); sementara dunia oidos yang bersifat melampaui indra (suprasensous) sebagai realitas palsu. Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh Deleuze, Guattari, Lyotard, Foucault, dan Baudrillard, fondasi dari dunia penampakan itu telah beralih pada hasrat dan kehendak (kekuasaan), yang menggiring dunia realitas ke dalam apa yang dikatakan Heidegger sebelum ini sebagai dunia yang dikuasai oleh ontologi citraan atau abad potret dunia, disebabkan logika di balik citraan itu sendiri adalah logika hasrat dan logika kehendak –sebuah dunia realitas yang tentunya tidak seperti yang dibayangkan Heidegger sendiri. Dalam hal ini Heidegger melihat berakhirnya metafisika sebagai permulaan kebangkitan kembali metafisika dalam wujud barunya, wujud ini mengarah pada metafisika yang sesungguhnya, yang menghasilkan pengetahuan yang baru. Menurut Flynn, kencenderungan posmetafisika dalam pengertian kebangkitan ini tampak pada pemikir seperti Marx, Habermas, Foucault, dan mungkin juga Derrida. Foucault misalnya, menyatakan bahwa beroperasinya metafisikan bukan dalam pengertian bahwa ia menembus penampakan untuk sampai pada supersensibel, melainkan sebaliknya, bahwa konsep kekuasaan itu diklaim dapat menembus ke balik dunia penampakan sampai pada kondisi eksistensinya yang nyata (tubuh nyata). Artinya, di balik sebuah tubuh yang nyata beroperasi sebuah kekuasaan tak tampak (yang dengan sendirinya bersifat metafisis).

Dalam hal ini Yasraf menyatakan bahwa Arendt, Marleau Ponty, dan Lefort, mungkin juga Deleuze, Guattari, Lyotard, Baudrillard, dan Rorty dapat dikatakan berada pada kategori mereka yang mendukung matinya metafisika (death of metaphysics). Rorty misalnya menyatakan penolakannya yang eksplisit terhadap segala sesuatu yang disebut sebagai fondasi (anti-fondational), termasuk metafisika sebagai penjelajahan terhadap fondasi kebenaran dari realitas. Lewat filsafat pragmatisme, ia mengembangkan sebuah kecenderungan pemikiran yang antimetafisika. Banyak label yang diberikan untuk menjelaskan kecenderungan antimetafisika ini, di antaranya adalah pragmatisme, eksistensialisme, dekonstruktivisme, holisme, filsafat proses, postrukturalisme, posmodernisme, Wittgensteinianisme, antirealisme, dan hermeneutika. Sedangkan bagi Baudrillard, era matinya metafisika sekarang ini menjadikan kita berada dalam era posrealitas, yaitu era simulasi realitas (simulation). Di sinilah Baudrillard mengungkapkan tentang patafisika, yakni versi tak lazim dari metafisika, yang di dalamnya, baik yang metafisis (Tuhan, Kesadaran, Kebajikan, Spirit) maupun yang nonmetafisis (mimpi, ilusi, halusinasi), diobjektivikasikan dalam pengertiannya yang khusus, yaitu mentransformasikan sifat ketidakberwujudannya (immaterial) ke dalam wujud-wujud faktual (meskipun belum tentu real), yaitu ke dalam ontologi cintra itu sendiri.

Dalam kondisi melampaui realitas (hyper/past-reality) inilah juga terdapat berbagai fenomena pelampauan lainnya, antara lain adalah pososial (post-social), yaitu ruang sosial yang di dalamnya berbagai prinsip, model, atau bentuk, aktivitas sosial telah melampaui prinsip, model dan bentuk aktivitas-aktivitas yang natural, yang kini diambil alih oleh wujud artifisial dan virtualnya. Relasi dari komunikasi sosial tatap muka (face to face communication) digantikan oleh bentuk-bentuk komunikasi yang dimediasi oleh media seperti handphone, internet, dan lainnya, yang pada akhirnya menciptakan masyarakat informasi global (global information society), di dalamnya setiap relasi sosial berlangsung secara artifisial, mengambil alih relasi sosial yang natural. Realitas inilah yang menciptakan komunitas virtual (virtual community) yang juga merupakan komunitas imajiner (imagined community). Di dalam komunitas imajiner inilah terjadi simulakra sosial yang merupakan duplikasi sosial di dunia nyata, akan tetapi dalam wujudnya yang menyimpang dan terdistorsi, yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk reduksionisme, penyederhanaan, generalisasi, dan manipulasi sosial. Realitas sosial yang melampaui (post-social) ini tidak dapat lagi dinilai berdasarkan logika (rasionalitas, moralitas) yang ada dalam konteks realitas sosial yang sesungguhnya, melainkan berdasarkan logika simulasi media, dengan berbagai trik, strategi, dan manipulasi teknologisnya.

Dalam konteks ekonomi terjadi apa yang dinamakan sebagai posekonomi. Fenomena sosial, ekonomi, dan kebudayaan ditandai oleh berbagai peningkatan tempot kehidupan, sebagai akibat dari meningkatnya kecepatan dalam berbagai bidang produksi, konsumsi, tontonan, dan hiburan. Internet dan terutama televisi telah menjelma menjadi kotak jiwa, yang melaluinya manusia abad ke-21 mengisi kehampaan spirtiualnya dengan jutaan citraan semu, rayuan palsu (iklan), televisi menjadi fantasmagoria, yaitu ruang di mana citraan muncul dan menghilang dengan kecepatan tinggi, yang merayu manusia untuk memasuki jaringan ekstasi kecepatan dan kegilaan serta histeria gaya hidup yang diciptakannya. Mal atau hipermarket telah menjelma menjadi agen difusi, ruang kelas, ia tak lagi sekadar tempat transaksi barang dan jasa, tetapi merupakan cermin dari sebuah masyarakat. Tubuh juga menjadi pusat kebudayaan abad ke-21, ia menjadi titik sentral dari mesin produksi, promosi, distribusi, dan konsumsi kapitalisme. Tubuh juga dijadikan sebagai metakomoditi, yaitu komoditi untuk menjual komoditi lain, lewat peran sentralnya dalam sistem promosi kapitalisme tubuh. Di samping itu, ruang sosial global selalu dihuni ole segala macam pergerakan deteritorialisasi yang beroperasi dalam kecepatan tinggi, yaitu pergerakan kapital, industri, gaya dari satu teritorial ke teritorial berikutnya tanpa henti. Pergerakan itu dipengaruhi oleh pergerakan mesin hasrat tanpa henti, hasrat itu sendiri tak lain adalah semacam arus yang selalu bergerak mencari kesenangan baru, kegairahan baru, identitas baru, kenyamanan baru.

Dalam konteks demokratisasi, Yasraf mengungkapkan femonena posdemokrasi, yaitu ketika demokrasi telah terputus sama sekali dengan realitas demokrasi yang sesungguhnya, yaitu demokrasi yang melampaui atau berlangsung hanya pada tingkat citra, akan tetapi terputus dari prinsip demokrasi itu sendiri. Pertama, demokrasi pada tingkat citra menjadikan simulakrum demokrasi (simulacrum of democracy), adalah demokrasi yang menampakkan dirinya pada tingkat citra seakan-akan sebagai kopi (copy) atau ikon (icon) demokrasi, padahal citra tersebut merupakan deviasi, distorsi, bahkan terputus dari realitas yang sesungguhnya. Kedua, posdemokrasi sebagai kondisi tumpang tindihnya prinsip demokrasi dengan prinsip-prinsip lain, seperti anarkisme dan kebebasan mutlak, baik pada tingkat citra maupun tingkat realitas. Konsep-konsep yang membangun demokrasi itu sendiri seperti pluralisme, persamaan, hak asasi manusia, kebebasan berkumpul, bersuara, berserikat, telah berkembang ke titik ekstrimnya, melampaui prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Edi Subkhan, penulis...

Kamis, Januari 15, 2009

Masyarakat Konsumtif

Bertolak dari perspektif ekonomi, konsumsi adalah salah satu dari 3 anasir utama di dalamnya, selain produksi dan distribusi. Meskipun telah diadopsi dan diserap dalam bahasa Indonesia, secara umum, “konsumsi” kemudian membawa pemahaman kepada “memakai”. Tetapi dua kata tersebut bukanlah hal yang sejajar. Maksudnya, hal yang dikonsumsi itu sendiri tidaklah selalu berupa benda (makanan, pakaian, dsb). Mengkonsumsi, lebih kepada memakai fungsi dari benda tertentu. Dalam hal makan misalnya, yang dikonsumsi bukanlah makanannya, melainkan fungsi dari makanan tersebut yang membuat kenyang. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, bukankah satu benda bisa saja memiliki bermacam fungsi? Dan bagaimana jika perilaku konsumtif tersebut telah menjadi perilaku komunal?

Dari sini lah, agaknya pemaparan ini bertolak.

Secara konseptual, konsumsi merupakan oposisi dari produksi, jika produksi dipahami sebagai proses memberikan nilai bagi benda. Tetapi pada keadaan riil, konsumsi dan produksi, sebagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia, tidak jarang mencampurkan dirinya dalam satu perilaku manusia. Proses produksi, di saat yang sama, atau didahului oleh proses konsumsi. Demikian halnya dengan proses konsumsi maka proses produksi bisa dijalankan. Hal ini terjadi karena proses tersebut tidak bisa dilepaskan dari si pelaku, yakni manusia. Dalam diri manusia, selalu berjalan proses konsumsi dan produksi. Bahkan satu kegiatan dapat dianggap produksi dan konsumsi. Sebagai misal, makan, adalah mengkonsumsi sesuatu dari luar tubuh manusia. Tetapi, pada proses makan itu sendiri juga dilakukan proses-proses mekanis-biologis, sehingga substansi dari makanan bisa didapatkan, dan akhirnya digunakan sebagai sumber energi untuk beraktivitas. Terlihat di sini bahwa konsumsi dilakukan sebagai tuntutan akan suatu kebutuhan.

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa pemenuhan kebutuhan bersifat memaksa. Dalam konsep psikologi, kebutuhan harus dipenuhi, tetapi obyek pemenuhannya dapat dimanipulasi, baik dari luar, maupun dari dalam diri manusia. Jika seseorang terdesak oleh kebutuhan, dan keadaan sekitar tidak mengijinkan orang tersebut untuk mendapatkan obyek yang diinginkannya, maka orang tersebut dengan sendirinya akan menurunkan nilai-nilai idealnya, dan memilih obyek yang paling mugkin, sehingga kebutuhannya bisa terpenuhi atau tertunda sampai didapatkan obyek yang sebenarnya. Hal demikian adalah bentuk manipulasi yang dilakukan dari dalam individu. Manipulasi dari luar, misalnya saat anak kecil menangis karena meminta balon, si Ibu memilih untuk menenangkan si Anak, dan kemudian menidurkannya.

Jika hal ini dikaitkan dengan fenomena sekitar, terjadinya “ekstase” dalam konsumsi, misalnya yang sering terlihat, ada mahasiswa yang berganti handphone setiap sekali dalam bulan, lalu tertulisnya “jalan-jalan, hang out, shopping, di mall” dalam curriculum vitae beberapa finalis pemilihan putra-putri psikologi pada kolom hobi, tentu ada sesuatu yang patut dicurigai di sini.

Sebagai kemungkinan pertama, adalah adanya pergeseran dalam memahami dan melakukan proses konsumsi. Konsumsi, yang pada awalnya ditempatkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan, justru ditempatkan sebagai kebutuhan itu sendiri. Munculnya kebutuhan akan konsumsi paa dirinya sendiri. Kemungkinan kedua, adalah terdapat kekurangmampuan dalam mengurai dan memprioritaskan kebutuhan. Kebutuhan makan atau minum bukan lagi hanya makan atau minum saja, tetapi telah dibumbui dengan sedikit gengsi, kenyamanan suasana, dan trend, misalnya. Telah terdapat percampuran kebutuhan, dan individu terkait tidak bisa membedakan antara keduanya, dan cenderung tidak menyadari keadaaan yang seperti itu.

Dalam satu Catatan Pinggirnya, Goenawan Mohamad menulis—dan menyesalkan—bagaimana kini telah terjadi pergeseran, dari apresiasi menjadi konsumsi. Apresiasi mengesankan adanya penghargaan atas suatu hal, dan konsumsi hanya semata-mata memakai fungsi dari benda tersebut. Bisa dilihat di sini, bahwa ukuran dari suatu benda—dan juga orang lain—adalah “apa fungsinya bagi saya”, ataupun “apa tujuannya”. Artinya, rasionalitas tujuan menjadi dominan, sementara hubungan interpersonal yang tak bertujuan apa-apa selain hubungan itu sendiri, akhirnya tak terpikirkan. Dan inilah kemungkinan ketiga.

Terkait dengan ekstase konsumsi, Mall adalah salah satu fenomena lain, yang agaknya cukup menarik, sehingga beberapa nama tertarik untuk untuk membahasnya. Dalam konteks kekinian, Mall telah mejelma sebagai ruang bersama untuk mempelajari seluk-beluk seni, sampai dengan kehidupan sosial. Tetapi, Mall sendiri sebenarnya adalah tempat untuk berbelanja, sehingga selain sebagai ruang berkumpul orang banyak, orang banyak tersebut juga seakan-akan bersiap-siap untuk menjadi konsumer masa depan.

Sebagai sebuah pasar (market), Mall bukan lagi hanya berfungsi sebagai tempat untuk bertransaksi. Mall juga mempunyai fungsi akulturasi, sehingga bisa dikatakan tempat untuk belajar, dan sebagai sumber nilai-nilai baru. Yasraf Amir Piliang, bahkan mengatakan bahwa Mall adalah tempat untuk mencari Nabi-nabi vrtual, Tuhan digital, juga surga cyber.

Sementara itu, saat melihat banyak orang di dalam Mall, terlihat bagaimana hampir bisa dikatakan terdapat keseragaman dalam hal pakaian dan gaya mereka. Potongan rambut, model celana, dan juga aksesoris. Di sisi lain, ketika pandangan diarahkan pada toko-toko pakaian, maka pakaian yang dijual pun merupakan pakaian yang satu tipe. Artinya, konsumtif bukan lagi merupakan sesuatu yang datang—dari satu pihak—atas atau bawah saja, melainkan karena keduanya bersama-sama menjadi konsumtif.

Tetapi disamping itu, bagaimana terjadi banjir barang, sampai dengan informasi, keduanya begitu cepat datang, dan memaksa manusia untuk segera membuat pilihan, sehingga manusia tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu. Berbagai hal datang dengan berbagai cara, menawarkan diri untuk dibeli dan dimiliki, mengesankan “jika Anda tidak bergegas, maka Anda akan keduluan oleh orang lain”. Masyarakat, seakan baru belajar untuk mengeja, namun telah disodori banyak hal, sehingga tak bisa lagi kritis, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Konsumerisme, bukan terjadi hanya di dalam satu bidang. Dalam makanan, keilmuwan, kependidikan, bahkan spiritualitas. Dalam kependidikan, terlihat bagaimana ramai-ramainya pelajar yang hijrah untuk berkuliah di luar negeri. Pertanyaan besar untuk hal ini adalah—seperti telah dijelaskan sebelumnya—dari sekian banyak motif yang ada, motif manakah yang lebih dominan? Apakah pengembangan keilmuan pribadi, prestise, atau yang lain? Atau permasalahan spiritualitas, terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap aliran-aliran yoga. Artinya, terjadi pergeseran, antara melihat kebutuhan sebagai kebutuhan itu sendiri, ataukah kebutuhan akan simbol-simbol?

Di sisi lain, manusia bukan sekedar seperti tong yang menampung segala yang dimasukkan ke dalamnya. Bukan pula sebagai keranjang, yang hanya bisa menyaring apa-apa yang tak lolos dari saringan. Manusia, selain mempunyai kemampuan tersebut, juga mempunyai kemampuan untuk menyematkan arti kepada suatu symbol. Bukan cerita asing lagi, bila celana jeans, pada awal konteks sosio-historisnya merupakan pakaian seorang petani. Tetapi sampai di sini, jeans adalah celana yang bisa digunakan kemana saja, dan perlu dicatat, celana jeans jarang digunakan untuk bertani. Artinya, dalam kungkungan ketakberdayaan oleh melimpah-ruahnya benda dan symbol, manusia masih sempat berlaku kreatif. Manusia bisa menarik-ulur makna. Dan yang perlu disayangkan dalam hal ini, adalah kikisnya kritis, karena kritis dianggap sebagai sesuatu yang menghambat laju kelimpahruahan tersebut.

Dalam Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russel mengatakan bahwa untuk memahami suatu zaman, adalah dengan memahami filsafatnya. Mungkinkah, filsafat pada zaman ini adalah “konsumerisme”? Ataukah mungkin tesis dari Bertrand Russel sejak awal justru memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri?


Ahmad Fahmi Mubarok

SASTRA INDONESIA KONTEMPORER DALAM PEREBUTAN


Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai peta kesusastraan kontemporer Indonesia. Penulis hanya ingin menunjukkan bagaimana dialog atau relasi kuasa dalam kesusastraan Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa dalam kesusasteraan Indonesia terdapat berbagai blok atau kelompok yang mempunyai visi dan politik kebudayaan yang tidak sama satu sama lain. Perbedaan visi dan politik berkesusastraan tersebut dapat dikarenakan oleh berbagai macam hal; ideologis, preferensi pribadi ataukah soal pasar.

Sebelum memulai membuat pemetaan blok sastra kontemporer Indonesia, penulis akan mulai sedikit dari tinjaun sejarah polemik kebudayaan antara Lekra dan Manikebu. Dari polemik tersebut akan dicari motif perdebatan seputar realisme sosialis dan humanisme universal. Apakah murni perdebatan ideologis ataukah ada motif lain, misalnya pasar? Hal ini untuk menjadi bahan perbandingan dengan motif polemik yang terjadi dalam kesuasastraan Indonesia kontemporer.

Setelah itu untuk masuk dalam polemik kesusastraan kontemporer Indonesia, penulis akan masuk melalui pembahasan biografi Wa Ode Wulan Ratna, pengarang muda yang dinobatkan sebagai Penulis Muda Terbaik Khatulistiwa Literary Award 2008. Dan juga biografi tentang Khatulistiwa Award yang sangat berpengaruh bagi perjalanan sastra Indonesia. Politik Award, dengan demikian, tidak bisa terlepaskan dari kesusastraan Indonesia kontemporer.

Apa yang menarik dari biografi penulis ini adalah posisinya yang “diperebutkan” oleh beberapa blok sastra. Hal ini berhubungan dengan, menurut asumsi penulis, relasi kuasa modal (pasar) dan strategi penerbit masing-masing blok sastra dalam ‘berdagang’. Artinya, ada kemungkinan bahwa segala polemik sastra yang terjadi sudah bergeser dari murni ideologis ke arah pasar (ekonomi).

Melalui penelusuran biografi Wa Ode Wulan Ratna dan posisinya dalam perebutan pasar blok-blok sastra Indonesia, penulis berusaha untuk memetakan blok-blok kesusastraan Indonesia kontemporer. Melalui biografi Khatulistiwa Award penulis akan menggunakan politik Award dalam melakukan pemetaan kesusastraan Indonesia. Dari konteks pemetaan tersebut, penulis berharap dapat meneliti tentang apakah blok-blok tersebut melakukan dialog ataukah saling ”berperang”/relasi kuasa (menutup dialog).


Sekilas Polemik Manikebu vs Lekra

Perdebatan antara pendukung realisme sosialis dan humanisme universal menemukan titik puncaknya sejak terjadi polemik kebudayaan antara blok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebuadayaan (Manikebu). Manikebu merupakaan sebuah manifes yang dikeluarkan oleh beberapa pengarang Indonesia yang mengusung sastra beraliran humanisme universal. Manikebu lahir sebagai sebuah upaya perlawanan terhadap kediktatoran Presiden Soekarno yang melarang segala bentuk kesusastraaan (kesenia pada umumnya) yang tidak berhubungan dengan perjuangan negara. Sastra, menurut bung besar, harus menjadi alat perjuangan politik sebuah bangsa. Kita bisa mengerti karena saat itu politik telah menjadi panglima di Indoensia. Sastra yang tidak berhubungan dengan perjuangan dianggap tidak berdaya bagi kemanusiaan. Dalam bahasa Wiratmo Soekito, latar bnelakang kelahiran Manikebu adalah ”hilangnya kepercayaan bahwa kegiatan seniman dapat diteruskan tanpa perlindungan politik”.

Di belakang bung Karno adalah kelompok Lekra. Lekra mengusung dengan tegas posisi kesusastraan yang diperjuangkannya, yaitu sastra realisme sosialis. Sastra, bagi mereka, harus bertendes untuk kepentingan perjuangan politik sebuah bangsa dan rakyatnya.

Dari konteks yang melatarbelakanginya, polemik kebudayaan tersebut dapat disimpulkan merupakan sebuah polemik ideologis yang murni. Artinya, masing-masing blok memang berpolemik dikarenakan keyakinan kebenaran prinsip masing-masing. Tidak ada faktor di luar ideologi yang menyebabka polemik tersebut. Dari sisi yang lain, kita bisa melihat konteks waktu itu bahwa industri penerbitan buku belumlah seramai dan semenggiurkan seperti saat ini. Ketika polemik terjadi, buku-buku yang diterbitkan oleh keduanya sama-sama tidak laku di pasar. Hal ini dikarenakan, industri perbukuan belum mapan seperti saat ini. Juga, dikarenakan minat baca masyarakat Indoensia yang belum tinggi. Kelompok terdidik Indonesia pada saat terjadinya polemik masih sangat terbatas dan kaum buta huruf masih sangat banyak. Artinya, ekonomi (dalam hal ini pasar) belum menjadi determinan penting bagi polemik kebudayaan saat itu. Demikian konteks polemik kebudayaan Manikebu -Lekra dan hal-hal yang melatarbelakanginya. Bagaiamanakah konteks polemik kesusastraan Indonesia kontemporer?


Wa Ode Wulan Ratna dan Politik Award

Belum banyak yang bisa diketahui dari Wulan, demikian panggilan akrab Wa Ode Wulan Ratna. Namanya berkibar di jagad kesusastraan Indonesia setelah mendapatkan anugerah sebagai Penulis Muda Terbaik dalam Khatulistiwa Award 2008. Wulan lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1984. Bapaknya seorang pelatih dayung profesional sedang ibunya merupakan seorang yang sangat jago karya klasik Indonesia dan dunia. Wulan merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Perempuan yang mempunyai hobi baca, jalan-jalan ke pantai dan gunung, bersolek, dan makan sesuatu yang baru ini memang bercita-cita menjadi pengarang sejak dari umur belia. Wulan sudah jatuh cinta pada buku sejak kecil. Saat balita, ia tinggal di tengah hutan Buton, Sulawesi Tenggara, mengikuti ayahnya, yang pelatih dayung. Wulan pun kerap ditinggal sendiri, hanya ditemani buku cerita anak-anak. Imajinasinya kian terasah dengan buku-buku pemberian orang tuanya itu, hingga dia membuat cerita anak-anak sendiri.

Perempuan yang sedang menyelesaikan skripsi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini mendapatkan julukan dari rekan-rekannya sebagai Miss Sayembara. Hal ini dikarenakan Wulan sering memenangi sayembara-sayembara penulisan cerpen baik berskala lokal maupun nasional. Beberapa sayembara yang pernah dimenanginya antara lain; cerpen “Fragmen 44” menjadi pemenang pertama Sayembara Cerpen Bulan Bahasa JBSI-FBS UNJ tingkat nasional (2003), “Bulan Gendut di Tepi Gangsal” yang mengangkat tentang illegal logging dan suku pedalaman Riau, menjadi pemenang pertama Sayembara Cerpen Tingkat nasional yang diadakan Dewan Kesenian Riau (2005). Lalu dalam Sayembara Cerpen tingkat nasional yang diadakan CWI, ia menjadi Juara I pula dengan cerpennya “La Runduma.” (2005). Sedang “Peluru-Peluru” menjadi Juara ketiga dalam Sayembara Cerpen HAM yang diadakan Kedubes Swiss dan Forum Lingkar Pena (2005). Cerpennya yang lain, “Catatan Harian Hans Mandosir” menjadi juara pertama lomba penulisan cerpen yang diadakan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ (2003), sedang “Cari Aku di Canti” mendapat nominasi dalam Krakatau Award yang diadakan Dewan Kesenian Lampung.

Karya-karya Wulan menyiratkan sebuah kecintaan akan yang lokal dan segala permasalahan yang melingkupinya. Dia sering bercerita tentang kehidupan di Jakarta, illegal logging, stereotype perempuan dan tema-tema sosial lain dalam cerpen-cerpennya. Seperti yang diungkapkan pihak dewan juri Khatulistiwa Award 2008, konsistensi karya-karya Wulan dalam menggarap tema-tema lokalitas merupakan salah satu pertimbangan pemberian penghargaan kategori Penulis Muda Terbaik 2008 kepadanya. Di samping, kekuataan imajinasi dan diksi yang segar yang terdapat dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Cari Aku di Canti.

Pada 2003, Wulan menerbitkan Perempuan Noktaria. Cerpen tersebut sangat provokatif karena menggugat eksistensi perempuan di masyarakat. Wulan menganggap isu ini pantas diangkat karena dia sendiri mengalaminya. Dia berangkat dari pengalamannya sendiri yang sering mendapat gunjingan tetangga-tetangganya di Kelapa Gading karena dia sering pulang malam. Padahal dia punya hobi menonton teater dan karya seni lain yang biasanya selesai larut malam. Dia juga resah atas konstruksi sosial perempuan cantik sebagai putih atau langsing. Padahal, menurut dia, perempuan lokal yang berkulit gelap itu adalah perempuan yang cantik dan eksotik. Saat menulis, dia berusaha meresapi kecantikan perempuan, dengan berdandan lebih dulu. Biasanya dia mengenakan pakaian terang dan ber-makeup tipis.

Meskipun kumpulan cerpen pertamanya menang, Wulan masih menggugat. Cari Aku di Canti berkisah tentang kegundahan perempuan yang dipaksa orang tuanya menjadi dokter, padahal dia pingin jadi pelukis. Itu mirip yang dialami Wulan sendiri, yang diminta orang tuanya menjadi dokter. Namun demikian, dia beruntung akrena orangtuanya tidak memaksa dan tetap memberikan dukungannya untuk bergelut di bidang sastra.

Yang menarik dari kisah kemenangan Wulan adalah bahwa kumpulan cerpen Cari Aku di Canti tersebut diterbitkan oleh penerbit Forum Lingkar Pena. Ada tiga hal yang pantas dicatat dari fakta ini dalam kaitannya dengan relasi antara blok-blok sastra Indonesia kontemporer dan politik award. Pertama, karya Wulan merupakan satu-satunya buku terbitan Lingkar Pena yang masuk nominasi Khatulistiwa Award dalam kategori Penulis Muda Terbaik maupun dalam kategori umum lainnya. Sebab, karya Helvy Tiana Rosa yang diterbitkan Lingkar Pena berjudul Bukavu hanya lolos seleksi Tahap 1 Khatulistiwa Literary Award 2008 dan tidak lolos pada tahap 2. Lingkar Pena merupakan sebuah penerbit independen di bawah Forum Lingkar Pena (FLP). Forum Lingkar Pena lebih mirip disebut sebagai sebuah lembaga dakwah Islam melalui kesusastraan. Para penulis yang bergabung dalam organisasi ini sebagian besar merupakan aktivis lembaga dakwah (khususnya lembaga dakwah kampus).

Yang cukup ganjil dari kemenangan Wulan adalah pihak Khatulistiwa Award, yang dimotori oleh blok sastra Komunitas Utan kayu, memenangkan sebuah karya terbitan Forum Lingkar Pena yang nota bene secara ideologis sangat bertolak belakang dengan mereka. Namun, karya Wulan memang sebuah karya yang tidak biasa bagi Forum Lingkar Pena. Sebab, secara ideologis karya Wulan sejalan dengan visi kesusastraan Komunitas Utan Kayu. Hal ini memunculkan beberapa spekulasi, di antaranya: pertama, dewan juri memang melakukan penjurian secara fair memandang kualitas karya tanpa memperhitungkan blok sastra manakah yang menerbitkan karya tersebut. Spekulasi kedua, Wulan menjadi obyek tarik menarik dua kekuatan antara blok Komunitas Utan kayu dan Forum Lingkar Pena. Dengan memberikan Wulan penghargaan kepada Wulan, pihak Komunitas Utan kayu melalui Khatulistiwa Award sedang melakukan pendekatan untuk menarik Wulan ke blok mereka. Sebagai penulis muda, Wulan tentu masih mempunyai peluang jam terbang yang tinggi dan dengan kualitas kepenulisannya dapat memperkokoh blok yang dimasukinya baik secara ideologis maupun secara ekonomi (pasar). Pada spekulasi ekonomi tersebut, pendekatan Komunitas Utan Kayu dapat dimaksudkan agar penerbitan karya-karya Wulan selanjutnya dapat melalui blok mereka dan menarik Wulan dari Lingkar Pena.


Khatulistiwa Award

Sudah lazim diketahui bahwa di Indonesia telah diadakan berbagai macam penghargaan dalam dunia sastra Indonesia. Masing-masing institusi (blok sastra) berhak memberikan penghargaan bagi karya dan penulis terbaik versi masing-masing. Salah satu penghargaan sastra yang secara independen diselenggarakan adalah Khatulistiwa Award.

Sebagai sebuah upaya pengembangan sastra, Khatulistiwa Award memberikan udara segar bagi dunia kesusastraan Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan diadakannya penghargaan tersebut diharapkan terjadi kompetisi dan kesungguh-sungguhan dalam membuat karya terbaik di antara para pegiat sastra. Khatulistiwa Award secara reguler diselenggarakan satu kali setahun. Dalam setahun juri akan memilih karya terbaik yang diseleksi secara ketat. Adapun bagaimanakah cara atau metode memilih karya tersebut masih terdapat kesimpangsiuran informasi; apakah juri memilih sendiri semua karya yang layak untuk diseleksi dari awal ataukah juri hanya memlih karya yang sudah terseleksi oleh panitia. Hal inilah yang membuat beberapa pihak menuntut trasparansi penjurian Khatulistiwa Award.

Yang tidak bisa dipungkiri dari sebuah penghargaan adalah ketidaknetralan atau subjektivitas atas penilaian mana karya yang baik dan mana karya yang buruk. Foucault (dan juga beberapa pemikir Posmodernisme lainnya) datang menunjukkan bahwa pengetahuan tidaklah pernah netral. Penilaian atas sebuah karya yang baik atau buruk terhadap karya sastra tidaklah pernah terlepas dari subyektivitas, kepentingan bahkan nafsu (passion) seseorang, dalam hal Khatulistiwa Award adalah para dewan juri. Hal ini berarti bahwa sudah saatnyalah kita jujur mengakui bahwa penilaian terhadap sebuah karya (apalagi karya sastra) tidaklah pernah terbebas dari kepentingan. Dalam hal ini, memandang Khatulistiwa Award sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari kepentingan tertentu merupakan sesuatu yang tidak hanya tidak boleh melainkan memang seharusnyalah begitu adanya.

Penulis ingin memberikan contoh tentang ketidaknetralan sebuah penghargaan dengan sebuah perbandingan. Kita tahu blok Folum Lingkar Pena (FLP) juga menyelenggarakan sebuah penghargaan yang mengatasnamakan kesusastraan Indonesia. Namun, kita bisa melihat bahwa kedua penghargaan (Khatulistiwa dan FLP) meskipun sama-sama dilaksanakan atas nama sastra Indonesia tetapi keduanya menghasilkan penerima penghargaan yang berbeda. Penulis ingin menunjukkan bahwa sebuah penghargaan (betapapun objetifnya) tak akan bisa melepaskan subjektivitas ideologinya masing-masing.

Dalam hal Khatulistiwa Award, penulis memandangnya sebagai representasi ideologi sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu. Hal ini dikarenakan kesamaan warna sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu selama ini dengan beberapa warna karya sastra yang masuk seleksi, nominasi dan yang memperoleh penghargaan dalam ajang tersebut. Kita tahu, misalnya, karya Wulan terbitan FLP yang memenangi ajang tersebut dan karya Helvy Tiana Rosa yang masuk seleksi tahap pertama merupakan karya yang sangat dekat dengan warna sastra Komunitas Utan Kayu. Objektivitas dalam hal perlakuan yang sama terhadap karya (dan tidak memandang blok apa yang menerbitkan karya tersebut) patutlah mendapatkan apresiasi. Masuknya karya Saut Situmorang dalam seleksi tahap pertama juga merupakan bukti bahwa Khatulistiwa Award memang masih “setia” dengan ideologi sastra yang diusungnya.

Demikianlah, dalam warna atau ideologi sastra yang diusung oleh Khatulistiwa Award penulis (dan mungkin juga pemerhati sastra yang lainnya) melihat kesamaan dengan warna atau ideologi sastra Komunitas Utan Kayu. Hal ini membuat segala persiapan teknis selanjutnya psti tidak bisa terlepas dengan kesamaan ideologi tersbut. Misalnya, siapakah yang menjadi juri, karya yang bagaimanakah, bagaimakah seleksi dan penjurian merupakan hal-hal yang hanya mengikuti ideologi sastra tersebut.

Kita bisa melihat, Khatulistiwa Award masih konsisten dengan memberikan penghargaan kepada karya-karya dan sastrawan-sastrawan yang sesuai dengan ideologi sastra yang diusungnya. Nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Ayu Utami, Nirwan Dewanto dan lain-lain (yang merupakan punggawa Komunitas Utan Kayu) tidak bisa dipungkiri merupakan contoh kongkret atas kesamaan ideologi sastra yang diusung oleh Komunitas Utan Kayu dan Khatulistiwa Award. Meskipun bukan maksud penulis ingin menunjukkan bahwa semua yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award adalah “orang-orang” Komunitas Utan Kayu. Penulis hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang penulis maksud dengan Komunitas Utan Kayu adalah ideologi sastra yang diusungnya bukan pribadi-pribadi atau kelompok komunitas itu sendiri.

Dengan kejujuran dalam memandang peta kesusatraan kontemporer kita hari ini, penulis berharap dapat mengidentifikasi dan melakukan pembelaan terhadap pihak-pihak yang termarjinalkan (marginalized) akibat subjektivitas dalam relasi kuasa yang tidak bisa dihindari tersebut. Dalam hal ini, penulis memperlakukan semua penghargaan (award) yang diadakan oleh berbagai macam blok sastra secara sama. Artinyam semua penghargaan dan blok sastra tersebut sama-sama mempunyai potensi dalam memarjinalkan atau meminggirkan beberapa pihak yang terekna dampak relasi kuasa tersebut. Inilah yang ingin penulis teliti dengan lebih baik.

Penulis sadar mungkin akan lebih baik diadakan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan demi mengupayakan obyektifitas yang mungkin tak tercapai. Pemulis merasa perlu untuk mencatat polemik kesusastraan kontemporer kita sebagai sebuah upaya dokumentasi sastra yang mungkin berguna untuk menjawab sejauh mankah perkembangan kesusastraan kita dengan berbagai macam polemik yang menyertainya, tentunya sebagai pelajaran bersama bagi kita semua.


Ideologi atau Pasar atau Keduanya?

Ambiguitas kehadiran karya Wulan tersebut menimbukan catatan kedua, yaitu penerbitan karya Wulan oleh Lingkar Pena. Terbitnya karya Wulan melalui kelompok Forum Lingkar Pena mau tidak mau membuat kita tertegun. Sebab, kecenderungan karya-karya yang diterbitkan Forum Lingkar Pena sangat bertolak belakang dengan karya-karya Wulan. Secara ideologis, Forum Lingkar Pena merupakan sebuah organisasi kesusastraan yang memuat karya-karya dengan tema agama dan dakwah dengan “pangsa pasar” adalah kelompok generasi muda. Strategi yang dilakukan pun mengemas karya-karya tersebut dengan bahasa yang lugas dan sederhana. Oleh karenanya, karya-karya yang diterbitkan FLP biasanya cenderung karya yang tidak menampilkan kompleksitas baik dalam segi isi maupun dalam pencapaian bahasa. Tema-tema agama yang mestinya penuh kompleksitas, baik dalam tataran teologi, akidah, akhlak, spiritual, dan sosial, dengan bahsa yang sederhana dan alur cerita yang lugas pula.

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan karya-karya Wulan. Karya Wulan mewakili sebuah karya yang secara ideologis lebih dekat (bahkan mungkin sangat dekat) dengan kelompok Komunitas Utan Kayu. Dari segi kompleksitas isi dan penggunaan bahasa metaforik yang terpilih, Wulan menampilkan karya-karyanya. Bahkan, bisa di bilang tema yang diangkat Wulan tidak pernah secara lugas bicara tentang agama (religi formal) dan dakwah. Jikapun ada lebih banyak berbicara tentang religiusitas. Tema yang diangkat Wulan berada seputar soal lingkungan seperti illegal logging, sosial seperti keadaan Jakarta, bahkan tema yang sensitif di kalangan anggota FLP, yaitu tema feminisme. Dalam salah satu puisinya berjudul Masih Ada Puntung Rokokmu, Wulan menulis tentang bagaimana kisah percintaan seorang perempuan dengan sang kekasih di ranjang kamarnya. Meskipun mungkin hanya dalam tataran metaforik tetapi karya Wulan tersebut tentulah sebuah karya yang sangat jauh dari kesan sebuah karya yang diterbitkan oleh FLP. Karya tersebut tentu sangat jauh dari kesan ”agamis’ dan ”moralis” yang biasa dinikmati oleh anggota FLP yang sebagian besar merupakan aktivis dakwah. Hal inilah yang membuat kita bertanya apakah penerbitan karya Wulan murni soal ideologis atau strategi FLP dalam memperluas pasarnya (ekonomi). Dalam hal ini, ideologi mungkin bukan lagi menjadi sebuah determinan utama polemik antar blok sastra melainkan faktor ekonomi sangat berpengaruh.

Catatan ketiga tertuju pada Khatulistiwa Award itu sendiri. Sebagai sebuah ajang penghargaan kesusastraan bertaraf nasional, Khatulistiwa Award merupakan sebuah ajang yang sangat berpengaruh terhadap wajah kesusastraan Indonesia selanjutnya. Sebagai sebuah strategi politik kesusastraan, Khatulistiwa Award tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pihak penyelenggara, yaitu blok Komunitas Utan kayu. Oleh karena itu, bagi penulis memandang Khatulistiwa Award tidak bisa dilepaskan posisinya sebagai sebuah politik Award oleh sebuah blok tertentu untuk terus bertahan dan bagi blok Komunitas Utan Kayu merupakan sebuah strategi bertahan karena merekalah sekarang yang mengendalikan arah kesusastraan nasional kita.


Catatan Reflektif

Demikianlah tulisan yang sederhana ini dibuat. Tentu masih banyak “blok” sastra yang belum terbahas oleh tulisan ini, antara lain: blok Saut Situmorang dan sastra Cybernet, blok sastra pedalaman, blok sastra Rendra yang mengusung kemandirian seniman, blok sastra pesantren, dan sebagainya. Tanpa bermaksud memihak kepada salah satu pihak, penulis hanya ingin melakukan sebuah penelitian mengenai determinan utama polemik kesusastraan; apakah masih murni sebagai sebuah polemik ideologis ataukah sudah bercampur dengan kepentinga yang lain, yaitu perebutan pasar (ekonomi).

Dengan demikian kita bisa mengerti apakah dialog ataukah relasi kuasa yang berjalan dalam wajah multikultural sastra Indonesia kontemporer kita. Tentu kita tidak bisa menjawabnya dengan sederhana karena diperlukan penelitian yang lebih mendalam. Penulis berharap dapat mengembangkan tulisan ini dengan lebih serius di lain kesempatan.

Kesulitan kita untuk menyederhanakan relasi antara kekuasaan (relasi kuasa) yang terjadi dalam sastra Indonesia terletak pada sifat kekuasaan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Foucault bahwa: ”power is everywhere not because it embraces everything but because it comes from everywhere”. Sifat kekuasaan selalu berada dimana-mana dan tidak terpegang oleh sebuah institusi. Sesuatu dapat menjadi penguasa (mainstream) dalam satu hal tetapi pada saat yang sama dia bisa menjadi yang dikuasai (marginal) dalam hal yang lain.

Mungkin benar apa yang dikatakan Foucault bahwa yang diperlukan bukanlah dialog (seperti yang ditunjukkan oleh para pelaku sastra Indonesia dari dulu hingga sekarang?) melainkan memilih tempat dimana kita berdiri dan berjuanglah sekuat tenaga dari sana. Para pendatang baru dalam dunia sastra yang tergolong di luar mainstream harus berjuang, hanya itulah hal yang paling mungkin untuk dilakukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Daiva Stasiulis seperti dikutip oleh Budianta:

setiap bentuk baru ekspresi budaya dan semua “suara baru” harus berjuang untuk mendapatkan perhatian publik. Proses ini bukan saja merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi juga merupakan suatu proses yang produktif. Perjuangan itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari proses yang “menciptakan” suara baru tersebut”.

Demikianlah semoga impian akan posisi yang seimbang dan setara antara pihak-pihak dalam kesusastraan Indonesia dapat terwujud. Semoga juga dialog yang diandaikan terjadi dalam politik multikulturalisme dapat terwujud. Penulis berharap dapat mengembangkan dan menperdalam tema relasi kuasa dalam kesusastraan Indonesia. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi pintu masuk ke dalam suatu dunia yang pasti dapat berbuat banyak bagi kebaikan bersama masyarakat Indonesia, yaitu peta dunia kesusastraan Indonesia kontemporer.

Di akhir tulisan ini, penulis justru menjadi ragu; apakah multikulturalisme merupakan “sebuah” yang pernah terwujud di dunia ini (dulu, sekarang dan akan datang) ataukah ia hanyalah “sebuah” cita-cata yang tak mungkin terwujud di bumi sebagaimana Kebenaran, Keadilan, Persamaan dan segala yang traumatik itu?


Muhammad Taufiqurrohman

Komunitas Embun Pagi (KEP) Semarang