online degree programs

Senin, Februari 25, 2008

Rileks Sejenak : Yuk Nonton Bal-balan.


Bolehlah kiranya, setelah membahas hal-hal yang mebuat jidat berkerut, kita ngobrol "ringan" saja : sepakbola. Kata Jules Cesar : beri roti dan sirkus, maka semua akan baik-baik saja. Sepakbola adalah sirkusnya, tetap menjadi perhatian sekalipun kadang-kadang rotinya belum tersedia. Sekali lagi, teori dari barat tidak berlaku untuk orang Indonesia. Ha...ha...

Masyarakat Indonesia penggemar olahraga boleh jadi lumayan beruntung dalam hal menikmati tayangan pertandingan di televisi, khususnya cabang sepakbola. Hampir setiap hari selama sepekan penuh, dapat dipastikan ada stasiun televisi yang menayangkan siaran sepakbola mulai dari Liga dan Copa Indonesia, Liga Champion Eropa, Liga Italia, Belanda dan Spanyol hingga momen-momen temporal semacam kualifikasi Piala Dunia 2010, kualifikasi Euro 2008 hingga yang baru saja usai SEA Games Thailand 2007. Semua tidak luput dari sorotan kamera televisi Indonesia. Hal ini tentu saja membawa manfaat besar, baik dalam perkembangan olah raga tersebut, sebagai hiburan yang mendidik –ditengah belantara sinetron dan infotainment yang menggunung bagai sampah, hingga membantu sepakbola menjadi industri yang bisa membiayai hidupnya sendiri.

Namun dilain pihak, jika kita cermati, ternyata banyak diantara tayangan-tayangan tersebut yang terkesan asal tayang, tidak dipersiapkan menjadi tayangan yang berkualitas dan sekadar menjadi pengisi waktu kosong siaran. Sebagai contoh, banyaknya siaran yang sudah tidak up to date lagi. Artinya, banyak siaran yang ditayangkan merupakan siaran tunda yang sudah kehilangan nilai kekinian. Padahal, sebagai sebuah berita, masyarakat menginginkan pertandingan yang masih “hangat dan segar”, bukan berita kadaluarsa lusa kemarin. Pertandingan yang ditayangkanpun bukan partai bersejarah yang pantas untuk diingat kembali sekelas final yang monumental atau pertemuan dua juara, melainkan partai biasa atau pertandingan reguler yang orang mungkin cukup puas mengingatnya dengan data statistik hasil akhir saja. Tentu kita memaklumi kasus tayangan Liga Inggris yang oleh pihak-pihak tamak, dibuat hanya bisa dimiliki orang kaya saja sedangkan rakyat biasa dijatah pertandingan sisa yang sudah basi. Toh kita sudah cukup senang. Tetapi sangat disayangkan jika pertandingan domestikpun disajikan dalam format yang sama, basi alias kadaluarsa. Kejadian ini memang sangat berkaitan erat dengan bisnis dan uang, tetapi konsumen pasti akan memilih barang yang masih baru dan fresh, selain mutu yang terjamin.

Contoh kedua, kemasan yang kurang menarik dan menjenuhkan. Tajuk siaran langsung pertandingan sudah mengudara pukul 14.30 sedangkan pertandingan yang sesungguhnya dilangsungkan kurang lebih pukul 15.30. Jeda satu jam tersebut diisi dengan komentar-komentar, sedikit ulasan data dan bejibun iklan. Selebihnya, komentar dan iklan lagi. Sekali lagi memang ini erat berkaitan dengan uang, tetapi penataan yang baik serta sedikit idealisme tentu bisa mengatasi hal ini. Pihak penayang mungkin bisa berkata “Kalau tidak mau nonton ya pindah chanel saja lah ! Susah amat !” Tetapi ini jelas bukan jawaban yang simpatik dan cenderung ingin menang sendiri.

Hal lain yang sepele tetapi cukup mengganggu kesakralan sebuah pertandingan adalah pemilihan kerabat siar. Terlibatnya beberapa wanita yang –mohon maaf, seperti tidak menguasai apa yang sedang dibicarakan dan tidak mengerti apa yang sedang ia katakan sendiri adalah inovasi perlu ditinjau ulang. Hal ini memunculkan kesan bahwa wanita hanya berperan sebagai “pemandangan indah” atau “tombo ngantuk…”, meminjam istilah yang sering dipakai Tukul jika ada wanita muda yang cantik dan berpakaian seksi. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan sebagian kaum wanita yang menuntut peran bukan hanya sebagai penarik perhatian. Tayangan televisi Eropa memang menggunakan wanita sebagai presenter tayangan pertandingan sepakbola, tetapi mereka menguasai betul topik bahasan dan juga tidak berpakaian seksi-seksi amat. Mungkin televisi nasional hendak mencontoh hal ini.

Para komentator dan presenter pria pun tak kalah anehnya. Mereka memang mengerti dan menguasai topik, tetapi ada diantara mereka yang tidak mampu menggambarkan pertandingan dengan kata-kata yang tepat atau memberi komentar yang hanya menjadi komentar saja, bukan sebuah analisis. Presenter, orang yang bertugas memandu pertandingan menggunakan media bahasa, acap kali salah dalam menggunakan bahasa. Bacalah kalimat ini : “bola umpan crossing daripada Itimi Dickson tidak mampu dimanfaatkan Kurniawan menjadi gol ke gawang daripada Yevgeni Khamarouk”. Penggunaan kata yang digaris bawahi adalah tidak tepat. Contoh lain adalah penggunaan kata “sangat, terlalu, sering, sekali, cukup, sempurna, atau kata lain yang bermaksud melebihkan arti. Penggunaan kata-kata tersebut yang tidak pada tempatnya dapat memberikan arti yang keliru pada pemirsa. Misalnya kalimat : cukup sempurna sekali, tadi, penguasaan bola dari Mahyadi Panggabean…” Kata “cukup sempurna sekali”, untuk mereka yang mendengar dan mempercayai ucapan komentator mempunyai arti yang rancu dan aneh. Cukup, berarti sedang atau tidak sempurna. Sedangkan sempurna berarti lebih dari cukup, tanpa cela. Jadi kata “cukup sempurna sekali” terdengar aneh dan membuat pemirsa bingung. Mungkin ini hanya soal kebiasaan bahasa. Tetapi seorang pemandu pertandingan, seorang yang harus bisa memberikan nuansa megah dalam pertandingan, seorang yang suara dan bahasanya sedang didengar jutaan masyarakat Indonesia, harus mampu menguasai penggunaan bahasa dengan baik. Belum lagi jika ditambah dengan pemandu pertandingan yang tidak bisa menggambarkan jalannya pertandingan, atau terkesan hanya “mengabsen setiap pemain yang sedang memegang bola” dan hanya berteriak kencang “akhhh…………” setiap kali ada kemelut di depan gawang atau tendangan melenceng yang tidak dapat ia gambarkan. Ini membuat pertandingan kehilangan sisi spektakuler dan seperti hanya milik komentator saja.

Kritikan-kritikan ini bertujuan memberikan saran membangun dalam tayangan sepakbola. Akan menjadi sebuah ironi jika keuntungan berupa begitu banyaknya siaran pertandingan sepakbola yang bertujuan menghibur dan memberi contoh pertandingan yang baik guna kemajuan sepakbola tanah air justru membuat msyarakat jengah dengan sepakbola. Diibaratkan, makan sayur asam dengan lauk ikan bakar Cianjur tentu sangat nikmat. Tapi bagaimana jika setiap hari anda hanya disuguhi menu itu saja ? Akan bosan, bukan ? Apalagi dengan penyajian yang semakin hari semakin kurang menarik.

Mohon maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan. Hidup sepakbola Indonesia !!! Semoga…

ardiansyah_jfc@plasa.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Yogas kalo posting dipastikan telah terkirim. Beberapa kasus saya sering harus ngecek posting yang belum tampil di layar.he2. Jadi mohon periksa setelah posting, biar tulisan yang sudah menjadi jerih payah sendiri bisa dinikmati khalayak umum, cheaaa....
Ttd
Penggila Posting!