online degree programs

Rabu, Juli 15, 2009

Media Cetak Digital


Lebih kurang satu minggu yang lalu, ada dua media massa cetak nasional yang merayakan ulang tahunnya : lebih tepatnya merayakan peringatan hari terbit pertama, karena sulit mendefinisi hari “lahir” sebuah koran. Salah satu media massa tersebut, yaitu Kompas yang sedang “berulang tahun” ke empat puluh empat, menurunkan satu artikel menarik tentang prospek media massa di masa datang, selain sebuah artikel mengenai komentar beberapa pembaca Kompas yang mewakili berbagai golongan dan generasi.

Pada artikel mengenai prospek media massa (khususnya cetak) di masa datang, digambarkan pola perubahan pola pembaca koran di Amerika Serikat sebagai contoh. Masyarakat negara itu sedikit demi sedikit mulai merubah cara membaca surat kabar dari versi cetak menjadi versi digital. Sampai saat ini ada beberapa media besar Amerika Serikat yang menyediakan layanan koran digital sebagai pilihan pembaca, seperti The Washington Post, New York Times dan USA Today. Ini belum termasuk surat kabar kecil dan lokal yang juga sudah mulai melakukan inovasi ini. Dengan bentuk digital ini, masyarakat Amerika Serikat lebih mempunya kelonggaran dalam mendapatkan berita. Mereka yang tidak bisa mengakses surat kabar pada pagi hari, bisa meluangkan waktu dengan cara membukanya di komputer kantor. Bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini, mereka bisa mengaksesnya melalui smartphone yang juga mempunya beragam pilihan. Hal lain yang menjadi nilai lebih adalah segi kepraktisan dalam membaca, disamping segi kemudahan dan fleksibilitas. Pada awalnya, cara baru ini tidak menimbulkan masalah, bahkan bisa mengangkat prestise surat kabar bersangkutan karena mempunya jaringan online.

Tetapi ternyata lambat laun, seiring dengan semakin mudahnya pengaksesan internet, laju pertumbuhan pembaca surat kabar online ini tumbuh dengan pesat sehingga menimbulkan kekhawatiran memerapa pihak. Dikhawatirkan, suatu saat koran dan majalah tidak perlu lagi dicetak seperti sekarang ini, tapi cukup direlease secara digital saja, sehingga tidak perlu mesin cetak, tak prlu lagi bahan baku kertas dan tinta, tidak perlu lagi tenaga kerja pencetakan dan distribusi serta pemasaran yang selama hampir satu abad ini menjadi mata rantai perjalanan surat kabar ke tangan pembaca. Amerika Serikat, yang sedang lumayan mumet mengenai gejolak ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran, semakin ngeper dengan fenomena ini. Bisa dibayangkan berapa jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan tugasnya jika betul-betul hal ini terjadi.

Namun, beberapa pengamat juga memberikan pendapat lain. Mereka mengatakan bahwa perubahan ini tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Pertama, karena mungkin ini akan memerlukan waktu yang masih cukup lama sehingga masih ada jeda untuk antisipasi. Kedua, tidak akan mudah begitu saja mengubah budaya format baca dari kertas menuju layar optik. Ketiga, jika benar-benar hal ini terjadi, maka itu berarti masyarakat bisa mengakses internet dengan sangat mudah dan mampu membeli perangkatnya, yang artinya finansial sebagian warga Amerika Serikat sudah pulih seperti sediakala.

Begitu setidaknya di Amerika Serikat. Lalu, bagaimana di Indonesia?

Tentu saja keadaannya berbeda. Pertama, jelas, internet bukan hal mudah dan murah di Indonesia. Pula gadget untuk mendapat edisi digital bukan pula dalam jangkauan masyarakat secara umum. Kedua, televisi masih menjadi musuh utama media cetak. Kecenderungan melihat dan mendengarkan lewat media elektronik masih lebih disukai ketimbang membaca. Dan ketiga, hahah..., minat untuk membaca memang masih rendah karena faktor ekonomi, mindset dan budaya. Membaca belum menjadi budaya, apalagi untuk menjadi kebutuhan. Slogan dan kampanye untuk itu sih sudah, tapi greng-nya masih terlihat samar-samar. Beberapa hal tersebut paling tidak menjadi alasan mengapa media cetak di Indonesia tak (belum) perlu khawatir tentang maraknya media dalam bentuk online. Justru, mungkin kini saat yang tepat bagi media cetak untuk menggiatkan format baru dalam bentuk online yang telah dirintis oleh beberapa media besar. Masyarakat kota besar yang sudah tak awam dengan internet, mahasiswa dan pelajar akan menjadi aksesor format ini. Sedangkan untuk masyarakat umum, pasar untuk media cetak dalam format cetakan masih suangat-suangat luas.

Tantangan media cetak Indonesia masa ini dan masa depan adalah bagaimana menggeser hegemoni televisi yang masih menjadi raja dalam sebaran informasi dan menyajikan berita yang akurat, objektif dan dapat di percaya publik. Maka peran media (cetak dan elektronik) saat ini yang masih menjadi tumpuan sumber opini masyarakat bisa menjadi lebih baik di masa datang.

Yog.

Selasa, Juli 07, 2009

Lunch with Daoed Joesoef


Setelah orasi budaya dan dilanjutkan diskusi dengan para peserta diskusi, saya diajak ikut makan siang oleh Pak Darmaningtyas dengan Pak Daoed Joesoef bersama dua kawan lainnya. Hari ini (Selasa, 7/7/09) saya dibuat terkagum-kagum oleh orasi budaya Prof. Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Seoharto. Betul juga apa kata Prof. H.A.R. Tilaar yang turut hadir dalam perhelatan tersebut, bahwa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, hanya ada dua menteri pendidikan yang memiliki visi pendidikan yang jelas, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan Daoed Joesoef. Dengan usia 83 tahun tapi masih fit untuk naik lantai 11 gedung Kodel, Kuningan, suaranya pun masih lantang, memorinya masih tajam, hingga membuat kami –terutama saya yang baru kali ini bertemu beliau- merasa sungkan untuk tidak mencermati kata demi kata yang meluncur fasih darinya. Dengan sesekali berbahasa Prancis –maklum ia lulusan Sorbonne, Prancis- diuraikannya secara gamblang mengenai perlunya nilai dan kebudayaan dalam pendidikan. Daoed Joesoef yang secara akademik berlatar ekonomi, di Sorbonne pun mengambil ekonomi, namun dari seluruh karirnya ia menyatakan tidak pernah bekerja di luar bidang pendidikan. Pengetahuan kebudayaan yang diperolehnya dari Sorbonne –karena ditanya Rektor Sorbonne apakah ia hanya akan belajar ekonomi, Pak Daoed menjawab tidak, tapi ingin belajar kebudayaan. Beliau menyatakan kalau ingin belajar budaya, maka belajarlah ke Prancis, kalau belajar kebudayaan di Prancis datanglah ke Paris, kalau belajar kebudayan di Paris, belajarlah di Sorbonne- agaknya memang telah menjadikan pemahamannya mengenai pendidikan dan kebudayaan sangat luas dan dalam.

“Education is a part of culture”, katanya, “..and culture is about value”. Dengan begitu secara institusional, kebudayaan mesti disandingkan kembali dalam satu departemen, yakni departemen pendidikan dan kebudayaan. Sekarang dilepasnya kebudayaan dari pendidikan pada level institusi telah menimbulkan hilangnya pegangan apa yang diberikan kepada siswa. Daoed Joesoef menyatakan bahwa memang siswa diberikan pelajaran, tapi untuk apa tidak jelas, dalam konteks dan fondasi apa tidak jelas. Sedangkan menurutnya, pendidikan mesti diarahkan pada konteks sosial, yang dalam bahasanya Ki Hadjar adalah proses pembudayaan. Beliau juga mengkritik nama Departemen Pendidikan Nasional –kata “nasional”- namun ternyata kebijakan yang dikeluarkan tidak menjunjung tinggi nasionalisme. Tamansiswa pun tak luput dari kritik, karena ia yang pada mula berdirinya sangat revolusioner, ternyata sekarang ini menjadi sangat konservatif. Sekadar bangga pada romantisme masa lalu, namun kehilangan kemampuan membaca konteks kekinian, yang tentu tantangannya sudah berbeda dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh Ki Hadjar dulu. Setelah memaparkan karut marut dunia pendidikan, beliau menariknya pada level yang lebih filosofis dengan mempertanyakan: apa yang disebut/namakan sebagai orang yang terdidik? Atau bagaimanakah orang terdidik itu? Bagaimana menjadikan orang terdidik? Apaka pendidikan itu? Apakah makna mencerdaskan kehidupan bangsa itu –yang menurut beliau banyak dimaknai sebagai sekadar mencerdaskan bangsa (tanpa “kehidupan”)? Tidak cukup itu, beliau menguraikan visi pendidikan Indonesia dalam 8 point –kali lain kalau ada kesempatan saya akan uraikan. Setelah itu tidak ketinggalan Prof. Tilaar turut menguraikan beberapa prasyarat yang mesti dipenuhi oleh menteri pendidikan mendatang.

Pukul 13.20 WIB, saya mengikuti dua pemikir pendidikan tersebut makan siang di lantai bawah Kodel. Pak Darmaningtyas pesan sop iga, dua kawan lagi pesan sop iga dan salad, Pak Daoed Joesoef pesan nasi goreng wings (dengan sayap ayam)…yang sayapun akhirnya ikut pesan nasi goreng wings hehe… (plus juice sirsak). Sebagai pendengar setia saya peroleh public lecture langka pada hari ini. Dengan Daoed Joesoef sebagai satu-satunya menteri pada masa Soeharto yang berani memperingatkan bisnis anak-anak Soeharto, berani pula mengkritik utang negara pada IMF, hingga menjadikannya tidak menjabat lagi sebagai menteri periode selanjutnya. Obrolan hangat pun mengalir. Pak Daoed bercerita dulu ketika hari pertama beliau menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika masuk kantor dinas menteri P & K beliau menlihat meja menteri luas dan bersih, ketika ditanya oleh staf:

“Apa yang Bapak perlukan?”.
Pak Daoed menjawab, “Saya butuh mesin ketik (manual)”.
“Buat apa Pak?” tanya staf lagi.
Pak Daoed jadi heran, “…ya buat ngetik dong”.
“Khan sudah ada sekretaris Pak..” kata staf.
Pak Daoed menjawab, “Sekretaris untuk bagian ngurus administrasi saja, saya mau ngetik naskah pidato dan yang lainnya”.
“Lho kan sudah ada staf yang membuatkan naskah pidato Pak. Jadi tinggal membacakan naskah saja kalau pidato”, ujar staf lagi.

Pak Daoed jadi heran dan mangkel di hati, jadi saya harus membaca naskah pidato yang dibuat oleh staf. Lalu melalui apa visi pendidikan yang sudah saya gagas saya paparkan kalau bukan lewat pidato yang saya tulis sendiri. Masak visi pendidikan yang buat tukang ketik naskah pidato? Hehehee… Mendengar cerita Pak Daoed itu saya jadi geli sendiri karena juga punya kawan yang tugasnya menjadi pembuat naskah pidato, namun bukan menteri, melainkan rektor, yang konon menurut pengakuannya sendiri sering bertentangan dengan hati nuraninya. Jadi, kalau Menteri Pendidikan –atau bahkan mungkin semua menteri- seperti itu (naskah pidato dibuatkan oleh orang lain) termasuk rektor-rektor juga seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa mereka –yang dibuatkan pidatonya itu- tidak memiliki visi pendidikan apa-apa. Saya mendadak terbersit kecurigaan, jangan-jangan semua visi pendidikan menteri pendidikan –selain Ki Hadjar dan Daoed Joesoef- dan para rektor itu, sebagaimana tertuang dalam pidato-pidato mereka, yang membuat adalah tukang ketik naskah pidato!!! Hwahahahaaa…

Tanpa terasa nasi goreng wings di depan saya udah habis, juga sop iga dan salad di sebelah, akhirnya kami hantarkan Prof. Daoed Joesoef bersama menuju mobilnya. Rasanya masih haus tenggorokan ini karena juice sirsak ternyata tak mampu menandingi es teh di warteg dekat kost saya, masih jauh juga saya dari level keilmuan guru-guru pendidikan saya, Prof. Daoed Joesoef, Prof. H.A.R. Tilaar, Prof. Soedijarto, Pak Darmaningtyas, Pak Jimmy Paat dll…… Dan saya masih terlalu sedikit membaca buku, terlalu sedikit menulis dengan tekun, dan terlalu banyak facebook-an hehehe…..

Salam,

Edi Subkhan, tukang kebun….

Minggu, Juli 05, 2009

Jacques Lacan: Meraba Konsep Dasar Psikoanalisis Baru



Jacques Lacan lahir pada tanggal 13 April 1901 dan meninggal dunia 9 September 1981 adalah seorang psikoanalis dan psikiatris Prancis yang memiliki kontribusi besar dalam bagunan pemikiran filsafat, psikoanalisis dan kepustakaan teoritis. Lacan secara rutin memberikan seminar di Prancis dari tahun 1953 hingga 1981, hingga memiliki pengaruh yang begitu besar di kalangan intelektual Prancis saat itu, terutama bagi pemikiran filsafat aliran post-strukturalis. Lacan membaca Freud dengan baik, diktum kembali ke Freud (return of Freud) di kumandangkannya. Berpegang pada silsilah pemikiran psikoanalisis yang menekankan pada alam bawah sadar (unconscious mind), sampai mengakui ego ideal. Lacan membenturkan dengan korelasivitas studi bahasa, menggambarkannya juga dengan pemikiran kritis. Bagaimana fungsi bahasa dapat dilihat tidak hanya berbentuk instrumen komunikasi saja, melainkan memiliki relasi signifikan dengan ”aku (I)”. Ataupun sebaliknya, konsep ”aku (I)” tidak sekadar selesai pada tahap individual, tetapi juga mengakui (to recofnize) yang lain (the other) sebagai bagian yang ada (being).

Jacques Lacan lahir di Paris, anak sulung dari Emilie dan Alfred Lacan yang memiliki tiga anak. Ayahnya seorang saudagar perusahaan minyak dan sabun yang cukup sukses. Ibunya seorang penganut Katolik yang teguh. Pada mulanya acan sering menghadiri pertemuan politik organisasi sayap kanan Action Francaise yang di pimpin oleh Charles Maurras. Pertengahan 1920-an, Lacan merasa tidak tahan dengan tradisi keagamaan dan memiliki pendirian yang berseberangan dengan keluarganya.

Pada tahun 1920 itu juga ia gagal masuk akademi militer, dan dia langsung masuk sekolah medis. Akhirnya dia menjadi psiatris yang bertugas di rumah sakit Sainte-Anne di Paris. Ia mulai tertarik dengan filsafat Karl Jaspers dan Martin Heidegger, dan menghadiri seminar yang membahas Hegel yang hadir sebagai pembicara saat itu adaah Alexandre Kojeve. Beberapa waktu setelah itu, di tahun 1938, Lacan belajar serius psikoanalisis dengan Rudolf Loewenstein.

Perkenalan Lacan dengan psikoanalisis membuahkan sebuah tradisi intelektual yang menarik sepanjang zaman. Menekankan pada satu perhatian terhadap teks-teks orisinal Freud dan kritik radikal terhadap ego psikologis, Lacan berpikir bahwa Freud ada relasi yang kuat antara gagasan keseleo lidah, misalnya, dengan tradisi pemikiran Prancis kala itu, strukturalis. Bahwa bahasa itu menunjukan alam bawah (unconsciuus mind) seseorang. Dengan kata lain, kata-kata yang di ucapkan seseorang saat mengigau, lupa, keceplosan, semuanya itu merupakan ”tanda (signfied)” yang mencerminkan kondisi alam bawah sadar (unconsciuus mind). Lacan percaya bahwa susunan alam bawah sadar (unconsciuus mind) itu menyerupai struktur bahasa. Hla ini bukan menunjukan ruang arketipal dalam pikiran atau kepribadian yang terpisah dengan alam sadar (conscious). Ini masuk ego linguistik, meski komposisinya cukup komplek seperti alam bawah (unconscious) itu sendiri. Kendatipun demikian, jika benar klaim Lacan bahwa alam bawah sadar ((unconsciuus) memiliki struktur yang sama dengan bahasa, bagaimana dengan kondisi seseorang yang mengalami krisis identitas, trauma, dan sakit jiwa. Bagi mereka bahasa sudah tidak lagi bermakna, bahkan mungkin sebaliknya, satu kata bahasa bisa membuat kambuh.

Freud menyembuhkan Anna O dengan metode dialog. Bahasa yang di keluarkan oleh pasien di pahami sebagai simbol-simbol yang hendak ditangkap sebagai bahan penyembuhan. Simbol-simbol itu tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan pengalaman (experience of live man).

Setiap manusia memiliki pengalaman yang bervariasi. Yang membedakan orang satu dengan yang lain. Kontribusi Lacan menghubungkan psikoanalisis dengan logika linguistik cukup berharga. Pengalaman perkembangan manusia yang pada tahap-tahap tertentu pun di baca oleh Lacan. Misalnya saja, pengalaman saat seseorang masih dalam posisi bocah, yang hendak mengenali dirinya sendiri.

Pengalaman pada tahap ini disebut tahap cermin (le stade du miroir dalam bahasa Prancis jika bahasa Inggris the mirror stage) di jelaskan bahwa tahap di mana perkembangan dari fungsi ”Aku (I)” dalam tubuh manusia bekerja secara alamiah jika di potret melalui psikoanalisis (as formative of the function of the I as revealed in psychoanalytic experience). Umpamanya, pengujian yang di lakukan oleh sampel: seorang bocah manusia dan bayi simpanse. Keduanya di beri cermin atau kaca. Seorang bocah mengenali dirinya, mengidentifikasi, meneliti secara fisik, kemudian mengimajinasikan bentuk-bentuk dalam cermin itu, yan tidak lain adalah dirinya sendiri. Ia bisa berdandan, melihat dan mempelajari dirinya dan lingkungan sekitarnya. Sementara bayi simpanze hanya membuat kaca untuk bahan permainan. Ia tidak mengenali dirinya di dalam cermin. Berbeda dengan si bocah manusia. Tahap cermin setidaknya menandakan: pertama, eksistensi nilai historis sebagai trajektori titik balik dalam pembangunan mental anak. Dan, kedua, melambangkan sebuah hal penting tentang hubungan libidinal dengan citra-tubuh (the body-image).

Dalam La relation d'objet seminar ke empat. Lacan menegaskan bahwa tahap cermin ini berjauhan dengan fenomena utuh yang terjadi pada pembangunan mental anak. Hal ini mengilustrasikan konflik alamiah di antara dua hubungan: antara nilai historis (historical value) dan logika simbolik (structural value).

Tahap cermin ini mendeskripsikan komposisi Ego dalam proses objektifikasi. Ego merupakan hasil akhir dari perselisihan rasa antara suatu rasa penampilan (one's perceived visual appearance) dan rasa emosional atas realitas (one's perceived emotional reality). Lacan menyebutnya bagian ini sebagai alienasi atau pengasingan (alienation). Di enam bulan bertama bayi kekurangan keseimbangan fisik. Setelah itu ia dapat mengenali dirinya sendiri dalam tahap cermin dengan mngontrol dan mengkoordinasi gerakan tubuhnya. Cermin dalam kategori Lacan dapat di pahami secara metafor maupun empiris. Ketika seorang bocah dihadapkan dengan cermin, penampilan yang kontras di dalam cermin yang menggambarkan anak, mulanya, di pandang sebagai sebuah persaingan/ lawan/ musuh (rivalry). Tahap cermin memberikan tegangan agresif (aggressive tension) antara subjek dengan citra (image). Untuk memecahkan tegangan agresif ini, subjek mengidentifikasi citra: identifikasi primer ini yang kemudian membentuk Ego. Identifikasi ini juga melibatkan ego ideal yang memiliki fungsi sebagai bentuk-bentuk keinginan berikut antisipasi Ego atas kepentingan yang akan datang. Ego ideal menjanjikan seorang subjek mencapai keinginannya melalui proses imitasi, peniruan, dan penjiplakan bapak/ ibu-nya atau tokoh idaman.

Itulah paparan singkat konsepsi tahap cermin Lacan. Memang, psikoanalisis yang di rekonstruksikan oleh Lacan memang berbeda dengan Freud. Kalaupun Lacan mengambil perangkat keras dalam pemikirannya. Lacan masih berada dalam Freudian ketimbang pada ranah aliran filsafat yang lain. Keberadaan pemikiran Lacan menyempurnakan psikoanalisis Freud. Misalnya saja, tentang konsep tentang ”yang lain (the other)” yang juga di bangun oleh Lacan yang mengklasifikasikan kedalam dua term: ”yang lain kecil (the little other atau juga sering disebut saja dengan the other)” dan ”yang lain besar” (the Big other).

Yang lain kecil (the little other) pada umumnya di pahami sebagai perlakuan terhadap eksistensi orang lain selain subjek sendiri. Namun, ada juga yang memahami bahwa yang lain kecil (the little other) ini sebagai “yang lain yang tidak terlalu lain” (the other who is not really other). Yang lain kecil (the little other) ini merupakan sebuah refleksi dan proyeksi atas Ego. Ia seolah-olah mencerminkan orang lain yang sebenarnya merupakan hasil dari konstruksi nilai subjektif “Aku (I)”.

Sedangkan, yang lain besar (the Big other) adalah semua yang berada di dunia nyata yang memiliki kekuatan-kekuatan yang bisa mengendalikan tubuh secara fisik. Ia bisa berbentuk bahasa dan jauh lebih kongkret, seperti halnya “hukum” atau pun institusi ”Negara”. The Big other ini-lah yang memediasi di antara subjek melalui simbol-simbol-nya (mediates the relationship with that other subject).

Begitulah psikoanalisis secara sederhana di lihat dalam konteks pemikiran Lacan. Kendatipun demikian, kita tetap menghadapkan secara diametral, kritik terhadap pemikiran Lacan yang juga banyak di sematkan oleh kalangan feminis. Karena Oedipus Complex Lacan satu sisi menjadi inspirasi bagi gerakan feminis, di sisi lain, sebuah pernyataan yang memojokan dan mematikan pengarus utamaan gender. Kritik lain, misalnya, Lacan tidak membicarakan tentang konsep “kuasa” atau power sehingga dari Lacanian-lah kita mendapatkan pemikiran Lacan yang di benturkan dengan politik atau hukum. Lacanian, seperti Jacques Miller, Slavoj Zizek, Yannis Stavrakakis, dst, sangat di harapkan menyempurnakan gagasan Lacan ini.



Awaludin Marwan alias Luluk seorangLacanian

Suaramu adalah Nasib Baikku



Cinta tidak akan tumbuh dengan sendirinya jika kita tidak membuatnya melalui pancaran indra yang kita punyai. Begitu juga dengan perjalanan semua orang yang hidup di alam dunia yang fana ini. Jika hati seseorang tidak bersih maka dipastikan dunia ini bagai neraka karena banyaknya coba’an dan rintangan, tetapi jika seseorang tersebut menjalani kehidupan dengan meresapi dan menikmati apa arti kehidupan, maka sungguh terasa damai.

Ketika mahluk tuhan berupa manusia hidup dengan berlandaskan kepentingan pribadi maka tidak akan terjadi kehidupan yang tentram dan saling mencintai, karena semua mahluk yang berada disekelilingnya akan dianggap musuh yang bisa menjadi duri dalam pencapain cita-citanya. Hidup yang seperti itu adalah sia-sia belaka, seperti yang telah diungkapkan oleh Bentham” bahwa alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan dan kesia-siaan.”

Kebanyakan orang hanya memikirkan diri dan keluarganya dari pada mementingkan kepentingan masyarakat, jadi belum ada pergeseran paradigma tentang hidup adalah untuk kepentingan umum. Hal seperti itulah yang menimbulkan ketidak harmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan terjadilah penggolongan dalam masyarakat antara kaum proletar dan Borjuis

Padahal dalam ajaran Islam setahu penulis tidak boleh ada penggolongan, karena sesama muslim adalah bersaudara. Jadi setiap manusia diwajibkan untuk saling membantu sesama manusia, kehidupan yang seperti itu juga diamini oleh filosuf yunani Aristoleses yang mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia adalah zoon politcon(mahluk sosial).

Perlu dicermati pula jika setiap orang masih menggunakan prinsip kehidupan sebagai kesenangan pribadi maka yang terjadi adalah kerusakan. Bisa kita contohkan jika seorang pejabat legeslatif demi meraih kebahagiaan dirinya saja maka dia akan membuat kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakatnya. dan munculla para koruptor-koruptor baru, baik korupsi yang dilakukan karena kebutuhan(coruption by need) atau korupsi karena keserakahan(coruption by Greet).

Sungguh pemandangan yang menjijikan, oleh karena itu untuk bisa merubahnya maka kita bisa mulai dari diri kita sendiri. Dengan cara memanfaatkan momen pesta demokrasi yang sebentar lagi akan kita rayakan bersama(9 April 2009-pemilihan legeslatif-).

Dalam pemilihan umum kita bisa merubah anggota dewan dengan memilih salah satu wakil yang kita anggap sehat jasmani maupun rohani sehingga mereka bisa bekerja secara maksimal untuk kepentingan rakyat. Dan jika anggota dewan dihuni oleh orang-orang yang berhati bersih maka akan tercipta kebijakan-kebjakan yang baik pula. Karena disana akan tumbuh budaya yang lebih mementingkan kebahagian umat dari pada diri sendiri. Jika semua itu terlaksana maka akan berimbas pada kemajuan negara, karena menurut Friedman syarat untuk menjadi good governant adalah perbaikan budaya (legal culture), struktur ( legal struture) dan isi kebijakan(legal subtantie). Dan dari tiga kategori tersebut yang diutamakan adalah perubahan dalam budaya dulu, jika budaya yang tertanam dalam jiwa para birokrat adalah jiwa yang penuh cinta dan kasih sayang, maka akan berimbas pada setruktur kelembagaan negara. Kumudian bisa berimabas pada suatau kebijakan yang baik yaitu untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Maka dari itu perlu direnungi, demokrasi di negara Indonesia tercinta ini memposisikan sura dari pemilih sangat penting untuk perubahan nasib semua warga Indonesia. Bagi kaum yang apatis terhadap pemilu dan bersikap masa ”bodoh” dengan pemilu(Golput),Dengan tidak menghilangkan rasa hormat saya bahwa prinsip golpu akan menjadikan ganjalan bagi calon wakil rakyat yang baik -menurut masyarakat- tidak bisa melaju mulus karena tidak ada yang memilih.

Dan aliran golput sangat bertentangan dengan prinsip hidup bermasyarakat, kerena lebih mementingkan diri pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Selain bertentangan dengan prinsip hidup bermasyarakat, juga melecehkan sistem demokrasi yang telah kita sepakati bersama, karena esensi demokrasi itu terletak pada banyaknya partisipasi masyarakat dalam hal keikutsertaan untuk mensukseskan pemilu. Indikasi belum idealnya demokrasi di Indonesia ditandai dengan banyaknya angka golput.

Sangat disesalkan jika kita golput, karena proses demokrasi telah menelan biaya mahal. Pilkada jatim saja menelan 700 miliar lebih, apalagi demokrasi yang akan kita lalui ini -bertarap nasional- tentunya akan menelan biaya lebih dari satu 700 miliar. Maka sungguh sia-sia jika kita tidak ikut serta dalam menikmati demokrasi ini.

Oleh karena itu Saya ucapkan selamat bagi yang sudah bisa mengunakan hak pilih, karena secara langsung ikut serta dalam mensejahterakan dan membangun bangsa ini. Suaramu adalah nasib baikku.

Muhtar Said

Aktivis PMII Unnes yang terpentalkan oleh sistem

Tradisi Pesta “Gawai Dayak”

Suara nyanyian sangat merdu dengan alunan musik dayak kandayan terdengar keras. Iramnaya mirip alunan dangdut bercampur pop sehingga terbentuk perpaduan suara khas.

Laki-laki, perempuan, tua, muda berjoget di sudut-sudut keramaian yang menandakan bahwa mereka sangat gembira pada waktu itu.

Tak terlewatkan puluhan kerdus bahkan ratusan kardus botol “bir” dan ratusan liter “tuak” yang terdapat dalam drum dan ken-ken lima literan menjadi minuman wajib yang di hidangkan menambah suasana happy bagi mereka.

Kejadian aneh yang dianggap asusila bagi masyarakat jawa juga tak luput dari pandangan yang menandakan “bukan sebuah asusila” bagi mereka.

Ketika ku tanyakan pada tokoh masyarakat ternyata bulan mei telah tiba, sudah menjadi tradisi perayaan kebudayaan yang dianggap akbar digelar setiap tahun oleh suku dayak.

Hari itu tepatnya tanggal 28 Juni 2009, di dusun Sekedau I Desa Tu’a Abaang Kecamatan Semitau kabupaten Kapuas Hulu telah di gelar acara pesta yang dinamakan gawai dayak. Pada hari itu pula banyak dusun-dusun yang merayakan hal serupa. Akan tetapi bagi dusun yang bersebelahan para pemuka masyarakat adat sepakat untuk melaksanakan pesta gawai dayak dengan tanggal berbeda sehingga satu bulan penuh masyarakat dayak merayakan pesta keriangan tersebut dengan tempat yang berbeda.

Pesta ini rutin diadakan sebagai acara pesta hiburan (menghibur diri). Konon dulu karenan masyarakat dayak ini adalah masyarakat pedalaman sebagaimana namanya “dayak = hulu = jauh dari kota = pedalaman”. Acara dalam pesta ini sangat liar apabila dipandang dari sudut masyarakat jawa karena isinya adalah dari rumah-kerumah disediakan hiburan musik, joget-jogetan, muda-mudi saling colek dan yang pasti ada dan tidak boleh tidak adalah minuman yang disebut “tuak”. Bahkan konon dulu ada acara “sex bebas”.

Acara tersebut benar-benar ramai, dan digelar dalam 3 hari 3 malam berturut-turut. Tidak sedikit rumah yang menyediakann “tuak” hingga satu drum (250 liter) yang disediakan khusus untuk menjamu tamu yang datang dan singgah dirumahnya.

Jadi jangan berani-berani singgah di rumah warga ketika acara tersebut digelar apabila kita tidak suka dengan minuman keras, karena sudah tradisi acara itu untuk para tamu di jamu dengan “tuak”. Dan kadang-kadang dipaksa. Apalagi di masyarakat dayak, ada kepercayaan yang disebut “kempunan”, yaitu kepercayaan yang menyakini apabila bertamu, berkunjung kerumah orang dan tuan rumah menyediakan sesuatu “suguhan/jamuan” baik berupa makanan, minuman maka yang bersangkutan harus mencicipi. Kalau tidak akan mendapatkan karma dan sial.

Begitulah kiranya cerita singkat pengalaman tentang tradisi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana sikap kita terhadap tradisi tersebut, apakah perlu dilestarikan atau di hapuskan?



Salam,

M. Azil Maskur

Orang biasa tanpa jabatan

Sabtu, Juli 04, 2009

Ketika Slavoj Žižek Bicara Perang


Slavoj Žižek


Slavoj Žižek yang lahir pada 21 Maret 1949 di kota Ljubljana Slovenia adalah seorang Lacanian, Sosiologi Marxis, Psikoanalis, dan kritikus budaya. Ia mendapat doktor seni di bidang filsafat dari Universitas Ljubljana dan studi psikoanalisis di Universitas Paris VIII dengan bimbingan Jacques Miller dan Francois Regnault. Semenjak 2005, Slavoj Žižek menjadi anggota Slovenian Academy of Sciences and Arts. Žižek mengetahui dengan baik dalam menggunakan pemikiran psikoanalis abad 20 Prancis Jacques Lacan dalam membaca perkembangan kebudayaan kontemporer. Žižek juga menulis banyak topik budaya populer yang di bahas, beberapa di antaranya perang irak, fundamentalisme, kapitalisme, toleransi, koreksi politik, globalisasi, post-Marxisme, Lenin, human right, subjektivitas, dunia cyber, postmodernisme, multikulturalisme, dst. Žižek mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai seorang Marxis dan komunis.

Slavoj Žižek inilah yang berusaha menghidupkan kembali optimisme di tengah-tengah kematian subjek semenjak era sains dan postmodern. Ketika positivistik menggiring pengetahuan manusia harus eksakuantitatif dan posmodern menempatkan manusia dalam dunia simulakrum. Maka Žižek yang berusaha merajut kemanusiaan manusia dengan mengembalikan subjek.

Berpegang pada subjek a la Cartesian yang di hajar habis oleh rumpun pemikiran postrulturalis dan atau posmodern. Cogito ergo sum, di susun kembali dengan menggunakan terminologi Lacan. Perangkat peralatan pemikiran Lacan mulai dari tahan cermin (the mirror stage), yang simbol (the symbolic), yang imajiner (the imaginary), dan yang real (the real), di rakit oleh Žižek dengan cukup baik.

Setelah mengantarkan secara biografis singkat Žižek. Mari kita bertamasya di pemikiran Žižek sekarang! Kita akan mempelajari bagaimana Žižek melihat ”perang” sebagai sebuah topik budaya populer.

Ketika Donald Rumsfeld menjebloskan pejuang Taliban ke dalam penjara (sebagai pelaku tindak pidana perang), dia tidak hanya memaksudkan bahwa tindakan kriminal yang berbentuk aktivitas teroris itu bertentangan dengan hukum mereka: ketika seorang berkewarganegaraan Amerika melakukan tindakan kriminal, peristiwa serius berupa pembunuhan berat, dia masih tidak di anggap melawan hukum. Perbedaan antara tindakan kriminal dan tindakan yang tidak kriminal tidak memiliki relasi seperti antara penegakan hukum warga dan masyarakat di Prancis dalam the Sans Papiers. Barangkali kategori homo sacer menggunakan pemikiran Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998) sangat berguna di sini.

Hukum yang tidak netral dan bebas nilai ini mengalami penguatan oleh pemikiran Žižek. Hukum ternyata memihak kebangsaan dan kewarganegaraan. Hukum memiliki tendensi kepentingan tertentu. Pelaku teroris barangkali lebih bermartabat dari sekadar pembunuh bayaran ataupun psikopat sekalipun. Mereka memiliki pengorbanan dan ideologisasi yang terpatron dalam benak mereka sendiri. Meraka menjalankan misinya bukan atas kepentingan praktis dan komersil, melainkan menjalankan pandangan subjektif yang mendalam, meski nyawa taruhannya. Meski tindakan pengrusakan dan pembunuhan teroris juga tidak bisa dibenarkan. Tetapi ada sisi positif yang bisa kita lihat. Hal ini juga membuktikan bahwa hukum selalu memihak kubu, kelompok, dan kepentingan tertentu.

Pemikiran ini di angkat dari hukum Romawi masa lalu (the ancient Roman law) seseorang yang dapat dibunuh tanpa mendapat hukuman dan siapa yang diharuskan mati, untuk alasan yang sama, tidak dilihat nilai pengorbanannya sama sekali. Hari ini, sebagai keterpurukan penandaan masa, hal ini dapat nampak dalam menerapkan hukum tidak hanya pada teroris, tapi juga berada di atas dahan gelap akhir sebuah humanisme, Rwandans, afghans), mungkin seperi halnya the Ans Papiers di Prancis dan masyarakat setempat di favelas Brazil atau keturunan Amerika-Afrika di Amerika.

Dalam penegakan hukum internasional nampak kelihatan, supremasi hukum (rule of law) sudah runtuh total. Hukum internasional sudah tidak ada lagi. Ia hanya medium imperialisme bagi kepentingan negara-negara maju untuk melakukan imperialisasi, agresi dan ekspansi-nya. Hal ini nampak ketika Jerman kalah perang. Salah satu jenderal Jerman yang di adili dalam mahkamah internasional (criminal court) melakukan protes. Ia berkata ”benar, kali ini saja di adili sebagai penjahat perang, ya, karena kami (Jerman) kalah perang. Coba kalau saja kalian (sekutu) kalah perang, pasti kalian (sekutu) yang akan kami adili dalam mahkamah ini sebagai penjahat perang”.

Perkemahan konsentrasi militer dan perkemahan pengungsi atas nama kemanusiaan sebenarnya, sebuah paradoksal, dua wajah, inhumanis dan humanis, dalam sebuah matrik sosiologis. Berbicara tentang zaman perang dunia kedua di mana perkemahan militer Jerman yang ada saat menduduki Polandia, sebuah artikel Erhardt berjudul ”Concentration Camp” (dalam Lubitsch’s To Be or Not to Be) mengataka kembali: kami mengkosentrasikan dan menjaga daerah pendudukan dengan perkemahan ini. Satu pembedaan serupa berlaku bagi kebangkrutan Enron, di mana dapat dilihat sebagai argumentasi yang ironis berbasis pemikiran ”resiko atau ketakutan” dalam masyarakat.

Ribuan pekerja kehilangan perkerjaannya dan menyelamatkan dari kepastian resiko kehilangan harta, tapi tanpa memiliki pilihan yang sesungguhnya (without having any real choice): apakah resiko nasib itu diketahui secara buta oleh mereka. Semua merasakan resiko itu, apalagi pemimpin tertinggi mereka, ikut terlibat dalam mengitervensi dalam situasi ini, tapi pilihan pengganti untuk meminimalisasi resiko untuk diri mereka sediri dengan penyediaan kebutuhan mereka tidak diikuti dengan pilihan yang bersal dari hak suara mereka sendiri sebelum kehancuran akibat perang terjadi—resiko yang nyata dan pilihan tetap harus didistribusikan. Di dalam masyarakat yang ketakutan, dengan kata lain, pemimpin tetap memiliki pilihan, sementara yang lain tetap membawa bahaya.

Logika homo sacer dengan jelas dapat mengidentifikasi jalan media barat melaporkan pendudukan Negara Barat: ketika angkatan perang israel, di tubuh bangsa Israel itu sendiri melaksanakan operasi militer, untuk menyerang polisi Palestina dan menyusun penghancuran sistematis infrastruktur Palestina, propaganda yang di jalankan saat itu adalah perang melawan teroris. Paradoksal ini adalah alasan besar yang di goreskan atas ”perang melawan terorisme—sebuah pertarungan dalam medan perang yang mana musuh di katakan jahat karena melindungi dirinya sendiri dan kembali mengobarkan semangat api (returns fire with fire). Membaca kembali pejuang yang melawan hukum (unlawful combatant) siapa yang bukanlah serdadu musuh, yang tidak juga pelaku tindak pidana biasa. Jaringan teroris Al-Qaeda bukanlah serdadu musuh, tidak juga pelaku tindak pidana biasa—Amerika mengklaim biang kerok di balik serangan WTC. Singkatnya, apa yang muncul pada Terorisme samaran, kepada siapa peperangan di umumkan, semuanya adalah strategi untuk memunculkan musuh bersama dalam arena politik internasional (the political Enemy excluded from the political arena).

Hal ini adalah aspek lain dari kepentingan global baru. Kita tidak melihat perang dengan mekanisme lama yang bermula dari sebuah konflik diantara kedaulatan negara di mana kententuan hukum berlaku—.peraturan perundang-undangan dapat menjaga ketertiban atas nama negara, negara dapat memenjarakan narapidana dan memaksa dengan menggunakan senjata. Dua tipe konflik yang tersisa adalah pertama, pertarungan antara kelompok homo sacer —etnik—konflik keagamaan, pelanggaran hak asasi manusia universal, tak terhitung korban sesudah perang, dan memanggil diri ”polisi kemanusiaan” yang mengitervensi melalui kekuatan barat—dan mengarahkan kewenangan gempuran atau agresi langsung dari Amerika dan kekuatan lain dari kepentingan global baru. Di mana kasus, lagi, kita tidak mempunyai kekuatan peperangan yang seimbang, tapi sekadar perjuangan melawan hukum (unlawful combatans) terhadap kekuatan kepentingan universal ini. Kedua, sesuatu tidak dapat bahkan membayangkan satu organisasi berperikemanusiaan netral seperti Palang Merah menengahi di antara peperangan berbagai pihak, mengorganisir satu pertukaran narapidana dan seterusnya, karena satu realitas dalam peperangan atau konflik dunia, Amerika memiliki dominasi kekuatan global (dominated global force) yang telah di asumsikan berperan besar dalam organisasi Palang Merah, satu sisi ikut melancarkan aksi imperialisme dalam peperangan, tapi juga sebagai juru mediasi mengatas-namakan agen perdamaian dan kepentingan dunia, menghancurkan pemberontakan dan secara bersamaan meyediakan bantuan kemanusiaan ke masyarakat lokal.
Organisasi kemanusiaan sekalipun, seperti Palang Merah, patut dikritisi sebagai sebuah institusi yang rawan pengaruh. Netralitas di dunia ini tidak mungkin. Keberpihakan selalu muncul. Entah itu Palang Merah yang menolong korban yang diprioritaskan kubu tertentu atau bahkan menjadi spionase pihak-pihak bersengketa. Spionase bagi Palang Merah ini sangat mungkin terjadi, mengingat, keberadaan relawan Palang Merah berasa di mana-mana saat perang terjadi. Ia mungkin saja mengeruk informasi dan mendistribusikannya, serta menyalah gunakan informasi itu.

Tragedi kemanusiaan paling berat terjadi dalam peperangan. Pihak-pihak yang berlawanan yang berhadap-hadapan tak mungkin saling memikirkan rasa sakit yang di derita oleh lawan jika terkena hantaman peluru. Apalagi sampai memikirkan bila terjadi apa-apa dengan lawan, bagaimana keluarga yang bersangkutan. Sialnya, perang saat ini telah terbungkus dengan kain media dan politik internasional yang halus. Amerika menginginkan perang dan kolonialisasi terlebih dahulu ”membuat” terorisme.

Anehnya dalam hal ini “kebetulan kebalikan (coincidence of opposites)” pada capaian puncak, Harald Nesvik, satu anggota fraksi sayap kanan dari Dewan Perwakilan Rakyat Norwegia, mengajukan George W. Bush dan Tony Blair sebagai kandidat peraih nobel perdamaian agung (the nobel peace prize), menghargai peran besar mereka dalam perang melawan teroris (war on terror). Dengan demikian kata mutiara Orwellian ”Peperangan adalah damai” (War is Peace) akhirnya menjadi realitas, dan aksi militer semakin menggila pejuang Taliban dapat dijadikan sebagai satu cara untuk pengiriman bantuan keselamatan atas nama kemanusiaan (yang tentunya sangat tendensius). Kita tidak lagi memiliki perlawanan antara perang dan humanisme: intervensi yang sama dapat berfungsi di keduanya taraf secara serempak. Runtuhnya rejim Taliban disajikan seolah-olah sebagai lahan strategi untuk menolong masyarakat Afghanistan dari tekanan Taliban; seperti yang di katakan Tony Blair, kita mungkin harus mem-bom bardir Taliban agar mengamankan angkutan makanan dan distribusi. Barangkali ultimatum ini dapat dibayangkan oleh masyarakat lokal sebagai homo sacer bahwa peperangan oleh pesawat terbang Amerika di atas Afghanistan: sesuatu yang tidak pernah dipastikan apakah akan menjatuhkan bom atau parsel makanan.

Konsep homo sacer ini menyediakan kita untuk mengetahui banyaknya somasi guna memikirkan ulang dasar dugaan terkini dari derajat manusia dan “kebebasan” yang telah di keluarkan semenjak 11 September. Patut diperlihatkan di sini adalah Jonathan menulis dalam Newsweek artikel dengan judul “Waktu untuk Memikirkan Penyiksaan (Time to Think about Torture)” (5 November 2001), dengan subjudul tidak menyenangkan “It’s a new world, and survival may well require old techniques that seemed out of the question”. Setelah tergoda dengan ide Israil memberikan legitimasi penyiksaan fisik dan psikologis yang di anggap sebagai urgensi yang ekstrem (ketika kita mengetahui satu narapidana teroris menguasai keterangan yang mungkin bisa menyelamatkan ratusan kehidupan), dan pendapat yang “netral” seperti “Beberapa Penyiksaan yang Jelas Bekerja (Some torture clearly works)” yang menyebutkan : kita tidak dapat melegitimasi penyiksaan, ini bukan nilai-nilai filosofis Amerika. Bahkan kita berada dalam jalan berlawanan dengan perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia, kita perlu mempertahankan satu pemikiran yang terbuka untuk memperangi terorisme, seperti sanksi pidana yang menghukum dan menginterograsi secara psikis (court-sanctioned psychological interrogation). Dan kita harus mengirim beberapa tersangka untuk Amerika mengurangi musuh, sekalipun bermuka dua.


Bersambung…………….

Awaludin Marwan, biasa di panggil Luluk, pegiat Embun Pagi