online degree programs

Rabu, Februari 27, 2008

Kuba Bertahan dalam Kepemimpinan Marxisme-Leninisme


Proses pergantian kepemimpinan dari Fidel Castro ke Raul Castro menjawab kegamangan publik internasional akan kepastian arah Kuba. Kuba diyakini sebagai negara komunis paling konsekuen, disamping Korea Utara -meskipun dalam sistem perekonomian korsel cenderung kapitalis-, memang terasa cukup fonumenal berkat lahirnya tokoh dengan kepemimpinan berhaluan kirinya yang kental di Kuba. Fidel Castro maestro politik dunia mengundurkan diri pada usia 83 tahun digantikan sang adik Raul Castro yang se-ideologi. Bisa diartikan, tak ada perubahan di Kuba, generasi muda harus menunggu, demokrasi pun layu.

Hampir sama suara khalayak luas berdentang, mengira tak akan ada bedanya antara Kuba sebelumnya dan saat ini. Dinasti Castro telah mengakar hingga titik nadir kehidupan sosial politik negara berkonsep pemikiran Karl Marx itu. Castro memang dikenal gigih memperjuangkan komunis di negaranya. Sebelum bertahta di puncak kekuasaan, Castro mengulingkan Fulgencio Batista dengan kudeta cukup fantastis. Konon dengan 600-an pasukannya, Castro mati-matian menumbangkan tentara milik Batista berjumlah 30 ribua-an. Batista pun akhirnya lari ke Dominika pada tanggal 1 Januari 1959 yang kemudian hari tersebut disebut-sebut sebagai hari revolusi Kuba. Setelah menjabat, Fidel cukup populis dengan kebijakannya untuk mendirikan Organizaciones Revolusionarias Intergradas (ORI) yang kemudian berubah menjadi Partido Unido de la Ravalucion Socialista (PURS-1963), terakhir berganti nama menjadi Partido Comunista de Cuba (1965). Kemudian kebijakannya yang “mungkin” menyentuh kepentingan akar rumput, yakni penanganan hak kepemilikan tanah, pengangguran, buta huruf, dan pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin.

Di tangan Fidel, Kuba memang menjadi negara komunis terkental. Komunis menjadi pilihan Presiden yang cukup akrab dengan tokoh revolusioner terkenal Argentina Ernesto “Che” Guevara sebagai mitra se-ideologi yang memiliki gagasan bernegara karena watak dan kepribadian keras dan keinginan sosial yang relatif tinggi untuk tujuan keadilan macam sama rata sama rasa. Dua tokoh sosialis ini sadar atau tidak, tak bias lepas dari pemikiran Marx. Marx seorang filosof, sosiolog dan ekonom terkemuka abad ke-19 menjadi kiblat pemikiran komunis yang merajut sebuah gagasan/ konsep/ teori hingga penerapannya pada negara. Dalam The German Ideology (1846) ia menegaskan bahwa sosialisme sebagai antitesis kapitalisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan lagi sekadar tuntutan etis melainkan telah menjadi sebuah keniscayaan objektif. Sementara itu, perkembangan kehidupan bidang ekonomi dalam masyarakat kapitalis sendiri ditentukan oleh pertentangan kelas, yakni antara kelas pemilik modal (kapital) dan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, pertentangan di atas akan dipertajam oleh kemajuan teknik produksi. Dan, pada akhirnya, pertentangan tersebut akan meledak dalam sebuah revolusi sosial dan akan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi; tidak akan ada lagi hak milik pribadi. Akhir dari perjalanan sejarah umat manusia adalah masyarakat sosialis.

Memang banyak kalangan yang menilai ada perbedaan tebal antara sosialis dengan komunis. Namun dalam praktek, komunis lahir terilhami oleh pemikiran sosialis ala Marx ini. Kita bisa melihat penerapan konsep penyamarataan kelas ala Marx ini di negara-negara berhaluan komunis. Misalnya ketika kita berkenalan dengan partai komunis yang umumnya cukup dominan di negara komunis, maka kita dapat melihat posisi partai yang mencoba mengambil hati rakyat banyak dengan dalih kaum buruh bersatu, tetapi kemudian terlahir diktator ploletariat walaupun masih dalam kerangka sama rata sama rasa. Kaum buruh bersatu menjadi simbol dari semangat keseragaman (uniformitas) untuk meneriakkan angin kebebasan yang akhirnya pada sebuah antiklimaks yang mengarahkan arti pentingnya persatuan dan kesatuan yang utuh untuk membangun sebuah negara tirai besi di bawah mahzab komunisme. Sebuah gagasan ideal yang mengarahkan pada tujuan kesetaraan ini masih menyisakan kebuntuan akan terus lahirnya diktator ploletariat sebagaimana tadi disebutkan. Sebagai implikasinya tampak bagaimana ilmuwan idealis tercampakkan, pers tertekan, hak asasi dikesampingkan, dan demokrasi dimodifikasi menjadi kekuatan diktator ploletariat yang bersangkutan.

Gagasan Marx lambat laun tumbuh-kembang maupun runtuh dengan sendirinya. Pukulan pertama diderita komunisme dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (1965). Tiga puluh empat tahun kemudian (1989) satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: mulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan akhirnya Rumania. Tiga tahun kemudian (1991), Uni Soviet (negara adikuasa kedua sebagai simbol komunis dunia) pecah menjadi 14 Republik Negara yang mendeklarasikan untuk merdeka. Kendatipun demikian gagasan Marx tersebut masih tumbuh subur di Korea selatan, Rusia, Armenia, Azerbaijan, Belorussia, Estonia, Georgia, Kazakstan, Kirginstan, Latvia, Lilthuania, Moldavia, Tadzhikistan, Turkministan, Ukrania, Uzbekistan dan beberapa negara lain di belahan dunia ini. Ajaran Marx ini juga menemukan potensinya tumbuh subur di Kuba dengan pergantian Fidel Castro ke tangan Raul Castro sama-sama seorang sosialis.

Raul Castro tidak hanya sekedar adik dari Fidel. Akan tetapi bisa dikatakan orang yang paling setia kepada Kakaknya. Raul senantiasa berjuang bersama dengan Fidel, karena hampir semua jabatan strategis baik kenegaraan ataupun kepartaian diserahkan kepada adik. Bahkan tercatat Raul pernah dinobatkan menjadi Presiden pengganti Castro pada tahun 2006 dalam kisaran waktu tertentu. Semenjak ke-aktifan kembali Fidel sebagai presiden, Raul dipercaya menjadi sekretaris pertama komite pusat partai komunis kuba dan palima angkatan bersenjata Kuba dan presiden dewan negara. Begitulah Fidel dan Raul di ibaratkan Raul buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Fidel Castro... Kuba tetap menjadi negara tirai besi seperti sebelumnya

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Begitu indahnya hidup dalam romantisme gagasan...
kapitalisme memang penyakit kangker...tapi sosialisme menjawab dengan memotong kangker tersebut.
apa jadinya? kehidupan terasa mati!!!

Anonim mengatakan...

Tulisan yang bagus, salut buat Mas Fahmi...tapi sebagaimana layaknya intelektual, entah sebagai label atau mungkin betul-betul melekat dalam fikir, sikap, dan laku; entah dengan sengaja mengejar "gelar" intelektual atau ia sudah dengan sendirinya melekat pada seseorang itu...seperti yang pernah saya alami, semuanya mesti di apresiasi secara intelektual, yakni dikritisi..jangan dipuja,
karena kita semua sama, tidak ada tua atau muda, yang ada adalah sama-sama manusia yang tetap mencoba bertahan untuk menjadi manusia...

Salam,

Anonim mengatakan...

Sepakat,ha2...
namun masalah intelektual apa tidak saya tidak peduli...
yang penting saat ini kita berjalan seperti apa adanya...
tapi kalo menurut Edy ymasalah muda dan tua ndak jadi masalah...
apa gunanya waktu???

Anonim mengatakan...

kalau yang tua seperti yang mdua, dan yang muda seperti yang tua, khan gak ada bedanya...tua muda dalam arti pemikiran, kedewasaan, intelektual, emosional, dan spiritual lho...piye jal?

Anonim mengatakan...

percayalah, sebelum nekat menuliskan itu sudah saya coba pikirkan beberapa pertanyaan yang mungkin diajukan.
salah satunya ya siapa yang muda, siapa yang tua, kategorisasinya berdasarkan apa?
tapi tetap tidak dituliskan karena seperti tidak ada habisnya, menyediakan barbagai kategorisasi, bukan hanya soal waktu..
jadi, untuk bagaimana yang tua/muda itu ya relatif saja. siapa yang merasa tua, yang merasa muda (menurut penafsiran masing-masing)
sepertinya kok sudah jenuh dengan mengkritik orang lain, itu cuma kritik diri sendiri, dan saya cuma mengajak tmen-tmen untuk itu. kalo mau y sukur, kalo ga y ga' papa lah..
gitu saja kok mas..