Awaludin Marwan (luluk)
Perlindungan Hak Asasi Manusia sebelum perang dunia ke-II nampak jarang sekali terlihat. Sebab, pengakuan akan adanya hak asasi manusia hanya terjadi secara sporadis. Bisa kita lihat bagaimana upaya sektor swasta hanya dimulai dalam revolusi industri di inggris dan masyarakat revolusi perancis memberikan semangat bagi lahirnya nilai-nilai yang di yakini menjadi ruh bagi terwujudnya pengakuan hak asasi manusia sampai saat ini. Setelah itu, pascaperang dunia ke II inilah adopsi terhadap piagam PBB 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tiga tahun kemudian membuka suatu jendela kesempatan bagi berbagai negara, organisasi internasional dan aktor internasional untuk memulai perjuangan perlindungan hak asasi manusia.
Semenjak pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut , baru kemudian banyak persoalan kemanusiaan di belahan dunia yang satu-persatu mulai berakhir. Mulai dari isu tentang perbudakan, rasisme, perdagangan manusia menjadi sebuah tindakan yang di larang oleh hukum nasional diberbagai negara tersebut. Kendatipun demikian, persoalan Hak Asasi Manusia tak dapat di hilangkan begitu saja. Fakta menyebutkan pada tahun 1970-an Guetamala tidak selaras dengan ratifikasi negaranya dari pelanggaran atas hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya; untuk menjamin kebebasan penyiksaan dan perlindungan terhadap ras minoritas dan anak-anak. Ataupun Irak di waktu yang sama, segala bentuk diskriminasi rasial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (perang saudara) adalah suatu hal yang umum terjadi. Saat itu penegakan hukum hak asasi manusia di dominasi oleh negara –atau pemerintah dalam arti sempit, sehingga pada ahirnya muncul berbagai peran lebih besar dari organisasi internasional dan aktor internasional yang ikut berpartisipasi dalam menuntaskan pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia tersebut. Kekuatan besar Negara, organisasi internasional dan aktor internasional turut menyumbangkan tingkat kehilangan paksa di Argentina (Keck dan Sikkink 1998, hal 103-110), ratifikasi terhadap perjanjian internasional mengarah pada pengurangan hambatan legal bagi orang-orang Korea di Jepang (Iwasawa 1986) dan konvensi menentang penyiksaan telah mengubah cara pandang yang digunakan pemerintah Israel dalam menginterogasi orang-orang yang dicurigai sebagai teroris (Ron 1997) dan banyak hal yang lain. Sayangnya, kekuatan besar internasional ini baru bisa menembus
Kita tahu bersama bahwa
Setelah orde baru masalah penegakan HAM perlu diakui telah surut, namun belum tentu menjamin adanya ketiadaan pelanggaran HAM yang terjadi. Di bidang politik, hak bagi calon independen belum bisa memiliki kesempatan yang sama dengan ruang politik yang disediakan oleh parpol. Di samping itu juga hak-hak politik dengan menambah kuota 30 % bagi perempuan tidak berjalan secara optimal karena bukan bersoalan regulasi atau system, akan tetapi lebih kearah kesadaran elit yang kurang menyediakan ruang gerak bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Di bidang agraria masih banyak persoalan yang belum selesai. Sebut saja kasus petani dan masyarakat adat Kajang versus PT London Sumatera (Lonsum) di Kabupaten Bulokamba, Sulawesi Tenggara; kasus warga rumpin Bogor, Jawa Barat; Kasus Petani Alastogo, Pasuruan Jawa Timur; Kasus Petani Runtu, Kabupaten Waringin Barat Kalteng; Kasus PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Papua; Kasus petani Ogan komering ilir; kasus petani Lengkong Sukabumi Jabar (Wacana HAM, 2007).
Ironisnya, setelah kasus pelanggaran HAM dengan basis ekonomi-lingkungan yang muncul, namun kasus kekerasan lagi-lagi terjadi bahkan kali ini tidak hanya di lakukan oleh masyarakat sipil saja. Akan tetapi tabel kasus brutalitas polisi sebagai aparat penegak hukum tercatat oleh Imparsial pada tanggal 21 September dan 28 September 2007, polisi yang menembak warga dan polisi yang menganiaya tahanan. Dengan demikian, kampanye perlindungan terhadap pelanggaran terhadap HAM tidak hanya ditujukan kepada masyarakat sipil saja, akan tetapi juga seluruh komponen Negara dan bangsa sebagai suatu kesatuan yang utuh –termasuk aparat penegak hukum.
Kini telah lahir ratifikasi dari konvenan internasional tentang hak ekonomi, social, dan budaya (Ekosob) atau International Convenant On Economic, Social, And Cultural Rights yang disyahkan dengan UU No. 11 Tahun 2005 dan konvenan internasional tentang hak sipil dan politik (SIPOL) atau International Covenant On Civil And Political Right yang disyahkan dengan UU No. 12 Tahun 2005 pada tanggal yang sama. Dengan terbitnya peraturan ini, maka diharapkan hak social politik, dan budaya lebih terjamin. Menempatkan Negara yang posisinya wajib mengambil langkah-langkah penting bagi terwujudnya pemenuhan kebutuhan hak dasar melalui kebijakan dan sumber daya yang dimilikinya. Tentunya hal ini cukup membutuhkan elemen masyarakat sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap tindakan dan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tersebut.
Penulis adalah Director Exekutive Democracy Watch Organization
Tidak ada komentar:
Posting Komentar