online degree programs

Rabu, Februari 25, 2009

Nantikan



Launching dan Diskusi
Gedung Dekanat Fakultas Bahasa dan Seni - Unnes Semarang
Selasa, 17 Maret 2009, pukul 08:00 WIB s/d 12:00 WIB

Selasa, Februari 24, 2009

A Walk to Remember

Masih dini hari, atau sudah dini hari. Saya lebih suka menyebutnya sunyi. Mungkin beberapa jam lagi akan terang dan ramai, mungkin juga tidak. Tetapi kemungkinan besar besok masih akan terang. Radiohead masih bernyanyi Creep, berulang-ulang, dari awal sampai akhir lalu kembali ke awal dan mengalun sampai akhir. Kemudian saya menambahkan Wild World dari Mr. Big. Adakah yang bisa membayangkan suasananya?

Hanya beberapa menit yang lalu, yang juga berarti hari yang lalu, saya masih menikmati acting Mandy Moore memerankan Jamie Sullivan, dalam A Walk to Remember. Tidak, saya berbohong. Saya sebenarnya tak menikmati acting Mandy Moore dan siapapun. Saya menikmati yang lain. Wajah anggun dan lembut, alur cerita, juga satu lagu. Film dengan judul A Walk to Remember kemudian dilanjutkan Radiohead, Creep. Di sini, di kamar kos, jam 1 dini hari saat liburan semester. Dan, silahkan tersenyum...
***

Beberapa jam sebelumnya saya menyelesaikan membaca satu buku kecil Victor E Frankl, Logoterapi. “Jika dijelaskan dengan satu kalimat, psikoanalisis berarti pasien harus berbaring di atas sebuah tempat tidur, dan menceritakan padamu apa-apa yang tak pantas diceritakan.”. Dengan cara yang sama, ”dalam logoterapi pasien boleh duduk atau berdiri namun dia harus mendengar apa-apa yang terkadang tidak pantas untuk diceritakan”. Demikianlah, Frankl membedakan psikoanalisa dan logoterapi, namun dalam canda.

Saya masih ingat film yang baru berapa manit lalu saya tonton, A Walk to Remember. Jamie Elizabeth Sullivan, menyukai planet-planet dan tata surya, anggota klub drama di sekolahnya, bercita-cita untuk witness the miracle, menjadi tokoh utama di film itu. Atau barangkali akan lebih baik jika saya memulai dengan garis besar ceritanya. Tapi mungkin juga tidak.

Saya lanjutkan.

Landon Lance Carter, juga tokoh lain dalam film. Dia anak gaul. Dan barangkali saya lupa, Jamie bukanah anak gaul, sepertinya boleh dikatakan dia memakai model pakaian yang sedang ­nge-trend disaat Ibunya masih muda. Ah, dengan cara menerangkan seperti ini, saya harus meminta maaf pada Jamie, karena ibunya telah meninggal.

Kehidupan Jamie, jika memang pernah ada, menjadi cerita film saat Ia berusia 18 tahun. Bertahun-tahun sejak TK, Jamie berteman sekelas dengan Landon, namun mereka tak bisa dikatakan kenal baik. Pada saat berusia 16 tahun, Ia, Jamie Sullivan, diketahui mengidap Leukimia, dan dokter menyarankan padanya untuk hidup sewajarnya, sampai waktunya meningal. Tetapi kalimat ”sampai waktunya meninggal” tentu tak diucapkan secara eksplisit oleh dokter.

Film itu diawali dengan Landon yang tertangkap oleh polisi. Dia bersama-sama peer group-nya memasuki area sebuah pabrik tanpa izin. Kabar sampai di sekolah, kepala sekolah menjatuhkan hukuman. Setiap akhir pekan dia harus mengajar beberapa anak tidak beruntung, membantu pementasan klub drama sekolah, membersihkan toilet sekolah setiap pulang sekolah. Dua hukuman awal membuatnya sering bertemu dengan Jamie, hukuman tengah membuatnya meminta bantuan kepada Jamie, karena pengasuh klub drama memberikan peran utama kepada Landon.

Bisa ditebak. Landon meminta bantuan kepada Jamie, dan Jamie mengajukan satu syarat : ”you have to promise, you won’t falling in love with me”. Dengan sedikit senyum seringai, agak mencibir, Landon menjawab “okay, that’s no problem”. Mungkin dalam benaknya, Landon tertawa lebar.

Drama selesai, dan, tentu saja, sukses. Landon memukau penonton.

Mungkin terlalu mengeksplorasi hubungan asmara antara 2 orang, atau fokus dalam cerita. Yang jelas adegan Landon membersihkan kamar mandi, juga adegan Landon mengajar anak kurang beruntung di akhir pekan tak lagi terlihat. Seakan cerita film telah terputus (seperti pada alur dari paragraf setelah ini menuju paragraf selanjutnya, jika Anda mencermati). Film yang diawali dengan Landon yang agak bengal dan kemudian mendapatkan sanksi, dilanjutkan dengan hari-hari Landon bersama Jamie. Rupa-rupanya sanksi atas Landon tidak menceritakan apa-apa.

Seperti suatu saat Landon mengajak Jamie makan malam pada Sabtu malam—boleh kita sebut berkencan—tetapi Jamie tak diijinkan berkencan oleh Ayahnya, yang seorang pendeta. Landon kemudian meminta ijin pada Ayah Jamie, atau lebih tepatnya memaksa, setelah beradu argumen di dalam sebuah gereja. Dan mereka berkencan.

Ketika berjalan beriringan, tiba-tiba Jamie menatap mata Landon dengan mimik muka terisak, dan berkata “Landon, I’m sick! I have leucimia”. Dan Landon menjawabnya dengan ”no, you’re eighteen, and you’re perfect” dengan bingung, mungkin setengah percaya dan setengah tidak. Jamie memang mengidap leukemia, karena itu Landon marah dan bertanya-tanya mengapa Jamie tak memberitahunya sejak awal. Jamie menjawab, karena dia tidak ingin orang-orang disekitarnya memperlakkannya dengan tidak biasa. Sedikit tinggi Landon berucap ”including me?!” dan Jamie menjawab ”especially you!”. Semua berjalan dengan baik pada diri Jamie, sampai kemudian Landon muncul. Meskipun demikian, bagi Jamie, tidak ada alasan baginya untuk marah kepada Tuhan.

Saya ingin berhenti di sini, dan berpindah pada Victor Frankl, bahwa manusia perlu untuk mencari makna, apakah itu melalui mempertanyakan esensi eksistensi, melalui cinta, atau melalui penderitaan.

Jamie, bagi saya adalah contoh yang cukup baik tentang penjelasan Frankl. Bahkan ketiga cara mencari makna, mencari suatu noo-dinamic, dalam bahasa Frankl, yang berarti keadaan jiwa yang dinamis. Bagi Frankl, apa yang dicari manusia bukan keadaan yang seimbang, melainkan keadaan yang selalu dinamis, yang hidup, dan tahu (barangkali erarti telah menentukan) untuk apa dia hidup.


NB : Landon menikahi Jamie, di gereja yang sama dengan gereja yang menjadi tempat pernikahan Ayah dan Ibunya 20 tahun lalu, seperti yang diimpikan oleh Jamie, hanya beberapa hari sebelum akhirnya Jamie meninggal.

Ahmad Fahmi Mubarok

Senin, Februari 23, 2009

CINTA, REALITA DAN DILEMA KAUM PRIA (Tamat)

Tulisan ini bermaksud mengisi sesuatu yang kosong. Dan mencoba mengabadikan pengalaman saya yang kapan saja dapat menguap, sekaligus mencoba mengakhiri pembahasan tulisan ’hiburan’ yang pernah saya tulis beberapa bulan yang lalu. Di sela-sela kegiatan untuk menyelesaikan sesuatu yang dapat mengancamku drop-out, akhir-akhir ini ada dua orang teman cowok yang sedang dirundung permasalah ”cinta”. Keduanya bisa dikatakan mapan secara status sosial serta ekonomi, tapi dalam dirinya terjadi pergolakan yang luar biasa terkait dengan kehidupan asmara. Fatalnya, keduanya menganggap bahwa kemampuan analisis-ku dapat menjelaskan permasalahan mereka berdua. Saya kira anggapan ini perlu dipertanyakan. Tapi apa boleh buat kalau mereka menganggapnya demikian.

Katakanlah namanya AR dan CB. AR adalah sosok yang perfeksionis serta apologis. Dia menganggap dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Konsekuensinya, dia ’harus’ mendapatkan calon istri yang juga dekat dengan Tuhan. Jadi perempuan impiannya adalah seseorang yang dapat menjaga diri dan bersih dari lelaki gadungan. Perempuan dengan alis tebal, kulit putih, cerdas---yang pasti harus berjilbab---dengan wajah polos ialah perempuan idamanya. Istri idamannya ialah sosok yang harus dapat menjaga rumah, mendidik anak serta dapat dibanggakan secara sosial. Sedangkan CB harapan-harapannya tidak jauh beda dengan AR. Kedua-duanya mengidamkan perempuan muslim yang santun serta alim---seperti wajah perempuan di film Perempuan Berkalung Surban.

Tidak ada yang salah dengan harapan-harapan kedua sahabatku tersebut---karena saya sendiri mengidamkan perempuan yang demikian. Tapi masalah-nya ialah ketika mereka berdua menganggapnya menjadi suatu yang mutlak alias harus. Disinilah sumber masalahnya. Ketika sebuah tujuan melegalkan segala cara. Ketika harapan-harapan berdiri di atas realitas yang rapuh. Ketika mimpi dianggap kenyataan. Ketika hasrat menutupi semua sifat cinta yang sebenarnya harus estetis sekaligus etis. Yang terjadi ialah kisah cinta yang rumit dengan jalan terbirit-birit. ’Cinta tak lebih’ objek yang mencoba untuk dimiliki dan bukan diperjuangkan.

Alih-alih mendekati perempuan idamannya secara langsung, keduanya menggunakan cara yang cukup konservatif, yaitu mendekati kedua orangtua perempuan yang menjadi sasaran tanpa lebih dulu mendekekati secara langsung dari hati ke hati tentang isi hati cewek idamannya. Yang terjadi adalah peneremiaan dari orangtua si gadis---bukannya si gadis itu sendiri. Saya tidak tidak tahu menahu apa yang terjadi di dalam keluarga si cewek, namun yang menarik untuk disorot ialah reaksi dari si cewek terhadap AR dan BC. Keduanya melakukan penolakan secara halus. Jadi bisa dipahami bila AR dan CB stress setengah mati.

Saya sendiri mendapat pelajaran dari kasus mereka berdua. Bahwa status yang ’ tinggi’ dari laki-laki tidak akan menjamin diterimanya penawaran cinta seseorang. Hal ini agak berbeda dengan tesis saya sebelumnya. Menguatkan pendapat Erich Fromm bahwa mayoritas masyarakat sekarang ini sebenarnya ingin dicintai bukannya mencintai. Bagi Fromm, dalam The Art of Loving, mayoritas orang berusaha mendapatkan cinta dengan cara meraih status yang tinggi yang biasa dilakukan oleh laki-laki dan mempercantik diri yang biasa dilakukan perempuan adalah bukti bahwa sesungguhnya manusia tidak sepenuhnya mencitai tapi lebih ingin dicintai. Walaupun saya sendiri tidak sependapat dengan analis Fromm yang menuduh kapitalisme sebagai penyebab masyarakat berfikir demikian.

Menurut saya, permasalahan tersebut murni praksiologis. Artinya, bahwa masalah tersebut terkait dengan bagaimana manusia menggunakan means alias cara-cara untuk mencapai tujuannya. Dalam kasus kedua sahabat tersebut, apa yang menjadi problem mereka ialah rendahnya kreativitas dalam meraih tujuannya. Cara mereka dalam melakukan pendekatanlah sebenarnya sumber kegagalan mereka. Cara mereka yang cukup konservatif menurut saya adalah inti jawaban mengapa mereka berdua mendapatkan penolakan.

Di jaman ketika arus informasi begitu kuat serta pemahaman emansipasi yang begitu tinggi. Perempuan sekarang, menurut saya, cukup pandai untuk menilai cowok mana yang dapat membahagiakan diri mereka. Alasan lainnya ialah makin luasnya kebebasan bagi perempuan untuk memilih sendiri cowok mana yang dapat dijadikan sebagai partner hidup. Konsekuensi dari perubahan tersebut ialah makin ketatnya persaingan untuk mendapatkan perempuan dengan kategori high class. Jadi cowok-cowok yang paling dapat menyesuaikan diri dengan karakter si ceweklah yang sebenarnya memiliki peluang lebih tinggi untuk mendapatkan hati si cewek---bukannya hati si ortu,ha2.

Oleh karena itu, cowok sekarang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam bersikap. Dengan kata lain, cowok sekarang harus memiliki ketrampilan seperti bunglon. Yaitu mampu beradaptasi menurut ‘warna’ lingkungannya. Jika seorang cowok memiliki sifat yang sabar, fleksibel dan toleran, makin besar peluang mereka untuk mendapatkan tujuan yang diinginkannya.

Jadi melakukan cara-cara dengan menganggap bahwa ketika kita mendapatkan hati si ortu seorang cewek kemudian dengan sendirinya akan mendapatkan hati anaknya ialah cara yang kuno. Cara ini, menurut saya, cukup ketinggalan jaman. Cara dimana memanfaatkan otoritas ortu untuk mendapatkan hati seorang cewek bisa dikatakan sebagai cara Orde Baru. Sebuah cara yang meyakini bahwa hubungan kekuasaan dapat menyelesaikan suatu masalah ialah anggapan yang perlu direvisi ulang.

Di sini agar saya tidak disalah mengerti, bukan berarti kita harus mengabaikan peran orang tua---Saya masih menganggap peran orang tua masih penting. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan di sini ialah bahwa kita, sebagai cowok, yang sebenarnya ingin mencintai seorang anak manusia---bukannya seorang ibu-bapak manusia--- setidaknya juga menggunakan cara-cara yang lebih manusiawi. Dengan menggunakan otoritas sebagai sarana kita mencapai tujuan, sekali lagi menurut saya, sebenarnya ialah bukan cara yang manusiawi. Cara tersebut ialah cara dimana sebuah pilihan seseorang kita asumsikan dapat dipaksakan. Pilihan, kategori yang paling mendasar dari manusia, yang harus tunduk pada otoritas bukanlah pilihan sesungguhnya, tapi lebih mendekati dengan penjajahan.

Untuk mengakhiri artikel ini, saya merekomendasikan sebuah buku menarik dari Erich Fromm, The Art of Loving. Menurut Fromm, agar seorang mampu mencintai setidaknya dia harus menguasai tiga hal. Pertama, yaitu penguasaan secara teoritis tentang cinta, kedua ialah melatihnya melalui praktek mencintai dan yang ketiga ialah dengan menjadikan cinta sebagai profesi atau keahlian. Sekian, salam Cinta!(Giy)


Senin, Februari 16, 2009

Pengetahuan dan Kenyataan yang Berpihak


Sebuah Tanggapan Atas Tanggapan Giyanto terhadap Tanggapan Abdul Aziz



Sekitar 20 tahunan yang lalu, Jean-François Lyotard menulis bukunya yang termasyur La Condition Postmoderne: Rapport sur le Savoir, saya sekadar memahaminya melalui tulisan bahasa inggris Robert Hurley (2000), yang salah satu intinya adalah konsepsi “awan”. Awan selalu berubah-ubah, tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya, begitulah konstruksi bangunan pengetahuan manusia. Ia tak luput oleh relativisme subjektif dan penilaian asumtif yang dilakukan subjek kepada objeknya. Demikianlah pengetahuan oleh Kant di proposiskan dalam sebuah kemurnian nalar yang berbasis hukum yang universal, Marx pengetahuan berpihak dan nilai bentukan klas borjuasi, sedangkan Lyotard berusaha menyempurnakan dengan mengandaikan bahwa pengetahuan pada mulanya sudah berpihak pada diri subjek itu sendiri.

Jadi kebenaran terhadap sebuah pernyataan bagi pemikiran intelektual modern, terutama posmo -khususnya Lyotard, tidaklah lagi kebenaran objektif, melainkan kebenaran relatif dan subjektif, kalaupun mungkin itu kebenaran kolektif kemungkinan bisa di selesaikan pada batasan kebenaran intersubjektif, sifatnya bukan universal melainkan lokalistik. Tergantung pada orang dan kelompok yang memungkin komunikasi rasional itu berjalan tanpa hegemoni dan dominasi, meskipun itu sulit.

Jadi mas Giyanto mengklaim empirisme yang dapat membohongi nalar (reason) dan menawarkan resolusi atas tawaran mas Azis barangkali sebatas kebenaran yang dikehendaki dan dilaksanakan oleh Giyanto itu sendiri. Dan tergantung bagaimana juga Mas Azis menanggapinya. Sebab, intelektualisme memang bukan sebuah arena pertarungan kejeniusan dan mengharuskan pihak menang dan kalah. Tetapi prosesi dialektika yang diperuntukan bagi kuatnya pengetahuan dan munculnya berbagai alternatif baru bagi perolehan pengetahuan manusia guna mencari kebenaran. Sebab pencarian kebenaran memiliki kepuasan tersendiri bagi pemikir dan memberikan pencerahan bagi khalayak.

Yang agak saya pikirkan sekarang ini, kemungkinan Giddens bermain dalam ranah konteks Indonesia. Memang Giddens pernah menguraikan paradigma sosiologi dalam interkoneksitas yang terdiri dari mikro dan makro. Namun uraian tersebut diikuti oleh pernyataan Giddens tentang “internasionalisasi”, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tak lagi mengenal batas-batas negara, dan hendaknya dunia menjadi satu untuk menjawab tantangan zaman yang seiring dengan perkembangan kejahatan, lemahnya intregasi sosial, perputaran laju perekonomian, dst.

Memang Giddens pernah menyatakan tentang identitas diri, yang berupa identitas individu dan indentitas struktur. Pribadi-pribadi yang menyeragamkan pandangan dan menciptakan warna, tradisi, dan hukum tersendiri, namun eksistensinya telah tergerus desakan globalisasi dan kepetingan pembangunan internasional. Sehingga identitas pun hanya semacam sebuah sejarah yang tertulis di kertas dan dihafalkan, ia tak lagi banyak berguna secara praktis oleh masyarakatnya.

On of the distinctive features of modernity in fact, is an increasing interconnection between the 'extremes' of extensionality and intensionality: globalising influences on the one hand and personal dispositions on the other. (Anthony Giddens: 2000: 12). ...changes create conditions which call for the individuals reflexive organization of the life-span: a process dependent on balancing 'risk' and 'trust' in the social and institutional network of modernity (O'Brien&Penna: 1993: 8)

Identitas internasional yang direkomendasikan oleh Giddens inilah yang kemudian batut dipertanyakan dalam konteks Indonesia. Memang Giddens banyak membahas tentang kajian sosiologis yang teorisasinya bisa dipergunakan dalam membaca konteks kekinian, tetapi bangunan teoritisnya perlu didekonstruksi kembali kaitannya dengan persoalan ke-Indonesiaan. Pernyataan Giddens baik dalam teori strukturisasi, post-post strukturalisme, jalan ketiga (the third way), modernitas, demokrasi kosmopolitian (yang nanti teman-teman bisa membahas dan membaca buku saya yang akan terbit he he he) dst, semuanya itu perlu di kontruksi-dekonstruksi-rekontruksi, mengfalsifikasikannya dengan kecurigaan warna-warna “barat” yang diusungnya di dalam gagasan Giddens.


Awaludin Marwan

Sabtu, Februari 14, 2009

PENGETAHUAN DAN KENYATAAN:

Sebuah Tanggapan Atas Tanggapan Saudara Abdul Aziz

Oleh; Giyanto*


Beberapa waktu yang lalu Komunitas Embun Pagi mendapat kiriman artikel yang menarik dari Saudara Abdul Aziz. Artikel tersebut cukup sistematis, dengan analisa sosiologis dan sedikit menawarkan atau sitidaknya mempersoalkan permasalahan epistemologi. Sebelumnya, saya mengucapkan rasa hormat yang teramat kepada saudara Aziz yang telah menyempatkan diri untuk membaca serta mengkritisi beberapa essay yang rencana akan diterbitkan menjadi ’semacam buku’. Tanpa mengurangi rasa hormat, di sini saya mencoba memberi tanggapan singkat terkait persoalan-persoalan epistemologi yang ditawarkan oleh saudara Aziz.



Paradigma

Dalam artikelnya saudara Aziz menulis:

Oleh karena itu, dalam berparadigma kita perlu melihat dan membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma tersebut. Komunitas gerakan pemikiran yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan paradigma sangat penting dalam pergulatan ilmu pengetahuan dalam membaca realitas. Paradigma ibarat sebuah kacamata. Dia ialah sebuah pembatas bagi manusia atau sang ilmuwan untuk melihat, meyakini dan menjelaskan realitas. Tanpa paradigma sang ilmuwan ataupun intelektual tidak akan dapat mensistematiskan atau menata realitas yang ada dihadapannya. Dengan kata lain, tanpa paradigma fakta akan menjadi teracak-acak.


Sedangkan dalam berparadigma sang ilmuwan setidaknya memerlukan sejenis alat, prosedur, dan ’keyakinan’ tertentu untuk mencari kebenaran ilmiah. ’Keyakinan’ ialah pegangan filosofis yang bersembunyi di relung pemikiran sang ilmuwan. Keyakinan-keyakinan tersebut tercermin dalam asumsi-asumsi yang mendasar, yang sayangnya, seringkali tidak dipertanyakan lagi. Di wilayah inilah seringkali tersembunyi kesesatan dan kekeliruan yang walaupun kelihatan sederhana dapat menyebabkan bencana kemanusiaan, karena pandangan tersebut, yang biasanya membutuhkan waktu yang panjang, sering dapat menjadi pandangan umum dan menjadi kebenaran umum. Yang akhirnya apabila tidak dipertanyakan lagi dapat melegitimasi keputusan ataupun kebijakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.


Problem Realitas

Selama ini sudah menjadi asumsi umum bahwa pengetahuan seharusnya mengacu realitas. Tapi, sejak lebih dari dua abad yang lalu, setidaknya filsuf besar Immanuel Kant meragukan keyakinan tersebut. Alih-alih menganggap pengetahuan mengacu realitas, Kant meragukan klaim tersebut, dengan menyatakan bahwa bisa jadi realitaslah yang sebenarnya mengacu pengetahuan kita.


Tanpa bermaksud membela filsafat rasionalisme Kant, yang solusinya tentang keputusan sintetis-apriori masih menjadi perdebatan filosofis yang cukup sengit, di sini saya ingin mengatakan bahwa menganggap ’realitas’ sebagai sesuatu yang bebas dari intervensi asumsi-asumsi pikiran sebenarnya adalah kesesatan berfikir itu sendiri. Artinya, tanpa mempertanyakan dengan mengurai, merefleksikan dan mendebatkan keyakinan ’paradigma’ kita sendiri, kita bisa jadi dapat terbawa arus narsisisme pengetahuan. Dengan kata lain, karena menyebut diri paling ilmiah, kita dapat terjerumus dalam subjektivisme dengan jubah palsu objektivitas.


Apabila kita membaca kembali artikel saudara Aziz, kita dapat mencium sebuah aroma paradigma empiris yang menjadi keyakinannya, yang sejak zaman Locke dan Hume hingga saat ini empirisme telah menjadi berhala filsafat pengetahuan. Sebuah paradigma, yang apabila ditelaah secara filosofis terdapat kontradiksi yang cukup besar di dalam dirinya sendiri. Ketika saudara Azis menganggap sejarah sebagai determinan bagi peristiwa kekinian. Saya cenderung melihatnya secara lain. Menurut saya sejarah tidak pernah menggerakan apa-apa, hanya individulah yang bergerak. Ketika saudara Aziz menganggap Negara sebagai suatu yang riil, saya menggap Negara sebagai sebuah kepalsuan. Ketika Comte bermimpi mengenai masyarakat ilmiah yang positivis, saya memimpikan sebaliknya dst.


Berjuang Menciptakan Tradisi

Tidak sedikit komentar-komentar yang sering dilekatkan terhadap komunitas ini terkait sifatnya yang mengawang-awang, absurd, kurang membumi dan sulit dipahami. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kalau digambarkan suasana di sini---di komunitas ini---memang sangat kompleks. Dengan beragam latar belakang disiplin yang dibawa masing-masing anggota, akan nampak suasana yang riuh, angkuh serta konyol. Ada yang berbapandangan skeptis, relativis, serta ada juga yang telah membawa nilai-nilai tertentu yang kadang-kadang menciptakan konflik internal yang seringkali sulit didamaikan.


Itulah kesan yang saya dapat di komunitas embun pagi. Terlepas dari kesan-kesan tersebut, disini saya ingin menyampaikan bahwa tradisi diskusi yang ’diciptakan’ teman-teman setidaknya telah membawa perjalanan intelektual saya pribadi untuk selalu mempertanyakan hakekat pengetahuan. Dampak lebih jauh dari pencarian tersebut, saya melihat bahwa dalam pencariannya masing-masing, teman-teman sering terkesan oleh orang lain tidak mendasarkan diri pada realitas. Namun apakah itu ’realitas’? di sinilah kita semua bebas memperdebatkannya. Di sinilah ruang sosial terbentuk, sebuah tradisi yang entah beberapa banyak intelektual di negeri ini ’mau’ melakukannya. Sebuah ruang dimana realitas dibaca dan dipahami secara lain.


Apakah pengertian dari ’lain’? Kalau ternyata, setidaknya menurut saya, itu semua merupakan sesuatu yang wajar. Kewajaran yang seringkali diabaikan, dikebiri serta dicemooh, yang sayangnya seringkali pelakunya ialah kalangan dunia akademik itu sendiri. Dan saya kira ini bukan perlakuan yang sepatutnya didapatkan oleh mereka-mereka yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Ketika bandit-bandit kampus mendapatkan ’prestise’ status dosen dengan menjilat pantat birokrat kampus, mereka memilih untuk tetap idealis memegang kemurnian niat untuk belajar. Saya kadang merasakan kefrustasian mereka, bukan karena pemikirannya, tapi lebih pada pengalaman-pengalaman ’di darat’ yang cukup menyedihkan. Kami hampir kesulitan mencari tempat diskusi, biaya untuk meng-copy makalah, menentukan waktu untuk sekedar bertemu ataupun tukar menukar buku. Semua dilakukan dengan mengorbankan waktu, biaya dan seringkali harga diri.


Sebuah Penawaran

Tanpa mempersoalkan kebenaran ataupun kesalahan kita dalam berparadigma. Di sini saya ingin menawarkan atau setidaknya mengundang teman-teman semua, bagi sebuah peciptaan tradisi intelektual yang seharusnya diapresiasi oleh khalayak luas, khususnya bagi mereka yang merasa bergerak dalam industri pengetahuan. Untuk bersama-sama menciptakan tradisi pengembangan pengetahuan yang berdasar pada pengetahuan. Sebuah pertaruhan harapan yang telah diciptakan oleh anak-anak muda yang selalu bertanya, bertanya dan terus bertanya. Entah sampai kapan, yang kita sendiri tidak akan tahu. Barangkali hingga diri ini sudah meniada...semoga!


*Gelandangan yang sementara masih tinggal di Kota Semarang


Jumat, Februari 13, 2009

Dialectics Hegel's


Sudah lama aku gak nulis, di tengah rasa rinduku pada anak-anak embun pagi. Sebab di saat sibuk dan gak mood, mereka pada datang, tapi jika tak ada, aku selalu merindukannya. Ya, kesibukan yang sama sekali tak membebaskan dan menjenuhkan, aku hanyalah manusia yang tak bisa lepas dari jerat waktu yang telah dibagi sebelumnya oleh ilmuwan barat berdasarkan jam, hari, bulan, tahun romawi. Kekuasaan romawi -seorang Adolf Hitler sampai menyemboyankan Kerajaan Nazi Jerman pewaris Kerajaan Suci Romawi sebagai propaganda perang utama- telah mendarah daging di bawa oleh kapitalisme yang dengan cantik bersembunyi di balik bayang-bayang globalisasi, menuntut negara-bangsa dirobohkan, di gantikannya dengan keadilan kosmopolitan, optik yang tak terbatas, dunia menyatukan seluruh manusia menjadi masyarakat internasional yang dianggap homogen.


Semua aliran pemikiran dari pemikiran primitif hingga postmodern-postrukturalis bahkan sampai ke post-post-postnya postmodern, klaim tentang kebenaran rasa-rasanya telah terlalu memuakan. Namun konsep “tahu” dan “yakin” perlu diketengahkan disini, kita harus berambisi untuk “tahu” segala hal, tetapi yang kita “yakin”-i terserah pada hasil refleksi komtemplatif kita sendiri.


Hari ini aku ingin menyampaikan gagasan dialektika Kang Hegel. Sebagai tugas yang cukup menyenangkan di embun pagi dan aku bahagia bisa meluangkan waktu untuk blog dan keluargaku embun pagi. Ya, minimal tulisanku tak seburuk mereka yang jarang menulis, sekali saja menulis artikel, judulnya mirip judul skripsi mahasiswa yang tak matang 3,5 tahun sudah lulus S1.


Barangkali sudah banyak yang tahu tentang apa itu dialektika Hegel, tulisan ini hendak menguatkan ingatan kita pada tradisi berpikir salah satu tokoh sentral filsafat idealisme Jerman ini di samping Kant, Fichte, dan Schelling. Sederhananya, dialektika bisa dimaknai sebagai sebuah “dialog”, berpikir dengan menggunakan metodologi dan pengandaian bak orang berdialog dengan dirinya sendiri. Kendati metode ini terasa juga hampir sama dengan berbagai pendekatan: positivistik mekanistis di bidang sains dan fisika, relasi kausalitas pada tradisi materialisme kritis, induksi oleh Cartesian, deduksi oleh Hobbesian, dst, namun cara memandang Hegel terhadap segala sesuatu -filsafat, sejarah, kebenaran, dunia objektif- inilah yang memiliki keunikan yang patut disimak.


Hegel memaknai dalam memandang sesuatu melalui dialetika haruslah menempatkan oposisi biner yang terjalin secara terus-menerus tiada berhenti. Both the conflict and the resolution of differences (Niki Raapana and Nordica Friedrich, 2005), dua hal yang terus bertautan, yakni konflik dan upaya pencarian solusi atas relasi pertentangan tersebut. Banyak kalangan yang mengandaikan bahwa ini semacam tesis, anti tesis, sampai sintesis, namun Hegel lebih menempatkan bukan hanya dua hubungan pertentangan yang disyaratkan oleh dialektikanya, melainkan hubungan pertentangan yang jumlahnya tak terbilang. Atau dengan kata lain adalah sebuah tesis dengan anti-tesis, antio tesis lagi, anti tesis lagi, lagi dan lagi...mirip lagunya andra dan tulisan fah.


Dialktika Hegel sebuah metode yang berada dalam struktur logis dan rasionalis manusia. Ia di ibaratkan sebagai sebuah tangga yang nun tinggi sekali. Dalam setiap meng-antitesiskan di andaikan subjek telah naik dalam tangga yang lebih atas, begitu seterusnya. Hingga pada suatu ketika ditemukanlah idea absolute, yang bagi Hegel adalah, the absolute idea is the Subject which has become identical with the Object, and is in this sense just a return to the beginning - but at a higher level (Andy Blunden, 2007). Hegel mengkonstruksi dialektika telah bisa di pandang sebagai sebuah langkah melampaui pola pikir konvensional baik logika, deduksi maupun induksi. Bukan hanya pada pencarian idea absolut-nya, melainkan mencoba merakit nalar pikir yang telah ada dan menyempurnakannya. Bialektika tidak harus ada penghilangan eksistensi akibat silogisme, tidak pula dari hal khusus ke umum, atau sebaliknya, melainkan dialektika dituntut untuk bisa mengkomunikasikannya, melakukan penyelidikan dengan akal sehingga semuanya dibuktikan berdasarkan kekuatan nalar rasional, optimalisasi bekerjanya akal budi.


Dialektika hanya memiliki batasan konstruktivisme yang memungkinkan pemberlakuannya sebagai teori terhadap segala sesuatu. Discussion and reasoning by dialogue as method of intellectual investigation (Niki F. Raapana and Nordica M. Friedrich, Op. Cit. 2005) . Dialektika mencoba mendiskusikan dan memikirkan sesuatu dengan dialog sebagai metode investigasi intelektual.


Kalau Tan Malaka mengkategorisasikan dialektika berdasarkan empat hukum -pertentangan, ruang-waktu, gerak, dan eksistensi esensi biner- Fieyman, 2008 mengkonstasikan tiga elemen hukum dialektika, yakni: matter attracts each other (or worse all is interconnected), the speed of light is absolute (or worse, all is relative); organic entities replicate (or worse, all returns). Dialektika sepatutnya memiliki interconeksitas setiap biner, mempunyai relasi antar pernyataan, dan berlandaskan pemberitaan pada eksistensinya masing-masing.


Awaludin Marwan, Tanpa Gelar, Ada perubahan standar nilai baru dalam diriku


Obama-Obama Kita




Sungguh gembira hati ini menyaksikan semakin bermunculan para calon pemimpin bangsa. Panggung demi panggung terbangun. Terkadang mereka tampak bersaing ketat, tetapi kemudian nyata sekali bahwa mereka sesungguhnya bukan memikirkan eksistensi, kepentingan, atau ambisinya masing-masing, melainkan bersama-sama mengkonsentrasikan diri pada kepentingan bangsa.

Lihatlah itu Dewan Integritas Bangsa: Salahuddin Wahid, Bambang Sulistomo, Marwah Daud Ibrahim, Rizal Ramli, dan masih banyak lagi. Kompetisi di antara mereka bukanlah yang terpenting, melainkan kebersamaannya untuk siap memimpin bangsa. Begitu tampak wajah Gus Sholah, muncul kalimat di hati: "Gus Dur sudah uzur? Masih ada Gus Sholah." Sekilas wajah Rizal Ramli membuat decak kagum: "Gila, ini orang berani menantang debat Presiden SBY." Marwah Daud? "Kartini abad ke-21, intelektual, lihat ketangkasan geraknya di panggung nasional." Dan Bambang Sulistomo: "Bung Tomo saja sudah bikin geger dunia. Apalagi putra beliau!"

Megawati gegap-gempita lagi: lantang vokalnya, brilian pemikirannya, keluasan perspektif gagasan-gagasannya, dari gerakan mega mendung hingga naik turunnya yoyo. Sri Sultan X membuat dada mongkog dan wajah banyak orang berbunga-bunga. Prabowo yang mantap, Sutiyoso yang rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas, Wiranto kesatria yang kalem. Hidayat Nurwahid sang ustad ahli ushulul-fiqh sehingga mendahului Majelis Ulama berpikir tentang halal-haramnya golput. Dan Pak SBY sendiri, jangan tanya: beliau semakin piawai bagaimana melangkahkan kaki dan melambaikan tangan.

Sebagian mereka datang ke Mega bukan untuk audisi semacam Pildacil agar dipilih jadi calon wakil presiden. Kehadiran beliau-beliau mencerminkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa, bahwa yang utama bukanlah self-dignity, melainkan pengabdian terhadap segala kemungkinan yang terbaik bagi bangsa.

Memang ada sebagian rakyat kita merasa pesimistis, atau apatis, terhadap Pemilu 2009. Itu normal, bisa dimafhumi: hak-hak dasar untuk sejahtera sebagai warga negara memang belum cukup terpenuhi selama ada negara Indonesia dengan berkali-kali ganti pemerintahan dan kepemimpinan. Tapi Indonesia akan bangun. Salah satu tanda-tandanya, sejak tahun lalu sudah bergulir suatu “historical refreshment”, gagasan pencerahan zaman yang mendambakan kaum muda segera tampil memimpin bangsa. Itu bagai tembang “Bang-bang Wetan”: matahari baru semburat di timur.

Memang kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia. Kalau memang bangsa ini menjumpai ada pemimpin sudah 70 tahun tapi ia paling capable, apa salahnya. Tapi kan sangat banyak orang usia tua tapi tak dewasa, atau awet remaja bahkan tetap kekanak-kanakan. Dan bukankah justru banyak anak muda yang secara mental dan ilmu bergerak cepat melampaui usianya?

Jadi, ayolah: “bang-bang wetan!” A new “install”. Buka pintu anak-anak muda untuk bikin set-up baru sejarah dan peradaban. Rizal “Chelly” Mallarangeng, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet, Marwah Daud Ibrahim, siapa pun kaum muda yang akan naik panggung? Chelly punya seabrek pengalaman aktivisme dari Yogya hingga negeri Obama, ia sanggup menarik garis dari penjual wedang, satpam Akademi AU, hingga istana neoliberalisme. Fajrul penuh nyali dan ilmu yang memadai. Sarumpaet sangat menguasai “teater global” dan “drama kehidupan”. Marwah malang-melintang dari high-tech hingga santri Tebuireng.

Mereka bukan hanya layak tanding, tapi pasti unggul secara fenomenologis dan futurologis. Anak-anak muda ditakdirkan oleh “kebiasaan” Tuhan untuk pada zaman apa pun membawa paradigma baru. Mereka pelopor dan perintis. Mujtahid, aktivis ijtihad, kata Islam. Mereka adalah Obama-Obama Indonesia. Andaikan saja ada persediaan ilmu dan metodologi untuk mengerti apa hubungan kepresidenan Obama dengan tiga tahun ia di Jakarta. Tetapi jelas anak-anak muda Indonesia, untuk mencapai puncak kepemimpinan Negara, tidak harus menempuh 12 tahun persiapan sebagaimana Obama penggemar teks Pancasila membutuhkannya sebelum menjadi presiden kulit hitam "not too black" pertama di negeri adikuasa elang macannya jagat raya.

Indonesia adalah anak bungsu suatu bangsa besar yang pernah melahirkan Bandung Bondowoso yang sanggup membikin seribu candi hanya dalam waktu satu malam. Kaum muda cucu Bondowoso bisa menjadi presiden kapan saja, bahkan secara instan, karena kita bukanlah bangsa dengan kemampuan “konvensional” sebagaimana bangsa-bangsa lain. Penduduk NKRI bukanlah bangsa burung "emprit", melainkan "garuda".

Bung Karno cukup lulusan Bandung, tidak perlu kuliah di Belanda dan bergabung dalam kelompok aktivis "Perhimpunan Indonesia" untuk menjadi pemimpin terbesar mengungguli Bung Hatta dan tokoh-tokoh siapa pun yang lain. Soeharto cukup menyerap saripati tari Bedoyo Ketawang untuk mempecundangi kita semua selama 32 tahun. Habibie bahkan naik takhta "min haitsu la yahtasib" alias "blessing in disguise". Gus Dur “wong agung” dengan kebesaran dan kaliber ekstra di mana Indonesia bergulir-gulir seperti butiran kelereng di genggaman tangannya. Megawati tidak perlu berkeringat dan mengerahkan ilmu, kekuatan atau aji-aji apa pun saja untuk sanggup menjadi pemimpin puncak. Dan beliau pemimpin hari ini, Susilo Bambang Yudhoyono, tangkai bandul, penjaga keseimbangan, pembersih wajah zaman agar senantiasa resik dan berkilau.

Tentu saja bagi calon-calon pemimpin muda itu bukan ringan bersaing melawan presiden yang sekarang, yang sangat peka momentum kapan kasih BLT, kapan menaikkan dan menurunkan harga minyak, kapan tanam pohon, kapan menggratiskan pendidikan. Ia jugalah konseptor reformasi TNI dan prajurit bangsa yang paling awal merintis pemikiran dan aspirasi reformasi.

Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra, karena mereka juga cucu bangsa besar sebagai adik-adiknya, memiliki ajian pinunjul-nya sendiri-sendiri. Wiranto gagah perkasa menentang perintah Presiden Soeharto untuk memberangus gerakan mahasiswa dan makar jarah 1998. Prabowo tegak punggungnya, tajam pandangan mripatnya, sunyi menanggung risiko terbanting dari tembok rumah keluarganya, dan ia memiliki keanggunan serta kegagahannya sendiri jika nanti sebagai presiden berdiri berjejer di hadapannya para pembalak triliunan rupiah uang rakyatnya.

Sri Sultan jangan diragukan lagi, “keris” di tangan kirinya sebagai "Khalifatullah ing Bhumi Ngayogyakartahadiningrat" dan “pedang” di tangan kanannya sebagai Presiden Republik Indonesia: jika kedua “kesaktian” sejarah itu bergerak, rakyat percaya beliau akan membukakan pintu-pintu perubahan yang tak terduga. “Keris” itu lambang kesadaran nenek moyang dan estafet pencapaian-pencapaian peradaban, “pedang” adalah garda depan ilmu dan kecakapan modern.

Sutiyoso dipandang oleh segala parameter rasional modern sangat tepat dan cakap menjadi presiden, karena sukses besarnya menjaga keseimbangan Ibu Kota selama dua periode, dengan terobosan-terobosan yang susah dicari tandingannya. Yusril "Cheng Ho" ahli hukum tata negara adalah “panglima” yang mengerti persis bagaimana membangunkan kembali sejumlah kebesaran bangsa yang pernah muncul dalam demokrasi era 1950-an, dengan formula yang terukur dosisnya dan pada proporsi yang relevan untuk kekinian.

Tua atau muda, bangsa kita bergelimang pemimpin. Si pemuda ganteng Yuddy Chrisnandi dengan ragam pengalaman aktivismenya, Rizal Ramli dengan keempuannya di bidang yang paling urgen dari permasalahan bangsa: kebangkitan ekonomi. Dan Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo yang menggegerkan dunia dari Surabaya dengan “ilmu sihir” yang menggulingkan rumus ibu perang modern. Itu baru Bung Tomo, belum putra beliau yang pasti jauh lebih berkaliber kependekarannya dibanding bapaknya.

Alhasil, kita optimistis menjalani 2009 ke atas. Kalau Anda mengajak bertanding untuk mengkritik dan menemukan kekurangan atau keburukan para calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang, yang tepat adalah membesarkan hati seorang dan setiap calon pemimpin.

Cak Nun, .... (Koran Tempo, 31/01/09).

NB.: Nuwun kalih ewu Cak, tuk yang kesekian-kesekian kalinya saya posting, entah sekarang ini saya kok jadi gak produktif nulis di blog ini, mumetz ngerjain urusan perut nie..hehehe... dalam beberapa tulisan Cak Nun akhir-akhir ini saya temukan kembali ruh Sudrun, Slilit Sang Kiai, markeseot dulu itu...

Senin, Februari 09, 2009

PARADIGMA BERBASIS KENYATAAN DALAM BINGKAI PEMIKIRAN ANAK MUDA; SEBUAH RESPON PENYADARAN KARYA KOMUNITAS EMBUN PAGI

Oleh. Abdul Azis*

Siang itu Abdul Haris menyapaku mesra, dan dengan bangga memberikanku beberapa catatan dari teman-teman Komunitas Embun Pagi, agar dapat ku kritisi katanya. Tapi saat ku buka terasa betul letupan-letupan gairah muda mereka. Akan semua fenomena social dari kedalaman masing-masing pemikiran yang mereka miliki. Dengan argumentasi dari semua pengalaman dan latar belakang pemikiran yang mereka lontarkan, hingga berwujud kumpulan-kumpulan pemikiran yang menarik mengikuti genre catatan pinggirnya gunawan muhamad. Walaupun diwilayah ini mereka akui masih bias dari persoalan-persoalan obyek kajiannya, hingga kata-kata biaspun ikut menjadi bagian penting dari judul bukunya tersebut.

Sebuah Harapan
Tapi bagi saya, isi catatan yang mau dibukukan ini merupakan buktii yang signifikan dan tak bisa kita elakan lagi, bahwa carut marut panggung sandiwara Indonesia ini telah meradang kemana-mana. Dari yang “seangkuh” Perang Dingin sampai yang “selembut” dan seramah penindasan kaum borjuis terhadap kelompok pinggiran, yang menurut Giddens (2003) sebagai pemicu munculnya akumulasi yang menggelinjang dari “jalan ketiga”. Dimana Gidden merekomendasikan perlunya “melampaui” ideologi kiri ataupun kanan dengan asumsi bahwa keduanya telah gagal membawa peradaban pemikiran-pemikiran dinegeri kita tercinta ini, untuk membentuk negeri ini dengan penuh keharmonisan dan kedamaianan sebagai ruh dan sekaligus orientasi dengan ideology apapun.
Dalam sejarah yang sangat ironis, ditengah kencangya gerak majunya neo-liberalisme justru tidak ada struktur local yang mampu menghadapinya. Maka sebagai bagian dari optimisme, saya punya harapan komunitas-komunitas seperti Embun Pagi ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat membentengi kaum muda kita dari gerakan neoliberal yang kian mencekam. Karena struktur local telah terfragmentasi sedemikian rupa sehingga neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali.

Meneropong Indonesia Dalam Bingkai Dunia
Disisi lain dalam hubungan bernegara, pemerintah dan rakyat kita sama sekali tidak terkait karena kita benar-benar telah terkunci oleh gerak sejarah. Jika hari ini adalah 55 tahun silam dan kita mempunyai kawasan seperti hari ini,niscaya kita akan memilih Mao Tse Tung ataupun Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang kita alami sekarang ini. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilhannya. Risikonya adalah seperti apa yang telah dialami Cina (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemoni dunia.(Azumi dkk. 2005). Tentu Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan gambaran yang bisa menjadi alternative selain Blue print AS yang harus diikuti oleh negara-negara berkembang.
Kita perlu melihat Indonesia dalam gambar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat bangsa kita ini sebagai bagian dari sebuah system dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasi oleh system tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif system dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan system dunia ini?. Sedangkan konsolidasi poltik Negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral dan regulasi internasional serta pembentukan institusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain.

Paradigma Berbasis Kenyataan
Oleh karena itu, dalam berparadigma kita perlu melihat dan membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma tersebut. Komunitas gerakan pemikiran yang dibangun tidak diatas landasan kenyataan hanya akan menjadi struktur apalagi peradaban. Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah menjadi penting dalam penyusunan paradigma? Sebagaimana diketahui bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulative dan menyesatkan.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan yang riil, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat inii sedang bergerak dan pemikiran-pemikiran yang kita gerak akan mampu memutus roda-gila (free wheel) peradaban yang hegemonic. Karena tanpa kita sadari nalar-nalar yang sering kali kita gunakan dalam pengejewantahan paradigma alur pikir kita adalah nalar yang hanya berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi dan kita hadapi. Jadi, konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dari pada kenyataan.

Intaha, matur nuwun semoga dapat menjadi perenungan yang mendalam bagi kita semua.


* Aktivis 2001-2005 UNNES & Mahasiswa Magister Profesi Psikologi UGM

Sesuatu yang Open Ended

Ini adalah suatu ketika program dan ideologi bukanlah hal yang didengungkan dalam kampanye. Dengan kata lain, program dan ideologi bukan hal penting dalam politik, karena di sini, di Indonesia, kampanye selalu dirujukkan pada pemilu. Dan politik selalu ”adalah pemilu”. Mungkin dengan—salah satunya—alasan ini, kita masih harus berkabung di atas batu nisan politik.

Pertanyaan ”apa itu politik” akan terjawab dengan ”bagaimana”, sehingga kemudian kita bisa melanjutkan pertanyaan dengan ”bagaimana”, dan akan terjawab dengan ”bagaimana menjalankan ’bagaimana’ itu!”. Tetapi sepertinya tidak, selama kontrak politik masih dibelenggu hasrat ”siapa mendapat apa, dan kapan”.

Konon Hannah Arendt menolak untuk menerima klaim bahwa manusia adalah makhluk politik. Manusia bukan homo politicus, tandasnya. Karena politik berada dalam relasi antar manusia, bukan sesuatu yang substansial dalam diri manusia. Politik, adalah cara, sebagaimana makan adalah cara untuk membuat kenyang. Tapi saya kira klaim Hannah Arendt pun tak sepenuhnya berlaku di sini, setidaknya yang saya tahu tentang sekitar saya. Di sini politik tak sejajar dengan makan. Politik terkesan sejajar dengan ”sendok” bagi sebagian orang, dan ”kenyang” bagi sebagian lain. Dan bagi pengamat politik, tentu politik lebih identik dengan pentas sehingga bisa diamati.

Lagi-lagi terdapat lebih dari satu titik tolak di sini, antara melihat politik sebagai sesuatu di luar manusia, atau politik sebagai bagian dari manusia, dan Bagus Takwin—dan kawan-kawannya—berupaya menjelaskannya dalam sebuah buku berjudul ”Kembalinya Politik”, kalau saya tidak salah ingat.

Ini adalah suatu ketika program dan ideologi bukanlah hal yang didengungkan dalam kampanye, sehingga apa yang tersisa adalah kerinduan akan sosok. Satu hal yang mungkin, di tengah-tengah pesimisme yang demikian, masih ada beberapa orang yang optimis. Di sini, pesimis dan optimis bukanlah sesuatu yang sejajar sehingga bebas untuk dipilih, melainkan terdapat keunggulan pada sisi pesimis. Optimis yang ada adalah karena didahului oleh pesimis. Beberapa orang tersebut, yang optimis, bukan optimis dari mula, tetapi optimis dalam keadaan yang pesimis. Kerinduan akan adanya satu sosok adalah pesimis, dan karena itulah beberapa orang menghadirkan diri dan ingin dianggap sebagai sosok yang dirindukan tersebut, melalui iklan dirinya.
Beberapa orang tersebut optimis karena sudah pesimis.

Tapi tidak sepenuhnya demikian. Masih ada beberapa orang, setidaknya saya, yang belum bisa yakin bahwa sesuatu menjadi baik hanya karena peran satu sosok. Bahkan Muhammad menjadi makshum (terjaga dari dosa) tidak karena dirinya sendiri, tetapi juga lingkungannya mendukungnya untuk tidak melakukan dosa, di samping kualitasnya yang berada di puncak, dia tetap a’rodhul basyariah, dia tetaplah manusia biasa. Pun bisa dikatakan bahwa lingkungannya disetting demikian oleh Sang Settinger.

Sambil mendengar musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, tiba-tiba saya merasa ada yang luput. Adalah pertanyaan ”mengapa”. Pertanyaan semacam inilah yang juga biasa luput dalam pengandaian proses dialektika. Dalam dialektika hanya ada pertanyaan tentang ”apa” yang satu dan ”apa” yang lain, sehingga muncul pertanyaan tentang ”bagaimana”. ”Apa” yang satu adalah tesa, ”apa” satunya lagi adalah antitesa, dan ”bagaimana” adalah sintesa. Konon Hegel meyakini hal ini. Saya tak ingin setuju dengan Hegel, jika Hegel memang menyatakan demikian, karena titik tolak antara saya dan Hegel sepertinya juga berbeda. Bagi Hegel, kebenaran adalah hal yang ideal, berada dalam ranah yang ideal, yang bisa dicapai melalui sebuah proses yang ideal. Dan dialektika ditempatkannya dalam tempat yang ideal. Bagi saya, ideal itu sendiri adalah sesuatu yang selalu jauh dari manusia, sedang dialektika hanya bisa terjadi dalam diri seseorang, maka dari itu dialektika bukan hal yang ideal. Bagi Hegel, dialektika bisa terjadi antara dua orang dan lebih. At least, bagi saya dialektika semacam itu bukanlah dialektika, tetapi komunikasi.

Lalu pertanyaan kembali berkecamuk pada saya. Jika manusia juga terdiri dari banyak sistem, yang masing-masing sistem bisa menghidupi dirinya sendiri, maka mungkinkah apa yang bahkan dalam pikir manusia juga bukan dialektika? Kemudian saya melihat pemaparan tentang hubungan antara pikir-kata-laku, bahwa selalu ada reduksi dalam perpindahan sesuatu dari pikir ke kata, kemudian ke laku. Komunikasi, sejauh yang biasa saya lakukan, tidak bisa dilakukan dalam ranah pikir. Komunikasi selalu terjadi dalam ranah kata dan laku, sementara dalam setiap masing-masing pikir selalu ter-reduksi ketika menjadi kata dan laku.

Sampai di sini, untuk sementara saya menyimpulkan bahwa ”sesuatu” ada, dan orang mencari tahu apakah ”sesuatu” itu. Kemudian ”sesuatu” itu dinamakan ”dialektika”, ”komunikasi”, ”sistem”, dan sebagainya. Dalam setiap nama yang disematkan, selalu tidak bisa menjelaskan ”sesuatu” tanpa meninggalkan ”sesuatu”. Dan pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kita akan bertolak dari ”nama-nama” atau bertolak dari ”sesuatu”?


Ahmad Fahmi Mubarok.

Jumat, Februari 06, 2009

MEMILIH golput


Oleh: Muh. Ulil Amri*

Ketika saya menuliskan judul tulisan ini, pikiran saya langsung teringat sebuah lembaga yang suka memberi fatwa haram. Sengaja saya memakai huruf kecil pada kata golput. Alasannya sih ya takut kalau nanti kualat dengan para ulama yang memberi fatwa haram pada para pelaku (atau pemilih) golput. Saya termasuk pengikut pak kyai (baca: ulama). Bukan berarti ketika saya menulis artikel (artikel??) ini saya termasuk golput, bukan. Atau mengajak untuk golput juga bukan. Saya hanya pengin curhat. Hmmmm…

Penduduk dunia mana sih yang tidak tahu apa itu demokrasi. Atau minimal pernah mendengar kata demokrasi. Kecuali kalau memang akses informasi di tempat tesebut tidak tersedia. (Dimana ya. Kalau ada tolong aku dikasih tahu).

Semua sudah mafhum bahwa umur demokrasi di Indonesia masih seumuran jagung jika dibandingkan dengan AS misalnya. Saya tidak mau panjang lebar menjelaskan proses mengapa Indonesia memilih sisitem ini. Silahkan baca sendiri di buku-buku sejarah. Yang pasti, Indonesia menjadi Negara yang menganut sitem demokrasi.

Memilih pemimpin dan wakil rakyat adalah konsekuensi dari sistem demokrasi. Joseph Schumpeter berteori bahwa demokrasi terkait dengan masalah prosedur, yaitu prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh kekuasaan rakyat. Atas pijakan inilah kita mengenal pelembagaan demokrasi prosedural yang biasa kita sebut Pemilu.

Baru-baru ini saya mengamati sebuah pemilihan kepala desa di kabupaten Demak, tempat saya tinggal. Pemilihan semacam ini bukanlah hal yang baru di desa yang mayoritas Petani ini. Setiap ada Pemilihan Umum masyarakat cukup antusias dalam menggunakan hak suaranya. Namun sedikit berbeda ketika pemilihan Gubernur Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Sedikit berbeda tapi efeknya lumayan juga. Angka Golput cukup tinggi, sekitar 45 persen. Sebagian masyarakat lebih memilih untuk bekerja di sawah dari pada menggunakan hak pilihnya. Setelah ditelusuri ternyata banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak begitu kenal dengan para calon.

Dua bulan sebelum pemilihan kepala desa, sudah ramai dibicarakan para bakal calon yang akan maju, termasuk lurah incumbent. Akan tetapi ketika penetapan calon, hanya satu orang yang bersedia mencalonkan diri.

Bukan tidak ada masalah ketika hanya ada calon tunggal. Ketika nantinya jumlah pemilih kurang dari lebih dari 50 persen dari jumlah penduduk atau pemilih lebih banyak yang memilih gambar kosong, maka calon tunggal gagal. Kepemimpinan desa akan diserahkan kepada pejabat kepala desa yang ditunjuk oleh Kabupaten.

Untuk menyiasati hal ini, di beberapa desa lain, calon akan mengajukan isteri atau saudara sebagai calon “jadi-jadian”. Tentu saja berbagai kompromi politik dilakukan. Nah, calon kepala desa di desa penghasil cabai dan bawang merah tersebut urung melakukan strategi itu dengan berbagai pertimbangan. Tetap melangkah sebagai calon tunggal.

Hari pemungutan suara pun datang. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti pemilihan. Antusiasme masyarakat sungguh kentara sekali. Kelihatannya pemungutan suara terlihat biasa-biasa saja. Namun sesuatu yang unik dan ganjil terjadi. Di pintu keluar Tempat Pemungutan Suara (TPS), sejumlah lelaki berseragam rompi hitam berdiri. Masing-masing membawa segepok amplop yang dibagikan kepada masyarakat yang telah memilih. Mirip orang yang membagikan sumbangan. Ternyata calon tunggal tersebut telah menjanjikan kepada masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, akan mendapatkan “amplop”. Di dalam amplop tersebut terdapat sejumlah uang yang setara dengan upah sehari buruh tani laki-laki. Padahal disana ada Panitia Pilkades, Pengawas Pilkades, dan sejumlah pria berseragam polisi. Perilaku pembagi amplop tersebut tidak ada yang mencegah. Nah lo..

Demokrasi ohhh??!!

Warga yang sempat ngobrol dengan saya menganggap mereka pantas mendapatkan uang tersebut karena telah meluangkan waktu mereka untuk mencoblos. Selain itu menurut mereka, setelah calon kepala desa menjadi kepala desa, dia akan menikmati hidup sebagai kepala desa yang bergelimang kesenangan. Jadi, tidak ada salahnya mendapatkan sedikit “jatah” dari calon pemimpin mereka.

Kondisi semacam itu sangat mudah dijumpai di desa-desa lain. Bahkan yang lebih parah ketika ada dua calon yang kedua-duanya saling jorjoran membagi uang kepada masyarakat agar menang dalam pemilihan. Ironis ditengah anggapan dunia yang menganggap Indonesia sebagai salah satu Negara besar yang menerapkan sistem demokrasi. Apakah bulan April nanti kondisinya akan sama?? Partai politik melakukan pendekatan “kertas hijau, biru merah” yang bisa buat beli beras??

Saya teringat pada Plato dan Aristoteles, tokoh penggagas sistem demokrasi, 2500 tahun lalu telah mengingatkan kita. Filsuf besar Yunani kuno ini mengatakan agar tidak terburu-buru memilih demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara, sebab tanpa adanya kesadaran politik masyarakat, situasi Negara malah menjadi chaos. Bahkan karena sistem demokrasi inilah plato kehilangan guru kesayangannya, Socrates.

Namun ketika rakyat enggan untuk menggunakan hak pilihnya (baca:golput) atau rakyat minta “bayaran” karena telah memilih, apakah hal itu juga konsekuensi dari sistem demokrasi? Bukankah golput juga menjadi sebuah pilihan? Dan mengapa mesti haram? Mumet aku.

Ironsinya demokrasi yang tidak sehat ini tidak hanya dilakukan oleh elite politik saja, tetapi juga banyak muncul di masyarakat bawah. Pemilihan kepala desa diatas menjadi gambaran kecil masyarakat kita sebenarnya. Meskipun tentu saja kita tidak bisa dipukul rata. Setidaknya itulah yang saya temukan di lapangan. Bahkan dikampus Unnes ini pun mahasiswa tidak antusias mengikuti Pemilihan presiden BEM KM. Dari dua puluh tiga ribu mahasiswa, hanya enam ribu yang menggunakan hak suaranya.

Apakah rakyat sedang mengalami kejenuhan berdemokrasi?? Bagaimana dengan Pemilu 9 April nanti? Ya kita tunggu saja hasilnya.

* Penjaga Warnet Nautilus

Tercatat sebagai Mahasiswa Psikologi Unnes yang sedang persiapan KKN

Rabu, Februari 04, 2009

TOLONG KASIH JUDUL

Membuka – buka dan membaca lagi, apa yang tertuang di buku harian memang menyenangkan, lucu, getir, ataupun kagum dengan kenaifan diri kita sendiri. Tulisan dibawah ini sempat penulis sarikan di buku harian beberapa waktu lalu. Nah, karena stres dan shok disebabkan dosbing yang tidak bisa membimbing selama seminggu (2-8Feb) sementara deadline untuk wisuda april semakin dekat, maka untuk melepaskan stressor ini penulis menyublimasikannya dengan menulis artikel.

Ini cerita manakala penulis berinteraksi dengan keluarga seorang hajjah. Terdiri dari hajjah itu sendiri dan seorang anak tiri (Bunga:nama samaran) perempuan berusia dua puluh tahun. Cerita ini ada karena awalnya penulis sebelumnya bermaksud melakukan pendekatan (ta’arruf??) dengan putri tirinya itu. Tetapi cerita yang terjadi sungguh menarik. Disini penulis ingin mengupas fenomena seorang hajjah yang penulis ragukan status hajjah dan kemabrurannya.

:>
Seperti halnya kerja persona yang tampak selaras dan menyenangkan dengan kondisi sosial, pertama penulis diterima dengan sangat ramah oleh sang hajjah (selanjutnya penulis gunakan nama: Bunda). Terjadilah tanya-jawab dan interaksi yang membuat penulis dekat tidak hanya dengan Bunga, tetapi juga dengan Bunda. Seiring berjalannya waktu, penulis merasa ada yang agak berbeda dengan Bunda, setelah penulis perhatikan, penulis jarang menjumpai buku – buku, pun yang berbau agama. Hanya sedikit. Perbincangan penulis dengan Bunda pun tidak pernah menyentuh relung – relung agama secara mendalam, entah itu mengenai syariat, tarbiyah, sejarah islam, atau semacamnya. Mentok – mentoknya ya berulang – ulang cerita mengenai pengalamannya ke tanah suci Mekkah dan dampak sosial setelah Bunda melaksanakan ibadah haji (suasana di sekitar ka’bah dan hajar aswat, pulang membawa banyak oleh - oleh dibagi – bagi untuk sekampung, kepuasan setelah ibadah haji, dll), menjalankan ibadah rukun islam, sehingga penulis mempunyai hipotesis banyak keyakinan agamanya didasarkan pada harapan dan ketakutan akan: pahala-dosa serta surga-neraka. Menurut penulis, ini semacam pandangan agama yang tradisional-konservatif, tidak mendalam, dan cenderung mistik.

Dari keraguan itu, penulis tertarik untuk menyelidiki dan mengupas kualitas hajjah serta kemabrurannya. Untuk itu penulis mencari informasi dari beberapa tetangga Bunda. Penulis bertanya ikhwal kehajjahan Bunda pada teman penulis yang juga tetangganya, katakanlah namanya Kris. Ternyata, Kris pun sempat mempertanyakan status kehajjahan tetangganya itu. Dahulu sebelum Bunda berangkat ibadah haji, Kris mengenalnya sebagai wanita yang mandiri, tidak menikah, cenderung tertutup dan jarang bersosialisasi dengan tetangga, tidak mau disalahkan, dan berkeprbadian paradoks bipolar (kadang – kadang sangat baik, tetapi bersamaan dengan itu, bisa juga berubah sebaliknya). Intinya, Bunda baik jika seseorang, sesuatu atau suasana tertentu sesuai dengan kehendaknya. Kris pernah menanyakan juga ikhwal kehajjahan tersebut pada ayahnya (ketua RT di lingkungan situ), dan ayahnya menjawab berikut (mengikuti gaya penuturan Kris) “yo ngono kuwi…..” suatu jawaban mengambang yang penulis tafsirkan cenderung negatif. Masih informasi dari Kris, ia seakan - akan tidak percaya jika tetangganya itu hendak menunaikan ibadah haji. Ada suatu harapan dalam hati Kris, semoga sepulang dari tanah suci ada perbedaan dalam diri Bunda. Tetapi tampaknya harapan Kris itu tinggal harapan karena tidak ada perubahan yang signifikan dari Bunda.

Orang kedua yang penulis ambil informasinya adalah Bunga, anak tiri Bunda. Bunga -yang kuliah di sebuat STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) jurusan Tarbiyah di sebuah kota sepanjang pantura- menyebutkan, adalah fakta bahwa ibunya hajjah karena telah melaksanakan ibadah ke tanah suci Mekkah. Tetapi sebagai hajjah, tasawuf iBu tirinya tersebut tidak lebih baik dari orang – orang yang belum pernah ibadah haji.

Berawal dari keragu-raguan tersebut, penulis semakin menarik untuk mengupas fenomena ini. Informasi yang lebih mendalam penulis dapatkan dari Bunga, anak tirinya. Bunga berpendapat bahwa iBundanya lebih dan sangat mementingkan status sosialnya daripada substansi hajjah, bahkan lebih penting daripada anak tirinya sekalipun. Penulis akan mengupas hal ini lebih banyak dibawah.

Sejarah menempatkan seseorang dengan status haji/hajjah pada posisi yang dihormati, ini aksioma, dan ini yang terjadi pada umat islam dalam konteks budaya masyarakat jawa. Sebuah perpaduan yang indah sejak sejarah walisongo, dimana citra haji/hajjah begitu dihormati sebagai seorang yang taat dan kuat secara agama, bijaksana, islamnya sempurna, memberikan energi positif pada lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Begitu kuat citra yang melekat pada status haji/hajjah sehingga penunaian ibadah haji dari indonesia dari tahun ke tahun selalu ramai.

Dalam konteks Bunda, penulis menggunakan pendekatan deduktif dengan premis bahwa; disadari atau tidak, diakui atau tidak, langkah Bunda menunaikan ibadah haji lebih berat pada usaha untuk medongkrak status sosialnya daripada sebagai ibadah untuk menyempurnakan keislamannya. Bunda adalah wanita yang tidak menikah, tinggal sendirian, dalam gelombang budaya yang mementingkan citra – citra, tentu sebuah problematika dengan beban yang tidak ringan. Belum lagi persepsi masyarakat mengenai masalalu Bunda yang kelam dan sejumlah priblematika lainnya, tentu saja hal ini menekan eksistensi dan memperburuk citranya.

Sebagai seorang muslimin (minimal KTPnya tertulis islam), sebatang kara, dan mulai berumur, tentunya tidak ada sandaran hati, dan tempat mengadu selain kepada Allah SWT. Nah, dalam ketidakberdayaannya ini Bunda menunaikan ibadah haji. Haji, idealnya memang untuk menyempurnakan rukun sebagai muslim dan muslimin. Tetapi tentu saja tidak bisa dipukul rata bahwa semua haji/hajjah mempunyai motivasi yang sama semacam itu. Banyak motivasi lainnya. Dalam konteks Bunda, kepergiannya ke tanah suci adalah untuk mengadukan ketidakberdayaan eksistensinya pada apa yang ia pahami sebagai Allah SWT melalui simbol – simbol Ka’bah, Hajar Aswat, wukuf, lempar jumrah dll.

Sebuah ritual pemujaan terhadap simbol – simbol “petanda” agama bisa juga melupakan”penanda”nya, atau biasa disebut fetishisme agama (Religion fethisism). Kepuasan pengidap fetishisme agama ini akan terasa setelah dia berhasil memuja bahkan memiliki simbol – simbol agama. Dalam konteks Bunda, sepulang dari tanah suci dan menyandang gelar hajjah, hilanglah suatu perasaan inferior dan siap menyandang status baru dalam masyarakat (tentunya lebih terhormat:hajjah). Suatu eksistensi dengan superioritas simbol budaya+keagamaan yang mampu mengubah struktur disekitarnya.

Demikian, status hajjah menjadi ideologi bagi Bunda. Ideologi ini pula yang menjadi modal sosial untuk mendongkrak keberadaannya. Berbagai usaha dilakukan Bunda asalkan selaras dengan citranya sebagai hajjah, dan berbagai upaya yang akan merusak nama baik Bunda sebagai hajjah akan dimurkainya. Dari pengalaman penulis berinteraksi dengan Bunda, dari banyak statemen yang dikemukakannya, terasa sekali penekanannya sebagai seorang hajjah. Selalu ada frase “…Saya ini kan hajjah, mas…”.dan seterusnya dan seterusnya…….. Juga penekanan kesenangan manakala ada kolega dan tetangga yang datang bertamu dengan mengucapkan “..nikmatnya…nikmatnya….” sebuah luapan kesenangan dari seorang yang hidup sendirian dan ingin keberadaannya diakui. Atau mungkin juga ketakterhubungan bunda secara sexual terbayarkan dengan persetubuhan antara sublimasi dan keinginan untuk mengAda dalam bingkai citra hajjah.

Dalam kehidupan keluarga, berdua dengan Bunga, putri tirinya, otoritas Bunda terasa begitu kuat dan berlebihan. Misalnya, beliau malu kalau Bunga dekat dengan laki – laki tanpa ada hubungan yang jelas karena ini akan merugikan nama baiknya. Bertolak dari itu pula, Bunga yang -secara personal- sebelumnya tidak pernah dekat (kurang bergaul/berinteraksi) dengan laki – laki namun kemudian berpacaran dengan kumbang mendapat perhatian kelewat serius dari Bunda. Kumbang seorang laki – laki yang sudah cukup umur, sarjana, sudah bekerja, dan beriman. Mungkin kumbang adalah karakter dengan modal yang disukai Bunda untuk mendampingi Bunga. Karena itu, daripada persepsi masyarakat menjadi negatif, dengan segera (untuk tidak mengatakan terburu – buru dan gegabah) kumbang dan keluarganya diminta Bunda untuk melamar Bunga. Bunga yang sebenarnya tidak menginginkan perjodohannya secepat itu -karena dia baru setahun tahun kuliah dan masih terlalu muda- tak kuasa menolak karena otoritas ibunya yang terlalu kuat. Maka, Bunga pun menerima lamaran itu.

Contoh lain, obsesi superioritas Bunda tampak pada keptidakpercayaan pada anak tirinya dengan menekan Bunga untuk kuliah di Batang saja. Itupun dengan mengambil jurusan yang dikehendaki Bunda:Tarbiyah. Sebuah jurusan yang tidak diminati Bunga, namun dipaksakan (kata Bunga:daripada tidak kuliah) karena ini akan memperkuat cintranya sebagai keluarga hajjah. Pola asuh yang otoriter ini tampak pada pembatasan kebebasan Bunga untuk bersosialisasi, pembatasan Bunga untuk berinteraksi dengan laki – laki yang bukan muhrimnya, pembatasan Bunga untuk menilai dan mengambil keputusan tentang seseorang, sesuatu dan suasana tertentu, serta banyak pembatasan lainnya.

Pembatasan – pembatasan ini tentu saja tidak menguntungkan perkembangan Bunga. Dalam ketidak berdayaannya diasuh ibu tiri, Bunga tumbuh menjadi anak yang penurut (atau terpaksa menuruti?), lemah dalam logika, sulit untuk berpikir panjang dan berpikir serius, susah mengendalikan emosi (gampang marah dan cengeng), bahkan ada simptom distress pada Bunga yang mengarah pada tindakan bunuh diri bila mendapat tekanan luar biasa. Beberapa kalimat yang sempat Bunga ucapkan sangat mengarah pada suatu keadaan depresif, tidak berdaya, dan agresif pada diri sendiri. Berikut adalah beberapa diantaranya “..Biarin! mungkin ini sms terakhirku.. jika setelah ini aku tidak sms lagi berarti aku sudah mati ketabrak [truk] tronton..”. Kalimat lainnya “..enak sekali punya oranag tua kandung..” dan, “..memang ada Bunda..tetapi rasanya pasti beda..enak sekali punya orang tua kandung” juga kalimat ini “Ibu kalau muncul egoisnya, tidak memperhatikan aku..padahal aku masih sakit, tetapi disuruh mengantarnya ke pasar..”. Dari beberapa kalimat di atas, ada kecenderungan Bunga untuk memberontak (agresif eksternal), tetapi adanya rasa ketidakberdayaan menyebabkan Bunga lebih banyak nrimo dan mengarahkan agresi pada diri sendiri (agresi internal) seperti kecenderungan bunuh diri itu. Hal ini diperparah dengan sikap dua kakak kandung Bunga yang tidak mempedulikannya (Bunga punya dua kakak, semuanya sudah berkeluarga, salah satu ada di sebuah kabupaten di jawa tengah bagian pantura dan satunya lagi ada di sebuah kota besar di sebelah barat Jawa).

Kembali ke Bunda. Sampai disini seakan muncul pola - pola dimana Bunga dijadikan alat untuk memenuhi obsesi Bunda, terlepas bagaimana pemahaman Bunda akan kondisi kejiwaan pitri tirinya tersebut. Pada saat murka, tidak jarang Bunda mengata - ngatai anak tirinya tersebut (maaf) Lonte.Itu yang paling ringan, perkataan lain yang lebih agresif pun akan keluar dari mulutnya. Silahkan pikir sendiri kata- kata apa saja yang lebih parah dari (maaf) Lonte. Sebuah teror psikis yang luar biasa traumatic bagi pertumbuhan anak perempuan sebatang kara dan tak berdaya seperti Bunga.

Kalimat yang bisa mewakili, mungkin seperti ini "Bunga sudah mati. Yang ada sekarang tinggal boneka perempuan yang harus menuruti ambisi - ambisi Ibu tirinya."
Kasihan juga Bunga, Ahh... Bunga...


Hariez_zona@yahoo.com

Selasa, Februari 03, 2009

Undangan

Saya kira Anda lebih mafhum tentang hedonisme, eidos, tentang apapun yang dianggap falsafi, berhubungan dengan filsafat. Saya hanya bisa menjawab “tak tahu” jika Anda menanyakan “apa itu filsafat?” Saya tak tahu, siapa yang sebenarnya “tak tahu”, Anda, atau saya, dan mari kita ngobrol di warung kopi tentang itu, sehingga kita sama-sama (tak) tahu. Ngobrol itu, jika terjadi, adalah ngobrol yang terjadi bukan karena kesadaran akan hak, melainkan karena kesadaran akan keterbatasan. Ngobrol itu tak bersandar pada postulat “semua orang bebas berpendapat, termasuk saya!”, tetapi lebih kepada “mungkin saya salah”. Untuk postulat pertama, saya tak menduganya merupakan implementasi dari will to power­-nya Nietzsche. Atau jika anda memaksakan kepada saya demikian, maka bagi saya, anda tidak memahami will to power dari Friedrich Nietzsche, melainkan power to will dari Nietszche Friedrich.

Mungkin Anda juga bisa mengatakan bahwa filsafat adalah ruang kosong yang membentang antara metafisika dan sains. Atau filsafat adalah pioneer, yang melakukan babat alas pada sebuah pulau yang baru ditemukannya, dan kemudian langsung meninggalkan pulau tersebut—untuk mencari pulau lain—sementara pasukan ilmu pengetahuan melanjutkan misinya di pulau tersebut. Anda juga bisa dengan bebas mengatakan bahwa filsafat adalah kecintaan akan kebijaksanaan, dan filsuf adalah orang yang mencintai sesuatu yang bijak—meskipun dirinya sendiri tak bijak. Dan saya berharap yang terjadi bukanlah silogisme tak logis yang terjadi diantara para filsuf, “saya filsuf. Saya menyukai filsafat. Karena itu, apapun yang saya sukai adalah filsafat”. Anda tahu, jika “si filsuf” (sengaja saya apit tanda petik, sebenarnya untuk kata yang sama di kalimat selanjutnya, jika anda berkenan mengingatnya) tersebut mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Thomas Aquinas adalah filsafat, itu bisa saja bukan karena apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas adalah filsafat dalam dirinya sendiri, tetapi karena si filsuf menyukai apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas atau karena si filsuf mengagumi Thomas Aquinas.

Dan celakanya, si filsuf adalah orang pintar, dan omongannya didengar, dibaca, dan dipercaya oleh orang banyak. Anda tahu, si filsuf telah seperti Napoleon (entah yang ke berapa) yang mengatakan L’etat c’est moi (“negara adalah saya”—pun jika saya tak salah tulis), hanya saja kata negara di situ diganti dengan “filsafat”, sehingga kita bisa mengejanya “filsafat adalah saya”. Dengan demikian definisi filsafat oleh si filsuf tersebut telah kontradiktif dalam dirinya sendiri. Apakah Anda tak salah tangkap, yang mana filsafat, dirinya, atau apa-yang-dikatakan-oleh-Aquinas, atau “saya”? Bisa saja saya salah, dan Anda boleh mendebat saya dengan mengatakan bahwa Thomas Aquinas adalah filsuf besar yang mengatakan bahwa Tuhan adalah causa prima. Lantas, anda tahu apa yang sebenarnya ingin saya katakan, namun akhirnya hanya bisa saya gumamkan? Saya bergumam “trus kenapa?”, jika Anda mendengarnya. Maksud saya, dimana letak ke-filsafat-an Anda dan klaim-klaim Anda? Karena bagi saya, apa yang saya, apa yang dikatakan Aquinas bukanlah filsafat.

Saya kira, saya masih bingung tentang “apa itu filsafat”, dan Anda boleh terus mengikuti saya, lepas dari Anda masih bingung seperti saya, atau tidak. Anda boleh, dan itu tidak mengikat anda untuk harus memilih antara “ikut” atau “tidak ikut”, bahkan Anda boleh “tidak memilih”, boleh abai dan tak acuh.

Saya kira Anda lebih mafhum tentang hedonisme, eidos, tentang apapun yang dianggap falsafi, berhubungan dengan filsafat. Saya pernah mendengar tentang eksistesialisme, sosialisme, kapitalisme, atomisme, holisme, postmodernisme, strukturalisme, psikoanalisa, dan lainnya yang dianggap filsafat. Saya juga pernah mendengar bahwa Plato, Aristoteles, John Locke, Rosseau, Sartre, Luhmann, Habermas, Fuocault, Kiekergaard, Derrida, Kant, Hegel, Fichte, Heidegger, dan masih banyak yang lainnya, adalah seorang filsuf. Saya memang suka dengan hal-hal semacam itu. Maksud saya, saya tidak ingin mengatakan bahwa saya menyukai filsafat. Saya menyukai hal-hal semacam itu, yang menawarkan sesuatu-yang-tak-terduga, untuk memahami ke-diri-an saya sebagai manusia. Dan saya kira semua manusia di dunia ini pasti menyukai hal-hal tertentu, dan mempunyai alasan masing-masing untuk menyukai hal-hal yang mereka sukai tersebut. Jadi apa maksud Anda mengatakan ”saya suka filsafat?”. Saya kira jika Anda memang megaku menyukai filsafat, dan Anda berkata sermacam itu, maka bagi saya, Anda seperti mermakan roti burger karena melihat banyak orang yang menikmatinya, sehinggga Anda merasa kenyang dan sedikit keren.

Saya membayangkan jika Noam Chomsky…., atau mungkin begini saja, pada zaman Aristoteles hidup, mungkin ada seseorang yang mengatakan sesuatu yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh Chomsky, dan waktu itu, hal semacam itu tidak falsafi. Saya belum bisa mengatakan, bahwa definisi, apakah suatu pembatasan atau pengkaburan, tetapi saya kira hal yang dibahas oleh Aristoteles berbeda dengan yang dibahas Chomsky, dan keduanya hadir dengan satu label : filsafat. Anda bisa merunutnya melalui sejarah filsafat, melihat benang merahnya, atau melihat diagram akar, bahwa si ini dipengaruhi si itu, si itu dipengaruhi oleh si itu yang lain. Bahwa si ini termasuk aliran itu, karena dia dipengaruhi oleh si itu. Atau si ini membuat aliran baru yang berbeda dengan aliran si itu. Tetapi bagi saya, ada semacam membedakan hal yang sama dan menyamakan hal yang beda, dalam setiap pembatasan (definisi) dan runutan semacam itu.

Tetapi bukan itu yang ingin saya katakan.

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah berita tentang peluncuran album baru Letto. Iya, Letto grup band yang digawangi Noe, Patub, dan kedua temannya yang lain. Album itu berjudul Lethologic. Dalam wawancara, Noe mengatakan dalam satu lagu di albumnya kali ini, ada ;agu yang menceritakan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat satu hal yang hilang, dan satu yang hilang inilah, yang dia cari selama hidupnya. Satu yang hilang itu bisa jadi kekayaan, kemasyhuran, ketenangan, kebahagiaan, dan sebagainya.

Saya mencoba mengkaitkan ini dengan si Victor Frankl yang konon mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mencari makna, atau si Aristoteles yang mengatakan bahwa hidup adalah mencari kebahagiaan. Saya kira ketiganya mengacu pada hal yang sama, bahwa hidup adalah mencari sesuatu. Ketiganya, saya kira juga mengacu pada hal yang sama. Kebahagiaan, makna, dan satu yang hilang, berada dalam posisi yang sejajar. Atau saya coba mengkaitkannya dengan postulat lain yang mengatakan bahwa manusia hidup karena ada yang mendorongnya untuk hidup, seksualitas kalau itu Freud, will to superriority kalau itu si Alfred Adler, will kalau itu si Schopenhauer. Mereka semua adalah manusia yang hidup, atau setidaknya pernah hidup, tetapi mengatakan perihal kehidupannya masing-masing.

Berdasar dengan itu, saya tak bisa mengatakan bahwa inti dari bahasan Freud adalah dorongan seksualitas, id, ego, superego. Seperti halnya saya tak bisa mengatakan bahwa kata kunci dalam bahasan Nietszche adalah will to power, dan banyak yang lain, yang saya kira Anda lebih mafhum. Saya hanya bisa mengatakan bahwa semua yang mereka katakan adalah ”analogi”. Dan bagi saya, analogi adalah ”semacam---”, dan maka dari itu bukan sesuatu yang Ada.
Bagi saya, Freud hanya menganalogikan, bahwa ada 3 ”kekuatan” yang ada dalam diri manusia. Kekuatan yang mendorong manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya, kekuatan yang mendorong manusia untuk memperturutkan norma umum, dan kekuatan untuk memilih antara keduanya. Kemudian saya tahu masing-masing dan berturut-turut bernama id, superego, dan ego. Kesemuanya itu adalah analogi, yang, saya kira, terpaksa digunakan untuk mempermudah penyampaian. Dan definisi bermula dari situ. Definisi bisa bermula dari ”----adalah” atau ”sebut saja---”. Jika saya mengatakan bahwa “filsafat adalah----“, tentu berbeda dengan jika saya mengatakan “ada sesuatu yang mendorong saya untuk hidup sampai sekarang, sebut saja uis”. Pada yang pertama, juga berarti pemahaman saya tentang filsafat, sebagai sesuatu di luar diri saya. Dan yang kedua adalah untuk mempermudah pembahasan selanjutnya. Pada yang pertama, Anda bisa menyangkalnya dengan mengatakan “filsafat bukan seperti itu, tapi seperti ini”, sedang pada yang kedua Anda tidak bisa menyangkalnya dengan “uis bukan itu, tapi ini”. Dan hal yang saya kira lebih mengena adalah jika saya mengatakan “maksud saya” dan Anda pun mengatakan “maksud Anda” dalam sebuah obrolan di Warung Kopi.

Atau misalnya tentang Oedipus Complex, yang saya kira Anda juga pernah mendengarnya. Freud mungkin pernah membaca tentang kisah Oedipus yang membunuh Ayahnya, karena menganggap bahwa Ayanya adalah saingannya dalam hal memperebutkan cinta Ibunya. Freud menganggap bahwa manusia pun seperti itu, mengalami hal yang identik dengan yang dialami oleh Oedipus, sehingga apa-yang-dialami tersebut dinamainya Oedipus Complex. Apakah di sini Anda menganggap bahwa Oedipus Complex itu ada? Ataukah ada semacam kompleks seperti yang dialami oleh Oedipus? Bagaimana Anda menempatkan Oedipus Complex, apakah sebagai “---adalah” atau “sebut saja---“? Saya kira bahasan inilah yang menjadi penting sebagai pijakan untuk membahas tentang Oedipus Complex­—dan semacamnya—(jika kita ingin membahasnya), karena kita tak bisa menanyakan langsung pada Freud.

Pembahasan yang lebih mendasar dalam hal ini, lagi-lagi jika Anda bersedia membahasnya, adalah tentang kehidupan manusia, jika diibaratkan orang yang berjalan, apakah jalannya orang tersebut karena didorong oleh sesuatu—seperti yang dikatakan Freud dan Maslow—ataukah karena ingin menggapai sesuatu—seperti yang dikatakan Noe dan Frankl. Apakah hidup ini, yang kita mengalaminya, adalah proses pasif atau aktif?

Saya mencoba memberikan contoh lain. Saya menuliskan sesuatu yang Anda baca ini pada Jum’at pagi, 30 Januari 2009. Malam tadi saya menyelesaikan sebuah novel yang berjudul ”The Last Empress” yang merupakan sekuel dari “Empress Orchid”, karangan Anchee Min. Novel itu bercerita dengan latar negeri Cina (saya tak perlu membahas lebih lanjut tentang ”Cina” sebagai identitas yang juga memuat tarik-ulur, atau ”sebut saja Cina”, jika Anda menuntut saya untuk konsekuen dengan apa yang saya katakan) pada abad 18. Tentang kerajaan Manchu. Saya tak pandai bercerita, maka saya tak ingin menceritakan Novel tersebut. Saya hanya tertarik untuk menceritakan bagian akhir dari novel tersebut.

Di sana, di novel itu, disebutkan tentang Sun Yat Sen. Jika Anda pernah mendengar, dan yang Anda tahu tentang Sun Yat Sen adalah seorang pahlawan pembebasan Cina, maka ke-tahu-an semacam itulah yang digugat oleh novel tersebut. Novel itu bercerita dengan sudut pandang orang pertama Putri Yehonala. Yehonala adalah pemimpin kerajaan Manchu. Jika Anda memahami Sun Yat Sen adalah seorang pembebas, maka kerajaan Manchu adalah belenggu yang mengikat, dan Putri Yehonala yang memimpin kerajaan tersebut. Novel itu mengatakan bagaimana pemahaman Anda yang semacam itu, adalah hasil dari konstruksi media massa pada saat itu, yang mengatakan bahwa Sun Yat Sen adalah pembebas. Novel itu menceritakan bahwa Sun Yat Sen bukanlah pembebas, dia hanyalah pemberontak yang bersekongkol dengan Jepang—dan didanai oleh Jepang—untuk meruntuhkan Dinasti Manchu, demi kepentingan pribadi Sun Yat Sen, dan secara kebetulan bersesuaian dengan kepentingan Jepang untuk mengekspansi kerajaan Cina. Dan Jepang membantu Sun Yat Sen (atau mereka saling membantu). Saya kira Anda bisa melanjutkan berbagai kemungkinan lainnya.

Melalui ini bisa dipahami, bagaimana tesis ”pengetahuan adalah kekuasaan” adalah terbalik. Kekuasaan adalah pengetahuan, saya kira lebih tepat. Mungkin Anda mengkaitkan ini dengan relasi pengetahuan dan kekuasaan, atau Anda bisa mengkaitkan ini sebagai pemurnian Sejarah, atau menganggapnya sebagai hiburan saja.

”Sun Yat Sen adalah tokoh pembebasan” adalah pengetahuan. Jika Anda mengkaitkannya dengan adanya pengaruh kuasa dan politis dalam membentuk suatu pengetahuan, maka novel tersebut menggambarkan seperti yang Anda inginkan. Ke-tahuan Anda tentang ”Sun Yat Sen adalah tokoh pembebasan Cina”, bukan hanya karena peran Sun Yat Sen yang masih dalam tanda tanya dalam pergulatan politik Cina di antara abad 19-20, tetapi juga karena terkonstruk oleh informasi dari pendidikan sejarah di masa SD, yang berdasar pada pemberitaan surat kabar zaman itu. Surat kabar yang menjadi dasar tersebut, kebanyakan dari luar Cina (Prancis, Amerika, Inggris, Jerman), yang kesemuanya berkepentingan dengan Cina. Dan kepentingan mereka, akan terhalangi jika Dinasti Manchu, yang dipimpin oleh Yehonala, masih berkuasa.

Atau Anda bisa menolak sedari awal, dengan mempertanyakan “apa maksud anda dengan Ada? Mengapa anda mengatakan bahwa analogi bukanlah hal yang Ada?” kepada saya. Saya tak yakin bisa menjawabnya. Dan jika Anda pun tak yakin, maka saya rasa kita perlu mengajak beberapa orang lagi dalam obrolan kita selanjutnya di Warung Kopi itu.


Ahmad Fahmi Mubarok