online degree programs

Senin, Maret 31, 2008

Finding myself

Jujur, tak banyak yang dapat disampaikan di sini. Ini hanya bagian hidup yang perlu di isi. Seperti saat ini, mengisi apa yang perlu di isi dan biarkan yang lain kosong bila memang diharuskan kosong.

Judulnya seperti sebuah lagu di OST film The Punisher, "Finding Myself" yang dinyanyikan Smile Empty Soul. Kalau dibilang mencontek, mungkin. Sedangkal otak ini memahami bahasa inggris, suatu keajaiban dapat menemukan kata itu. Yang lebih masuk akal, terispirasi. Itu saja.

Suatu keajaiban pula seseorang yang belum mengenal dirinya tiba-tiba begitu paham akan diri lain. Inspirasi tentu saja bagian tak terpisahkan dari pencarian siapa sebenarnya diri. Menemukan apa yang sebenarnya tak perlu dicari.

Setiap diri mempunyai komponen terorganisir yang dapat melengkapi diri untuk memahami dirinya. Yang melekat justru yang dicari, yang harus ditemukan. Bagaimana menemukan apa arti sebenarnya diri, hanya diri itulah yang dapat menjawabnya.

Kalau diri sudah mengenal dirinya maka dia dapat mengenal diri yang lain, yang memang harus dicari. Bagaimana diri mampu mengenal diri yang lain tanpa memahami dirinya. Sebuah fatamorgana. Kalau dibilang keajaiban, keajaiban macam apa. mengenal diri adalah bagaimana memahami siapa diri?Bagaimana diri?Memahami ruh, akal,hati dan nafsu kemudian memahami diri yang lain.

Agaknya membingungkan. Bagaimana kita tahu, "diri " tidak dapat berbicara? Sedangkan ia begitu lancar bercerita. Ia berbicara dengan ke-khas-annya. ia menggumam, menangis, tertawa dan terlibat keburaman yang dalam atau kesunyian pada lembahnya atau keriangan yang mengalir tanpa henti. Tak ada rasanya bila ia hanya diam, rigid, tak bergerak, tak memahami dirinya sendiri. Menemukannya dalam diri sendiri. Rasakan cintanya, amarahnya, bahkan kasih sayangnya pada diri lain.

menemukan apa sebenarnya yang telah ada. hanya mengukir cinta pada "diri" dan temukan keagungan Sang Pengkodrat diri. Yang mengatur diri apa pada siapa ia. Yang memihak pada diri yang selalu lemah. Yang mencintai diri ketika diri mengenal dirinya. Yang menakdirkan diri menjadi diri sepenuhnya. Yang menggapai diri dari segala pejuru. Yang membuat diri ada bersama diri lain dan Yang membuat diri menemukan dirinya hingga memahami diri lain.

Sebuah proses yang tak pernah berhenti sampai diri dianggap lelah dan tak mungkin lagi memahami diri atau bahkan terlalu menjadi "diri". Sebuah proses kehidupan karena diri dalam keadaan mengharap, merangkak, menerjang, ingin selalu menemukan siapa dirinya.
Inspirasi merupakan awal diri untuk menemukan siapa dirinya. dan memahami arti dirinya, menggapai apa yang ada dalam dirinya sampai diri menemukan diriNya. Yang tak lain adalah "diri" itu sendiri.

A_leev

Pilgub Jateng yang Demokratis


Konstelasi politik makin hangat saat komplitnya bagub dan bacawagub Jateng yang diprediksikan sebelumnya terdiri dari lima pasangan telah mendaftar ke KPU. Mereka Muhammad Tamzil-Rozaq Rais (PPP-PAN), Agus Suyitno-Abdul Kholiq Arif (PKB), Bambang Sadono-Muhammad Adnan (Golkar), Sukawi Sutarip-SUdharto (P Demokrat dan PKS) dan Bibit Waluyo-Rustriningsih (PDI-P) telah resmi mendaftar sebelum masa pendaftaran di tutup Selasa 1 April 2008 ini. Mereka akan menjadi peserta pemilihan yang akan bertarung bersama-sama tim sukses pemenangnya.

Perebutan simpatik dan popularitas di mata pemilih akan di garap total oleh peserta pemilihan ini. Berbagai upaya untuk menyadarkan, memberdayakan atau mempengaruhi masyarakat dengan cara-cara paksaan sudah lagi tidak relevan digunakan saat ini. Nilai-nilai dan semangat demokrasi menolak tegas adanya segala bentuk paksaan terhadap masyarakat. Di sini kampanye dan aktivitas politik yang etis sebagai salah satu instrument penting masyarakat demokratis. Bagaimana kemudian peserta pemilihan ini menggunakan cara kampanye dan aktivitas etis ini berupa wujud tindakan komunikasi yang secara inheren bersifat persuasif.

Pelaksanaan strategi persuasif dalam aktivitas politik, patut bagi peserta pemilihan untuk bersikap dan bertindak melakukannya secara etis. Idea demokrasi menawarkan politik etis yang menghargai perbedaan dengan segala derivatifnya untuk tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan objektif (nature) dari individu-individu dalam suatu konteks sosial. Dalam paradigm ini politik semata-mata diabdikan untuk kepentingan berkuasa dengan cara yang sangat mempertimbangkan aspek moral (code of moral), karena sikapnya akomodatif, egaliter, dan menjunjung tinggi eksistensi manusia dan yang paling terpenting adalah dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dalam suatu mekanisme yang terlihat manusiawi. Tanpa adanya pembodohan publik, pengerahan massal dengan tujuan yang tak jelas, dan setidak-tidaknya masih ada beberapa hal yang urgen lain dalam hal menuju implementasi demokrasi yang etis ini. Pertama, penghormatan pada aturan main, menempatkan buah gagasan teori kedaulatan hukum (rule of law dan rechtsstaat) yang harus dipatuhi. Kepatuhan ini mencerminkan dimensi moral yang terlihat dari peserta pemilihan. Baik-buruknya peserta pemilihan terukur dari ketaatan mereka pada aturan main, semakin taat, maka semakin tinggi kapasitas moralnya, begitu juga sebaliknya.

Kedua, aspek komunikasi persuasif etis, artinya suatu perilaku yang saling menghargai harkat dan keberadaan antarpeserta pemilihan. Khususnya terminimalisirnya kampanye hitam dan kampanye negartif yang akan dan mungkin terjadi saat pentas demokrasi berlangsung.Kampanye hitam (black campaign) bertujuan untuk menjatuhkan dan melakukan pembunuhan karakter (character assassination) seorang calon dengan memaparkan isu salah tanpa bukti, selain pemberitaan yang bernuansa fitnah sampai menyentuh wilayah privacy. Dengan kata lain, kampanye hitam bersifat menyesatkan, membangun keresahan dan membodohi sehingga menjadi kontraprodutif dengan demokrasi. Sedangkan kampanye negatif (negatif campaign) secara objektif lebih bernuansa untuk membuka sisi-sisi minus seorang calon dengan referensi data yang kuat. Dari sinilah kampanye tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang etis, karena cenderung melebih-lebihkan, memperkasar, membuat polemik dan menertawakan (lawan). Benih konfrontasi yang direncanakan memiliki satu tujuan, yakni membangkitkan rasa ragu pada diri salah satu calon. Background peserta pemilihan Jateng dapat kita lihat dari segmentasi yang cukup beragam, mulai dari politisi, kalangan pendidikan, birokrasi, bahkan santri. Tentunya dibalik background ini selayaknya unsur kesalahan, kelemahan, kekurangan calon sebagai insan manusia tetaplah ada. Ada baiknya bagi para peserta pemilihan untuk konsentrasi pada strategi pemasaran politiknya, bekerja keras menerakan political marketing, serius membangun target image, ketimbang menyibukkan diri dengan propaganda yang tak etis sama sekali.

Ketiga, mengindarkan diri dari politik uang. Sadar bahwa politik uang hanya akan membawa keberlangsungan pada waktu yang singkat, kadar loyalitas yang rendah, sehingga tidak efektif dipakai sebagai sarana untuk jual-beli pengaruh dalam jangka panjang. Sehingga politik uang tak hanya menjadi perbuatan yang di hindari karena kriminalitas saja, akan tetapi justru menjiwai kebijakan dan program para peserta pemilihan untuk tidak menggunakan politik uang karena kemanfaatannya yang rendah. Ketiga konsep diatas, ketaatan pada aturan main, persuasi yang etis, dan sadar antipolitik uang hendaknya menjadi modal dasar para peserta untuk tetap menjaga citra dan secara tak langsung berkontribusi pada pembangunan demokrasi local.

Pilgub yang Demokratis

Pilgub Jateng yang demokratis setidak-tidaknya mensyaratkan KPUD Jateng sebagai penyelenggara pemilihan yang independen dan non partisipan, panwas yang objektif dan professional, Pemantau Independen sebagai mitra kritis penyelenggara pemilihan, Adanya pemajuan dan peningkatan pendidikan politik warga, dan tanpa kekerasan. Sementara bagi Kevin Evans, variabel- variable penting proses pemilihan langsung mencangkup : netralitas panitia penyelenggara, kompetisi fair antar calon atau partai-partai politik yang bersaing, pelibatan warga Negara sebagai pemilih, kebebasan pemilih, kerahasiaan pilihan dan perhitungan yang jujur.

Banyak sederatan konsep tentang standar dan ukuran demokrasi dalam pemilihan langung. Namun kita masih tetap berharap bahwa kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) tetap di perhatikan disamping persamaan (antidiskriminasi) dan penghormatan terhadap kehendak rakyat mayoritas sebagai prinsip demokrasi partisipatoris.

Selain abstraksi kriteria ukuran demokrasi dalam pilgub, pengujian system pemilihan seharusnya memang sangat perlu dilakukan. Beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam system pemilihan menurut CETRO harus tidak terlalu rumit sehingga pemilihan bisa dilakukan oleh rata-rata pemilih dan realitas dengan keadaan financial teknis administrasi negara yang bersangkutan. Pembaharuan system sedikitnya nampak dilihat dari terbitnya perangkat hukum baru UU No 22 Tahin 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan yang membuat KPUD juga harus bekerja keras dalam menginterpretasi dan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut disamping UU ama yang masih berlaku untuk saat ini. Apakah system pemilihan yang mengalami pembaharuan tersebut menambah kerumitan dan meningkatkan pengeluaran secara financial.

Awaludin Marwan

Direktur Democracy Watch Organization (DEWA ORGA)

Sabtu, Maret 29, 2008

Resensi Buku:

Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional

”...Kebijakan ”pembangunan” dan perencanaan seringkali membuat keadaan lebih buruk dalam proses keterbelakangan, yaitu hanya dengan menangani simtom-simtomnya daripada sebab-sebab kemiskinan. Namun kemajuan terus saja diukur dengan model-model barat.”

Suharyono


Kutipan diatas sengaja dipilih bagi penekanan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Keresahan yang muncul dari seorang, yang barangkali teman-teman tidak terlalu mengenalnya, Prof. Dr. Suharyono yang saya kutip diatas menandakan seorang pemikir yang peka serta kritis. Diantara buku terbitan UNNES Press, yang seringkali dijadikan buku ”wajib”, namun untuk buku yang satu ini saya membelinya dengan suka rela. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, saya secara pribadi memang pengagum beliau. Setelah mengikuti beberapa kuliah yang beliau ampu di semester-semester awal, saya belum pernah menemui seseorang dengan pemahaman pengetahuan negara-negara dan sejarah internasional yang seluas dan sekritis beliau. Kedua, beliau ialah salah satu guru besar yang paling produktif, selain Prof Abu Suud dan Prof. Retmono. Namun demikian, tulisan beliau sedikit sekali muncul di media massa.

Dari cara beliau menulis, mengesankan suatu keresahan yang mendalam akan sebuah tatanan dunia yang tidak seimbang. Hal ini terlihat dari kalimat-kalimat yang ditulis dalam buku tersebut mengalir dengan lancar, seolah pengetahuan geografi regional sudah berada ”diluar kepala”. Pengutipan-pengutipan secara langsung hanya ditemui di awal-awal bab, karena terkait dengan pengertian dan definisi. Setelah itu, bab-bab terakhir, menjelaskan secara analitis proses sejarah kolonialisme di seluruh dunia yang selanjutnya penjelasan negara-negara dalam perspektif regional.

Contoh kekritisan yang bisa ditemui ialah sanggahannya terhadap asumsi-asumsi pengukuran kriteria kemajuan pembangunan yang digunakan oleh Dickenson. Seorang ahli geografi negara berkembang yang notebene bukunya telah diterjemahkan Prof. Dr. Suharyono sendiri pada tahun 1992. Walaupun karangan Dickenson yang berjudul Geografi Negara Berkembang tersebut diterjemahkan beliau, tidak serta merta menerima setiap gagasan Dickenson ’dengan mentah-mentah’.

Asumsi Dickenson, serta yang sering dipakai hampir semua buku teks, yang mengatakan bahwa penyebab keterbelakangan negara-negara berkembang ialah:
  1. Kawasan negara berkembang terletak di wilayah tropik.
  2. Dunia ketiga kekurangan sumber alami esensial yang diperlukan untuk menunjang perkembangan industri.
  3. Citra penduduk negara berkembang yang ”penuh sesak” yang disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.
  4. Asumsi rasial dari bangsa Eropa bahwa negara berkembang terbelakang terkait dengan warna kulit berwarna yang identik dengan sifat ”inferior” dan ”pemalas”.
  5. Dan yang terakhir terkait dengan proses kolonialisme yang dialami negara-negara berkembang.
Dari kelima asumsi yang dipakai Dickenson, hanya yang terakhirlah yang diterima oleh Prof. Dr. Suharyono. Yang lain disanggah dengan fakta-fakta sebagai berikut:
  1. Bahwa sejarah pertumbuhan peradaban manusia justru lebih banyak yang mulai dari wilayah panas/hangat di sekitar atau di wilayah iklim tropik seperti peradaban bangsa/orang-orang Nubia Kuno di lembah S. Nill, Babilonia di lembah S. Eufrat dan Tigris, serta peradaban tua di lembah S. Indus di India.
  2. Kenyataan kedua bahwa sumber energi dan bahan mentah untuk industri sekarang ini banyak yang berasal dari daerah-daerah bekas jajahan di sekitar wilayah tropik.
  3. Asumsi ketiga dibantah dengan fakta bahwa Afrika dengan penduduk sangat sedikit malah menjadi negara terbelakang. Begitu juga Kanada serta Australia yang juga berpenduduk sedikit tergolong negara maju. Sedangkan Belanda dan Belgia termasuk negara maju walaupun memiliki kerapatan penduduk yang tinggi. Jadi disini asumsi yang mengkaitkan keterbelakang dengan jumlah penduduk tidak dapat diterima.
  4. Sedangkan asumsi rasial yang berdasar warna kulit terbantah dengan kemajuan yang dialami bangsa Jepang.
Terlepas dari kualitas buku yang sangat mengagumkan tersebut. Kita dapat menangkap suatu keresahan dan kesimpulan skeptis dari kalimat yang saya kutip di atas. Menandakan suatu kegagalan ilmu ”ekonomi arus utama” yang sekarang sedang dipakai secara umum. Yang berorientasi pada perencanaan serta pengukuran matematis. Yang dalam istilah di atas memakai kata: ”model barat”.

Begitu banyak buku-buku ekonomi yang beredar sekarang ini sebenarnya bersumber dari asumsi-asumsi yang tidak saja keliru, namun justru menyesatkan. Asumsi yang mengatakan bahwa kegiatan ekonomi---kegiatan antara produsen, distributor serta konsumen---dapat direncanakan oleh agen diluar pelaku ekonomi seperti pemerintah serta lembaga-lembaga moneter internasional jelas merupakan kesalahan logika sederhana yang berdampak terhadap kehidupan manusia yang sangat serius. Yaitu pemiskinan itu sendiri.

Sebagai seorang intelektual, ialah suatu tanggungjawab kita untuk mengembalikan serta mengingatkan setiap penyimpangan gagasan yang terjadi. Baik hal itu disengaja maupun tidak disengaja. Apalagi gagasan tersebut telah merugikan banyak orang.

Buku Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional penting bagi mahasiswa, Geograf, ahli Ilmu Sosial, serta peminat kajian politik internasional dan juga masyarakat umum.

Spesifikasi Buku:
Judul : Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional
Penulis : Prof. Dr. Suharyono
Ketebalan : vii+247 hal
Penerbit : UNNES PRESS
ISBN : 9799579937
Distributor : Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang

Biodata Penulis Resensi:
Giyanto, sekarang mendalami praksiologi (ilmu mengenai tindakan manusia), artikel-artikelnya telah beredar di Jurnal online:
http://akaldankehendak.com serta beberapa opini di:
http://komunitasembunpagi.blogspot.com: diantaranya:
1. Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
2. Pertanian dan Paradoks Beras Miskin dalam Perspektif Praksiologi
3. Kritik Logika Aristotelian
dsb

Kamis, Maret 27, 2008

HIKAYAT PARA KAMBING GUNUNG

Capek.......... melihat tulisan – tulisan yang panjang dan bahasanya berat seperti itu, alangkah lebih baik mengistirahatkan sementara kerja otak untuk memahami dan refreshing dengan mengaktifkan bagian yang lain untuk menikmati gambar – gambar berikut.

Gambar ini saya ambil ketika ada kesempatan untuk bermesraan dengan gunung – gunung yang ada di sekitar jawa tengah ini.

Gie (maksud saya adalah soe hok gie), pernah mengatakan kurang lebih seperti ini; bahwa cinta terhadapa tanah air tidak akan tumbuh hanya dengan slogan – slogan yang hipokrit, tetapi betul – betul harus mengenal sendiri apa –apa dari obyek tersebut. Dari situlah kecintaan akan tanah air tumbuh..

Selamat menikmati...




gugusan awan mendung mulai naik, terbentuk. gambar ini diambil dari camping ground gunung sindoro (-/+ 2500 dpaL)



di jawa tengah,sumbing dan sindoro termasuk gunung yang dieksploitasi berlebihan untuk ladang hortikultura, penebangan hutan, kegiatan pendakian, pemetikan bunga-bunga eidelweis yang dilindungi dll. sehingga gunung kembar nan cantik - cantik ini jadi semakin gundul. usaha rebiosasi belum penulis lihat serius ck...ck...




Gunung sindoro letaknya strategis, dari puncaknya, pada saat cuaca cerah, kita dapat melihat puncak - puncak tertinggi di jawa tengah seperti lawu, merapi, merbabu, ungaran, telomoyo, ngandong, dieng, slamet, muria..


Sunrise di gunung ungaran, puncak gunung lawu tampak menyebul di cakrawala...



karena tidak terlampau tinggi (-/+ 2050 dpaL), gunung ungaran sering menjadi tempat refreshing yang asyik, selain karena letaknya yang tidak jauh dari semarang.di puncak ungaran, kadang - kadang kalau lagi rame malah kayak seperti pasar manusia. tapi gunung ini masih lestari. pohon - pohon begitu lebatnya, terdapat beberapa mata air yang tidak pernah kering, juga satwa lokal seperti kera, babi hutan, macan dll.




dari tebing ini tampak kebun teh peromasan nan hijau rapi. kebun teh ini sering digunakan untuk kegiatan outdoor seperti camping, outbond, pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar)mapala, makrab,dll... Wlaupun di kebun teh ini belum ada listrik, warga peromasan (kurang lebih ada 30 kk) mempunyai diesel yang dinyalakan tiap malam minggu saja. warga juga menyediakan homestay bagi yang liburan ke kebun teh ini.

Rabu, Maret 26, 2008

Pilihan Strategi Perjuangan Idealisme



Teruntuk Mas Fahmi dan temen-temen lainnya, selain di sini tulisan ini tak tulis juga di http://pendidikankritis.wordpress.com. Mas Fahmi, tiap orang memiliki idealisme sendiri-sendiri, yang ia pegang atau ia telantarkan dan memilih oportunisme, tapi saya yakin Mas Fahmi adalah termasuk yang memegang idealisme itu.

Memegang idealisme di kampus dan luar kampus pada dasarnya meniscayakan strategi implementasi, misalnya ketika berhadapan dengan birokrasi otoriter bisa dengan (1) secara radikal-frontal berhadap-hadapan, (2) menjadi minder, takut, dan kemudian menanggalkan idealismenya dan larut dalam rayuan manis birokrat kampus (iming-iming karier, kemudahan studi, dan lainnya asal tidak kritis pada birokrat), dan (3) strategi negoisasi dengan memanfaatkan bargaining position diri aktivis di depan birokrat (jika seorang aktivis sudah diperhitungkan bahwa dirinya “berbahaya” karena tulisan dan aktivitasnya oleh birokrat biasanya akan didekati untuk dirayu dan “dibungkam”), jadi tidak larut dalam air tapi berada di atasnya, bernegoisasi tanpa meninggalkan idealisme.

Strategi pertama, sangat berisiko DO klo tidak ada backing bantuan hukum dan jaringan yang kuat di luar. Strategi kedua, itu bukan strategi tapi kematian aktivis kampus, dan strategi ketiga bagi saya lebih relevan, tidak riskan, tapi tengah-tengah, tapi cukup sulit untuk dapat merumuskan strategi ini dan menjalankannya, karena aktivis bersangkutan mesti punya bargaining position di mata birokrat. Mencapai posisi dengan harga tawar tinggi di mata birokrat bukan dengan cara menjilat apalagi oportunis, mencari jalan aman untuk dirinya di kampus, tapi tetap mesti mengedepankan idealisme. Di tahap ini, klo jadi, Mas Fahmi akan di datangi birokrat, ditawari ini—itu, disuruh bungkam, dan lainnya, hingga mungkin goyah, menerima tawaran, atau justru meradang dan kian radikal, atau klo mau cerdik ya ambil strategi ketiga tadi.

Dari sinilah, dengan melampaui bahasan strategi perjuangan idealisme tersebut, mengkritik bisa mulai dari yang sangat absurd, dengan metafora, analogi-analogi, aforisma cinta, lewat puisi, sastra, cerpen, essay dan feature yang humanis dan menyentil, yang ilmiah penuh dengan data-fakta dan kekuatan referensi dan yuridis hukum yang kuat, sampai pada bentuk artikel yang provokatif. Itu adalah pilihan dengan konsekuensi masing-masing.

Pada akhirnya saya tidak menyuruh waton kritik, itu namanya bunuh diri Mas Fahmi, terlebih dengan tiadanya backing hukum dan jaringan yang kuat dengan elemen gerakan sosoal baru di luar sana. Saya sedikit banyak mulai belajar karakter Mas Taufik, Mas Luluk, Mas Hariez, Mas Yoghas, Mas Fahmi, dan lainnya, klo saya sich ndak ada apa-apanya sama semua yan telah saya sebutkan itu, hanya mungkin yang tepat dan sesuai karakter Mas Fahmi adalah yang soft aja, lebih estetis, mencayu-dayu, agak melankolis mungkin. Ada jenis tulisan yang namanya essay dan feature, saya berharap banyak Mas Fahmi bisa membuat tulisan yang lebih ringan, renyah, enak dinikmati, namun cukup memberi arti dan pemahaman bagi pembaca.

Feature juga bisa dari sudut pandang refleksi diri sebagaimana yang digunakan Mas Fahmi selama ini, karena feature lebih humanis dan menampilkan sisi-sisi riil kehidupan manusia seutuhnya, lebih “fenomenologik” dalam perspektif paradigma penelitian kontemporernya. Layak juga belajar dari gaya tulisan-tulisan Cak Nun, saya di Jakarta berburu buku-buku lawas Cak Nun seperti Kiai Sudrun Gugat, Slilit Sang Kiai, Markesot Berutur dan lainnya, itu potret intelektual Cak Nun dari muda sampai sekitar tahun 1990-an. Ada perkembangan tulisan dari yang ringan, menyentil, dengan imajinasi luar biasa dan guyonan-guyonan ala Cak Nun, dari yang etis-estetis, filosofis, ndagel, kompromistis dengan sutuasi kala itu, smapai yang berkecenderungan politik.

Itu klo Mas Fahmi mengandalkan wacana via tulisan di media publik, selain itu masih banyak lagi, dan saya tidak berpretensi untuk merasa lebih tahu akan karakter Mas Fahmi lebih dari yang Mas Fahmi sendiri ketahui. Orang “diam” itu lebih sukar ditebak dan ketahui kedalaman capaian intelektualnya daripada yang “ramai” suka berbicara, iya khan? Semua strategi intelektual adalah pilihan dengan konsekuensinya masing-masing, dan jalan intelektual sebagaimana dikatakan oleh dosen dan temen akrab saya Pak Nugroho (TP FIP Unnes) adalah jalan sunyi, bukan ingar bingar glamorisme yang dicari, tapi pengabdian pada kemanusiaan dan keilmuan bahkan ketuhanan. Saya sempet SMS-an sama beliau dulu semasa semester tengah-tengahan, beliau bertanya “Apa benar kamu akan berani hidup di jalan sunyi?”, saya jawab, “Kenapa tidak? Toh selama ini saya dalam arah menuju ke situ...rasa terkucilkan, terasingkan, tanpa teman, itu sudah hal biasa....dan pasti kita akan mendapatkan balasan dari semua yang kita perbuatan, kalau jalan sunyi itu adalah kebaikan, mesti sebagiamana sunnatullah maka Allah akan membalas kebaikan kita itu, bukankan dalam al-Quran dinyatakan bahwa sayap-sayap malaikat pembawa rahmat selalu memayungi orang-orang yang berada di jalan intelektual (thalabu al-’ilmi)”.

Bukankah Rumi pernah berkata, Andai kau beri aku pena, maka kan kupatahkan pedang dengan kata-kata”, begitu tajamnya pena melebihi pedang, begitu awetnya tradisi teks sepanjang massa, hingga di jaman "metateks" sekarang ini kita masih tetap bisa membaca Republic karya Plato, the Human Condition karya Hannah Arendt, bahkan Codex Hammurabi hehehe...

Eit...tapi jangan lupa masih ada seribu satu strategi perjuangan untuk menegakkan idealisme, dengan membangun dan menggerakkan komunitas kita ini misalnya, juga strategi, publish di media juga strategi, kaderisasi nonformal adik-adik kita juga strategi, semuanya adalah strategi, kita bisa ambil contoh The Art of War dari Tsun Zu itu klo ada yang punya (punyaku di pinjem gak balik hehe...).

Ali Syari’ati menyatakan, “Seseorang bisa belajar dan mempersiapkan revolusi dengan membuat revolusi, bukan dengan mendiskusikan revolusi” dan Antonio Gramsci menyatakan, “Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat”.

Selamat berjuang, klo gak awal april ya pertengahan ato akhir saya ke Semarang, ntar tak SMS aja...sudah kangen pengen diskusi hehehe....sampai pagi ya, jangan lupa Kan Mul bawa kopinya, sudah kangen sama kopi seduhan Kang Mul yang tiada duanya, bikin gak bisa tidur, Kang Gik jangan pernah tidak tertawa secara tidak ritmis yang merusak pakem tawa kebanyakan, karena itu keunikanmu hehehehe....

Salam, Edi Subkhan, peserta extension course of philosophy, STF Driyarkara, Jakarta

Selasa, Maret 18, 2008

Meninjau Kembali Kurikulum Kita

Sapa kang nandur bakal ngundhuh

Siapa yang menanam akan memetik, bukan lagi hal yang istimewa bagi telinga kita. Tetapi yang terjadi justru yang menanam bukan yang memetik, dan mereka yang menikmati hasilnya bukanlah yang menanam. Diantara menanam dan memetik, ada suatu proses yang disebut ngopeni (memelihara), menjaga agar nantinya dapat dipetik dan dinikmati hasilnya. Demikian adalah konsekuensi logis dalam kegiatan “pertanian”. Selain menggambarkan suatu tuntutan tanggung jawab untuk merawat apapun yang ditanam, juga menerima kenyataan bahwa tidak menanam maka tidak memetik.

Menanam jika diartikan dengan konsepsi yang lebih luas, bukan hanya menanam biji jagung. Proses pendidikan dengan segala seluk beluknya terkait dengan ungkapan di atas, bisa dianggap kegiatan menanam yang pada saatnya nanti akan menuai hasil panen. Berbagai mata pelajaran, mulai dari Matematika, Bahasa dan Sastra, Sains, Agama, PPKn, dan Kesenian, diajarkan sebagai muatan dan tuntutan kurikulum, hanya saja dengan porsi yang belum bisa dikatakan proporsional. Hal ini bukan tanpa dasar. Tanpa dibuktikan dengan penelitian ilmiah pun, jutaan penduduk Indonesia akan mengakui hari-hari sekolah mereka menerima pendidikan yang “berat sebelah”. Matematika dan Bahasa (Indonesia) mempunyai frekuensi tertinggi dalam 1 minggu (6-8 jam pelajaran), diikuti Sains, selanjutnya PPKn, Agama, dan Kesenian. Mengingat jumlah materi menurut tuntutan kurikulum, hal ini bisa saja dibenarkan, dengan Ujian Nasional yang hanya bermuatan mata pelajaran berfrekuensi tinggi tersebut yang semakin menguatkan pembagian porsi semacam itu memang harus dilaksanakan.

Keseimbangan Otak
Secara garis besar, otak manusia dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan, di mana otak kiri yang “berisi” logika matematis, dan otak kanan berkaitan dengan estetika. Kedua belahan otak tersebut tentu saja harus diperlakukan seimbang jika ingin melihat perilaku yang seimbang. Melihat kenyataan, penekanan yang dilakukan oleh pendidikan kita hanyalah pada otak kiri. Mata pelajaran Seni Rupa, Seni Musik, Ketrampilan Tangan, selain mendapatkan porsi yang demikia sedikit, juga mendapatkan reduksi menjadi satu Mata Pelajaran-Kesenian-saja. Belum melihat dari sisi Teknik Pengajaran menurut Psikologi Belajar Kogntif, Behavioristik, Kompetensi Staf Pengajar, penyediaan fasilitas pendukung, dan Jumlah siswa perkelas, sudah jelas yang terjadi masih jauh mendekati proporsi yang semestinya.

Proses Pendidikan semacam ini berjalan mulus dalam jangka waktu yang lama, seperti tanpa krentek untuk mengkaji ulang demi kebaikan bersama.

Petikan Hasil Pendidikan
Sedemikian lama proses menanam dan memetik silih berganti, sampai sekarang kita masih menanam sekaligus dapat merasakan hasilnya. Dalam konteks kekinian, apa yang terjadi tidak bisa lepas dari pengaruh proses pendidikan yang sebelumnya dijalani. Bermula dari semasa kanak-kanak, semenjak SD anak dibebani dengan kurikulum yang serba berlebih pada otak kanan mereka. Menilik dari sudut pandang Psikologi perkembangan, tuntutan perkembangan masa kanak-kanak adalah masa bermain yang bertujuan mengembangkan kreativitas. Dengan porsi pendidikan yang penuh angka, tak ayal berkembang prinsip barang apapun jika tidak disederhanakan dalam formula matematis (rumus), maka ia bukan ilmu pengetahuan yang berakibat runtuhnya pandangan amggapan pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan. Bahkan pelaku seni dengan mudah merendahkan hasil karya pelaku seni lainnya, bisa jadi merupakan bagian dari ketimpangan.

Seperti yang dikatakan oleh Ludwig Wittgeinstein “bahasaku adalah batas duniaku” maka bahasa yang terbentuk melalui pembiasaan kurikulum tentu tidak jauh-jauh dari bahasa yang bersifat kuantitatif. Demonstrasi massa, tawuran pelajar, kekerasan komunal, sikap tidak jujur, membudayanya kecurangan sistemik (korupsi, kolusi, nepotisme), mudah saja terlihat dalam berita daerah dan nasional. Bukankah para pelakunya merupakan produk pendidikan yang diawali dari jenjang Sekolah Dasar? “Bahasa” yang kita kenal melalui pembiasaan dan proses pendidikan akhirnya terinternalisasi, menciptakan “dunia” dengan pertimbangan-pertimbangan logis-matematis. Mengharuskan variable-variabel yang pasti, menafikan dunia sesungguhnya adalah tempat ketidak pastian.

Satu pertanyaan Abraham Maslow yang pernah diungkapkan, “mengapa pendidikan kita mencurahkan perhatian begitu banyak pada angka-angka, nilai, kredit, dan ijazah, bukannya memusatkan perhatian pada pemahaman?” agaknya perlu ditinjau kembali. Sedangkan sebagai lembaga pencetak pendidik-pendidik bangsa, suara UNNES tentu saja banyak didengarkan oleh penggagas kurikulum pendidikan di dalam gedung sana.
(semoga UNNES bisa dan mau bersuara)

Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi, FIP UNNES.

Namamu itu, nak..

Anakku,
Putraku,
Putriku,
Putra dan putriku,
Semenjak kanak kau kuimpikan hadir,
menemaniku, dan juga ibumu.
Kutimang ragamu, kuberi nama
Kupikirkan namamu bukan hanya sebatang rokok!
Tapi seperti durasi jeda iklan gambar bergerak itu..
Berlembar-lembar halaman kamus,
ensiklopedia tokoh-tokoh dunia,
kitab-kitab agama,
pengisi gambar bergerak itu,
banyak lah nak..

akhirnya,
Namamu itu bukan dari bahasa ibumu,
tapi dari bahasa ibu orang seberang..
Namamu itu..
kuberi akhiran namaku,
biar semua orang tau,
kamu anakku..
Namamu itu, anakku..

Tapi,
“apalah arti sebuah nama”
Begitu orang bijak bilang..
Jika nantinya teman-temanmu,
Memanggilmu ndes, cuk, su, bos, dan semua-muanya..
Apa arti namamu,
Yang kupikirkan seperti jeda iklan gambar bergerak itu, nak?
Jika aku dan ibumu hanya memanggilmu nang!

Mungkin sebaiknya aku kekahkan-mu lagi,
Bukan untuk diganti,
Apalagi diperbaiki.
Hanya dihapus!
Bukan tanpa nama, atau tak bernama,
Tapi ( )
Itu saja..

Bagaimana pendapatmu, nak?
Bagaimana dengan urusan sekolahmu nanti?
Bagaimana akta kelahiranmu yang sedang kuurus ini?
Bagaimana kau memperkenalkan diri pada orang?

Ah, aku terlalu jauh berangan.
Bahkan kau tidak bisa menjawab tanyaku.
Kau hanya bisa menangis,
Jika ingin ngenyot tetek ibumu…

Ahmad Fahmi Mubarok

Minggu, Maret 16, 2008

Ideologi Politik dan Filsafat Demokrasi

Berbicara tentang ideologi politik, terdapat satu pendapat tentang adaya reduksionisme ideologis oleh Germindo dalam Varma (2002: 116). Diantara sebab-sebab utama, Germino menunjuk pada reduksionisme ideologis dari Tracy, Comte dan Marx dalam Varma (2002: 116) sebagai penyebab terpenting munculnya pemikiran tentang reduksionisme yang berkembang hingga saat ini. Tracy merupakan orang pertama yang menyatakan istilah ideologi sebagai suatu ilmu yang menentukan asal mula gagasan. Tracy dalam Varma (2002: 116) berkeyakinan bahwa semua pemikiran berasal dari cerminan yang ditentukan oleh pancaindera atau realita tunggal yang dapat ditangkap oleh pnca indera. Ideologi sama saja dengan bagian dari zoologi dan kecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan seperti memeriksa sifat suatu zat atau tanaman, atau suatu keadaan yang menakjubkan dalam kehidupan suatu bintang. Bagi Tracy dalam Varma (2002: 116) sama halnya dengan metafisika yang hanya ilusi dan fantasi, yang merupakan hasil dari imajinasi demi kesenangan orang bukan untuk mengatur orang. Baginya, hampir sama ideologi hampir sama dengan pengetahuan yang terdiri atas ide-ide yang berhubungan dengan pengalaman yang nyata. Seperti Condillac, Helvitius, dan pemikir prarevolusi lainnya di Prancis, Tracy dalam Varma (2002: 117) menyatakan tiada sumber gagasan lain selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat ditelusuri hingga pada perasaan sentio ergo sum (saya merasa, karena itu saya ada). Dengan menelusuri semua gagasan sampai pada pengalaman panca-indera, dapat diciptakan suatu ilmu baru tentang manusia untuk menjadi petunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik manusia. Seseorang yang dapat membedah suatu ide dapat menggunakan ilmu ini untuk membentuk kembali tatanan sosial kemasyarakatan yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang diinginkan. Kata ideologi tidak lagi dipakai dalam pengertian yang digunakan oleh Tracy dalam Varma (2002: 117) yang sekarang ideologi itu lebih diartikan perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung sistem politik dan ekonomi tertentu. Tetapi Tracy dalam Varma (2002: 117) telah memulai suatu gerakan fikiran yang berpuncak pada reduksionisme ideologis Karl Marx.

Pada tahap selanjutnya, filsafat, filsafat hukum, filsafat politik dan ideologi politik menjadi landasan bagi terbentuknya pisau analisa dalam sebuah metode demokrasi yang baik. Filsafat memberi landasan bagaimana bersifat menuju kebijaksanaan, filsafat hukum menjelaskan bagaimana legitimasi kekuasaan yang ideal, filsafat politik memberikan gambaran pengetahuan dan landasan bagi keinginan publik dan ideologi memberikan pondasi bagi pemikiran dan ide serta gagasan yang mendukung sistem suatu negara.

Fisafat, filsafat hukum, filsafat politik, dan ideologi politik sebagai pisau analisa dalam sebuah metode demokrasi pada negara yang demokratis. Nurtjahjo (2005: 69) mengkonstatasikan bahwa metode demokratis merupakan tatanan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politik di mana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi bagi suara rakyat dan keinginan rakyat.

Secara metodologis, demokrasi mengandung makna filosofis di mana kemenangan suara mayoritas merupakan kebenaran. Kebenaran ini harus diberlakukan bagi seluruh rakyat tanpa pengecualian (termasuk minoritas dan atau golongan putih). Kebenaran mayoritas ini dituangkan dalam berbagai format peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku. Kebenaran mayoritas sebagai suara rakyat yang dujadikan landasan pengambilan hukum yang berasal dari konsensus sosial bersama. Pengambilan hukum inilah yang mempresentasikan pengambilan kebenaran dan keadilan yang akan dituangkan dalam format yuridis. Secara otomatis dapat dkatakan bahwa kebenaran dan keadilan ini berasal dari persepsi rakyat yang diwakilkan kedalam persepsi wakil rakyat (dalam demokrasi perwakilan), yang kemudian mempunyai ukuran legitimasi tindakan demokratis selanjutnya, Nurtjahjo (2005: 70).

Dapat ditepatkan bahwa kebenaran, keadilan, dan kebaikan merupakan nilai-nilai prinsipil dari etika. Artinya, demokrasi mempunyai peranan untuk mewujudkan hal tersebut dalam kenyataan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam konteks inilah demokrasi menawarkan prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk menjalankan pemerintah yang baik (good governance) dan pertumbuhan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat menuju masyarakat madani (civil society) yang senantiasa berpartisipasi dalam kehidupan politik negara dan kritis konstruktif. Untuk melihat bahwa filsafat, filsafat politik, filsafat hukum dan ideologi politik memberikan arah analisa terhadap metode demokrasi, dapat dalam bagan dibawah ini.

Bahwa filsafat sebagai ruh pemikiran yang melahirkan filsafat hukum, filsafat politik, dan ideologi politik, namun filsafat juga mampu memberikan kontribusi langsung terhadap kajian dan analisa dalam metode demokrasi tanpa melalui filsafat hukum, filsafat politik, dan ideologi politik. Kendati demikian filsafat hukum, filsafat politik, dan ideologi politik memberikan sebuah kekhususan suatu pengetahuan yang bermanfaat untuk kajian dan analisa dalam metode demokrasi. Out-put-nya tentu berguna bagi terbentuknya negara demokratis yang ideal karena dukungan yang diperoleh dari konsep demokrasi yang kuat.

Awaludin Marwan
Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA)

Jumat, Maret 14, 2008

DILEMA EKSISTENSI MANUSIA (tinjauan psikologi marxian)


Oleh : Abdul Haris Fitrianto*



Seperti filsafat dualisme yang selalu mempertentangkan tesa dan antitesa, akhirnya nanti akan memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya. Konflik eksistensi ini ada sejak manusia dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi

eksistensi manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, mereka berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan prestasi.

Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh.

Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padalah Setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan. Tetapi dia coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian.

Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis ini juga pernah dikatakan Erich Fromm(1973), bahwa selama ini manusia, disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia.

Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas tetapi untuk apa?


* Mahasiswa Psikologi UNNES 2003

Kamis, Maret 13, 2008

Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia

Dengan anggapan kemenangan partai oposisi Malaysia pada pemilu tanggal 8 Maret 2008 kemarin akankah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan tata negara dan demokrasi Malaysia. Sekitar 10,92 juta pemilih terdaftar memberikan suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS. Memang, penghitungan suara, Barisan Nasional, koalisi yang memerintah pemerintah saat ini hanya meraih 139 dari 222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi menganggap 82 kursi yang diraih sebagai sebuah kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokrasi, dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat.

Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologis untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan Nasional menjalankan fungsi alat politik cukup superior memimpin Malaysia. Barisan Nasional sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Terbongkarnya tirani koalisi partai penguasa negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar di era orde baru yang sulit digoyang. Namun kini ada secercah harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di parlemen.

Keberadaan barisan nasional dalam lingkaran kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973 kelanjutan Partai Perikatan (Alliance), partai ini telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional adalah: United Malays National Organization Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association (MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organizatio, Sarawak Progresif Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya hingga saat ini.

Kekalahan barisan nasional banyak di nilai tidak hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini –Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi-, hingga tokoh Barisan Nasional Mahattir mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi, kekalahan tersebut juga di sebabkan oleh penerapan strategi politik yang tidak efektif dalam mendapatkan simpati khalayak pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat (PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayah-wilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan bersimpatik pada tatap muka langsung dengan komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye media massa yang justru kurang massif.

Namun, kabar mengembirakan peluang keseimbangan kekuatan di Malaysia ini –yang di tandai dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara penuh- tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antaretnis di Malaysia. Memang, pernah terjadi pertikaian etnis di malaysia, lima orang tewas dan 37 cedera dalam konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai oleh arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998 sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang cedera.

Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat di dalam pentas demokratis yang sehat semasa ini. Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan hak, bukan kemudian di salah artikan ke dalam kebebasan untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang pemisah pada perbedaan yang telah ada.

Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk Malaysia (55 persen), Cina sebanyak 30 pesren dan India sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India kebanyakan pekerja sebagai profesional, sementara banyak juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia. Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan mengulangi
peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969. Dan sialnya, barisan nasional melalui stigma yang melekat pada Badawi, memperoleh predikat menganak emaskan etnis melayu ini.

Sistem Pemerintahan Pascapemilu

Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan. Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki peluang yang sama. Perubahan skala besar di peroleh dari pembaharuan system ketatanegaraan, sedangkan skala kecil di tandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai social politik hukum dalam kehidupan bernegara.

Dapat dilihat dalam system ketatanegaraan Malaysia yang menganut sistem parlementer namun masih melestarikan pola feodal berupa dominasi raja (kerajaan) dalam struktur negara. Demokrasi parlementer suatu hal yang dapat di kenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat dipandang elemen struktural yang absolute dan otoritarian. Sebuah pandangan yang layim manakala kedudukan dan peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih mencerminkan kesetengah-hatian Negara itu menjalankan system demokrasi subtansial –meskippun dalam praktek pemilihan raja menganut system “pergiliran kekuasaan” yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor, dan Sultan Perak. Meski, banyak Negara yang juga masih melestarikan budaya dan system kerajaan ini seperti Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang memiliki dua kamar terpisah : House of Commons (diketuai oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga kerajaan, kemudian kerajaan Jepang raya dengan Kaisar, Parlemen (kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendah (shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu Saud-nya, dan masih banyak berbagai Negara yang melestarikan kebudayaan dan system kerajaan ini. Kendatipun demikian, kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi pascapemilu terhadap keberadaan, peran, dan kedudukan kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan demokrasi sejati.

Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen –banyaknya kubu oposisi dalam struktur- hendaknya mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif, di mana legislatif terus pro-aktif menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif

Democracy Watch Organization

SEJARAH"

Setumpuk rumput di musim panas:
Apakah perjuangan gagah berani para pahlawan,
Hanyalah mimpi yang berlalu?

Matsuo Basho, Jalan Kecil*

Tiga abad yang lalu Basho menulis. Keresahan Basho barangkali sama dengan apa yang sedang kita resahkan saat ini. Menghadapi dunia yang sedang berubah. Perjalanan kecilnya dari Edo---sekarang Tokyo---sampai Ogaki memberi inspirasi bagi perkembangan kehidupan sastra masyarakat Jepang. Ketika sejarah berubah, tidak halnya puisi Basho. Dia menembus zaman serta merasuki hati dan pikiran bagi anak-anak zaman setelahnya.

Suatu puisi jelas berbeda dengan sejarah. Puisi lebih bersifat estetik dan bisa jadi mengajarkan sebuah prinsip dengan bahasanya yang khas. Sedangkan Sejarah adalah studi tentang semua data pengalaman mengenai tindakan manusia**. Ia tidak mengajarkan aturan, prinsip, atau kaidah apa-apa kepada kita. Karena sejarah hanya sekumpulan fakta yang secara diskriminatif telah ditentukan oleh sejarawan. Sejarah, barangkali bisa mengkaji puisi, tapi puisi tidak akan tertarik mengkaji sejarah.

Tidak bermaksud untuk mengesampingkan sejarah---bahkan membandingkannya dengan puisi. Tapi, tulisan ini mencoba memotret peran sejarah dalam mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Sejarah yang seringkali diubah, menjadi alat yang ampuh bagi peneguhan sebuah otoritas. Seperti sejarah kaum Wahabi di Minangkabau terhadap Keluarga Parlindungan, atau sejarah paranoia masyarakat liberal terhadap komunisme, atau penemuan peradaban Kuno Nubia yang ternyata pernah menduduki dan menguasai Peradaban Mesir Kuno. Penemuan tersebut, mengindikasikan “dunia kuno” tidak diskriminatif secara rasial***---karena ternyata orang kulit hitam juga pernah menguasai Mesir. Kemudian hingga abad 19 bangsa Eropa menduduki Afrika, Hannah Arendt, menuduhnya sebagai asal-muasal totalitarianisme****---selain juga perasaan bertanggungjawab secara berlebihan terhadap penentuan nasib orang atau bangsa lain dari golongan tertentu.

Tidak ada sejarah yang tidak bebas nilai. Setiap sejarawan dengan sengaja membuat penjatuhan nilai. Setiap kisah ditulis dengan maksud tertentu. Kebingungan serta kegamangan tersebut, sekarang dapat dilihat dari berbagai karya biografi beberapa orang terkenal atau orang yang kepingin dikenal. Semua berharap untuk menjadi tokoh ataupun ditokohkan.

Rangkaian benang waktu telah menjadi medan tersendiri bagi pengaruh tindakan manusia, ataupun pertarungan gagasan. Tapi setiap medan menjadi saksi bagi kemenangan serta kekalahan. Dan saat itulah perubahan-perubahan dapat terjadi. Kemudian waktu menjadi penentu pemberhentian. Setiap adegan ibarat sebuah titik di sepanjang benang waktu yang menjulur berjuta-juta tahun sampai sekarang. Sedangkan bagi Darwin, sejarah manusia ialah kisah binatang yang berevolusi menjadi manusia, atau sejarah kegagalan moralitas manusia bagi pandangan agama-agama monoteis.

Maka, sifat sejarah yang diskriminatif tidak dapat dihindari. Mbah Kiting, penjual mainan anak-anak waktu saya kecil, barangkali bukan merupakan tokoh sejarah yang layak untuk dimasukan dalam buku teks sejarah sekolah. Tapi bagi anak-anak di rumah saya dan teman-teman saya, barangkali Mbah Kiting adalah tokoh sejarah paling riil. Dia adalah orang pertama yang mengenalkan pada kami miniatur mobil, atau keris plastik, atau Pedang Satria Baja Hitam. Teman saya, yang sekarang tidak kuliah yang hanya lulus Sekolah Dasar, barangkali tidak mengenal Hitler, Musolini, ataupun Stalin.

Begitu juga sejarah dunia. Perjanjian Breton Woods bagi bangsa Amerika dan Inggris, akan dianggap sebagai titik awal bagi pembentukan tatanan dunia yang “sejahtera” seperti “sekarang ini”. Momen itulah ketika sebuah lembaga Internasional dibentuk dengan visi yang ideal. Pendirian bagi sebuah lembaga yang dapat memberikan kredit serta bantuan bagi negara-negara yang membutuhkan. Tapi, bagi sebagian orang, saat itu adalah peneguhan dari “skenario bencana” yang datang kemudian.

Sekarang, kita juga bagian dari produk sejarah. Meskipun orang memiliki ceritanya masing-masing mengenai sejarah. Seperti Basho yang selalu membaca alam, puisinya kekal, tatapi alam yang diamati berubah. Edo bukan lagi sebuah wilayah dengan bentangan sawah, tapi menjadi Tokyo dengan sawah beton.

Kita, ibarat rumput di musim panas, Apakah masih berharap menjadi pahlawan?


*Horward Norman. Pada Jejak Sang Hantu
**Mises. Human Action
***Robert Draper. Para Firaun Hitam
****Hannah Arendt. Asal-Usul Totalitarisme Jilid II Imperialisme


"Giyanto: Yang jelas bukan sejarawan

Minggu, Maret 09, 2008

SEMPURNA...

pria-wanita, baik-buruk, hitam-putih, bersih-kotor..
apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca beberapa pasang kata di atas? persepsi yang muncul dalam diri kita akan sangat mempengaruhi reaksi yang kita berikan terhadap apa yang kita lihat, dengar maupun rasakan.

beberapa kata diatas adalah antonim, mungkin itu pertama kali muncul dalam benak kita. sehingga membuat kita mengelompokkan segala hal kedalam dua kategori, positif dan negatif. sadar atau tidak, pengkategorian yang kita lakukan dalam menghadapi hidup ternyata menunjukkan sampai dimana orientasi kita terhadap kehidupan itu sendiri.
contoh sederhana saja, ketika kategori kita adalah pintar dan bodoh. kita melihat, dan akan segera memasukkan beberapa kenalan kita diantara 2 kategori yang kita buat. secara tidak langsung orientasi kita adalah tingkat kognitif, pendidikan, atau mungkin hanya sekedar kwantisasi dari hal-hal yang bersifat kualitatif [sampai saat ini masih belum bisa dibilang obyektif, kapan kecurangan berakhir? nyontek saat ujian,nitip absen,dll]. tetapi setidaknya hal ini masih lebih baik daripada konsep kategori sugih-kere, yang langsung memberikan kesan kita matre..

kembali pada beberapa kata di awal. katika kita melihatnya sebagai suatu hal yang berpasangan, kemungkinan besar kita akan bersikap lebih hati-hati dalam melihat berbagai persoalan. ada saatnya keseragaman sangat perrlu untuk diwujudkan, tetapi perbedaan justru menjadikan bertambahnya pengalaman kita, perbedaan menjadikan kita saling melengkapi, jika kita mau sedikit berkepala dingin tentu saja. mungkin saja William Hanna dan Joseph Barbera menciptakan karakter Tom and Jerry bukanlah sebagai musuh, tetapi sepasang sahabat, yang bersahabat dengan cara mereka, unik, tetapi toh mereka tetapsaling membutuhkan. kurang lebih begitulah yang saya simpulkan selama beberapa tahun menggemari seri kartun tersebut.

karena manusia tidak ada yang sempurna, saling melengkapi saya rasa sangat perlu demi kemajuan kita bersama, baik secara individu maupun dalam skala besar, bengsa dan negara. kira-kira begitulah pemahaman saya terhadap kalimat dari Prof. Eko Budihardjo, kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidak sempurnaannya.


Ahmad Fahmi Mubarok

JACKIE CHAN*


Berita terbaru mengenai Jackie ialah bapaknya meninggal. Tapi terlepas dari itu, sejenak saya mengingat bahwa ketika saya melihat film Jackie Chan pertama kali, kesan yang muncul adalah keberanian, totalitas, perjuangan hidup serta cerita heroik lainnya.

Tak mudah menggambarkan Jackie. Semasa kecil rencana dia pernah dijual ayahnya karena permasalahan biaya hidup. Akhirnya dia harus mengikuti sekolah opera yang begitu keras. Walaupun akhirnya malah memberi hikmah yang luar biasa bagi kariernya di masa depan, yang membuat Holywood terkagum-kagum.

Di Asia, film Drunken Master dan Police Story-nya menjadi film Jackie yang tak bosan-bosannya disiarkan di layar kaca. Di Amerika, Jackie menggrebak Holywood lewat Rumble in The Bronk dan Rush Hour. Hampir judul film yang disebut terakhir dibuat dalam bentuk triler.

Apa yang menjadi hikmah dari semua ini, semua orang bebas menafsirkan. Tapi, yang menarik bagi saya pribadi adalah perannya di masyarakat dan pesan moral melalui film. Film Jackie sedikit sekali menunjukkan darah walaupun harus bertarung hebat. Selain itu, aksi komedi sudah menjadi ciri khas film-film-nya.

Menurut cerita, awalnya Jackie bersemangat untuk menjadi bintang film karena kepingin menggantikan kebesaran Bruce Lee. Walaupun akhirnya dia menyerah dan memang harus menjadi diri sendiri untuk bisa menjadi “besar”. Di berbagai even, Jackie sering menjadi ikon bagi pesan isu-isu permasalahan dunia. Yang terakhir ialah keaktifannya dalam mempromosikan Olimpiade di Cina. Selain itu, mengenai isu lingkungan---khususnya perlindungan ekologi satwa liar---juga sering dia promosikan.

Nilai lain yang bisa saya dapat dari Jackie ialah, bahwa pandangan falsafah tidak harus melulu dari sejarah teks. Dari seorang Ayah bisa jadi membuat seorang dapat memaknai hidup. Dari cerita biografi barangkali agak bertentangan, karena dulu Jackie rencana akan dijual.. Tapi di balik semua itu ternyata tersimpan hikmah yang luar biasa. Sekali lagi, itu berpulang pada individu-individu itu sendiri. Tidak seperti yang ditunjukkan oleh artis-artis kita yang selalu cek-cok dengan Ibu-nya dan suami-suaminya atau istri-istrinya dan barangkali selingkuhannya.

Dari sejarah hidup filsuf-filsuf di Timur. Seorang filsuf, bahkan Rasul biasanya, memiliki kisah hidup yang tragis. Dan dari penelusuran yang pernah saya lakukan, mereka kebanyakan yatim piatu. Apa maksud semua ini? Saya masih bertanya-tanya.

Setiap kisah memang menyisakan misteri. Di jaman, yang konon postmodern, narasi besar itu bisa saja runtuh---termasuk ilmu pengetahuan baik dari dimensi ontologis, epistemologis serta aksiologisnya. Semua bebas digugat. Kebenaran tidak hanya bersumber dari satu otoritas baik teks dan institusi sekolah. Jadi, bisa jadi diperoleh dari filsuf idola anak itu masing-masing yaitu Bapak atau Ibu mereka. Bisa jadi, kakak-kakak mereka. Bisa jadi tetangga mereka, serta bisa juga dari Jackie. Demikianlah kawan, cerita singkat yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat. Salam persahabatan….


*Giyanto: Penggemar Jackie Chan


Psiko-intelektual


Penyakit baru yang merebak waktu dekat ini tak hanya flu burung, cikumunya, dan infeksi bakteri enterobacter sakazakii pada bayi karena susu formula, akan tetapi penyakit yang justru menyerang denyut saraf otak generasi muda, yakni psiko-intelektual. Tidak banyak yang perlu dikhawatirkan dari keberadaan penyakit ini. Penyakit ini pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: maunya menang sendiri, dominasi, individualistik, kecil hati, dan merasa dirinya paling pintar (benar). Penyakit ini biasanya bersembunyi di balik tirai besi kebebasan. Menyuarakan kebebasan hingga pada akhirnya menjadi keblabasan, dan manyatakan paham pada semangat perjuangan dan nilai-nilai demokrasi yang kemudian dikhianati dengan demo yang crazy “democrazy”.
Sungguh naif apabila kita berfikir maka kita ada, sebuah pemahaman filosofis yang kemudian di telan mentah-mentah tanpa adanya pemenuhan hak sosial politik orang lain, sehingga toleransi membeku dan kenyamanan pun jauh. Bahkan ironisnya, kecenderungan untuk memikirkan pendapat orang lain tidaklah benar dan apa yang menjadi pemikiran dirinya sendiri haruslah diikuti dan mengarahkan pada apa yang disebut kebenaran absolute.
Dimana letak kebingungan itu?. Pertanyaan yang cukup wajar dilontarkan lantaran psiko-inteletual menjadi wahana subur bagi kekerasan internal dalam otak manusia yang diklaim sebagai cendekiawan muda ini.Cak Nun mengkonstatasikan bahwa kebingungan terletak dalam arti diri kita, menempatkan kebenaran itu adalah sesuai dengan asumsi kita, keinginan kita, dan kepentingan kita. Demikianlah menjadikan manusia itu puas sementara waktu namun keterasingan dan kemelaratan ilmiah karena pemikiran jalanan yang tak konstruktif dan sama sekali tak manfaat.
Aras pemikiran mana yang paling baik?. Tidak ada aras pemikiran yang paling baik. Hanya ada mereka yang berfikir manfaat dengan landasan yang kuat dan menggugat sesuatu hal bukan karena kepentingan dan nafsu diri sendiri akan tetapi untuk kepentingan umat. Kita semua hampir sepakat bahwa para filosof yang berpikir dengan konsep paling dasar baik ontologi, epistemlogi, dan aksiologi tak luput pada ajarannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia, mereka dari barat ke timur, seperti halnya Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Rene Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friendrich, Nietzche, dan Jean paul Sartre, menuju ke filusuf tengah: Avicenna (Ibu Sina), Ibnu Tufail Kahlil Gibran, dan Averroes kemudian Para filosof ketimuran seperti Siddharta Gautama, Bodhidharma, Kong hu cu, Zhuang Zi, dan Mao Zedong adalah sederetan filosof terkemuka dunia yang dalam hidupnya mendahulukan keinginan pemberdayaan dan pembaharuan sistem dengan cantik dan elegan. Bukan memaksakan keinginan untuk mengikuti pikirannya.

Awaludin Marwan, SH
Saudara kembar sial Barack Obama Senator Illionis, cuman beda nasib

Gambar: Rommy listiohardi

Sabtu, Maret 08, 2008

Belum Punya Judul yang Pas

Tidak banyak yang tahu bahwa tubuh kita terdiri dari komponen yang terkecil berupa sel. Kumpulan sel membentuk suatu jaringan, kumpulan jaringan mambentuk organ. Organ dengan fungsi yang sama membentuk sistem organ, dan pada akhirnya membentuk organisme. Lebih sedikit yang tahu jika tubuh terbentuk dari senyawa karbon, didukung oleh lebih dari 200 potongan tulang yang dirangkai dengan berbagai bentuk persendian. Mulai dari sendi peluru, sendi geser, sendi putar, sendi engsel, dan macam sendi lain.

Banyak hal yang dapat kita ketahui dengan menggunakan penelitian empirik-saintifik. Fakta semacam ini (eksterior-objektif) diakui oleh banyak kalangan sebagai pengetahuan yang bermanfaat. Namun hal semacam itu bisa dikatakan hanyalah kulit luar manusia, sama sekali tidak menyentuh sisi “lain” keberadaan manusia itu sendiri. Katakan sebuah buku, melalui studi empirik-saintifik, bisa diketahui jumlah halaman, jumlah karakter, bahan kertas, tinta yang digunakan, sampai dengan persentase huruf dalam buku tersebut. Tetapi tanpa membacanya, memahami konteks dan maknanya, isi dari buku tersebut tidak akan dapat diketahui. (bahkan, buku bisa dijadikan bantal bagi yang menginginkannya)

Demikian halnya dalam memahami manusia, konsep-konsep biologi tidak akan memuaskan pertanyaan-pertanyan yang sangat menuntut kedalaman pemahaman dan hakikat dari sesuatu, termasuk kita.

Pengenalan Diri Kita
“Sebelum memahami orang lain, terlebih dahulu kita pahami diri sendiri” setidaknya itulah salah satu ajaran Plato, sebuah pencarian esensi tentang manusia. Plato menyebut usaha pengenalan tersebut dengan archetype-berasal dari akar kata arche dan thypos (bahasa Yunani) yang berarti cetakan pertama. Dengan penjelasan bahwa terdapat sesuatu yang bersifat asli yang digunakan sebagai model terbentuknya sesuatu yang baru. Misalnya, bentuk ideal Plato (indah, baik, benar) dipandang sebagai archetype yang darinya semua bentuk lain menerima wujudnya. Meskipun akhirnya Carl Gustav Jung menyempitkan makna archetype sebagai pola-pola pemikiran dan pemikiran yang muncul dari ketidak sadaran kolektif yang disebutnya citra primordial.

Senada dengan Plato, Muhammad (Rasul dalam agama islam) juga memberikan petunjuk kepada umatnya “Kenalilah dirimu sebelum mengenal orang lain” dalam ajarannya tentang memanusiakan manusia sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Ataupun Sidharta Gautama dalam ajarannya “Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu, kenalilah dirimu” dalam upaya mencapai kesempurnaan (nirwana) dalam konsep agama Buddha.

Sebegitu penting usaha pengenalan diri di samping sebagai salah satu jalan untuk memahami orang lain dalam hubungan social, juga sebagai tujuan akhir dari dari penelaahan dan pencarian hakikat manusia. meskipun dekonstruksi konsep diri Lacan membuat pengetahuan tentang diri sendiri sampai pada titik seperti melihat diri dengan cermin, bukankah memang tidak ada yang mampu melihat dirinya sendiri tanpa cermin dan cahaya?

Konsep "kita" populis
Paradigma modern tentang tidak adanya obyek kebenaran yang bersifat universal (bahkan Tuhan sekalipun), yang ada hanya persepsi dan interpretasi yang berbeda mengenai obyek yang sama, pelan tapi pasti menjauhkan kita dari pengetahuan tentang hakikat yang pada zamannya menjadi tujuan dari semua ilmu pengetahuan. Kita dikenalkan dengan dunia sekuler yang memisahkan batas-batas norma, hukum, nilai-nilai, dan estetika. Semua menjadi tidak terbatas, karena ketidakjelasan yang diciptakan oleh paham sekulerisme (sebuah gebyah uyah dan salah kaprah pemahaman,mungkin saja).

Menurut teori motivasi Mc Clelland, kita cenderung bertindak untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, dan kepuasan. Hanya saja ego yang idealnya menjadi penyeimbang antara id (keinginan) dan super ego (aturan dari lingkungan) tidak lagi berperan sebagaimana mestinya, karena menurunnya konsep diri (ego) itu sendiri. Kita menjadi sangat mementingkan super ego, yang telah demikian berubah. Super ego/aturan masyarakat yang berdasar pada keinginan-keinginan yang harus dipenuhi tanpa mentolerir adanya pengalihan jika keinginan itu tidak terpenuhi.

Celakanya hal semacam itu kadang terbungkus dengan permainan bahasa yang logis, etis dan estetis tanpa kita telaah menurut prinsip konsumen bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun kemasan itu penting, tanpa mencermati identiknya bahasa dan metaforisnya petanda dan penanda. Bergesernya nilai guna menjadi nilai tukar, kreativitas menjadi produktivitas, penghayatan menjadi kesuksesan, apresiasi menjadi konsumsi. Siapa yang patut dipersalahkan, para filsuf itu, penafsiran yang terdistorsi, system yang terstruktur, atau Tuhan yang mengatur dunia menjadi sekarang ini?

Mari ikut mendengarkan pesan Abah (bapak) saya,
sebelum memenarkan diri sendiri, mari melihat diri walau hanya lewat citra cermin.


Ahmad Fahmi Mubarok

Jumat, Maret 07, 2008

Pembenaran dan Egoisme Intelektual

Telinga saya lagi-lagi gatal membaca Kang Gik berargumen model seperti itu terus sejak awal, saya khawatir yang muncul dalam debat ini bukan “kebenaran” tapi sekadar “pembenaran”.

Itu niscaya terjadi kalau Kang Gik menggunakan modal argumentasi dan debat kusir kayak gitu terus. Egoisme intelektual akan muncul, dan dengan sendirinya Kang Gik mengingkari keinginan untuk meruntuhkan klaim-klaim kebenaran dari “para pemilik kebenaran” mapan saat ini.

Saya khawatir juga, dalam debat ini Kang Gik tak sekadar mempertontonkan kengeyelan dogmatis, lebih dari itu adalah paradigma lepas tangan, banyak pernyataan dan pertanyaan saya yang tidak Kang Gik jawab. Saya justru takut debat di blog ini akan berakhir sama seperti kemarin saya debat soal “Islam” di milis unnes, argumen yang digunakan lepas konteks pembicaraan, menghindar dari tanggungjawab untuk menjawab pertanyaan, dan kemudian mengemukakan argumentasi baru yang lepas konteks.

Lebih dari itu, keegoisan intelektual yang muncul di sini kian melenggangkan pada upaya-upaya “pembenaran”, bukan untuk memberikan kekayaan wacana, terlebih lagi sebuah kebenaran. Saya bisa pahami hal itu relatif wajar bagi yang sedang “puber” karena ketidaknyamanan dan kejumudan atas kegagalan teori-teori sosial selama ini, tapi hal itu tidak dapat digunakan sebagai ”pembenaran” perilaku egoisme intelektual di sini.

Saya kemarin dapat email dari Kang Malik (IMM) –temennya Kang Gik juga, beliau curhat dan bilang bahwa sekarang yang muncul kok egoisme, Kang Malik kangen dengan nuansa debat yang konstruktif dan memperkaya wacana dan perspektif seperti di KEP dulu sebelum saya ke Jakarta, bukan debat yang ingin menang sendiri, bukankah kita di sini mestinya melampaui yang namanya “menang-kalah” itu?

Kang Gik, saya tidak ingin menggurui sampeyan, karena saya pun masih dalam tahap belajar. Tapi agaknya, tulisan Kang Gik di sini belum mengindahkan kaidah debat konstruktif yang tidak meremehkan “lawan” debat. Misal, ujaran, “...kamu gak pernah kelaparan...”, “...emang kamu pernah baca bukunya langsung dari Adam Smith...”, “..coba jadi kuli bangunan kek!”, dan sekian banyak argumentasi yang merendahkan lawan debat. Maaf, sebenarnya dengan mengemukakan statement seperti itu justru memperlihatkan bahwa si penulis tidak mengindahkan kaidah intelektual, sekali lagi alasan kegairahan yang menggebu dan kemarahan atas kegagalan teori-teori sosial tak dapat menjadi justifikasi untuk sebuah pembenaran debat yang tidak intelek di sini.

Oleh karena itu, perlu dipilih diksi yang tepat agar lebih enak didengar dan memahamkan, seperti kata Bung Nad, banyak logika Kang Gik yang meloncat yang menyulitkan pembaca, termasuk saya. Di samping itu pilihan kata dan susunan kalimat yang lebih emosional dan menafikan etika debat ilmiah pada akhirnya menjadikan debat tidak sehat. Mari kita belajar menuliskan argumentasi secara bijak, dengan pilihan kata yang tepat, susunan kalimat yang memahamkan, tanpa mesti melibatkan kemarahan personal yang sering membuat telinga pembaca memerah.

Dus, di sini saya tak perlu komentar banyak soal kata Kang Gik, ya sedikit-sedikit saja. Misal Kang Gik berkata, “Sebenarnya kita jangan mengartikan itu sebagai tesis dan antitesis. “ tidak Kang Gik, komentar kemarin saya cuma ingin membuktikan secara kronologis bahwa ada yang lebih dahulu dari Mises. Karena Kang Gik sebelumnya berkata bahwa liberalisme itu muncul dari karangan Mises, saya membuktikan banyak pemikir sebelumya menulis dan merajut liberalisme, Adam Smith contoh nyatanya dalam ekonomi.

Selanjutnya ketika Kang Gik berkata, “...makanya jangan terlalu banyak baca filsafat jadi kamu cuma teks books, emang kamu pernah baca bukunya langsung dari Adam Smith, Marthin Luther...”. Apa susahnya menemukan teks utama dan asli Adam Smith Cs, di Perpustakaan Freedom Institute, British Council,dan Driyarkara semuanya memajang koleksi teks-teks utama tersebut Kang.

Kemudian pernyataan, “....cek dulu asumsinya... lalu cek ke realitas...emang semua pengusaha atau kapitalis itu seperti punya motif seperti yang dianggap Adam Smith...coba tanya sama Bob Sadino...”, lho saya khan tidak pernah menyatakan Adam Smith sebagai yang paling benar dan absah, Kang Gik di sini justru terjebak asumsinya sendiri.

Kang Gik, saya setuju bahwa kalau kita cuma menggunakan asumsinya Adam Smith maka kita dalam istilahnya Kang Gik adalah “sesat”, saya menyatakan kalau kita hanya menggunakan teorinya Adam Smith saja ya kita tidak kaya perspektif dan justru reduksionis-determinatif. Pun ketika kita hanya terpana apa kata Mises saja, banyak ekonom baru sekarang yang tak dapat dipandang sebelah mata. Saya khawatir kalau-kalau Kang Gik mendewa-dewakan Mises sebagai kebenaran absolut dalam ranah kajian ekonomi, maka itu sama saja menutup mata terhadap perspektif lain yang ada sekarang.

Hehehehh....soal jadi kuli bangunan, dulu sebelum saya masuk SMA saya jadi kuli Kang, cari duit dari keringat sendiri emang nikmat. Sampai di sini mohon Kang Gik jangan tersinggung ya, saya masih kangen dengan ketukan tawa Kang Gik yang sama sekali tidak ritmis dan merusak pakem tawa awam..eh... Kang Gik dan semuanya, bagi saya persahabatan adalah "segalanya"...

Salam hangat, Edi Subkhan

Kamis, Maret 06, 2008

Metode Penjualan Terkini pasar Global

February 20, 2008

Metode penjualan pun sudah saatnya berubah, mengingat kondisi dan
situasi yang berubah. Jurus penjualan macam apa yang dianjurkan untuk mencapai target yang diinginkan?

Mungkin pernah terlintas di pikiran Anda, mengapa penjualan saya tidak laris? Mengapa saya tidak bisa meningkatkan volume penjualan saya? Bisa jadi, Anda masih menggunakan taktik konvensional dalam melakukan penjualan. Padahal, kondisi saat ini sudah sangat berubah. Jika dulu kita bisa mengandalkan diskon untuk menarik pembeli, maka kini diskon bukan lagi cara terampuh. Rekan Melanie Yip dari RSI bahasa Inggris, bercakap dengan Tom Snyder, presiden firma peningkatan penjualan Huthwaite dalam sebuah diskusi umum yang berada di hotel GUMAYA semarang beberapa pekan lalu yang saya hadiri.

?Sepuluh tahun lalu, merupakan hal yang umum jika Anda memiliki hubungan pribadi yang kuat dengan pembeli, dan harga barang Anda cukup bersaing, maka Anda akan dapat melakukan penjualan. Sekarang, pembeli mencari lebih daripada itu, dari pengalaman membeli. Apa yang mereka cari adalah penjual yangd apat menyediakan mereka wawasan mengenai usaha mereka dapat lebih maju. Dan wawasan tersebut harus terpisah dari produk atau layanan yang Anda jual.?

Pada masa teknologi informasi seperti sekarang ini, maka kecepatan persaingan usaha pun meningkat. Tiru-meniru pun tidak memakan waktu lama. Maka itu, nilai yang dicari oleh penjual bukan lagi hanya pada barang dan harga, namun apa yang bisa diberikan oleh penjual untuk meningkatkan nilai sang pembeli.

Pengasosiasian kesetiaan pada merek tertentu sudah tidak sekuat dulu. Penyebab utamanya adlaha kompetisi di kebanyakan bidang sudah jauh lebih cepat dibandingkan inovasi yang ada, bahkan oleh yang diciptakan oleh merek papan atas. Apa yang terjadi adalah para pelanggan dari
industri mana saja, makin tidak punya waktu untuk mengasosiasikan keunikan tertentu pada merek tertentu. Jadi kesetiaan pada merek menjadi lemah. Di sisi lain, hal itu menciptakan kesempatan untuk membuat kesetiaan merek yang kuat. Jika Anda tahu cara bermain dengan
informasi dan teknologi, caranya adalah memastikan bagian penjualan Anda bekerja dan penjual memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat besar kepada pembeli, sebelum mereka melakukan pembelian.

Jika Anda lihat cara transaksi bisnis tradisional, nilai bagi pembeli hanya didapat setelah transaksi terjadi. Jika saya membeli asuransi, dan kini saya memiliki perlindungan asuransi, maka resiko saya sudah dihilangkan. Itu adalah transaksi tradisional. Kini, pembeli akan memiliki kesetiaan pada merek secara cepat pada perusahaan yang dapat memberikan mereka nilai, sebelum mereka membeli apapun, yang artinya penjual harus menjadi ahli diagnostic dan pembeli menjadi asset strategis. Jika Anda menggunakan teknologi informasi yang ada, hal-hal seperti website Anda, jenis strategi komunikasi yang Anda gunakan dengan pelanggan, maka Anda dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu, Anda dapat memberikan mereka informasi, dan wawasan yang mulai membuat Anda dicap sebagai pakar, dan bukan sekedar pemasok saja.

Jadi, apa yang harus dilakukan agar kita bisa mendapatkan kesetiaan pelanggan? Saran apa yang diberikan untuk meninggalkan langkah konvensional kepada tren terkini penjualan? Kecepatan di mana teknologi ditiru oleh pesaing telah mencapai tahap yang menakutkan. Sepuluh tahun yang lalu, ada jeda 2-4 tahun untuk peniruan, setelah sebuah inovasi diperkenalkan. Sekarang sudah berkurang menjadi beberapa minggu atau bulan saja. Dan jelas, selama beberapa minggu atau bulan, Anda tidak punya waktu untuk mendapatkan keuntungan. Pelanggan Anda tidak mengasosiasikan keunikan tersebut dengan merek Anda. Dan tim penjualan Anda tidak punya waktu untuk menguasi nilai yang ditawarkan. Apa yang harus dapat Anda lakukan adalah membuatkan pelanggan Anda satu atau lebih dari 4 jenis nilai, sebelum transaksi dilakukan. Pertama Anda harus dapat melihat masalah yang tidak diketahui. Bantu pelanggan menemukan hal-hal mengenai usaha mereka yang bisa berupa masalah yang mengancam, atau malah sudah terjadi, yang mereka tidak lihat tanpa keahlian Anda. Kedua adalah membantu mereka menemukan adanya solusi yang tidak dipersiapkan, solusi pada masalah yang mereka coba pecahkan atau solusi yang mereka tidak ketahui dapat dilakukan. Ketiga adlah mebantu mereka menemukan kesempatan yang tidak terlihat, hal yang dapat mereka lakukan dengan usaha mereka, untuk menjangkau beragam pelanggan mereka dengan cara yang berbeda-beda. Dan terakhir, buat diri Anda menjadi pialang kemampuan, bukan hanya sebagai penyedia produk atau layanan, tapi pialang dari segala macam keahlian dari perusahaan Anda?

bayu@ningrat.com

Logika, Kebenaran, dan Wacana



Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca.“ -Charles "tremendeous" Jones


Kang Gik, jangan tergesa-gesa memvonis saya seperti itu, tenang dulu, colling down lah. Tapi ya tak apalah, saya agak sedikit terganggung dengan kata-kata Kang Gik dalam “tanya-jawab” posting “Inflasi” (bisa dilihat). Jangan dikira yang pernah lapar cuma Kang Gik saja, yang makan dua kali sampai sekarang cuma Kang Gik saja, yang tak pernah mencecap “nikmatnya” Pizza cuma Kang Gik saja; memvonis tidak semudah pindah channel TV Kang, dan tidak semua hal dapat dijustifikasi dengan logika, ingat itu. Saya bagian dari orang-orang lapar dalam pengertian ekonomi-ideologis-filosofis, dan akan selalu begitu, soal kelaparan saya agaknya saya tak perlu membeber cerita di sini, cukup nanti kalau kita ketemu saja membincangkan soal itu.

Dikatakan Kang Gik, saya termakan wacana?? Ketika Kang Gik menyatakan, “Cobalah berpikir bebas...cari sendiri menurut alur logika yang benar”, maka saya mengatakan; tidak ada orang yang dapat berpikir bebas tanpa terlepas dari pemahaman awal (wacana dalam pengertian sederhana), dari apa yang pernah ia baca, dari konstruk pengetahuan yang mendasari logika formal dalam akalnya. Pun “alur logika yang benar” yang Kang Gik unggulkan itu pun tidak dapat tidak mesti dipelajari, pahami, dan gunakan meniscayakan belajar dari “apa” dan “siapa”, mesti ada referensinya, rujukannya.

“Logika yang benar” itu bukan insting hewani, tapi adalah potensi manusiawi yang mesti terus diasah; ia serupa anak dari persetubuhan akal dan dunia, teori dan realita. Di sisi lain, “logika” dalam konsepsi pemikiran filsafat Barat adalah bagian dari epistemologis yang juga meliputi segenap tiga bagian besar filsafat lainnya (ontologi, epistemologi, aksiologi). Baik logika formal maupun material semuanya bertujuan untuk mencapai kebenaran.

“Logika yang benar” yang Kang Gik kemukakan bagi saya adalah sebuah premis yang lebih serupa klaim, karena “logika yang benar” pun mesti merujuk pada referensi tertentu, yakni teori, formula pemikiran, paradigma, ideologi, diskursus, wacana. Masing-masing memiliki “logika kebenarannya” sendiri-sendiri, dus kita pada hakikatnya tak dapat lepas dari yang namanya wacana. Kita berada di dalamynya, kita bergulat dengannya, kita memihak dan menentangnya, kita merumuskannya. Dengan kata yang teramat sederhana, ketika Kang Gik berargumen, “Saya membebaskan akal dan menggunakan logika yang benar”, maka pada hakikatnya Kang Gik tidak bebas, karena tetap tak dapat keluar dari makna, tafsir, definisi logika dan kebenaran tertentu yang menjadi bagian dari wacana tertentu.

Pun ketika Kang Gik menyatakan bahwa saya termakan wacana, bagi saya bukan termakan wacana, tapi mencoba mempelajari, memahami, “menggunakan” untuk analisis, bukan sekadar untuk menjustifikasi, walaupun itu adalah niscaya, karena wacana-ideologis adalah produk dari logika-filsafati dan logika-filsafati adalah produk dari wacana-ideologis sebagai sebuah lingkaran keniscayaan-kenyataan yang tak terputus.

Soal mencari makna liberalisme dan neoliberalisme, saya akan kelimpungan? Mengapa mesti kelimpungan Kang Gik, janganlah terlalu mendramatisasi hal yang remeh-temeh seperti itu. Baiklah saya akan kemukakan sedikit soal Neolib yang konon “ditakuti” itu.

Kapitalisme sebagai konsepsi ekonomi liberal juga dikenal sebagai neoliberalisme. Neoliberalisme berbeda dari liberalisme, neoliberalisme sudah memasukkan kritik dari sosialisme-komunisme terhadap liberalisme terdahulu atau liberalisme klasik. Di sinilah liberalisme sekarang utamanya dalam diskursus ekonomi agaknya lebih tepat disebut sebagai neoliberalisme, sedangkan liberalisme sebelumnya lebih tepat disebut sebagai liberalisme klasik. Lalu bagaimana dengan penggunaan istilah liberalisme dalam dimensi politik, sosial-budaya, dan agama? Agaknya distingsi atau pembedaan liberalisme dan neoliberalisme lebih ditekankan dalam ranah kapitalisme global, sedangkan dalam dimensi lain, walaupun berkaitan dengan kapitalisme global, pembedaan kedua istilah tersebut tidak terlalu ditekankan. Toh pada hakikatnya sama, kebebasan.

Neoliberalisme itu bisa diartikan sebagai paham liberalisme yang diperbaharui. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neoliberalisme lebih menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik a la Adam Smith itulah yang kemudian menelurkan praktik imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, kolonialisasi. Sedangkan neo-liberalisme menelurkan imperialisme yang diperbaharui, globalisasi. Globalisasi mendapatkan momentum kelahirannya ketika konferensi Bretton Woods merekomendasikan perlunya sebuah lembaga keuangan internasional yang mengawasi kebijakan moneter di seluruh dunia. Maka lahirlah Lembaga Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas yang berada di atas gelombang besar globalisasi.

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme, pertama, munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations –MNC) sebagai kekuatan nyata dan bahkan memiliki aset kekayaan lebih besar daripada negara-negara kecil di dunia. Rata-rata kantornya berada di negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Jepang, dan Australia. Walaupun berkantor di situ, tetapi mereka tak digerakkan oleh semangat nasionalisme, tetapi oleh insting kapitalis untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Di saat-saat kritis mereka dapat mengubah modal besarnya menjadi bargaining power dan memaksa negara-negara kecil bertekuk lutut. Kedua, munculnya organisasi atau rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system yang bertujuan untuk menjamin kepatuhan negara-negara dunia pada sistem pasar bebas. Tiga organisasi utama tersebut adalah, World Trade Organization (WTO), World Bank, dan International Monetery Fund (IMF). Ketiga, sebagai variabel independen dari semuanya itu adalah revolusi di bidang teknologi informasi dan transportasi yang amat dahsyat 20 tahun terakhir ini. Anthony Giddens menyebutnya sebagai “time-space distanction” dan David Harvey “time-space compression.” [1]

Oke, sekarang saya lanjutkan untuk mendedah argumentasi Kang Gik lagi. Kang Gik menyatakan bahwa,”....di manapun munculnya banyak pengusaha dan pertanian itu akan membuat masyarakat sejahtera”, bagi saya itu adalah paradigma borjuis dan sosialis, dan itu tak masalah, wajar dalam realita-empiris. Kemudian Kang Gik menganggap rendah mereka yang bercita-cita menjadi PNS dan karyawan perusahaan besar dengan mengatakannya sebagai “bermental tempe”. Rasanya tidak adil jika tidak cover both side –dalam istilah jurnalistiknya- , karena ada juga PNS yang betul-betul berupaya mendermakan seluruh kemampuannya untuk negara dan bangsa, PNS itu bisa dosen, peneliti di LIPI, guru di pedalaman terpencil yang terpanggil hatinya untuk mencerdaskan anak-anak suku primitif pedalaman di sana, sementara itu banyak mahasiswa lebih ingin berwirausaha di Jawa(?)

Ingat Kang Gik, institusi Pemerintah menjadi tidak produktif itu karena kultur yang tidak produktif. Tidak produktif bukanlah sebuah kutukan abadi, bukan dosa turunan yang tak bisa dipangkas. Mestinya orang yang “berani” masuk ke institusi yang berpotensi memangkas potensi dirinya, kita patut salut kalau ia betul-betul berniat untuk bangsa, negara, pelayanan publik, kemanusiaan, intelektualisme, dan seabreg kemuliaan lainnya. Ya, memang Pemerintah dapat gaji dari rakyat, termasuk pengusaha via Pajak, lalu kenapa? Memang mekanismenya seperti itu, terlebih ketika pemerintahan berjalan semestinya untuk melayani rakyat, tidak muliakah melayani rakyat?

Tapi saya jujur tidak paham dengan argumentasi Kang Gik selanjutnya, yaitu pada, “Mana ada orang yang tidak produktif pengen kaya dan hidup enak & konsumsi melimpah?” ya jelas ada dong, ko ditanya, banyak orang yang tak produktif, bahkan bodo pengen kaya to? Kemudian Kang Gik menyatakan, “Dia sebenarnya tidak adil terhadap dirinya sendiri dan orang lain.” Maksudnya gimana? Kang Gik jangan terlalu risau, pengusaha tak akan dihilangkan dan hilang, karena masih banyak orang yang pengen kaya....

Ada pernyataan menarik dari Kang Gik, “Di negara mana pun, negara yang paling ‘makmur ekonominya’ adalah yang membiarkan rakyat ‘bebas berekonomi’, bagi saya ya jelas itu ketika referensi Kang Gik adalah Amerika dan Eropa, itu semua negara maju, jika Indonesia mau membebaskan ekonomi rakyatnya padahal kekuatan prasar global mendesakkan diri ke Indonesia tanpa ampun lagi, ya matilah ekonomi rakyat. Lebih dari itu saya setuju, bahwa Pemerintah sekarang membuat kita tak nyaman tidur, pun ekonomi diri kita sendiri membuat kita tak nyenyak tidur, mesti memutar otak bagaimana agar besok bisa makan. Hidup kita pun mestinya tidak hidup yang bisa membaut kita terlena dan kemudian tidur dibius mimpi-mimpi indah, tapi mesti hidup yang menggelisahkan, menggairahkan, dengan begitu hidup kita ada dedikasi yang mesti dituju, dan hidup kita menjadi bermakna....

Edi Subkhan, Peserta Extension Course of Philosophy, STF Driyarkara, Jakarta


[1] Baca artikel I. Wibowo pada pendahuluan buku editan I. Wibowo & Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, hlm. 3-4.