online degree programs

Selasa, Februari 12, 2008

Hakikat Dakwah Sebenarnya

Edi Subkhan*

Selamat atas posting adik saya Lulux –arwana- (he3x), smoga bisa menjadi bahan pencerahan politik bagi yang tidak terlalu paham politik, pun bagi yang tidak mampu dan mau berpolitik, karena pada akhirnya semua adalah pilihan, dan setelah itu adalah penerimaan dan kepasrahan dalam bingkai filsafat kemanusiaan. Saya tidak akan masuk dalam polemik tentang politik dan apolitik terlebih dahulu, termasuk saya dapati komentar atas tulisan Luluk yang agak "provokatif" entah dari siapa yang komentar atas tulisan luluk tersebut, dan semestinya itu tidak pantas keluar dari mulut seorang intelektual. Pun ketika orang itu menyatakan dirinya bukan sebagai intelektual, maka tidak selayaknya menjustifikasi sebuah pemikiran via tulisan sebagai -maaf- "penipu", dalam hal apa saya pun tidak begitu tahu, nantilah saya akan tanggapi klo blom ada yang menanggapi, biarlah saya menjadi yang terakhir soal menjawab yang tak terjawab, melihat yang tak terlihat. Sekarang ada baiknya mengambil hikmah dari sedikit "permenungan" saya ini.

Dulu ketika saya di pesantren dulu mendapatkan cerita tentang kewalian Gus Miek (K.H Hamim Tohari Jazuli) Lirboyo (1940-1993), seorang yang diakui kewaliannya oleh Mbah Arwani, Kudus; KH. Dalhar, Watucongol; Mbah Hamid, Pasuruan; KH. Hamid, Kajoran, Magelang; Mbah Mangli, Magelang; Mbah Muslih, Mranggen; KH. Mansyur, Popongan, Klaten; dan banyak Kyai lainnya mengakui, semuanya menaruh hormat dan mengakui kewalian Gus Miek.

Tapi bagaimana jalan da’wah Gus Miek, beliau menempuh jalan sunyi untuk da’wahnya, beliau berpakaian preman dan masuk ke diskotik-diskotik, menggelandang di terminal-terminal, dan tidur di hotel-hotel, bahkan secara kasat mata ia terlihat minum-minuman keras dan main kartu bersama preman-preman pasar.

Komentar semua Kyai sepuh waktu itu ketika ditanya soal jalan da’wah itu mengatakan bahwa, Gus Miek adalah orang pilihan Allah untuk berda’wah dengan cara yang berat, yang Kyai lain tak mampu merambahnya. Beliau adalah wali sejak dilahirkan penuh dengan karamah untuk menempuh takdir jalan hidup sunyi. Dan semuanya wanti-wanti (memperingatkan) pada santri dan segenap pengikutnya waktu itu bahwa tak ada yang boleh meniru jalan da’wah Gus Miek yang nyeleneh ketika ia belum mencapai tingkat “ditunjuk” langsung oleh Allah dengan maqam keimanan tertentu. Dan Gus Miek sampai sekarang mewariskan jama’ah Dzikrul Ghafilin dan semaan Al-Quran jantiko mantab bagi kita semua.

Jadi levelnya beda, kemampuannya berbeda, yang sudah mencapai titik kemampuan tertentu ia dapat melebur dan bahkan berani mendekat pada sasaran da’wah sesungguhnya. Apa susahnya menjadi Islami di pesantren, apa susahnya berda’wah di masjid dan majlis ta’lim, tapi jelas begitu beratnya berda’wah pada sasaran da’wah sesungguhnya, yakni orang yang belum Islami, begitu beratnya menjadi Islami di alam kebebasan.

Sekali-kali saya ingin menantang mereka yang dengan garang memberi ceramah tentang etika Islami di podium untuk turun “melantai “ di Astro cafe atau ke lokalisasi Sunan Kuning dan berda’wah di sana (dengan catatan tanpa kekerasan loh), kuat gak kira-kira? Karena da’wah seperti itu butuh konsistensi (istiqamah). Lama waktunya, mahal harganya, tinggi derajatnya dibandingkan yang berda’wah di komunitas orang yang sudah saleh, buat apa? (ini sekadar retorik loh). Bukankah yang paling sulit da’wah pada orang yang belum Islami dan hal itu mesti istiqamah?

Hal yang sama pada proses Islamisasi lainnya, lihat isinya, jangan terbuai kulitnya. Kacang yang dimakan isinya, bukan kulitnya. Tapi kacang tanpa kulit tak bisa tumbuh berisi dan enak dinikmati.

Kualitas seseorang itu dapat dilihat dari tempat di mana ia berada, tingkatan keimanan seseorang terlihat tak hanya dari tempat di mana ia berda’wah tapi juga keberanian ia terjun di sasaran da’wah yang mana. Bagi Cak Nun da’wah terbaik adalah dengan perilaku keteladanan, bahkan beliau berani turun selevel dan lebih rendah lagi untuk menyamai derajat mulia rakyat jelata, yang di mata dan senyum tulus mereka terdapat lelehan mata air dan keindahan surgawi. Sebagaimana saya akhir-akhir ini justru mendapatkan kedamaian hati ketika melihat kelucuan tingkah balita dan anak-anak kecil, kesahajaan wajah kakek-nenek yang sudah keriput, kesederhanaan hidup dan keuletan pedagang kaki lima, pada wajah mereka semua seakan saya melihat cahaya surga.

Pemimpin dan penda’wah sejati tidak sok berda’wah, ia tidak berteriak-teriak menghujat sana sini dan membenarkan jalannya sendiri, karena dengan begitu ia ibarat menutup pintu kebenaran yang bisa datang dari mana saja. Ketika ia menutup pintu itu, maka ia berbalik membelakangi cahaya kebenaran Tuhan yang bisa berasal dari mana saja, dari anak-anak yatim, pertaubatan preman kampung, bahkan dari ketulusan pelacur memberi minum seekor anjing sekalipun.

Jadi, sekali lagi levelnya belum pada mukasyafah membuka hijab rahasia segala rahasia sejati, menjawab yang tak terjawab, yang menjadi inspirasi kebaikan dengan teladan, bukan afirmasi yang disertai ancaman neraka dan kafir. Sekarang mari kita renungkan kita ini siapa, di level mana, dan akan kita temukan betapa diri kita tak lebih dari siapapun di dunia ini, kata Cak Nun. Wallahu a’lam bishshawab.

* Edi Subkhan, peserta extension short course of philosophy STF Driyarkara, Jakarta

2 komentar:

KOMUNITAS EMBUN PAGI mengatakan...

Kang tak susul ke jakarto to...he3x
kaget yaw,
saya sbg pendatang baru di blog ini ya harusnya punya etika yang dikedepankan terlebih dahulu dunk..
jadi kalau masukin masukan harus dimulai dengan, ..."permisi mas, saya mau memberi masukan, meskipun pendapat saya salah dan kurang tepat, tapi setidak-tidaknya saya melihat kehebatan natural tulisan 'Sang Godot Edy Sub' jadi lebih kaya akan masukan" he3x.
Kang mbok sekali-kali kalau kaji isu religi kita bagi terminologi atau mahzab kanan (maaf agak SARA (SAru and uRA'an)he3x), biar seimbang gitu loch, tokoh-tokohnya juga diganti gak harus cak nur, cak nun, atau licak bahkan becak. Bwahaa ha3x. Bcanda dung, gak pa2 ya...itung-itung demokrasi
Curhat; ungkapan komentar di tulisanku keterlaluan banget kang, klo ketemu ama orangnya aku tuntut "pencemaran nama baik junto perbuatan tidak menyenangkan" sanksinya lumayan mak 2 tahun. Untung ada kang edi yang ngredam amarahku bahwa "ini arena pemikiran, jadi hadapilah dengan 'gentelman' luk"kira-kira itu kutipan smsnya. Toupiq juga langsung tak telpon,
ya beginilah Toufiq (tipe orang) sabar, pasrah, nerima, yang ngasih saran "gak pa2lah itu biasa". Senang rasanya punya sohib kayak toufiq&edy, eh juga mas gie, m yogas, semuanya i love u. Bagi yang nulis komentar di tulisanku maafin aku ya misalnya klo ada salah.
Edy dan Toufiq minggu jalan-jalan yuk...

Anonim mengatakan...

ada orang yang memang tahu ditahunya,
tidak tahu ditahunya,
tahu di tidak tahunya, dan yang terakhir
tidak tahu di ketidaktahuannya...
mboh Ed, pokoe aku melu kowe, manut wae sing penting kowe tuku pulsane nang aku, ha2...