online degree programs

Kamis, Februari 28, 2008

Ruang Publik Pendidikan (1)

(Keniscayaan ruang publik & privat)



“Pengetahuan adalah kekuasaan”
Francis Bacon (1561—1626)

Tulisan ini, setidaknya untuk saat ini, tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang layak kutip, tapi lebih sebagai sekadar refleksi atas fenomena yang terjadi dengan dibumbui oleh teori “ini—itu” saja (meminjam istilahnya Hegel). Entah nanti manuskrip ini akan saya kembangkan menjadi lebih serius atau tidak, saya harap kritik dan masukan untuk perbaikan, agar seminimal mungkin tidak ada perspektif yang terlewat, tidak ada hal yang tidak tak terbahas, walau sedangkal apa pun itu, dan saya berharap banyak dari sahabat-sahabat semua di Komunitas ini.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kedirian kita di dunia ini, adanya diri kita sekarang ini, sebagaimana diungkapkan oleh Heidegger bahwa, “Manusia sudah selalu terlempar ke dunia”; manusia bukanlah subyek yang dapat melepaskan diri dari dunia. Charles Taylor (1993) menyatakan bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu.

Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia selalu terlahir sudah dalam berada dalam komunitas masyarakat tertentu, dalam ruang kehidupan tertentu, baik secara geografis, etnis, keyakinan, dan lainnya. Takdir kedirian, fitrah kemanusiaan, atau “kutukan” kehidupan manusia ia selalu sudah mendapati dirinya berada di dunia ini dengan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti etnis, bahasa, budaya, dan keyakinan. Kenyataan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia berada dalam “ruang” tertentu secara sosial, dan ini adalah keniscayaan abadi yang tak dapat dielakkan oleh manusia.

Pun ketika seseorang itu menjadi eksistensialis, seperti Kierkegaard, Nietzsche, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoevsky, Jean Paul Sartre, Muhammad Iqbal al-Pakistani, dan lainnya, maka mereka tak dapat mengelakkan kenyataan bahwa mereka telah eksis terlebih dahulu dalam “ruang” tertentu sebelum berupaya meng-eksistensi-kan dirinya secara “sadar”. Eksistensialis yang lebih mengedepankan “eksistensi” daripada “essensi” terlepas dari penafian mereka akan “ruang” sosial justru memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki “ruang” privat tersendiri, yang memisahkan diri dari “ruang publik”.

Secara distingtif-oposisi biner, maka ketika terdapat “ruang publik” maka sebaliknya pasti ada “ruang privat”. Di sini kita agaknya sudah mendapatkan basis filosofis yang memadai mengenai adanya ruang publik dan privat, walaupun tidak terlalu epistemologis, apalagi sebagaimana kata Mas Fahmi “etis-estetis” yang merupakan bagian dari dimensi aksiologi dari filsafat (sebagaimana dalam klasifikasi filsafat Barat, terdapat dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang pada masing-masing dimensi tersebut terdapat subbahasan yang lebih terperinci seperti kosmologi, teologi, teleologi, termasuk etika, estetika tadi).

Dengan terpaksa melampaui bahasan historis ruang publik –dan privat- mulai dari Yunani kuno sampai pada alam modernitas dan posmodernitas sekarang (bagi yang percaya “mitos-mitos” tersebut), maka sekarang dapa dikatakan bahwa hidup dan kehidupan kita, sampai ruang privat kita tidak dapat menolak keberadaan ruang publik; ia selalu berhadapan dengan ruang privat, dan pada akhirnya melahirkan banyak perspektif seiring banyak masalah yang terlahir dari persetubuhan ruang publik dan privat tersebut.

Secara singkat ruang publik bicara soal kebebasan, kesetaraan, egalitarianisme, demokrasi, kesejahteraan bersama, di sisi lain ruang privat bicara soal hak asasi, kekhasan tertentu, privelege tertentu, keyakinan tertentu, yang seakan-akan berada di balik tirai yang sewaktu-waktu dapat keluar, mendesakkan “kekhasan” tersebut pada ruang publik, menghegemoni, mendominasi wacana, dan pada akhirnya –sebagaimana yang terjadi pada metanarasi besar terdahulu (modernisme, posmodernisme, dialektika roh [Hegel] dan mitos-mitos besar lainnya)- mendesak ruang privat lain.

Sebenarnya, berkaitan dengan latar pendidikan saya di FIP Unnes, banyak masalah pendidikan yang mau tidak mau mesti mengantarkan kita untuk mendekatinya dari perspektif ruang publik. Dan hal itu merupakan keniscayaan untuk mengambil ruang publik sebagai pendekatan dalam memahami masalah sosial terlihat dalam banyak ranah kehidupan.

Misalnya, soal moralitas guru sebagai manusia biasa, sebagai bagian dari ruang privatnya ketika berhadapan dengan ruang publik yang menuntut keselarasan antara apa yang ia ajarkan pada siswa dengan ruang privatnya secara betul-betul personal. Kasus yang nyata adalah soal guru yang berbuat mesum, selingkuh, bertindak asusila. Guru sebagai personal dan guru sebagai bagian dari ruang publik menjadi problematik, bagaimana mesti menempatkan diri dalam hak privasi untuk menjadi manusia biasa yang bisa amoral dan menjadi manusia “agung” yang mesti selalu baik di mata siswa dan masyarakat.

Ruang publik telah menjadikan posisi guru di situ tidak boleh memiliki ruang privat karena tidak disepakati oleh mayoritas pendapat ruang publik, yang nota bene pendapat mayoritas ruang publik pun sebenarnya merupakan desakan dari ruang privat moral dan etika yang sudah menjadi “sewajarnya”. Ruang privat berupaya, dalam hal ini, pendapat atas moral dan etika tertentu pada akhirnya menjadi dominan di ruang publik ketika semuanya berpendapat sama berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Mirip prinsipnya Thomas Hobes, maka saya berpendapat tidak boleh mendesak ruang privat lain apalagi merusaknya dan lebih berupaya menjaga ruang privat sendiri, oleh karena tindak amoral itu sebenarnya telah merusak atau mendesakkan persepsi bahwa amoralitas itu benar kepada ruang privat lain yang tidak sepaham, maka amoral tidak diterima di ruang publik.

Tapi bukankah keyakinan dari ruang privat yang dominan di ruang publik dan menjadi sebuah konsenses kemanusiaan dan kelaziman moral, bahwa amoral itu tidak boleh, juga sebentuk pemaksaan dan “pengrusakan” atas ruang privat lain yang meyakini bahwa amoral itu boleh? Bagaimana Anda menjawab ini? Ini baru pemanasan, posting selanjutnya sedikit menginjak soal intelektual kampus.

Edi Subkhan
peserta extension course of philosophy
STF Driyarkara, Jakarta

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Teman-teman semuanya....sekarang saya sedang adu argumen di milis Unnes, mohon sekali waktu klik di milis unnes.
http://groups.yahoo.com/group/milis_unnes/

seru juga...tapi jangan ikut dulu, biar saya dulu ya....

Salam,

Anonim mengatakan...

Wah, tulisan ini sedikit bikin pikiran saya agak berhenti, berjalan lalu berhenti, barangkali itu memang sifat tulisan filsafat...he2
Namun, antara ruang privat dgn ruang publik saat ini sangat dekat dan bahkan ndak kentara itu, menurut saya, karena hadirnya berbagai sarana ruang yang lain, yaitu: Media (bukan cuma media masa lho ya!blog ini juga media)jadi jarak privat dan publik saat ini kurang berarti...
zaman sekarang ketika "ruang" tak lagi berarti...ada tantangan lain yang nanti dihadapi manusia...
yaitu waktu!!!
jadi masalah ruang publik dengan ruang privat itu apa bedanya, ke depan itu ndak ada bedanya, karena orang makin bersifat terbuka...
jadi kalau sekarang masih ada kelompok, atau bahkan masyarakat ilmiah kaya kampus kita, kok masih tertup berarti kesimpulan sementara saya ya: masih primitif,he2...

Anonim mengatakan...

Memang ruang privat dan publik ndak ada jaraknya, bahkan kita sekarang pun ada dalam ruang privat sekaligus ruang publik khan?

Pun media, termasuk blog ini aberada dalam interseksi antara ruang privat dan publik, privat karena ada sisi ideologis yang kita yakini, dan puiblik ketika ideologis tersebut diperjuangkan di media publik.

Jaraknya memang tak berarti secara signifikan, tetapi pembedaan dan kesadaran akan ruang publik dan privat justru ini sangat berarti dalam mendedah problem eksistensialisme masyarakat, split personality masyarakat, termasuk dalam diskursus dominasi-hegemoni, serta analisis ideologi-ideologi.

Kian terbukanya sikap orang pada akhirnya menjadi problematik ketika dihadapkan pada keyakinan personal soal nilai, agama, dan budaya dari ruang privatnya.

Makasih masukannya...

Anonim mengatakan...

Wow!!!saya Sepakat pangkat kuadrat ha2....
Namun sarana penyadaran itu sekarang terpasung di "ruang" yang namanya pendidikan: Sekolah bukan sebagai tempat penyadaran tapi malah tempat pemasungan paling kejam setelah otoritarianisme....