Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda
Adagium yang akrab terdengar, mengingat “takdir” geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita sebagai bangsa Indonesia untuk menerapkannya dalam setiap sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, dan civitas akademika Unnes pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut, tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun Naruto (secara periodik seminggu sekali) karena alasan kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah dengan ungkapan tersebut?
Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda” tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena tersebut, dimana kesenjangan antara das sein dengan das sollen, ada kemungkinan kekeliruan dalam penerapannya. Perlu diketahui bahwa sebagai tuntunan norma, dua kalimat tersebut adalah dwitunggal jika memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih tua” yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda justru dipegang oleh mereka yang tua, dan begitu sebaliknya. Demikian yang terjadi sehingga Si muda terlebih dahulu menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak henti-hentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya penghormatan kepadanya. Saling menuntut berlanjut saling menyalahkan tidak lagi terhindarkan, melupakan bahwa yang terjadi hamyalah “kunci” yang tertukar.
Kaitan logika, etika, dan estetika
Masih senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas, kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama. Sebagai bagian dari civitas akademika tentu tak asing lagi dengan prinsip ”Semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis (pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga dimana Orang Tua mendidik anak-anaknya, keluarga besar Indonesia (dan Unnes) juga mempunyai tujuan mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak jarang Orang Tua melakukan kesalahan yang menuai protes dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai fenomena yang wajar-wajar saja bukan?
Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik-sebagai bentuk protes-dan penyampaian tanggapan yang diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan Orang Tua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik. Seharusnya hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik yang pantas dan tidak menentang etika agar selaras dengan prinsip hirarki logis-etis-estetis mengingat status civitas akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan tidak terkesan urakan.
Menunjukkan eksistensi
Sedikit menggeser kursi agar didapat angel yang berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-etis-estetis. Sebagaimana prinsip probabilitas dalam dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun golongan. Secara psikologis pengakuan dan penerimaan sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi lain sebagaimana diungkapkan oleh Voltaire dengan sangat indah ”aku tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk mengatakannya”
Ahmad Fahmi Mubarok
psikologi 2006
*dimuat di ekspress edisi ,aret 2008
Adagium yang akrab terdengar, mengingat “takdir” geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita sebagai bangsa Indonesia untuk menerapkannya dalam setiap sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, dan civitas akademika Unnes pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut, tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun Naruto (secara periodik seminggu sekali) karena alasan kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah dengan ungkapan tersebut?
Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda” tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena tersebut, dimana kesenjangan antara das sein dengan das sollen, ada kemungkinan kekeliruan dalam penerapannya. Perlu diketahui bahwa sebagai tuntunan norma, dua kalimat tersebut adalah dwitunggal jika memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih tua” yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda justru dipegang oleh mereka yang tua, dan begitu sebaliknya. Demikian yang terjadi sehingga Si muda terlebih dahulu menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak henti-hentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya penghormatan kepadanya. Saling menuntut berlanjut saling menyalahkan tidak lagi terhindarkan, melupakan bahwa yang terjadi hamyalah “kunci” yang tertukar.
Kaitan logika, etika, dan estetika
Masih senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas, kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama. Sebagai bagian dari civitas akademika tentu tak asing lagi dengan prinsip ”Semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis (pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga dimana Orang Tua mendidik anak-anaknya, keluarga besar Indonesia (dan Unnes) juga mempunyai tujuan mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak jarang Orang Tua melakukan kesalahan yang menuai protes dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai fenomena yang wajar-wajar saja bukan?
Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik-sebagai bentuk protes-dan penyampaian tanggapan yang diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan Orang Tua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik. Seharusnya hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik yang pantas dan tidak menentang etika agar selaras dengan prinsip hirarki logis-etis-estetis mengingat status civitas akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan tidak terkesan urakan.
Menunjukkan eksistensi
Sedikit menggeser kursi agar didapat angel yang berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-etis-estetis. Sebagaimana prinsip probabilitas dalam dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun golongan. Secara psikologis pengakuan dan penerimaan sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi lain sebagaimana diungkapkan oleh Voltaire dengan sangat indah ”aku tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk mengatakannya”
Ahmad Fahmi Mubarok
psikologi 2006
*dimuat di ekspress edisi ,aret 2008
6 komentar:
Salut buat Dik Fahmi...
teruslah berkarya...
Sudah menjadi tanggungjawab orang tua untuk mendidik anak..
sudah menjadi tanggung jawab anak juga, untuk selalu mengingatkan orang tua,he2...
Mengundang kepada para pegiat diskusi komunitas embun pagi dalam
NONGKRONG CERDAS(tau-faham-sadar politik)
Tema : Awas, PLN dalam BAHAYA! (menguak Krisis listrik,restrukturisasi,privatisasi dan Denasionalisasi)
Pembicara :
- Ir Suratman (Ketua Serikat pekerja PLN Jateng)
- Ir Abdullah( Humas HTI Jateng)
Hari : Selasa 4 maret jam 15.30
Tempat : Pelataran Auditorium UNNES
Semoga kita dapat memberikan solusi pada Bangsa INI
Pompy Syaiful Rizal
Wah mestinya temen-temen dari HTI bisa cover both side, mengundang yang dari birokrat, praktisi, dan lainnya, intinya yang pro dan kontra.....
He...he..he....lha wong pompynya sendiri orang elektro, jadi dia paham tentang litrik punya listrik. Sukses buat diskusinya. Jangan lupa kasih infonya hasil diskusi buat sharing di blog ini....
Ah ya, Tulisan diatas bagus banget mas. Salud aku..
Lha pembicara dari pihak kapitalis siapa ni ya?
apa saya harus jadi pembicara,ha2...
Lho saya ini juga kapitalis lho...gimana ini kok melupakan keberadaan saya? rak diundang maneh...piye tho...?
kita khan bagian dari sistem kapitalis, iya khan.... tapi saya juga sosialis banget, apalagi Giyanto itu....dia itu sosialis sejati, wong di dari Fakultas Ilmu Sosial je...he.he..he.
Posting Komentar