online degree programs

Kamis, Juli 31, 2008

MOTIVATOR & HUMANITY

Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso?

Siapa tidak kenal John C. Maxwell?

Mereka adalah beberapa dari tokoh – tokoh motivasi papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka (antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, memandang gap yang ada pada relita dan system untuk kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia (SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata – kata seperti ”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”berhasil..”, ”Semangat..” dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi. Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari berbagai soft dan hard skill. Tak ayal pada konteks kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil karya atau bahkan orangnya.

Jika memperhatikan momentum zaman, motivator memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan dan pengembangan (training and development); Sang motivator (trainer)[1] hadir di ruangan dengan bersenjatakan laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada trainee[2] melalui layar yang ditembakkan dari sinar LCD (Liquid Crystal Display). Tentu saja yang utama disamping perangkat tersebut adalah cara dan style penyampaian dari sang trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity. Ada yang menyebutnya Outbond[3]. Tujuan dari berbagai metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee dengan benar agar dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ’kira – kira’ menjadikan manusia ’seutuhnya’ manusia.

Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di jaman modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan, menguak potensi SDMnya dan diaktualisasikan dengan optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan ’suplemen’ yang dipercaya mampu memompa semangat serta kebugaran otot – otot altet agar tampil dalam kondisi maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal.

Dengan didukung manajemen strategis perusahaan, rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan pada grafik produksi dan pemasaran.

Industrialisasi-konsumerisme-motivator.

Modernitas dengan industrialisasinya telah melahirkan konsumerisme[4]. Berbagai perusahaan, dengan menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau brand.[5] Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal conditioning[6] jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas, budaya, dan primordialisme yang berbeda - beda. Dari sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.

Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya dalam hasil – hasil produksi perusahaan (karena memang itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-penawaran, Gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi. Menggenjot produksi berarti menyusun strategi agar volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg dalam kisaran tersebut maka dibutuhkan strategi kerja yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan. Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka tugas motivator (dan kebijakan direksi melalui HRD) adalah memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran motivator menjadi vital.

Dehumanisasi?

Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks industri telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan. Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi mendapatkan job dari perusahaan.

Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli program pelatihan dan pengembangan dengan harga murah, sementara para motivator (dengan lembaga pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka kondisi ini potensial memunculkan dilema; mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain, pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan ’nilai dan guna’.

Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target perusahaan. Sedikit mengingat cita –cita luhur humanis yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya, sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu menjurus pada dikategori dehumanisasi.

Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh pada prinsip – prinsip kemanusiaan?


Atau disandarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati?

Prinsip kemanusiaan yang ’disunat’?


Hariz
hariez_zona@yahoo.com


[1] Kata ”Motivator” digunakan untuk menyebut profesi, sedangkan ”trainer” digunakan manakala motivator sedang memberikan pelatihan.

[2] Istilah yang digunakan untuk Peserta pelatihan.

[3] Metode pelatihan dengan menggunakan alam sebagai sarana kelas.

[4] Gaya hidup yang memandang barang – baran (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan.

[5] Merek produk dan gunanya sesuai kebutuhan

[6] Sublimal Conditioning: Pengkondisian kognitif yang berlangsung dalam alam prasadar (setingkat di bawah kesadaran) personal.

Minggu, Juli 27, 2008

MADZHAB KRITIS ABU SUUD: MANUSIA, SEJARAH DAN AGAMA*

Oleh:Muhammad Taufiqurrohman*

Di semua tulisannya hampir tak ada yang besar, megah, tegas , pasti dan berwibawa. Hampir segala yang bernada tinggi tak dimainkannya. Beberapa orang, sepertinya juga termasuk saya, harus menghela nafas dalam-dalam sebelum membaca kalimat pertama. Apalagi jika kalimat itu adalah kalimat pembuka penelitian ‘ilmiah’nya. Ide, gagasan, pemikiran yang dilagukan hampir tak pernah melengking. Hampir membosankan. Lagu itu hampir tak pernah seperti rock, pop, dangdut, bahkan jazz. Ia hampir seperti bisikan wirid yang dilafadzkan di sepertiga malam. Bahkan suara itu mungkin masih terlalu keras. Barangkali suaranya serupa suara daun-daun yang sedang jatuh berguguran. Begitu nikmat. Begitu pelan. Hampir tak terdengar. Tapi, begitu dalam.

Membacanya bukanlah perkara yang mudah. Beliau telah ‘terkutuk’ menjadi manusia kompleks, manusia ‘carut marut’. Mungkin beliau sendiri menyesal dengan keterkutukannya itu. Sebab, hampir tak ada yang tak dipikirkannya. Oleh karenanya, hampir tak ada yang menemaninya kecuali kegelisahan yang mungkin begitu sepi. Sebagai hanya seorang guru sejarah, beliau terlalu serakah. Sudahlah mengurusi sejarah saja, mungkin demikian kata koleganya. Tapi, tidak. Lampu merah, tukang becak, mahasiswa, presiden, masjid, politik, pengemis, salib bahkan prostitusi jadi bahan tulisannya. Apalagi agama. Apalagi manusia. Kita seperti berhadapan dengan seorang pembaca yang begitu setia, yang membaca apa saja. Beliau memikirkan segala. Bahkan angin yang tak pernah kelihatan. Bahkan mungkin tuhan yang memerintahkan beliau untuk membaca. Begitulah beliau, Prof. Abu Suud yang saya kenal.


I
Manusia. Sejarah. Agama. Adalah kata kunci untuk memahami pemikirannya, mungkin juga dirinya.

Mungkin semua itu bermula dari manusia. Bermula dari pertanyaan tentang siapakah sesungguhnya manusia itu? Siapakah sebenarnya aku dan kau? Siapakah ‘kita’? Dahulu kala ketika masyarakat masih hidup di klan-klan tertentu mungkin mudah menjawab pertanyaan itu. Kita adalah sunda. Kita adalah batak. Kita adalah jawa. Kita adalah samin. Kita adalah aborigin. Kita adalah Indian. Kita adalah hutu. Kita adalah…. Waktu itu nilai-nilai, norma, adat, kepercayaan, dan identitas begitu tunggal. Ia hampir tak punya pesaing. Batas-batas antara kami dan kalian begitu tegas. ‘Kita’ hanyalah kami yng serupa dalam segalanya. Diluar kami tak pernah ada ‘kita’. Yang ada hanyalah kalian yang sama sekali lain, yang beda, yang tak pernah mungkin menjadi ‘kita’. Kalian adalah ‘liyan’ yang bukan kami. Di ruang ini identitas kami adalah satu. Garis itu begitu lempang, hampir mutlak. Semua serba jelas. Semua serba tegas.

Hingga kemudian modernitas datang. Teknologi diciptakan. Awalnya hanya sebuah perahu bermesin yang bisa menembus samudra dari sebuah benua ke benua yang lain. Juga mesin-mesin di pabrik yang bisa mengubah kapas jadi kain. Lalu lampu, mesin ketik, sepeda, motor, pesawat terbang. Teknologi membuat orang Belanda bisa mendarat di Selat Malaka. Buku-buku juga dicetak. Sebuah cerita di sebuah pedalaman di Amerika bisa dibaca mereka yang di pojok Afrika. Orang-orang keluar dari dusunnya, dari klannya. Mereka bertatapan dengan ‘liyan’. Mereka bercakap-cakap, berinteraksi, berbagi, menangis, bahkan kawin. Mereka bertukar. Juga dengan membawa nilai-nilai, kepercayan, adat, keyakinan, identitas dan segala keakuan masing-masing. ‘Liyan’ itu dengan ‘liyan’ ini sama-sama bertemu di sebuah ruang yang juga sama-sama bukan milik mereka. Garis batas identitas itu diam-diam mulai kendur. Identitas menjadi sulit untuk dikatakan tunggal. Aku menjadi bagian darimu. Juga ada bagian-bagian dariku yang telah menempel di benakmu. Garis itu memang mulai kendur. Tapi sampai periode ini sepertinya ia belum benar-benar putus.

Modernitas memang sudah terlanjur datang. Identitas sudah terlanjur tercemar meski ia belum sepenuhnya hilang. Ongkos untuk membayar pesawat terbang, kapal laut, dan membeli buku-buku dari negeri seberang masih terlalu mahal. Tidak semua orang punya uang sebanyak itu. paling hanya mereka yang priyayi yang berduit banyak, yang punya koneksi bisa pergi ke negeri seberang. Atau mereka yang datang ke negeri yang lain untuk menjajah atau untuk memberikan pencerahan atau untuk menyebarkan agama. Informasi dari yang satu ke yang lain masih mahal. Pecakapan dan pertukaran nilai-nilai antar manusia meski sangat mungkin tapi masih sulit untuk dilakukan kebanyakan orang.

Modernitas memang terlanjur lahir. Sebagai anak modernisme, teknologi terus melahirkan anak-anak kandungnya lagi tanpa ampun, tanpa menunggu setuju. Dan lahirlah televisi, telepon, dan internet. Informasi menjadi demikian murah dan oleh karenanya hampir semua orang bisa mendapatkannya. Seorang anak SD di sebuah pedalaman Sumatra bisa melihat sebuah film koboi Amerika di layar televisi di rumahnya. Seorang Filipina bahkan bisa bercakap-cakap bahkan sambil terbahak-bahak dengan seorang koleganya di ujung Eropa sana. Apalagi internet, bahkan ia bisa menghadirkan tidak hanya suara tetapi keseluruhan gambar seluruh badan di hadapan kita. Bahkan hampir dimana saja. Berita, buku-buku, ajaran, harga rumah, cerita pribadi, jurnal, hampir semua informasi dari penjuru dunia mana saja dapat diakses melalui internet. Rapat para anggota konsultan bank dunia bisa diadakan di benua yang berbeda pada saat yang sama. Internet bahkan bisa membuat orang tidak kenal dengan orang di sampingnya tetapi membuat orang kenal dengan orang yang begitu jauh di seberang samudra. Setiap hari kita bisa lihat, percakapan justru sering terjadi antara mereka yang berjauhan. Dengan yang dekat orang bahkan mulai lupa bercakap. Dengan demikian, lalu lintas perbincangan antar nilai antara manusia yang satu dengan yang lainnya menjadi tanpa batas. Perubahan nilai, kepercayaan, cara pandang terhadap dunia demikian cepat terjadi pada seorang manusia bahkan yang semula disangka lama. Masyarakat sebagai kumpulan manusia-manusia itu pun menjadi demikian sulit dinamakan. Identitas menjadi sangat kabur. Garis batas identitas itu tidak hanya kendur. Ia, mungkin, sebentar lagi akan hilang.

Giddens, dalam The Consequence of Modernity-nya, menyebutkan tiga aspek yang berkaitan dengan perubahan akibat modernitas. Pertama, tingkat kecepatan atau tempo perubahan yang digerakkan modernitas. Perubahan paling kentara akibat modernitas memang terjadi dalam dunia teknologi. Namun, justru akibat perkembangan teknologi itulah, semisal tv, telepon,internet, aspek-aspek lain dalam kehidupan turut menjadi cepat berubah. Sebab, apa yang diubah oleh teknologi adalah manusia. Strutur-struktur modern lain semisal politik, hukum, ekonomi, budaya, dll hanyalah alat untuk melayani kebutuhan manusia itu. Jika nilai-nilai, cara pandang dan kebutuhan manusianya berubah maka struktur-struktur itu mau tidak mau harus turut berubah. Kedua, cakupan perubahan. Interkoneksi dari ‘liyan’ satu dengan ‘liyan’ lainnya menjadi demikian intensif. Gelombang transformasi sosial secara tidak langsung merembet ke seluruh permukaan bumi. Semua yang ada di kolong langit menuju pada sebuah dunia yang satu. Ketiga, sifat intrinsik institusi modern. Hampir semua institusi modern merupakan produk yang sama sekalian tidak ada dalam masyarakat pra-modern. Sistem negara-bangsa, kota, sistem upah, sistem industri, urbanisme adalah hal-hal yang membuat manusia menjadi manusia lain. Sesuatu yang sebelum era modernitas tidak ada dan manusia harus menghadapinya.

Demikianlah seorang manusia di zaman ini adalah seorang manusia multi nilai, multi identitas. Hampir tidak ada lagi beda antara manusia yang hidup di Indonesia dengan yang hidup di Amerika. Gaya hidup, nilai-nilai, kepercayaan, dan pandangan terhadap dunia menjadi tidak jauh berbeda bahkan hampir sama. Meski posmodernisme datang melawan ambisi modernisme tersebut, tetapi tetap saja identitas manusia sepertinya sudah terlanjur tercemar. Posmodernisme dengan marah menyatakan bahwa dalam proses perbincangan dan pertukaran nilai yang demikian tanpa batas tersebut cenderung selalu melahirkan hegemoni. Posmodernisme melawan kenyataan bahwa hanya nilai-nilai mereka yang kuatlah yang cenderung menang, bahkan kadang dengan paksaan, terhadap mereka yang lemah. Mekanisme kapitalisme modernlah sebagai akibat modernisme yang bertanggungjawab atas hal tersebut. Kontekstualitas nilai-nilai yang coba ditawarkan posmodernisme menjadi hanya sekadar utopia. Ia tak berkutik melawan anak jadah modernisme itu, kapitalisme dan teknologi. Namun, tetap saja teknologi sudah terlanjur berdosa membuat identitas manusia tercemar. Sehingga bahkan hanya untuk mengatakan ‘kita’, terkadang perang harus dikobarkan.


II

Tulisan tentang manusia di atas hanyalah usaha mencari gambaran manusia zaman sekarang sebagai orientasi utama sejarah dan agama. Sebab, kita tahu hampir seluruh hidup sang profesor diabdikan pada terutama dua bidang tersebut. Sejarah, mungkin karena beliau adalah seorang guru besar sejarah di universitasnya. Agama, mungkin karena beliau adalah anggota bahkan pernah menjadi pimpinan Muhammadiyah di wilayahnya.
Sejarah dan agama. Menurut penulis, ada dua pertanyaan yang harus diajukan berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan sejarah dan agama. Pertama, bagaimana manusia memandang sejarah dan agama. Dan kedua, apa yang bisa dilakukan oleh sejarah dan agama terhadap manusia sebagai orientasi utamanya.


III

Sejarah. Bagaimana cara manusia memandang sejarah tidaklah dengan sendirinya netral. Pertanyaan tersebut masih menyisakan dua kata yang tersembunyi, yakni ‘seharusnya’ atau ‘seadanya’. Jadi pertanyaan manakah yang kita pilih; bagaimana manusia (seharusnya) memandang sejarah atau bagaimanakah manusia (seadanya) memandang sejarah? Pertanyaan pertama mengandaikan adanya sebuah ideal. Manusia dimaknai sebagai dari sesuatu yang seadanya menuju sesuatu yang ideal. Sedangkan yang kedua dimaknai sebagai penerimaan terhadap adanya manusia saat pertanyaan itu diajukan.

Pertanyaan ‘seadanya’ ini menunjukkan penerimaannya terhadap kondisi manusia saat itu. Bagaimana cara pandang manusia modern dan manusia postmodern terhadap sejarah diakui kedua-duanya. Pertanyaan yang seperti ini cenderung mudah jatuh dalam jurang relativisme. Cara pandang, kemudian, menjadi demikian tidak jelas sebagai konsekuensi logis atas penerimaan terhadap relativisme. Relativisme yang pasrah. Perbedaan identitas manusia dalam memandang sebuah realitas sejarah, misalnya, mengakibatkan cara dan hasil pandang yang berbeda. Hampir tidak ada yang ideal yang dituju. Sebab, yang ideal juga merupakan sesuatu yang relatif.

Sedangkan cara pandang ‘seharusnya’ menuntut sebuah ideal. Ia mengakui relativisme manusia. Tetapi ia tidak dengan membabi buta menerima kesubjektifannya sebagai manusia. Cara pandang yang seperti ini termanifestasikan dalam satu kata, yakni kritis. Jadi, bagaimana kita (seharusnya) memandang sejarah adalah dengan menggunakan paradigma kritis dalam berpikir. Berpikir kritis bukanlah sebuah sistem melainkan lebih sebagai cara. Sebab, ia hanyalah cara maka ia bukanlah bangunan yang mandeg dan selesai. Jadi, seorang manusia yang berpikir kritis dalam memandang sejarah adalah manusia yang kritis terhadap dua arah; terhadap dirinya sendiri dan sejarah. Ia menerima relativitas dirinya sendiri. Namun, ia terus tidak puas dengan relativitas dan mengkritisi dirinya sendiri sebagai bekal memandang sejarah. Oleh karenanya, berpikir kritis justru merupakan sebuah pengakuan akan keterbatasan diri. Terhadap sejarah dia juga tidak bersikap apa adanya, melainkan terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mengarah pada ideal yang diinginkan. Ideal yang seperti apakah yang diandaikan dalam cara memandang sejarah ini adalah saat ketika tidak ada kebohongan di dalam sejarah. Ia akan mengkritisi segala hambatan menuju yang ideal tersebut, baik hambatan tersebut datang dari dirinya sendiri (history as written or history as fact) atau dari luar dirinya semisal pihak penguasa yang berkepentingan dengan sejarah tersebut.

'Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas', penulis kira, merupakan salah satu bukti pilihan sang profesor pada paradigma ‘seharusnya’ berpikir kritis dalam memandang sejarah. Dengan demikian kita bisa sedikit mengerti mengapa sang profesor seperti tidak bergeming alias cuek terhadap geger gemuruh pro kontra modernisme yang ditantang postmodernisme. Bahkan belakangan lahir modernisme radikal yang memberi perbandingan wacana kembali terhadap postmodernisme. Beliau seperti hendak mengatakan bahwa sistem atau isme-isme itu hanyalah suatu sistem yang kelak bisa roboh dan saling berganti. Oleh karenanya, beliau lebih berkonsentrasi pada memberikan dasar bagaimana cara manusia menghadapi realitas, khususnya dalam sejarah, entah dalam isme apapun. Dalam tulisan tersebut beliau menyatakan:

“Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial adalah untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis, yang antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial” (halaman 313)

Berpikir kritis hanyalah efek dari sebuah rasa ingin tahu tentang sebuah kebenaran (kebenaran sejarah, misalnya), suatu yang ideal. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar tetap adanya rasa ingin tahu tersebut. Hanya dalam suasana yang bebas, sederajat, dan setara rasa ingin tahu dapat dijaga. Membaca, berpikir dan berdiskusi hanyalah sebuah efek/akibat dari rasa ingin tahu tersebut. Relasi yang diciptakan dalam pengajaran sejarah pun seharusnya adalah relasi yang membebaskan mahasiswa untuk terus bertanya secara kritis. Di dalam kelas, diandaikan semua yang terlibat dalam pengajaran (termasuk dosen) berangkat dari pijakan yang sama (meskipun berbeda-beda). Tidak ada yang paling benar diantara yang lain (terasuk dosen). Jadi, pertanyaan-pertanyaan tidak dibatasi. Dosen tidak hadir dengan sebuah relasi kuasa. Dimana dia merasa mengetahui segala-galanya. Mahasiswa dihadapi sebagai sebuah benda mati yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apapun. Pertanyaan yang kritis terkadang dituduh sebagai keluar dari aturan ‘ilmiah’. Padahal sesungguhnya hanyalah ketidakberdayaan memberikan jawaban. Demikianlah, seharusnya relasi yang dibangun adalah relasi pengetahuan. Relasi dimana dosen dan mahasiswa sama-sama merasa sebagai makhluk yang terbatas dalam mencari kebenaran. Namun, justru karena keterbatasannya tersebut keduanya terus berpikir kritis tidak hanya terhadap sistem-sistem di luar dirinya (termasuk sejarah), juga terhadap dirinya sendiri.

Lalu apakah yang bisa diberikan sejarah pada umat manusia? Orientasi sejarah adalah manusia. Sejarah hadir untuk manusia bukan manusia untuk sejarah. Namun, sejarah juga bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ia adalah suatu konstruk nilai sebuah sistem tertentu. Apa yang bisa diberikan sejarah pada manusia zaman sekarang, yang paling menarik, adalah sejarah kritis. Sejarah kritis merupakan sejarah yang dibangun dalam paradigma berpikir kritis. Sejarah yang dibangun diatas fondasi nilai-nilai kritis.


IV

Agama. Pilihan sang profesor pada paradigma ‘seharusnya’ berpikir kritis juga tampak dalam bagaimana cara pandang manusia terhadap agama. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tulisan beliau dalam tema Dialog Antar Agama. Seperti tanpa kecemasan terhadap apapun, beliau membuka ruang dialog yang begitu lebar dengan para pemeluk agama lain. Ketidakcemasan, ketidakkhawatiran, dan keberanian dalam melakukan dialog tersebut, menurut penulis, adalah lahir dari paradigma kritis yang beliau terapkan. Dialog dengan ‘liyan’ diadakan disamping dalam rangka mencari kebenaran, juga dalam rangka mengkritisi kemungkinan kelemahan-kelemahan diri sendiri khususnya, dan umat Islam pada umumnya.

Berpikir kritis selalu mengandaikan yang ideal. Dalam agama, posisi ideal yang hendak dituju beliau dengan paradigma kritisnya adalah Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Di dalam Umat Beragama: Apa Yang Dicemaskan? dalam menanggapi perseturuan umat beragama beliau menyatakan:

“Masing-masing pemeluk beranggapan bahwa misi agama adalah memperbesar jumlah umatnya, padahal yang lebih penting bagi umat manusia adalah penyebarluasan kesejahteraan, damai ataupun ‘rahmatan lil’alamin’”. (halaman 216)

Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh manusia di semua penjuru alam raya ini adalah ideal yang dituju. Jadi, segala yang menghambat tercapainya ideal tersebut harus dikritisi. Apakah penghambat itu datang dari dirinya sendiri (Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai person) atau dari luar dirinya. Jika melihat perkembangan agama Islam akhir-akhir ini, paradigma kritis justru ingin mengajak menukik lebih dalam melihat ke dalam diri agama sendiri. Apakah kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri Islam sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan yang ideal tersebut, yaitu Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan demikian posisi manusia menghadapi agama juga tidak terjatuh pada relativisme semata. Pengetahuannya tentang agamanya sendiri (dalam hal ini Islam) harus selalu dikritisi. Oleh karenanya, ia tidak boleh exclusive (tertutup) melainkan harus inclusive (terbuka). Ia selalu merasa dirinya belum selesai. Maka dia tidak pernah berhenti membaca, berpikir, bertanya, berdiskusi, selalu mencari informasi, mencari sebuah kebenaran. Sebab, dia merasa tidak akan pernah mampu mencapai kebenaran yang paling mutlak tersebut.
Keterangan diatas juga meghubungkan pada pertanyaan tentang apakah yang bisa dilakukan agama buat manusia? Dalam menanggapi perbedaan aliran-aliran dalam agama, sang profesor menyatakan dalam 'Bisakah Agama Salah':

“Agama itu makin membesar dan penuh dengan interpretasi pemeluknya. Persis seperti bola salju yang makin membesar ketika mnggelinding dari puncak bukit sampai ke kaki bukit. Agama makin jauh dari otentik. ….Lalu mana diantara aliran-aliran itu yang bisa disebut ‘benar’ dan mana yang sudah ‘salah’? (halaman 242-243)

Pernyataan di atas menunjukkan akan keterbatasan penafsiran terhadap agama. Manakah agama yang paling benar. Manakah aliran yang paling benar. Konsentrasi agama pada zaman sekarang mestinya tidak pada ingin diakuinya secara jumawa bahwa dialah yang paling benar. Sebab, alih-alih mendapat pengikut justru hal tersebut dapat memicu perselisihan antar umat dan antar aliran. Pada akhirnya justru hal tersebut malah menjauhkan dari tujuan ideal agama sebagai rahmatan lila’alamin.

Menurut penulis, sang profesor tidak banyak menulis tentang apa yang harus dilakukan agama untuk manusia. Beliau tidak banyak me’lagu’kannya. Namun, beliau telah me’laku’kan ideal itu dalam tulisan yang hampir selalu bernada rendah dan tidak bombastis. Manifestasi agama kritis dengan demikian bukanlah merupakan etika kesucian, etika keagungan, dan etika kebesaran. Etika kesucian, keagungan, kebesaran dan segala yang bernada tinggi hanya akan menimbulkan keangkuhan, sombong, dan jumawa. Dia seakan lupa bahwa dia hanyalah manusia biasa yang bisa sesat. Bagi penganut etika ini patut diajukan pertanyaan; jika merasa diri sudah paling suci dan paling benar lalu apakah guna beragama?

Agama berparadigma kritis, sebaliknya, termanifestasikan dalam etika kedaifan, etika keterbatasan, etika kerendahhatian. Sebab yang mutlak benar tidak akan pernah dapat dicapai, maka tidak ada alasan untuk merasa paling benar. Etika kedaifan agama justru berangkat dari kesadaran untuk terus merasa berdosa, untuk terus merasa kotor, untuk terus merasa sesat. Sebab, yang mutlak benar itu masih begitu jauh maka dari situlah lahirnya vitalitas dalam beragama yang luar biasa. Dengan pengakuan akan keterbatasan diri sendiri, kita dapat dengan mudah mengenali kelemahan dan kelebihan diri sendiri. Bukankah dalam surat Al-Fatikhah itu dalam setiap sholat kita, ayat Ihdinasshirootolmustaqiim yang berarti ‘tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus’, mengingatkan bahwa kita selalu masih berada di jalan yang belum lurus (sesat), atau minimal belum lurus-lurus amat?

Dari manakah kira-kira sang profesor mendapatkan 'ajaran' madzhab kritisnya ini? Penulis kira inspirasi itu bukanlah datang dari sesuatu yang jauh semisal filsafat barat, dari yang klasik hingga yang paling kontemporer. Juga bukan dari madzhab-madzhab pemikiran semisal madzhab Frankfurt, Austria, Amerika dan lain sebagainya. Penulis kira inspirasi kritis itu berasal dari sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan beliau, yaitu Al Quran, kitab suci agama Islam yang beliau yakini, yang selalu memerintahkan manusia untuk terus membaca, untuk terus berpikir, untuk terus setia merawat pertanyaan.


*Tulisan ini hanyalah usaha kecil mencari inti sari pemikiran Prof. Abu Suud yang tertuang dalam buku beliau, Berapung-apung dalam Keberuntungan.

*Penulis adalah Pegiat Komunitas Embun Pagi Semarang, Alumni Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Jumat, Juli 25, 2008

MI'RAJ DALAM TINJAUAN KOSMOLOGI MISTISISME

By : Mularto

Mi'raj merupakan aspek kebudayaan Islam populer yang telah mendarah daging, dan menjadi tema kajian yang tak pernah berakhir atau objek alusi dalam kebudayaan Islam. Sejak awal, riwayat-riwayat tentang mikraj memiliki kedudukan khas dalam spiritual Islam. Naiknya Muhammad menjadi wacana yang tidak berkesudahan.
Peristiwa itu disinggung terus-menerus melalui alusi-alusi yang lembut, disertai pembahasan tentang wahyu, penglihatan kepada Allah, dan penglihatan seseorang yang tengah melakukan kontemplasi.

Mikraj tidak digambarkan dalam satu wacana yang khusus dalam Al-quran. Bukti tekstual Alquran yang utama untuk konsep ini ada;ah ayat pertama dari Surah Al-isra (Q.S. 17:1)
Mahasuci Dia yang membawa hamba-Nya dalam perjalanan di malam hari dari tempat sholat yang disucikan (masjid al-haram) ketempat shalat yang paling jauh (masjid al-aqsha) yang telah Kami berkahi dengan berkah Kami, sehingga Kami bisa tunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kami. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ayat ini digabungkan dengan pemaparan tentang visi kenabian Muhammad (Q.S. 53:1-8), dan elemen-elemen lain dari peristiwa pandangan itu, seperti pohon lot (sidrah), yang kemudian dipadukan kedalam topografi Mikraj. Ayat ini juga dihubungkan denagn ayat Alquran lain yang terkenal, yakni tentang, "dibukanya dada Nabi Muhammad". Surah Alquran yang pendek berikut menjadi bukti tekstual tentang pengambilan hati Nabi Muhammad dan penyusiannya dengan air Zamzam.

Bukankah telah Kami buka dadamu
Dan kami telah menghilangkan bebanmu darimu
Yang telah memberatkan punggungmu
Bukankah kami telah meninggikan sebutan namamu
Dalam setiap kesulitan ada kemudahan
Sesungguhnya dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan
Ketika kamu bebas tetaplah bersiap
Dan kepada Tuhanmu, hendaklah kamu berharap
(Al-Insyirah, Surah ke-94)

Gambaran tentang Mikraj tampak semakin meluas seiring dengan merasuknya tradisi Islam kedalam berbagai wilayah yang berbeda, ditambah beberapa penjelasan yang lebih luas tentang tingkatan-tingkatan neraka dan gambaran fisik keadaan tempat para Nabi di langit yang tujuh. Dalam beberapa kumpulan hadits paling awal, elemen-elemen penting Alquran (pohon lot [sidrah] dibatas yang jauh [al-muntaha]), sidrah-al-muntaha, pewahyuan Nabi Muhammad, dan pembukaan dada Nabi Muhammad ditemukan dalam tingkatan yang beragam dari naiknya Nabi Muhanmad melewati tujuh langit.

Riwayat-riwayat tentang mikraj menghubungkan tema-tema Alquran itu dengan tema-temapenting lain yang tidak disebutkan dalam Alquran. Nabi dibawa ke Jerussalem, Muhammad memasuki rumah kesucian (bait al-maqdis). Dari sana ia naik melewati tujuh langit, melihat rumah kehidupan (bait al-ma'mur) atau sebuah analogi surgawi.

Tidak diketahui dengan pasti apakah sebelum atau sesudah melihat sidrah (tergantung riwayatnya), Nabi Muhammad datang kehadapan Tuhan dan diperintahkan untuk memerintah umatnya mendirikan shalat yang diwajibkan limapuluh kali sehari. Lalu atas anjuran Nabi Musa, ia terlibat dalam satu rangkaian negosiasi, dan akhirnya ia mendapatkan perintah shalat lima kali dalam sehari yang pahalanya sama dengan shalat limapuluh kali dalam satu hari.

Hadits-hadits ini menyuguhkan beberapa variasi menarik dalam tema yang luas ini. Dalam salah satu hadis dicertakan bahwa Nabi naik melewati langit, langsung setelah dadanya dibuka;dan dalam hadits itu, perjalanan malamnya menuju Masjud al-aqsha dan Bait-almuqqaddas tidak disebutkan. Pada shahih Muslim akhir riwayatnya berbeda denag penglihatan sidrah setelah melakukan negosiasi tentang jumlah kewajiban shalat.

Meskipun begitu, versi yang lain dalam shahih Muslim dimulai dengan pembukaan dada Muhammad, langsung berpindah pada peristiwa Mikraj (tanpa menceritakan perjalanan menuju Jerussalem), dan menempatkan bagian kisah tentang pengujian dengan anggur dan susu setelah peristiwa Mikraj.

Berbeda pula dalam sirah karya Ibn Ishaq yang dikisahkan kembali oleh Ibn Hisyam. Cerita tentang Mikraj diceritakan lebih mendetail ketimbang yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim. Lebih jauh, masalah-masalah teologis yang terungkap didalamnya turut membedakan kedua riwayat ini. Ibn Hisyam memunculkan perdebatan-perdebatan awal sekitar validitas dan kemungkinan peristiwa perjalanan dimalam hari itu. Ia juga mengungkapkan pandangan Nabi Muhammad saw., Aisyah bahwa perjalanan dimalam hari dan Mikraj merupakan peristiwa yang murni bersifat spiritual. Sambil bersumpah, Aisyah menyatakan bahwa ia bersama Nabi selama waktu itu dan bahwa tubuhnya tidak berpindah sama sekali.

Wallahu a'lam bishawab.

http://mulartosmart.blogspot.com

Kamis, Juli 24, 2008

Korupsi dan Kemacetan Negara

Strategi progresif untuk perangi korupsi nampaknya telah benyak mengalami kemajuan di seluruh Nusantara. Tak ketinggalan Jawa Tengah dua kasus yang telah diputuskan atas nama terdakwa Hendy Boedoro Bupati Kendal dan Bambang Guritno Bupati Semarang. Tak menutup kemungkinan koruptor kerah putih ini bertambah. Benarkah hal ini akan menciptakan kemacetan Negara ?.


Maraknya pejabat Negara yang terperangkap skandal korupsi di sisi lain bisa menyebabkan kemacetan Negara. Solusi otomatis, bagi institusi yang terjangkit koruptor,urusan pemerintahan bisa dilimpahkan ke wakil pemerintahan. Seperti halnya, perkara korupsi Hendy Boedoro Bupati Kendal yang diputuskan oleh Mahkamah Agung memvonis tujuh tahun dan Bambang Guritno Bupati Semarang oleh Pengadilan Negeri Semarang dihukum dua tahun (Kompas/ 21/07). Sementara ini, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh mereka bisa terisi oleh wakilnya.

Namun dari hal inilah, ada persoalan terkait dengan kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Siapa yang paling layak menggantikan kepala daerah jika kepala daerah sementara ini berhalangan?. Ataupun bila pelaku koruptor sebagai pejabat di lingkungan struktural dan fungsional pemerintahan. Kekosongan jabatan akan menyisakan pelayanan publik yang terbengkalai dan harus menunggu lama proses penggantian atau penunjukkan pejabat sementara.

Sulit memang bila korupsi yang telah merasuk jauh ke dalam sistem, pada akhirnya akan membuat banyak orang yang terlibat, menjadikannya sebagai kejahatan ini sesuatu yang biasa. Seolah-olah kejahatan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu dituntut, lalu semua harus ikut bertanggung jawab.

Praktek ini layim kita lihat, bahwa tertangkap tangannya satu pelaku korupsi, nantinya akan mengakibatkan penyeretan pelaku-pelaku yang diyakini sebagai sindikat yang terlibat dalam pengadaan tindak kejahatan tersebut. Karenanya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan (habitus), maka di dalam benak pelaku korupsi hanya ada pretensi bahwa semua institusi korup, semua pejabat doyan suap, dan semua elemen bermain dalam menyuburkan kejahatan terorganisir ini.

Alih-alih pemberantasan korupsi tebang pilih mengingatkan kita bahwa upaya ini semacam skenario politik. Arah pemberantasan korupsi mudah ditebak, menimpa pejabat korup yang kurang memiliki kekuatan dan pengaruh. Pejabat-pejabat yang dominan terlihat kebal oleh hukum.

Seandainya pejabat yang terakhir ini ketahuan korupsi, besar kemungkinan lepas dari jerat hukum, atau untuk mengobati kemarahan publik, hanya di hukum ringan. Haryatmoko (2008) mengatakan hal ini “bisa”, karena aparat hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberikan alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.

Apatisme atas pemberantasan korupsi sebagaimana persoalan di atas ada baiknya di ikuti dengan perbaikan citra lembaga Negara di mata publik. Laju percepatan pemberantasan korupsi hendaknya tidak melupakan “pelayanan publik” yang diberikan Negara kepada masyarakat. Tapi demikian bukannya pemberantasan korupsi ditinggalkan. Hanya saja pemerantasan korupsi dibarengi dengan optimalisasi pelayanan publik yang tak boleh terlupakan. Sehingga kewibawaan dan citra Negara bisa kembali bersemai.

Dengan upaya progresif yang dilakukan secara cepat dan tegas oleh pemangku kebijakan, mengisikan pejabat-pejabat yang jujur untuk mengantisipasi kekosongan jabatan yang ditimbulkan oleh pejabat korup. Sehingga kemacetan penyelenggaraan pemerintahan tak akan mungkin terjadi, dan akhirnya pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan sebagaimana mestinya.


Menjadi Komoditas

Korupsi telah menjadi satu kebiasaan. Kebiasaan akan membungkam rasa bersalah, sehingga pelaku korupsi cukup menikmati hasil dari kejahatannya dengan perasaan yang biasa dan wajar. Dalam banyak kasus, proses hukum untuk mengungkapkan pelaku korupsi justru berbalik menjadi sarana rehabilitasi dan pembersihan nama. Semua prosedur hukum yang dianggap adil memang sudah ditempuh, tapi hasilnya jauh dari rasa keadilan. Korupsi tetap saja tumbuh subur di seluruh bidang, mengakibatkan sikap dan perbuatan korup menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi adalah kebiasaan.

Anthony Giddens (1993), dalam bukunya New Rules of Sosiological Method mengkonstatasikan bahwa kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan individu-individu untuk bertindak. Dalam kerangka ini, bisa dilihat sebuah skema bahwa kebiasaan korupsi membentuk sebuah pola.

Pola korupsi antara lain, sebagai komoditas yang tidak hanya dimiliki oleh pejabat saja, namun juga oleh elemen-elemen masyarakat. Korupsi dipergunakan sebuah isu dan wacana yang dapat dibuat sebagai mata pencaharian. Isu dan wacana korupsi menjadi black campaign bagi pejabat yang saling beradu kekuatan untuk memperebutkan jabatan strategis tertentu.

Isu dan wacana korupsi juga bisa dipergunakan oknum lembaga non pemerintahan untuk memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang/ barang, atau bentuk lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat lain, sebagai imbalan dari seseorang pengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Menyelami phenomologi ramainya lembaga non pemerintah baru-baru ini yang bergerak di bidang korupsi merupakan hal yang menarik tersendiri. Pada umumnya, kelompok penekan ini banyak bergerak di ranah pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan. Namun eksistensinya memiliki relasi dengan pelaku pengadaan barang dan jasa, serta hampir bisa dikatakan bahwa langkah-langkahnya bisa dipetakan menguntungkan kepentingan tertentu.

Stigmatisasi terhadap lembaga non pemerintahan yang bergerak di seputar isu korupsi ini memang muncul karena banyaknya afiliasi, kedekatan dan tujuan praktis. Sehingga menjadi penghambat bagi penyelenggaraan Negara khususnya pengadaan barang dan jasa yang profesional, fair, dan tranparan.

Sudah selayaknya reorientasi bagi kelompok penekan semacam ini perlu dilakukan. Walaupun sebenarnya masih banyak lembaga yang setia menjaga reputasi dan kredibilitasnya dan tak terjebak di lingkup manfaat praktis, meski jumlahnya sedikit.


Awaludin Marwan, SH

Alumni Fakultas Hukum UNNES

Rabu, Juli 23, 2008

Mengembalikan Citra Lembaga Kejaksaan

Oleh: Miftahul A’la

Gonjang ganjing di tubuh internal lembaga kejaksaan kembali mencuat dan menjadi perbincangan yang menarik oleh khalayak umum. Berbagai macam kebobrokan yang selama ini tabu sedikit demi sedikit mulai terlihat dengan jelas di mata publik, setelah beberapa oknum di dalam lembaga kejaksaan tersebut terseret dalam skandal kasus suap maupun tindak korupsi. Tragedi semcam ini tentunya merupakan sebuah ironi dalam lembaga kejaksaan itu sendiri. Lembaga yang seharusnya menjadi pelopor utama dalam pemberantasan kasus KKN dan mafia peradilan ini justru semakin mengabaikan tugas yang seharusnya diemban. Lembaga yang seharusnya menjadi garda depan dalam menangani masalah korupsi justru menjadi garda depan pula, namun dalam ranah melakukan tindakan yang melawan hukum seperti suap dan korupsi.

Keterlibatan langsung kejaksaan agung yang berperan aktif sebagai “pemain” dalam mafia peradilan dan kasus korupsi ini, tentunya akan semakin memerosotkan serta mencoreng citra kejaksaan baik di mata masyarakat maupun pemerintahan. Dapat dibayangkan, bagaimana kebobrokan yang terjadi dalam birokrasi pemerintah Indonesia, jika lembaga tinggi setingkat Kejakgung terbukti menjadi bagian praktik mafia peradilan, lalu bagaimana kondisi lembaga kejaksaan yang lebih rendah, seperti Kejati dan Kejari. Pasti dapat dipastikan kinerjanya tidak akan jauh berbeda dengan kinerja kejagung. Institusi kejaksaan saat ini mengalami krisis akan kepercayaan masyarakat Indonesia. Ibarat sebuah kapal di tengah laut, posisinya lembaga ini dapat dikatakan hampir tenggelam, hanya tinggal menunggu waktu.

Terkuaknya skandal kasus korupsi yang dilakukan oleh jaksa Urip Tri Gunawan semakin mempertegas kepada dunia publik, bahwa memang pada kenyataanya kejaksaan masih terlalu masif dan dengan seenaknya mengabaikan instruksi dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menciptakan tataran pemerintahan Indonesia yang harus bersih sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintah.

Perombakan Total
Memang jika diruntut lebih jauh, praktik korupsi yang terjadi di tubuh internal kejaksaan merupakan persoalan krusial yang tidak pernah kunjung usai. Mengingat dalam sejarah perjalanannya, perilaku korupsi di kejaksaan bukanlah merupakan hal yang baru, bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mahfum. Bahwa dalam tubuh internal kejaksaan sering terjadi prilaku yang justru menyimpang dengan hukum yang berlaku. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kejaksaan, memperkuat kebenaran adanya korupsi yang dilakukan oleh oknum di lingkungan lembaga itu. Dan modus operansi yang dilakukan juga bermacam-macam.

Pergantian kepemimpinan dalam lembaga kejaksaan terbukti tidak serta merta mampu untuk merubah keadaan. Meskipun pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menganti ketua umumnya, namun kenyataanya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Nakhoda baru yang terpilih dalam tubuh jaksa agung yang seharusnya mengembalikan citranya kecemelang lembaga ini, ternyata kinerjanya tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Ada banyak indikasi yang tetap saja menunjukkan indikasi masih buruknya kinerja kejaksaan. Seberapa banyak dana yang berhasil diselamatkan untuk negara belum signifikan, tak transparan, dan akuntabilitasnya semakin hari semakin menurun. Kinerja lembaga kejaksaan masih tetap saja harus berurusan juga hukum Indonesia akibat tersandung di lubang yang sama.

Dalam keadaan tragis yang semacam ini, jadi yang harus dilakukan bukan hanya sebatas pergantian oknum mapun pemimpin yang diperlukan. Yang harus dilakukan adalah dengan segera merombak atau jika perlu harus dengan segera dilakukan sebuah “reformasi” total terkait sistem maupun oknum secara keseluruhan yang ada dalam internal lembaga kejaksaan tersebut. Hal ini harus dengan segera dilakukan, sebab sebanyak apapun pergantian kepemimpinan yang dilakukan oleh presiden, tidak akan pernah merubah keadaan jika hanya sebatas merubah tanpa melakukan perombakan total dalam tubuh kejaksaan. Sebab sistem yang ada sudah bobrok dan menjadi komoditas yang menguntungkan, dan harus diperbaharui dengan segera.

Peran Strategis Presiden
Lembaga kejaksaan ini harus segera dibersihkan dari berbagai praktik yang memperjelek citranya dalam dunia publik. Selain itu, salah satu jalan keluar alternatif untuk membersihkan mafia kejaksaan yang akut itu adalah Presiden SBY sendiri harus dengan legowo untuk turun tangan dalam mengatasi persoalan pekik tersebut. Sebab sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin pemberantasan korupsi di Indonesia, SBY mempunyai peranan yang sangat strategis dan dapat mengambil tindakan luar biasa, yaitu merombak jajaran kejaksaan, membentuk tim khusus kepresidenan untuk mengawal proses reformasi di kejaksaan, memperkuat sistem pengawasan bersama dengan Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK), dan menaikkan remunerasi bagi jaksa.

Tindakan ini sangat penting mengingat kejaksaan merupakan bagian yang paling urgen dari pemerintah. Artinya, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan secara tidak langsung akan berdampak pula pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada institusi pemerintah. Hanya tindakan yang luar biasa dan sikap berani mengambil resiko tinggilah, yang mampu untuk menyelamatkan serta menjaga eksistensi institusi kejaksaan dari keterpurukan yang berkepanjangan. Sehingga mampu mengembalikan pamornya dan membuat institusi ini kembali dicintai oleh masyarakat.

Wajah kejaksaan agung kedepan harus dibangun berdasarkan dengan peningkatan kinerja penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Pemberantasan korupsi yang dilakukan bukan demi memperbaiki citra di depan publik, tetapi benar-benar berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan terhadap semua pelaku tindak pidana tanpa memperhatikan status yang disandangnya, termasuk para koruptor kelas kakap. Sebab bagaimanapun juga kejaksaan sebagai suatu lembaga penuntut umum dan eksekutor dari putusan pengadilan, Kejakgung merupakan ujung tombak sekaligus salah satu pilar yang paling penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain sebagai sandaran keadilan bagi berjuta rakyat Indonesia tersebut, lembaga kejaksaan ini merupakan simbol bagi tegaknya keadilan di negeri ini.


Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta. Hp. 081392627364

Kebijakan Itu Bernama PPA (analisis -of- kebijakan)

Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, Orientasi Kehidupan Kampus (OKKA) secara resmi telah diganti nama menjadi Program Pengenalan Akademik (PPA). Demikian yang terjadi di kampus Unnes. Perjalanan tarik-ulur yang secara eksplisit “terpotret” dalam demonstrasi di depan gedung rektorat Unnes pada Jum’at 20 Juni 2008, yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam forum Lembaga Kemahasiswaan seluruh kampus. Demonstrasi tersebut dimaksudkan sebagai pernyataan sikap atas pemberlakuan PPA. Hal serupa juga terjadi di kampus IAIN Walisongo Semarang beberapa waktu lalu, bahkan sempat dibumbui pembakaran ban dan penyegelan gedung rektorat oleh mahasiswa.


Kesan yang terlihat, (hanya) ada dua kubu dengan kepentingan tak sama yang saling berhadapan ; birokrat kampus dan mahasiswa. Tetapi bukankah sebuah kesan yang terlihat belum tentu sepenuhnya benar? Konsekuensi logisnya, tetap ada peluang berbagai kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi.


Salah satu pihak menganggap bahwa mahasiswa telah diberi banyak kesempatan untuk mengenalkan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru, tetapi kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Nyatanya cerita kekerasan fisik dan penghamburan uang demi penugasan neko-neko masih rajin muncul pada laporan surat kabar, jika awal tahun ajar tiba. Kegiatan orientasi selama ini dipandang tak bisa membantu mewujudkan kehidupan kampus bercorak akademis. Mahasiswa justru “lalai” dengan kehidupan akademik, karena turun ke jalan mengkritisi jalannya pemerintahan negara.


Di pihak lain, ada semacam perasaan “tidak terima” ketika ranah student government di campuri oleh mereka yang bukan student. Orientasi kehidupan kampus yang sedari dulu menjadi tanggung jawab mahasiswa kemudian diambil alih oleh birokrat universitas. Motto kegiatan Lembaga kemahasiswaan yang tadinya “dari, oleh, dan untuk mahasiswa” tidak bisa lagi dilaksanakan. Dan hal ini tak jarang dikaitkan dengan terancamnya harga diri, dan pengakuan eksistensi, yang kata Abraham Maslow merupakan salah satu kebutuhan manusia setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan kasih sayang tercukupi.


Terlepas dari perbenturan kepentingan antara kedua belah pihak, yang juga tidak menutup kemungkinan adanya fenomena “titipan” kepentingan dari pihak lain, PPA ternyata juga berbicara lain. Sebuah tindakan yang (mungkin) berniat baik, tetapi tak bisa lepas dari desakan kepentingan-kepentingan.




PPA; Hanya Efek Kecil


Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, penggantian format orientasi kehidupan kampus menjadi PPA, telah menimbulkan kontroversi. PPA ditujukan untuk mengenalkan kehidupan akademik yang ada di kampus universitas. Dengan demikian kehidupan kampus yang semula diibaratkan sebagai miniatur masyarakat sebagai pembelajaran mahasiswa sebelum menghadapi masyarakat sesungguhnya tidak lagi berlaku. Bukankah kehidupan masyarakat justru syarat dengan persentuhan arus intelektual, politik, ekonomi, juga keragaman budaya? Mencoba menyederhanakan kehidupan pada bidang akademis an sich berarti sebuah pemikiran yang tidak mengacu pada realitas masyarakat.

Format baru berupa pengambil alihan pelaksanaan kegiatan oleh universitas, pada akhirnya memaksa mahasiswa untuk tidak bisa berperan banyak. Mahasiswa tak bisa lagi berkreasi dengan kreativitasnya, melainkan hanya menjadi pelaksana lapangan yang mendapatkan kompensasi berupa “kertas bernilai beli” atas tenaga yang dikeluarkan. Format ini sangat riskan untuk disebut sebagai sebuah kerjasama, karena memang tidak sesuai dengan hakikat kerjasama itu sendiri.


Hal ini cukup sejalan dengan program wakil presiden dan menteri pendidikan Indonesia, bahwa sekolah harus bisa membekali warga Indonesia agar cepat mendapatkan pekerjaan. Tingginya angka pengangguran dan keterpurukan ekonomi mungkin menjadi alasan kuat lahirnya pemikiran semacam ini. Pendidikan diibaratkan sebagai pabrik pencetak robot pekerja; sebuah pemikiran yang instan dan tidak menghargai pentingnya sebuah proses.Sejatinya proses pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan diri, juga nalar (kritis) pelaku pendidikan.



PPA; Siapa yang Salah?


Dalam konteks PPA yang sedemikian kompleks ini, menempatkan kesalahan hanya pada satu pihak justru memperlihatkan kepicikan dalam melihat suatu permasalahan. Karena PPA termasuk kategori organized irresponsibility, meminjam istilah Yasraf Amir Pilliang. Artinya, rumitnya struktur birokrasi terkait sebelum diberlakukannya PPA, menjadikan pelacakan atas siapa yang sebenarnya bersalah juga menjadi rumit.


Tetapi bagaimanapun juga PPA telah diberlakukan. Mencoba untuk tetap khusnuzon, penyebab sesungguhnya mungkin kesalahpahaman dalam memahami makna belajar dan pendidikan. Kesalahan berpikir menyebabkan salah laku, dengan meletakkan peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa) menjadi sekedar obyek yang tidak diberikan kesempatan untuk memilih, apalagi berpikir sebelum memilih. Peserta didik yang juga manusia tidak diberikan kesempatan untuk berupaya menjadi manusia secara utuh.


Barangkali keterkaitan antara PPA dengan kesalahpahaman penafsiran belajar dan pendidikan memang terlalu jauh, apalagi keterkaitannya dengan positivisme yang telah menghegemoni kehidupan, sehingga menjadi sebuah dogma (hal ini juga menjadi sasaran teori kritis Max Horkheimer, Harbert Marcuse, Theodore Adorno, juga Jurgen Habermas yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt). Tetapi yang jelas, terlalu dini memperkenalkan orientasi “kertas bernilai beli” kepada mahasiswa, bukanlah tindakan bijak jika bermaksud mencerdaskan kedidupan bangsa. Karena dengan demikian hanya akan mengurangi bahkan, secara berangsur, menghilangkan nilai ketulusan dan kejujuran sebagai nilai-nilai moral manusia sebagai manusia seutuhnya.


Mungkin hal ini terdengar utopis dalam konteks kekinian, karena memang orientasi manusia untuk menggapai nilai-nilai ideal telah dipangkas menjadi sekedar orientasi temporer. Pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar, apresiasi menjadi konsumsi, kreativitas menjadi produktivitas, seperti yang dikatakan Goenawan Mohammad, adalah fakta.



Ahmad Fahmi Mubarok

Transparansi Subsidi Silang

Oleh : Muhtar Said


Banyaknya iklan atau sepanduk yang bertuliskan “masa depan anak lebih penting”. Sehingga mereka menawarkan jasa perkreditan bagi orang tua yang ingin anaknya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ironisnya demi pendidikan anaknya, para orang tua rela berhutang kepada Bank atau bahkan Rentainir. pertanyaannya apa yang ada dibenak pikiran mereka tentang pentingnya pendidikan?.

Melalui pendidikan masyarakat akan bisa meningkatkan Sumber Daya Manusianya, sehingga bisa melahirkan ide-ide brilian yang nantinya berguna bagi keluarga serta nusa dan bangsa. Tetapi ini belum bisa terlaksana karena terhalang oleh mahalnya pendidikan yang diterapkan oleh institusi yang terkait, dengan berdalih demi meningkatkan kualitas pendidikan.

Saya Sangat setuju, jika Perguruan Tinggi memasang tarif mahal dengan bertujuan untuk meningkatkan fasilitas, yang kemudian bisa berguna bagi mahasiswa itu sendiri. Tapi kita harus melihat realitas bahwa keadaan masyarakat belum sepenuhnya bisa menerima kebijakan tersebut, karena untuk makan sehari-hari mereka-pun masih kesulitan.

Jika kebijakan ini dipaksakan seharusnya juga dipikirkan solusinya. Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah subsidi silang, yaitu orang yang di anggap kaya diharuskan untuk membantu orang yang dibawah garis kemiskinan, biar bisa sama-sama menikmati fasilitas dari pendidikan yang memadahi. Sebenarnya Subsidi silang sudah dari dahulu didengungkan dan sudah dilaksanakan diberbagai institusi perguruan tinggi, akan tetapi belum sesuai dengan harapan. Karena tidak adanya laporan pertanggung jawaban yang jelas dari institusi perguruan tinggi, terkait tentang subsidi silang tersebut.

Seharusnya Perguruan tinggi yang menerapkan subsidi silang membuat rincian dananya sedimikian rupa, sehingga orang yang memberikan subsidi bagi orang miskin bisa melihat secara detail kepada siapa saja harta yang mereka keluarkan saat itu. Jika ini diterapkan saya yakin akan bermunculan dermawan-dermawan baru, karena mereka akan semakin terpacu untuk menyumbangkan sebagian hartanya, demi kemajuan bersama. Karena mereka berfikir harta yang dikeluarkannya tidak sia-sia.


Membaca Ulang Eksistensi Sekolah

Membaca “Jepara Dalam Angka”, yang dibuat melalui hasil kerjasama BAPPEDA dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara, akan didapat informasi bahwa pada tahun 2006 tercatat 590 Sekolah Dasar Negeri, 37 Sekolah Menengah Pertama Negeri, dan 10 Sekolah Menengah Atas Negeri, yang tersebar di seluruh Wilayah Jepara. Masih dari sumber yang sama, tercatat 1.062 orang mengalami putus sekolah. Data yang dikatakan sebagai semua tentang pendidikan ternyata hanya perihal sekolah, bukan pendidikan. Sebagian kalangan yang belum dan tidak berkesempatan mengikuti Masa Orientasi Siswa, Ujian Nasional hingga hingar bingar kelulusan yang sarat kontroversi itu justru tak tersentuh. Berangkat dari hal tersebut, agaknya pembacaan ulang terhadap hakikat belajar, pendidikan, dan hubungannya dengan eksistensi sekolah perlu dilakukan.

Melalui perkataan populer Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”, juga mengingat perdebatan klasik yang melibatkan Plato (yang lebih mengedepankan faktor nativis-dari dalam individu) dan Aristoteles (yang menekankan pada faktor empiris-dari luar individu), dapat dipahami bahwa belajar mempunyai konteks yang sangat luas dan bersifat personal. Bagi sebagian orang, belajar bukan didasarkan pada tujuan yang bersifat material, melainkan nilai-nilai transendental yang bersesuaian dengan janji Tuhan dalam Kitab Suci yang akan meninggikan derajat bagi mereka yang berilmu pengetahuan.

Dalam konteks perdebatan panjang tentang belajar, dengan melepaskan titik tolak sudut pandang masing-masing kubu, terlihat bahwa kesepakatan implisit terletak pada adanya perubahan sebagai hasil dari belajar. Perubahan yang terepresentasi dalam overt behavior (perilaku kasat mata) maupun covert behavior (perilaku tak kasat mata, perubahan mindset misalnya). Dengan demikian, belajar bukan hanya perihal dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang menjadi bahan perdebatan banyak ahli psikologi, tetapi lebih kepada proses belajar itu sendiri yang bersifat kewajiban personal.

Pentingnya belajar juga diungkapkan Al-Ghazali dalam rangkaian Ihya Ulumuddin. Dalam kasus ini, Al-Ghazali terus mencari ketenangan hati-atau dalam bahasa Al-Ghazali adalah Ilmu Yakin-yang bermula dari fiqih, lalu syari’at, mantiq (logika-filsafat), tasawwuf (seringkali dijadikan legitimasi pengharaman filsafat oleh Al-Ghazali). Belajar adalah untuk tidak langsung percaya dan taqlid (mengikuti), mempelajari terlebih dahulu baru kemudian menjustifikasi dan mengambil sikap. Modal awal manusia dalam belajar adalah “otak” dan berbagai seluk beluknya, yang bertemu dengan teks-teks kehidupan. Kedua hal ini tak bisa dianggap terpisah dan berdiri sendiri.

Proses belajar, yang lebih ditujukan untuk pengembangan diri melalui menuntut ilmu adalah suatu kebutuhan. Barangkali inilah yang membuat Aristoteles mendirikan Academia untuk saling berbagi ilmu pengetahuan antar masyarakat. Aristoteles membuka kesempatan lain bagi masyarakat agar bisa melaksanakan kewajibannya, belajar bersama, dan kemudian proses ini disebut pendidikan. Disebut pendidikan karena ada perluasan proses belajar, pendikotomian pendidik dan yang dididik. Lebih jauh lagi, proses pendidikan semacam itu diperluas dan pada akhirnya membentuk formalisasi melalui pelembagaan proses belajar dan pendidikan dalam suatu sekolah. Konsekuensi dari formalisasi memerlukan manajemen dan adminitrasi, sehingga mengharuskan biaya bagi peserta didik.

Konsekuensi lain dari formalisasi pendidikan melahirkan jenjang wajib pendidikan dan pengakuan berupa “kertas ijazah”. Kelanjutan alur ini, dengan didukung campur tangan “pihak berwenang” yang memberikan penghargaan kepada sekolah berupa pensyaratan kepemilikan ijazah dalam lamaran pekerjaan, menempatkan sekolah seolah-olah sebagai kebutuhan dan kewajiban. Sekolah dan ijazah yang tadinya sebagai simbol yang mengacu pada belajar dan pendidikan dibuat berdiri sendiri ; pendewaan terhadap simbol. Dalam terminologi De Saussure, penanda (signifier) telah dilepaskan dari petandanya (signified), sehingga penanda tak lagi mengacu pada apa-apa selain penanda itu sendiri.


Sekolah Sebagai Sumber Kontroversi

Pada kenyataannya juga banyak kontroversi yang lahir sebagai akibat dari sekolah. Bermula dari kekerasan di Masa Orientasi Sekolah, Ospek Mahasiswa, kerancuan landasan ideologis, perdebatan pemenuhan aliran 20% dana APBN, sertifikasi guru, UU guru dan dosen, kapitalisasi pendidikan, dan masih banyak lagi persoalan lainnya. Penyebab mendasar permasalahan tersebut bisa dikatakan adalah ketidaktepatan menafsirkan belajar dan pendidikan dalam bentuk formalisasinya. Hal ini secara tidak langsung membentuk opini masyarakat bahwa sekolah (sebagai lembaga) adalah satu-satunya tempat untuk belajar dan mengais pendidikan. Seolah menahbiskan diri sebagai kewajiban manusia.

Sekolah yang memiliki pakem kurikulum yang timpang, antara pemberdayaan otak kiri dan otak kanan juga turut menyumbang kontroversi dalam masyarakat. Secara garis besar, otak manusia dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan, di mana otak kiri yang “berisi” logika-matematika, dan otak kanan berkaitan dengan estetika. Kedua belahan otak tersebut tentu saja harus diperlakukan seimbang jika ingin melihat perilaku yang seimbang. Melihat kenyataan, penekanan yang dilakukan oleh kurikulum hanyalah pada otak kiri. Mata pelajaran Seni Rupa, Seni Musik, Ketrampilan Tangan, selain diberikan dengan porsi yang demikian sedikit, juga mendapatkan reduksi menjadi satu Mata Pelajaran-Kesenian-saja. Belum melihat dari sisi Teknik Pengajaran menurut Psikologi Belajar Kognitif, Behavioristik, Kompetensi Staf Pengajar, penyediaan fasilitas pendukung, dan Jumlah siswa perkelas, sudah jelas yang terjadi masih jauh dari mendekati proporsi yang semestinya.

Akibat jangka panjang dari susunan kurikulum tersebut, barangkali sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ludwig Wittgeinstein “bahasaku adalah batas duniaku”. Bahasa yang terbentuk melalui pembiasaan kurikulum tentu tidak jauh-jauh dari bahasa yang bersifat kuantitatif. Artinya, apa yang terjadi tidak bisa lepas dari pengaruh proses pendidikan yang sebelumnya dijalani. Bermula dari semasa kanak-kanak, semenjak SD anak dibebani dengan kurikulum yang serba berlebih pada otak kanan mereka. “Bahasa angka” yang dikenalkan melalui pembiasaan dan proses pendidikan akhirnya terinternalisasi dan (lagi-lagi) mendukung pendewaan terhadap angka-angka dalam ijazah. Dan paradigma semacam itu sangat tidak komprehensif karena telah menafikan pertanyaan Abraham Maslow yang pernah diungkapkan, “mengapa sekolah mencurahkan perhatian begitu banyak pada angka-angka, nilai, kredit, dan ijazah, bukannya memusatkan perhatian pada pemahaman?”

Sejatinya, yang menjadi kebutuhan dan kewajiban adalah belajar, bukan sekolah. Jika pada akhirnya sekolah menempati posisi wajib, kesalahan yang jelas terlakukan ; pembalikan titik tolak logika! Menyelesaikan semua permasalahan yang bersumber dari formalisasi proses belajar dan pendidikan, seharusnya melihat dari titik tolak yang paling awal, bukan secara parsial. Maka pantas saja Ivan Illich menyusun buku berjudul “Bebaskan Anak-anak Dari Belenggu Sekolah”.


Ahmad Fahmi Mubarok

Pegiat Komunitas Embun Pagi (komunitasembunpagi.co.cc)

Catatan di Akhir PIMNAS


PIMNAS telah usai. Selayang pandang di akhir pelaksanaan PIMNAS menampakkan sejumlah catatan. Tentang intelektualitas karbitan, syahwat “proyek”-isme versus kreatifitas karya idealis mahasiswa, dan dominasi ilmu eksak.
Rasa-rasanya, PIMNAS memang hanya menciptakan intelektual muda karbitan. Kadar inteletualitas seseorang mahasiswa diukur dengan kemenangannya di arena perlombaan yang hanya berproses selama se-pekan. Padahal, intelektualitas selayaknya tidak di nilai oleh proses yang berlangsung instan, melainkan dibutuhkan waktu berproses yang lama. Lamanya seseorang inteletual merupakan syarat sah akan konsistensi pemikirannya terhadap kebenaran yang ditandai dengan karya-karyanya yang banyak di akui oleh khalayak umum.
Dengan demikian, kemenangan sejumah peserta PIMNAS bukanlah suatu kebanggaan. Sebab, upaya ilmiahnya hanya sampai di titik itu. Inteletualitas dari kemenangan itu diperoleh dengan proses yang instan. Dan tinggal bagaimana si-pemenang kemudian mampu mempertahankan karya intelektualnya itu di dalam arus ilmu pengetahuan selepas dari PIMNAS. Walaupun pada kenyataannya jarang sekali kita temukan kader PIMNAS yang masih survive di belantara perkembangan ilmu pengetahuan.
Kader PIMNAS juga nampaknya akan mengalami kesulitan pada tingkatan follow up, jika tidak dibarengi dengan inisiatif sendiri. Karya-karya peserta tak ubahnya bagaikan sederetan pameran tanpa makna yang kemudian di nilai oleh Negara. Negara sepertinya tidak menyediakan sarana pemanfaatan karya-karya ini sebagai bahan-bahan pengembangan sains kearah yang lebih serius. Umpamanya saja untuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right) yang tidak di usahakan untuk temuan-temuan yang dihasilkan oleh peserta PIMNAS.
Padahal perlindungan di ranah penemuan teknologi penting untuk dilindungi dengan hak paten (patent right). Sedangkan di bidang penelitian diperlukan hak cipta (copy right). Perlindungan ini tak hanya penting bagi pencipta yang tak ingin berhadapan dengan aksi pembajakkan atau penjiplakkan, tapi juga menjaga orisinalitas dan menjaga hak moral dari si pencipta atas suatu barang.
Baru saja di sudut atensi perlindungan hukum terhadap karya-karya peserta PIMNAS tidak banyak diperhatikan. Apalagi soal yang lain, misalnya mengembangkan karya sampai pada kemanfaatannya secara ekonomis maupun pemberdayaan berlanjut guna meningkatkan mutu dan kualitas karya.
Persoalan ini terkadang yang mendorong peserta PIMNAS menjatuhkan pilihannya kepada spekulan perusahaan yang lebih menjanjikan untuk mengembangkan karya-karyanya. Dari sinilah timbul kerawanan eksploitasi karya intelektualitas anak bangsa oleh sejumlah perusahaan multinasional. Beberapa karya yang kebetulan bernilai, ternyata sudah di tunggu-tunggu oleh pelaku bisnis komersil.
Kembali ke Fungsi
PIMNAS memang sudah saatnya dikembalikan ke fungsi asalnya. Sesungguhnya karya-karya yang dipertarungkan hanya memiliki dua tujuan. Yakni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencetak kader intelektual mahasiswa. Sedikit ketimpangan terlihat di banyak sudut tentang kejernihan tujuan ideal ini. Pertama, pengembangan ilmu pengetahuan tak bisa berjalan dengan maksimal. Karena eksistensi Progran Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) dan Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang menjadi ruh pengembangan ilmu pengetahuan dihegemoni oleh ilmu eksak.
Ilmu sosial tak banyak mendapatkan ruang perhatian. Sehingga pengembangan ilmu pengetahuan secara dini yang dimulai dari mahasiswa tidak berjalan secara balances. Bagaimana kita menerapkan teknologi dan penemuan yang berasal dari ilmu eksak ini ke dalam kehidupan sosialitas manusia jika kita tidak mempelajari ilmu sosial.
Program-program inovatif kebanyakkan yang lolos sampai ke penghujung perlombaan umumnya disibukkan dengan tematik tentang seputar teknik, biologi, fisika, kimia, dan sejenisnya. Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah ada yang membahas tentang dampak sosial sebuah teknologi, studi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga (covenant international on economic, social, and culture right) atas suatu proyek teknologis.
Sosial dalam terminologi yang lebih luas dapat kita pakai konsepsi yang pernah di sampaikan oleh Talcot Parsons dalam The Structure of Social Actions maupun Toward a General Theory of Action. Bahwa masyarakat memiliki “sikap alamiah” yang mengandung kemampuan untuk mengolah objek tertentu, memberikan umpan balik senang atau tidak senang, siap atau tidak siap, dan yakin atau tidak yakin. Beranjak dari konsepsi ini, maka tak heran apabila “objek teknologis” dengan mudah di tolak oleh masyarakat. Rencana pembangunan yang berdimensi teknologis, PLTN, PLTU, dan sejenisnya di tolak oleh masyarakat karena tidak menghiraukan aspek sosial masyarakat.
Kedua, persoalan intelektualitas semu. PIMNAS tidak mensyaratkan inovasi dan karya murni mahasiswa. Sehingga dalam kenyataannya, banyak diantara mereka peserta PIMNAS yang sekadar memodifikasi bahkan menjiplak habis dari karya dosen pembimbing. Beruntunglah perguruan tinggi yang banyak mendapatkan hibah penelitian, karena hasilnya bisa dipakai juga oleh tim-tim mahasiswa yang berlomba di PIMNAS. Disini, ide asli mahasiswa dipertanyakan.
Awaludin Marwan
Pegiat Diskusi Komunitas Embun Pagi Semarang

Mahasiswa Bermadzhab Buku dan Cinta

Oleh : Muhtar Said*

Yogyakarta dan Jakarta merupakan dua kota besar yang telah berdiri sederetan kampus-kampus terkenal dan melahirkan tokoh intlektual yang disegani di dunia ilmiah. Lalu yang menjadi pertanyaannya bagaimana dengan Semarang? yang juga mempunyai perguruan tinggi seperti Unnes. Terlalu bermimpi untuk bisa mensejajarkan mahasiswa unnes bisa seperti mahasiswa yang ada di dua kota besar tersebut, jika tidak ada perbaikan dalam diri mahasiswa Unnes itu sendiri , yang dimulai dari detik ini.


Mahasiswa Unnes masih suka berpikran praktis. Mereka kebanyakan hanya berpedoman pada mazdhab buku dan Cinta, dimana pagi mereka kuliah dengan membawa buku kemudian malamnya mereka bercinta. Dan yang paling anehnya adalah mereka ingin cepat lulus dan kemudian menjadi pegawai negeri. Sungguh sesuatu yang membutuhkan keberuntungan tingkat tinggi. jika pemikiran seperti ini masih digunakan, Penulis jadi khawatir dengan Negara ini, karena ia teringan saat diskusi dengan komunitas Embun Pagi yaitu“ banyak orang berlomba-lomba untuk hidup dibiayai Negara tapi mereka lupa bahwa Negara bisa hidup karena dibiayai mereka”. Jika semua orang ingin dibiayai Negara dipastikan Negara akan bangkrut.

Bukan maksud untuk mendiskriminasikan mahasiswa yang ingin menjadi pegawai negeri tapi alangkah mulyanya cita-cita tersebut jika dilandasi dengan wawasan intelektualias yang tinggi sehingga nantinya tidak gampang goyah jika ditempa suatu permasalahan. Untuk membangun pondasi tersebut tidak bisa hanya dengan mengandalkan perkuliahan formal saja tetapi juga didukung dengan lingkaran diskusi dan kemudian membuat karya berupa tulisan. Metode seperti inilah yang diterapkan mahasiswa di Yogja dan Jakarta, sehingga memunculkan cendekiawan-cendekiawan yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Mahasiswa Jakarta untuk mencerdaskan dirinya sendiri, mereka berlomba-lomba untuk membentuk lingkaran diskusi yang hanya terdiri beberapa mahasiswa, tapi itu dilaksanakan secara rutin, misalnya seminggu sekali. Sistem ini sagat efektif sehingga melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Cak Nur, Ulil dan masih banyak lainnya.

Jika di Unnes Madzhab buku dan cinta masih dipertahankan, penulis yakin akan bermunculan sarjana pengangguran lagi dan akhinya menambah beban pemerintah untuk membiayai hidup mereka. karena para lulusan tidak mempunyai bekal kretivitas untuk mengisi waktu pasca lulusan, misalnya menulis buku dan menulis artikael yang nantinya akan memberi keuntungan pada diri kita sendiri berupa kecerdasan dan profit. Dan hal seperti ini bisa dijadikan sebuah profesi sehinggga hidupnya tidak tergantung pada instansi negeri atau swasta. Kegiatan seperti itu secara tidak langsung juga bisa membantu Negara ini, yang masih mengalami krisis Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara menyumbangkan ide-ide baru lewan dunia tulisan atau Dialektika. Teringatkah kalingan tentang apa yang dikatakan Kenedy(Mantan Presiden USA) “ Jangan katakan apa yang Negara berikan kepadamu tapi katakanlah apa yang kamu berikan kepada negaramu”.

Penulis bukannya tidak memperbolehan mahasiswa untuk bercinta, tapi seharusnya cinta dijadikan pelecut semangat untuk selalu berkarya. Karena karya akan menambah kecerdasan seseorang. Jika kecerdasan sudah dalam genggama, secara otomatis harta dan cinta akan mencarinya, bukan dia yang mencari.


*Penulis adalah mahasiswa hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Pegiat intelektualisme


Selasa, Juli 22, 2008

Pimnas, Disorientasi Intelektualisme

Oleh Edi Subkhan*

Ironis, namun hal ini sebagaimana yang penulis duga terjadi pada banyak ajang gelaran nasional yang melibatkan banyak pihak dengan dana besar dan –dapat dikatakan-cukup prestisius, yakni terjadinya kecurangan, manipulasi, untuk dua tujuan, prestise dan materi. Hal yang sama terjadi di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXI di Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pekan ini.

Disinyalir sebesar Rp. 131 juta berupa biaya akomodasi yang mestinya menjadi hak mahasiswa akan dimanipulasi untuk ambil untung dari panitia, namun upaya itu gagal karena kecurigaan beberapa mahasiswa yang diminta menandatangani bukti setoran itu (Media Indonesia, 20/7/08). Hal ini setidaknya menandakan buruknya mentalitas oknum panitia, bukan tidak mungkin manipulasi dan kecurangan juga terjadi para ranah yang lain dari Pimnas, yakni sistem penilaian, penjurian. Lebih jauh lagi adalah kualitas intelektual para penyelenggara, komitmen pada intelektualitas, bukan sekadar prestise dan glamor intelektualitas borjuis.

Walaupun ajang Pimnas selama ini masih belum mendapat liputan yang memadai dari media massa, dan jelas kalah jauh dari glamor kontes-kontesan seperti entrepreneurship di MetroTV beberapa waktu lalu, idol-idolan di RCTI, Indosiar, dan TPI, pun juga tidak sesahih penilaian dari BAN PT dan EPBSD, namun Pimnas cukup prestise bagi kampus-kampus untuk mencitrakan dirinya “berkualitas”. Jika ditilik dari kajian budaya (cultural studies), maka dalam belitan budaya pop yang menganggap penting sebuah pencitraan diri sebagaimana simulakra Baudrillardian (1983), maka citra diri seseorang sangat penting, begitu pula citra diri perguruan tinggi. Citra “berkualitas” yang menjadi obsesi perguruan tinggi menjadi daya tarik utama menarik calon mahasiswa yang juga menganggap penting sebuah citra diri “berkualitas” tersebut.

Calon mahasiswa tentu merasa lebih prestise kuliah di perguruan tinggi yang memiliki citra diri “berkelas”. Citra diri “berkelas” itu diwujudkan dalam bentuk obsesi untuk menjadi research university, word class university, dual degree, twinning program, kelas internasional, dan lainnya. Obsesi tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Sebenarnya dilihat dari liputan media untuk mencitrakan “kualitas” kampus, signifikansi pada keinginan calon mahasiswa untuk studi di kampus yang meraih peringkat atas ajang Pimnas, maka proyek Dikti ini hanya bagian kecil dari obsesi tersebut, dan ternyata gagal total. Pun ketika ditelisik dari komitmen intelektual Pimnas, sampai pada penyelenggaraan yang ke-XXI ini pun seingat penulis belum pernah menghasilkan intelektual-intelektual muda yang mumpuni.

Sebagai puncak dari kompetisi karya tulis mahasiswa, kompetisi mahasiswa berprestasi, program kreativitas mahasiswa (di dalamnya antara lain terdapat penelitian, kewirausahaan, penulisan ilmiah mahasiswa) dan berbagai agenda lainnya, Pimnas sangat seremonial, formalistik, dan lebih berat pada tujuan prestise kampus, ketimbang komitmen intelektual. Karena orientasinya sekadar prestise, bukan intelektual, maka terjadilah berbagai penyimpangan. Ajang ini mulai dari kompetisi di jurusan, fakultas, universitas sampai tingkat nasional (Pimnas) tidak murni dari mahasiswa, tapi lebih banyak campur tangan dari dosen pembimbing agar idenya yang ia berikan pada mahasiswanya dapat menang sampai di Pimnas, dan ini prestise bagi kampusnya.

Yang terjadi adalah menjadikan aktivitas intelektual sebagai kerja-kerja instan belaka, tak ada pembelajaran intelektualitas sebagai sebuah proses yang membutuhkan keuletan, kesungguhan, dan bahkan kejujuran. Mahasiswa diajari oleh sistem kompetisi ala Pimnas ini –dengan orientasi kemenangan prestise- bahwa yang penting adalah menang, karena nanti akan mendapat hadiah uang pembinaan yang cukup besar bagi ukuran mahasiswa dan yang pasti pihak kampus akan berterima kasih, satu contoh bentuk terima kasih tak hanya uang dan piagam saja, tapi juga memudahkan studi dan menjadikannya staf pengajar di kampusnya kelak setelah lulus, ini sudah lazim terjadi. Betapa jelas mahasiswa diajari materialisme, dan ketika matarantai kekolotan ini tak diputus maka dosen jebolan Pimnas di kampus tersebut akan melakukan hal yang sama, dan terjadilah reproduksi intelektualitas instan.

Dalam konsepsi simulakra Baudrillard (1983), maka fenomena Pimnas ini sebenarnya telah menjadikan kampus telah menipu dirinya, yang terjadi adalah: kampus sekadar mencitrakan dirinya berkualitas, tapi tak benar-benar berkualitas; kampus mencitrakan dirinya berkomitmen pada intelektualisme, padahal sejatinya justru menelantarkan intelektualisme dengan menjadikannya bagian dari budaya instan; lebih dari itu Dikti pun mencitrakan dirinya berkomitmen pada pengembangan intelektualitas, padahal terdapat hidden agenda di balik itu semua. Agenda dimaksud adalah delegitimasi kekuatan politik mahasiswa sebagai oposisi permanen pemerintah, hal ini terlihat dari gelontoran dana yang begitu besar dari pemerintah untuk perhelatan Pimnas dan yang serupa, pun pihak kampus telah mempersepsikan bahwa aktivitas intelektual adalah aktivitas ilmiah akademik, lain tidak.

Makanya pembinaan dan seleksi di tingkat kampus pun disemarakkan dan mendapat perhatian serius dari rektorat, termasuk organisasi yang membidangi kegiatan ilmiah dan agenda ilmiah mahasiswa, sedangkan untuk aktivitas mengkritisi kebijakan pemerintah, kajian kritis, ideologis, mendapat tekanan dari rektorat. Dalam analisis teori kritis, yang diinginkan dari Pimnas ini di samping delegitimasi kekuatan politik mahasiswa juga reproduksi kaum intelektual borjuis jebolan Pimnas, yakni intelektual yang memihak penguasa, pro modal, elitis, materialis, tidak kritis dan justru tunduk patuh pada penguasa. Terdapat reduksi dan penyelewengan konsep intelektualisme dalam sistem-sistem kompetisi intelektual ala Pimnas, dengan sendirinya aktivitas ini akan meruntuhkan jantung persemaian intelektualisme, yakni kampus. Ia tak akan lagi menjadi menara api dan center of exellence, tapi menara gading dan –meminjam konsepsi Bourdieu- pabrik reproduksi intelektual borjuis saja.

* Edi Subkhan, penulis

Senin, Juli 21, 2008

KEGAGALAN UNIVERSITAS DI INDONESIA

Oleh: Miftakul Akla

Secara historis jika dilihat lebih jauh, pada hakikatnya universitas pertama kali dikenal dunia pendidikan dengan sebutan akademi. Suatu lembaga pendidikan di dunia yang pertama kali didirikan oleh Plato, seorang filusuf terkenal asal Yunani pada tahun 378 SM yang berada di suatu ladang buah-buahan di Athena. Dan di tempat ini pulalah para mahasiswa belajar berbagai ilmu, mulai ilmu filsafat, matematika, geometrik dan berbagai jenis ilmu yang lain.

Baru sekitar seribu tahun lamanya kemudian, setelah kelahiran akademi Athena ini, lahirlah berbagai lembaga pendidikan di berbagai belahan dunia. Semisal akademi Ghundishapur di Persia, Universitas Al-Ahzar di Kairo yang hingga sampai sekarng menjadi satu lembaga pendidikan yang banyak diminati para akademisi, serta berbagai universitas lainnya yang sebagian masih tetap eksis bertahan dan sebagian sudah hilang dan musnah seiring dengan perkembangan zaman. Menariknya lagi, dizaman dulu di tempat-tempat semacam inilah, menjadi ajang untuk berekspresi dan berkreasi. Antara senior dan yunior bertukar gagasan dan berdiskusi tentang berbagai macam fenomena di dunia tanpa ada perbedaan. Dan dimulai dari forum sekecil inilah, lalu lahirlah tokoh-tokoh intelektual terkemuka yang buah pemikirannya sampai sekarang masih tetap dipakai dikenang oleh masyarakat dunia.

Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada Universitas yang berdiri pada zaman itu, namun tetap saja Indonesia harus berbangga dan sedikit berbesar diri. Sebab bagaimanapun juga Indonesia memiliki berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu Universitas. Dan lewat universitas tersebut pula eksistensi Indonesia dapat diakui oleh dunia internasional. Dengan banyaknya jumlah Universitas di Indonesia, paling tidak akan mencerdaskan masyarakatnya serta membawa perubahan yang signifikan untuk ikut bersaing di era globalisasi seperti sekarang. Karena diakui maupun tidak, tujuan awal didirikannya universitas untuk membangun serta mengembangkan pendidikan yang ada dalam suatu bangsa-negara.

Namun sayangnya harapan masyarakat Indonesia untuk menuju perubahan belum dapat berjalan secara optimal. Ternyata banyaknya jumlah universitas di Indonesia belum mampu untuk mencetak kader-kader muda yang mampu untuk membawa perubahan ke arah yang diinginkan. Universitas yang seharusnya mampu menggodok serta membekali anak didiknya dengan berbagai macam wacana baru dan life skill yang memadai belum dapat dioptimalkan. Hal hasil, keberadaan universitas di Indonesia justru menjadi bumerang yang menghambat keberhasilan masa depan.

Minim Intelektualitas
Jika berbicara mengenai mutu dan kualitas masalah pendidikan di Indonesia, pasti ingatan kita akan langsung tertuju pada kota DI Yogyakarta. Karena Yogyakartalah yang merupakan ikon terbesar di Indonesia dalam masalah dunia pendidikan. Di kota gudeg inilah yang secara kapabilitas banyak menjulang berbagai bangunan universitas. Mulai dari yang universita negeri maupun universita swasta, semuanya terpusat di tempat ini. Sehingga banyak kalangan yang mengatakan bahwa mutu, kualitas serta seberapa jauh perkembangan dunia pendidikan Indonesia dapat dilihat dari sejauh mana peranan instansi pendidikan di Yogyakarta dalam memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.

Beberapa dekade terakhir, mau tidak mau eksistensi serta peranan instansi pendidikan di Indonesia mulai diragukan dan digugat banyak orang. Benarkan peranan pendidikan yang diharapkan mampu untuk membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih makmur masih dapat diperhatikan? Atau hanya sebatas retorika untuk mengelabihi serta menyenangkan masyarakat kecil (Grassroot)?

Sebab peranan pendidikan yang katanya akan mensejahterakan ternyata akan kontras dengan berbagai fakta dan fenomena yang ada dilapangan. Bagaimana tidak pendidikan tenyata justru semakin memperbanyak jumlah pengangguran di Indonesia serta menyengsarakan. Bahkan bukan hanya sebatas S1 saja yang menganggur, namun sarjana S2 maupun S3 juga banyak dijumpai sebagai pengangguran di Indonesia.

Argumen ini tentunya bukan asal ngawur, sebab berbagai fakta itu diperkuat dengan penelitian sosiolog UGM Ari Sudjito (2008) yang menyatakan, bahwa sedikitnya sebanyak 21.000 orang lulusan S1 dan 2.663 S2 dari perguruna tinggi negeri mapupun swasta (PTN ataupun PTS) di DI Yogyakarta menganggur. Tentunya semua itu semakin memperjelas pada khalayak umum. Memang pada hakikatnya instansi pendidikan (Universitas) di Indonesia mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.

Menurut Agus Suwignyo (2007) sarjana lulusan Universitas di Indonesia secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Indonesia miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Indonesia. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universita. Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing dengan yang lain.

Intelektual Organik
Banyaknya penganguran sarjana lulusan universitas, tentunya merupakan fenomena yang menarik untuk diamati karena ia dapat dibaca sebagai akibat sekaligus bukti dari rendahnya mutu intelektualitas sarjana sekaligus sebagai kegagalan dunia pendidikan Indonesia.

Disinilah pemerintah serta masyarakat diharapkan untuk mampu mengembalikan eksistensi serta kualitas pendidikan Indonesia. Pendidikan yang mampu untuk melahirkan serta mencetak inteletualitas-intelektualitas muda yang dapat membaca kompleksitas persoalan masyarakat kekinian. Intelektualitas yang mampu melakukan berbagai pekerjaan transpormatif bagi kemajuan bangsa-negara yang oleh Antonio Gramsci di sebut dengan intelektualitas organik, yang berbeda dengan intelektualitas tradisional yang hanya terikat pada pakem akademis, serta jauh dari sentuhan masyarakat.

Berbeda dengan intelektualitas tradisional yang hanya bertumpu pada dunia akademis dan mendaur ulang yang sudah ada. intelektualitas organik mampu membaca tantangan zaman dan dapat mengambil keputusan demi kepentingan bersama serta dapat menemukan sesuatu yang baru. Karena intelektualitas organik mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kukuasaan serta dalam pengenrtian Friederich Nietschza kreatif sebagai manusia yang bermental tuan, Ubermench. Sehingga mampu untuk membawa perubahan serta membawa kesejahteraan bagi seluru masyarakat tanpa terkecuali.


Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS)
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.
Hp. 081392627364