online degree programs

Minggu, September 27, 2009

Pernikahan dan Paradigma Penjajahan yang Menyertainya: Sebuah Kritik dan Autokritik terhadap Generalisasi



Isu terkait pernikahan telah banyak digagas oleh para pejuang pergerakan feminisme, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Namun demikian, permasalahan yang diperjuangkan oleh feminis luar negeri dan feminis dalam negeri, tampaknya tidak selalu sama, tentu saja karena perbedaan kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, ideologi, dan sebagainya di masing-masing tempat.

Dalam permasalahan terkait pernikahan, para feminis luar negeri banyak memperjuangkan tentang kesetaraan hak wanita dalam kehidupan rumah tangga, keseimbangan tugas mengasuh anak antara ayah dan ibu, hak seorang istri untuk menolak berhubungan seksual dengan suaminya, dan sebagainya. Bahkan pada poin yang paling ekstrem, pernah digagas oleh Sheila Cronan mengenai abolisi pernikahan. Cronan berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk perbudakan terhadap wanita, dan kemerdekaan kaum wanita tidak akan pernah diperoleh tanpa adanya penghapusan pernikahan.

Sementara itu, berbeda dengan tren gerakan feminisme di luar negeri, para feminis Indonesia dalam permasalahan terkait pernikahan, lebih cenderung memperjuangkan penolakan dan pengaturan terhadap poligami; pencatatan perkawinan, perceraian, serta rujuk; perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran; dan sebagainya. Hal yang lain juga, para feminis negeri ini, mulai dari generasi Kartini hingga generasi Gadis Arivia, merupakan para ibu dan istri yang baik dalam kehidupan rumah tangga mereka. Maksud penulis, setidaknya para feminis negeri ini tidak pernah menggagas sesuatu yang seekstrem abolisi pernikahan.

Penulis sejujurnya tidak pernah menisbatkan diri sebagai seorang feminis atau pejuang feminisme. Namun, sebagai seorang manusia dan semakhluk wanita, penulis seringkali dibuat teriritasi oleh sejumlah fenomena yang terjadi di sekitar. Kalau boleh dimasukkan juga, termasuk gagasan Cronan mengenai abolisi pernikahan yang secara tidak sengaja pernah terbaca beberapa waktu lalu.

Gerakan ini barangkali tidak perlu mengusung nama feminisme, yang pada akhirnya memberi definisi paham yang mewakilkan seluruh dan setiap wanita yang ada di dunia. Pada kenyataannya, tidak setiap dan seluruh wanita sepaham dengan setiap gagasan yang mengandung label feminis. Setidaknya penulis, satu dari sekian milyar wanita yang tengah hidup di dunia, tidak selalu menyepakati setiap gagasan yang dimunculkan oleh tokoh pejuang pergerakan feminisme.

[Seperti disadarkan oleh Masyhur Aziz Hilmy empat tahun silam: menjadi bagian dari suatu keseluruhan bukan berarti memiliki dan mewakili keseluruhan, walaupun bagian-bagian tersebutlah yang memiliki wewenang untuk menyusun kelompok representatif untuk mewakili keseluruhan massa. Namun ironisnya, masih banyak wakil-wakil yang menyuarakan gagasan pribadi atau golongan lebih dari gagasan keseluruhan yang mestinya diwakilkan.]

Dalam pandangan pribadi penulis, terdapat sejumlah gagasan feminisme yang justru melakukan penjajahan terhadap kemerdekaan kaum wanita. Pun terdapat gejala-gejala yang ada di masyarakat terkait masalah pernikahan, yang merupakan bentuk penjajahan terselubung terhadap manusia-manusia yang menjalani pernikahan tersebut, tidak hanya kaum wanita (ini yang baru bisa penulis sebut sebagai kesetaraan, yakni tidak menafikan peran kelompok lain yang turut terlibat dalam suatu permasalahan).

Untuk gagasan mengenai abolisi pernikahan, misalnya. Kelompok wanita yang secara serius menjalani dan memuliakan peran serta tugasnya sebagai seorang istri dan ibu tentu saja akan merasa bahwa gagasan tersebut melakukan penjajahan terhadap kebebasannya dalam melakukan perjuangan. Setidaknya terdapat puluhan wanita yang penulis kenal telah atau berniat untuk mendedikasikan dirinya menjadi pahlawan di balik peran ibu dan istri. Penulis sepakat bahwa seorang wanita dapat menjadi pahlawan bagi kemanusiaan, hanya dengan menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri (tanpa menafikan realitas bahwa seorang wanita dapat juga menjalani peran-peran luar biasa lainnya secara sekaligus) dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, menjadi seorang ibu yang merupakan pahlawan bagi kemanusiaan adalah suatu pilihan dan kemungkinan, seperti halnya menjadi seorang ibu yang merupakan penjahat kemanusiaan.

Bentuk konkretnya penulis jelaskan demikian. Seorang ibu yang mampu memberikan pengaruh dengan sangat baik kepada anak-anaknya, melalui metode pendidikan dan pengasuhan apa saja, memiliki keleluasaan yang meskipun terbatas untuk menjadikan anak-anaknya seperti Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, atau seperti Dadang bin Asep yang berjualan gado-gado di komplek perumahan. Apabila berkenan untuk belajar dari peristiwa masa lalu, tentunya akan dapat menilai seberapa besar pengaruh yang diberikan Adolf Hitler dan Mahatma Gandhi bagi kemanusiaan. Pun jangan melupakan karakter fiktif Dadang bin Asep yang berjualan gado-gado di komplek perumahan. Barangkali memang tidak ada media yang mengabarkan ke seluruh penjuru dunia yang lantas mengabadikan namanya dalam sejarah kemanusiaan, tetapi dalam contoh ini, Dadang sang penjual gado-gado mampu melahirkan kesadaran dan memberikan teladan luar biasa bagi kemanusiaan.

Putra Pak Asep tersebut, ketika berkeliling menawarkan dagangannya, selalu memungut sampah yang terlihat oleh pandangannya kemudian mengantarkannya ke tempat sampah. Awalnya tindakan tersebut terlihat biasa saja. Namun kelamaan, anak-anak komplek yang masih kecil (dan jangan pernah lupa bahwa anak-anak adalah peniru paling ulung) menirukan kebiasaan yang terus dilakukan Dadang tersebut, sehingga muncullah satu generasi pecinta lingkungan. Karakter mengharukan yang dimiliki oleh generasi ini selanjutnya memberi inspirasi berupa teguran visual dan kesadaran pada generasi lainnya untuk kembali peduli pada lingkungan. Sebenarnya Dadang tidak hanya berkeliling di satu komplek, tetapi juga di komplek-komplek pemukiman lainnya. Penjual gado-gado yang dulunya selalu diajari oleh ibunya untuk cinta lingkungan ini, akhirnya menularkan watak positif ke komunitas luas, karena seperti halnya keburukan, kebaikan pun mudah menular. (Dan) budaya bernilai positif tersebut ternyata berdasar pada nilai luhur yang ditanamkan oleh seorang ibu pada anaknya. Bukankah luar biasa?

Tentu saja tidak setiap ibu dan istri punya dedikasi yang baik untuk menjadi pahlawan dan memfasilitasi suami serta anaknya untuk menjadi pahlawan. Namun demikian, kelompok yang diceritakan oleh penulis eksis di komunitas. Jika pernikahan dihapuskan, apakah tidak lantas memberangus perjuangan luhur yang dilakukan oleh sebagian (barangkali besar) komunitas wanita di dunia tersebut?

Itu baru satu.

Selanjutnya, meskipun berpendapat bahwa abolisi pernikahan dapat menjadi suatu belenggu bagi perjuangan kaum wanita dalam melakukan aktualisasi diri, penulis juga memiliki pendapat yang barangkali berupa paradoks terhadap pandangan pertama tersebut. Bahwa di masyarakat tengah terjadi pernikahan-pernikahan yang tidak hanya menjajah kemerdekaan kaum wanita untuk melakukan aktualisasi diri, tetapi juga kemerdekaan kaum pria.

Pernikahan merupakan suatu prosesi penyatuan yang sakral antara seorang pria dan seorang wanita (secara konvensional penulis sebutkan demikian, meski telah terdapat pernikahan yang menyatukan dua orang dari jenis kelamin yang sama ke dalam satu keluarga). Sakral karena melibatkan proses religius, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh yang menjalani prosesinya, sehingga tidak hanya melibatkan hubungan antarmanusia, tetapi juga hubungan antara manusia dan Tuhannya. Melalui proses pernikahan tersebut, lahir sebuah keluarga baru di komunitas yang selanjutnya akan menjalankan berbagai peran dan fungsinya di masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya dan senyatanya pernikahan mengemban suatu amanah bagi masyarakat, untuk terlibat dalam suatu proses yang menjadikan komunitas berprogres ke arah yang lebih baik.

Permasalahannya ialah, banyak sekali pernikahan telah terlaksana di masyarakat yang melupakan amanah tersebut. Pernikahan seolah mempersempit fungsi sebagai suatu bentuk pelegalan dan penghalalan semata hubungan antara dua insan yang terlibat dalam ikatan emosional yang disebut dengan cinta (dan pada kenyataannya, bentuk emosi ini memiliki karakter mengikat, jika menolak untuk disebut sebagai membelenggu), tanpa mengingat fungsi dan perannya yang lain bagi masyarakat. Sebagian keputusan untuk menikah jarang melibatkan pertimbangan kesamaan visi dan misi antara kedua insan yang akan menjalaninya, jarang pula melibatkan pertimbangan (apabila diperkenankan menggunakan istilah yang sering disebutkan oleh Danang Tejo Pamungkas) chemistry antara karakter kedua insan yang menjalaninya. Oleh sebab tersebut, pernikahan tidak selalu menjadi lingkungan yang memfasilitasi perkembangan, tetapi dapat juga menjadi lingkungan yang mematikan perkembangan insan-insan yang menjalani pernikahan serta masyarakat yang disusun oleh keluarga baru yang terselenggara melalui prosesi tersebut.

Seperti halnya pohon pisang yang hanya akan tumbuh dan menghasilkan dengan baik di lingkungan tropis, manusia tertentu juga hanya akan tumbuh dan menghasilkan dengan baik di lingkungan tertentu. Seorang wanita penggagas kegiatan sosial terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa apabila bersuamikan seorang pria yang tidak memiliki kepedulian terhadap penghapusan kesenjangan ekonomi di masyarakat. Seorang pria penggagas kehidupan politik dan pemerintahan yang adil dan sehat tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa (atau bahkan perlahan-lahan terkikis idealismenya) apabila beristrikan wanita curang yang mengutamakan kesenangan pribadi di atas segala-galanya. Namun, bagaimana apabila wanita penggagas kegiatan sosial dan pria yang tidak memiliki kepedulian terhadap permasalahan ekonomi di masyarakat tersebut saling mencintai satu sama lain? Bagaimana apabila pasangan yang kedua juga saling mencintai satu sama lain? Realitasnya di masyarakat, mereka menikah kemudian saling menjajah satu sama lain, dan mematikan keleluasaan perkembangan masing-masing.

Cinta mengalahkan segalanya. (Dan) hal yang buruk dalam kisah ini adalah Cinta di sini membawa pada neraka dunia. *lebai*

Tentu saja tidak setiap pernikahan digagas oleh insan-insan visioner seperti yang penulis gambarkan di atas. Terdapat pula pernikahan yang dijalani oleh pasangan-pasangan yang ingin memadu cinta, hidup berbahagia, dan meneruskan keturunan saja. Penulis tidak akan teriritasi oleh pernikahan yang terakhir disebutkan apabila manusia yang terlibat di dalamnya secara pribadi memang hanya ingin memadu cinta, hidup berbahagia, dan meneruskan keturunan saja dalam hidupnya. Namun, ketika yang turut terlibat adalah manusia yang secara pribadi ingin meneruskan ambisi sejak masa lajang untuk memberi lingkungan yang fasilitatif untuk pertumbuhan masyarakat, penulis menjadi sangat teriritasi. Terlebih lagi, apabila penulis menjadi tempat melacur (melacur adalah abreviasi yang dipopulerkan oleh dr. Carla R. Machira, Sp.KJ untuk frase “melakukan curhat”) insan-tak-lagi-lajang yang tersiksa dalam kehidupan barunya karena tidak berpasangan dengan insan lain yang sevisi dan semisi.

Sekali lagi, tidak setiap pernikahan yang berdasar cinta semata berlanjut pada kisah tragis penjajahan. Sehingga pendapat penulis tidak cocok untuk digeneralisasi ke seluruh komunitas. Namun demikian, kisah tragis dan penjajahan dalam pernikahan tersebut eksis di sebagian komunitas. (Dan) hal tersebut adalah suatu permasalahan serius. *lebai lagi*

Terdapat pula sebagian orang di masyarakat yang memandang perjodohan sebagai bentuk penjajahan terkait pernikahan. Manusia-manusia yang akan menikah dijajah oleh pihak lain yang merasa ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Namun demikian, penulis mengenal bentuk perjodohan yang lain, yang populer di kalangan tidak luas yang gemar disambangi oleh penulis. Dalam prosesi pranikah yang tidak melibatkan perkenalan sebelumnya antara dua insan yang hendak menikah tersebut, persamaan visi serta misi serta chemistry antara karakter kedua orang yang akan menikah dijadikan pertimbangan utama. Selanjutnya, hal yang tidak pernah dilupakan juga adalah, kerelaan atau ketidakrelaan kedua belah pihak untuk berlanjut pada prosesi pernikahan senantiasa dihiraukan.

Dalam pandangan penulis, perjodohan seperti di atas lebih memiliki sedikit peluang untuk terjadinya penjajahan apabila dibandingkan dengan pernikahan atas dasar cinta semata, terlebih lagi bentuk perjodohan di masyarakat feodal dan tradisional yang tidak jarang akan membuat seseorang mengeluh, “Duh Ayah Ibu, ini bukan perkara punya suami dokter, pejabat, insinyur, pengacara, atau bahkan pemain bola. Ini adalah tentang lingkungan seperti apa yang bisa saya berikan untuk dia, lingkungan seperti apa yang bisa dia berikan untuk saya, dan lingkungan seperti apa yang bisa kami berikan berdua untuk masyarakat.”

Tulisan ini, sekali lagi, hanyalah pengejewantahan opini pribadi (dan barangkali kelompok), tetapi bukan opini keseluruhan publik. Catatan ini ingin mengabarkan tentang gejala umum yang dipersepsi oleh sebagian masyarakat. (Dan) tulisan ini bukan tentang gerakan feminisme. Hahahahaha... Terima kasih sudah membaca tulisan panjang ini, harus bermanfaat! =D




Elisa Dian Pramesti

Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Umum Fakultas Kedokteran UGM/ RSUP dr. Sardjito Yogjakarta


Senin, September 07, 2009

Membaca Pendahuluan Buku Adorno


Cara menghadirkan pemikiran Adorno tentang industri budaya dalam konteks kontemporer merupakan hal yang paling menarik di dalam pengantar buku Adorno yang berjudul cultural industrial ini. Gagasan Adorno dihadirkan untuk menyambut kondisi posmodern. Hal ini menandakan kemungkinan gagasan Adorno masih relevan dipergunakan untuk memandang problem budaya dewasa ini.

Kritik Adorno pada budaya telah lama berlangsung semenjak abad ke-19. Jauh sebelum munculnya posmodern. Tetapi gagasan Adorno ini cukup jeli dalam menyingkap patologi dalam modernitas. Pada hal yang sama, teori kritis Adorno memiliki titik temu dengan cara kerja posmodern. Yakni kritik pedasnya pada modernitas.

Dalam pengantar inilah, J. M. Bernstein menemukan beberapa berbedaan teknis dan subtansial. Perbedaan teknis, misalnya pada orientasi masing-masing paham. Tradisi kritis lebih menyukai kritik pada modernitas, tetapi masih berharap peneruskan proyek modernisme dari pencerahan. Sedangkan bagi posmodern, ingin mengambil alih nahkoda modernisme pada rekonstruksi poshumanisme dan dehiperrealitas.

Perbedaan subtansial antara teori kritis dan posmodern yang berpeluang besar dihadapkan secara diametral adalah posisi posmodern yang disinyalir sebagai penganut paham neokonservatisme. Untuk menjelaskan pernyataan ini kita memulai dari kritik Adorno pada seni misalnya. Adorno masih memakai oposisi biner yang membedakan seni kualitas tinggi dan rendah. Dalam konteks inilah, Adorno bekerja, bahwa seni kelas rendah hanya diperuntuk bagi devisi buruh. Rakyat kecil tak mampu menikmati seni kelas tinggi. Mereka tak mampu membayar, hanya membeli barang tiruan. Bahkan hingga kenikmatan pada sebuah lagu. Lagu kelas tinggi selalu bertemakan kebahagiaan dan kebebasan yang itu sangat tidak terdapat dalam kategori rakyat miskin.

Dengan cukup puitis J. M. Bernstein menulis demikian: lagu yang baik menceritakan semua tentang kebahagiaan melalui sentuhan kasih sayang dan masa depan yang penuh arti [...].[1] Dan buruh pekerja itu, tak mampu menjangkau kebahagiaan berserta janji-janjinya. Kebahagiaan hanyalah milik seni kualitas tinggi yang dinikmati oleh kalangan borjuis.

Antagonisme kelas itu membuat konstruksi diotomis antara seni kelas tinggi dan seni kelas rendah. Oposisi biner inilah yang ditolah oleh tradisi posmodern. Posmodern lebih menyukai kontuinitas, pluralitas, heterogenitas, dan menegasikan oposisi biner.[2] Penegasian oposisi biner ini dalam pandangan J. M. Bernstein menjadikan posmodern menerima labelnya, yakni: kelompok neokonservatisme. Karena parameternya dalam melakukan penilain pada akhirnya tidak jelas. Oposisi biner menyediakan pilihan penilai: antara baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Sedangkan, posmodern tidak jelas bagaimana cara kerja penilaiannya.

Hal ini semakin diperkokoh dengan karakteristik posmodern di dunia arsitek. Posmodern mengkritisi ragaan modernitas yang minimalis, berkenaan dengan kehematan, dan anti-ornamen. Posmodern berusaha menampilkan sketsa yang menampilkan kembali estetika tradisional. Dari sinilah, nampak terlihat keperpihakan posmodern pada romantisisme yang menggiring pada pelegitimasian keberadan kaum kapitalis-penguasa yang jauh dari proyek emansipatoris. Zaman klasik, penguasa tampil absolute, dan semuanya menumpuk di tangannya. Termasuk seni ornamen yang banyak kita jumpai di kerajaan-istana, bukan rumah warga biasa.

Melalui monistis, posmodern mudah ditumpangi oleh rejim kapitalisme lanjut yang bersembunyi dibalik keindahan, kebahagiaan, dan pesona manipulatif. Penyangkalan yang menjadi basis monistis posmodern malah justru menenggelamkan budaya massa dalam sebuah esktase.

Gaya hidup dalam terminologi industri budaya. Adalah tranformasi kategori estetis yang menuniverlisasikan ekspansi masyarakat konsumer [...].[3] Posmodern memang melihat ini dengan jernih, tetapi posmodern terjebak dalam skeptisisme total.[4] Ia membuat kehidupan kehilangan maknanya. Ia seolah-olah berpasrah diri.

Teori kritis, yang mencoba mengiris-iris paham liberalis-kapitalis tetapi masih mempercayai adanya masa depan yang lebih baik. Sedangkan posmodern, tidak. Semuanya bermasalah. Semuanya berisikan penipuan. Semuanya hasil simulasi.

Begitulah yang terjadi antara teori kritis dan posmodern, jalinan pertarungan dan perdamaian diantaranya masih dalam diskursus yang hanggat. Relevansi gagasan Adorno dengan posmodern menandakan masih layaknya gagasan Adorno ini dipakai dalam wacana kontemporer. Namun di dalam pendahuluan J. M. Bernstein tidak melihat gagasan Adorno yang mengkonstruksikan gaya filsafat kesadaran (Bewuβtseinsphilosophie) atau filsafat subjek (Subjektsphilosophie) ini dalam tradisi frankfurt sendiri.

Buku yang ditulis bersama Horkheimer Dialektik der Aufklärung melahirkan konsepsi yang luar biasa tentang rasio praktis yang dikembalikan otonomi individu yang kritis terhadap determinasi kehidupan sosial dan historisnya. Dan dari sanalah, mereka juga turut berinvestasi sehingga melahirkan filsof besar saat ini, Jürgen Habermas. Karya-karya Habermas muda semasa ia menulis buku Habilitationsschrift sampai Theorie des kommunikativen Handels, yang masih bercorak tradisi franfurt yang kental. Meskipun dalam perkembangannya, MoralBewuβtseins und kommunikativen Handels, Erläuterungan zut Diskursethik, dan Faktizität und Geltung, Habermas menggeser subjektivitas itu menuju intersubjektivitas melalui proseduralisme formasi diskursif.

Habermas sebgai filsof besar yang lahir dalam tradisi frankfurt luput dari bacaan J. M. Bernstein. Pengantar itu lebih banyak berbicara tentang diskripsi Adorno yang dibenturkan dalam wacana kotemporer dan posmodern. Sementara di dalam tradisi franfurt sendiri tak dilihat secara utuh. Namun, kita melihat usaha yang luar biasa, sebab mengusahakan teori sosial yang sudah lama untuk dihadirkan dalam problem saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan J. M. Bernstein telah melakukannya dengan baik.

Jika disederhanakan, Adorno dalam pengantar yang ditulis oleh J. M. Bernstein, sepertinya hendak mengatakan bahwa proyek emansipatoris Marx itu tak hanya bisa dijawab oleh wilayah ekonomi dan politik sebagaimana yang dipahami oleh Marxian klasik. Bahwa aksi revolusioner haruslah dioperasikan untuk menempatkan kelas buruh berkuasa.

Usaha Adorno yang menempatkan semangat antagonisme kelas ke ranah yang lebih luas inilah yang sering menghasilkan salah tafsir, bahwa Adorno seolah-olah hendak menegasikan kaum ploretariat. Padahal tidak. Adorno memang tidak menyukai aksi revolusioner yang berbasis aksi konfrontatif kaum buruh. Tetapi tidak kemudian Adorno meninggalkan perangkat Marxian berupa antagonisme kelas. Bagi Adorno antagonisme kelas itu beroperasi lebih luas, yakni di bidang ideologi, sejarah, pengetahuan, seni dan budaya.

Kita akan mengupas satu-persatu wilayah ideologi, sejarah, pengetahuan, seni dan budaya yang dipikirkan Adorno melalui pengantar Bernstein. Di balik jalan yang dilalui oleh liberalis-kalipalis lanjut, ternyata ideologi semacam facisme pun beroperasi dengan cara yang sama: yakni intregasi dan unifikasi.

…facism represented the realization of Western rationality […] work of domination through integration and unification […].[5] Industri budaya bersamaan dengan kejayaan facisme telah menciptakan budaya sebagai realisasi kebenaran untuk semuanya menuju gratifikasi yang penuh hasrat menyingkirkan realitas yang sesungguhnya disambungkan secara negatif melalui integrasi masyarakat. Artinya, bahwa realitas manipulatif berusaha dihadirkan kepada masyarakat untuk menggerakan masyarakat dan membentuk ideologisasi masyarakat. Secara langsung maupun tak langsung, industri budaya telah membuahkan integrasi berjalan secara efektif di dalam masyarakat yang ekuivalen dengan unifikasi represif dalam Negara demokrasi liberal.

Kalau kita ingin mengetahuai, bahwa sebenarnya ideologisasi juga tak lepas dari kontribusi buruknya tradisi rasio instrumental. Kontribusi dunia pengatahuan yang didominasi oleh rejim rasio instrumental. Rasio instrumental yang dipergunakan untuk mengontrol dan mengendalikan realitas sosial. Lihat saja, fenomena polling yang dewasa ini meramaikan wacana ilmu sosial saat pemilu berlangsung. Ilmu sosial hanya direduksi menjadi polling yang bisa mengkuantifikasikan politik agar realitas sosial mudah dikendarai.

Rasio instrumental dianggap oleh Adorno sebagai tukang atur yang kolot di ranah produksi pengetahuan. Meski kita kesulitan mencari titik bidik rasio instrumental di dalam pengantar buku tersebut, karena tidak disebut tokohnya yang bisa digunakan kunci eksplanasi. Maka kita menghadirkan nalar pikir Auguste Comte untuk mewakili rasio instrumental ini.

Bagi Adorno, pengetahuan saat itu tidak mengedepankan devisi buruh. Di dalam psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat. Devisi buruh harusnya dimasukan dalam pengetahuan bagi proyek emansipatoris, tetapi pengetahuan dewasa ini mencerabutkan devisi buruh dari materi pengetahuan. Pengetahuan, itu ”tidak netral” dan ”tidak bebas nilai”.

Pengetahuan yang dibangun oleh rasio instrumental juga menegasikan subjektivitas dan terlalu hanyut di dalam objektivitas (objective characteristics). Di balik Comte mengemukakan hirarkhis ilmu pengetahuan positif dimulai dari matematika menuju ilmu alam, baru kemudian merambah ke ilmu sosial. Comte dengan tegas, menyingkirkan psikologi dari ilmu pengetahuan. Karena tidak mungkin bagi ilmuwan menyilidiki dirinya sendiri.[6]

Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Adorno bahwa subjektivitas tak bisa dilepaskan sama sekali dari ilmu pengetahuan. Bahkan ia sendiri mengembangkan psikoanalisis Freud dalam membangun teori kritisnya. Teori kritis yang banyak kita jumpai dalam diskursus ilmu sosial. Dan di ranah ilmu hukum melahirkan apa yang disebut critical legal studies. Tentang relevansi antara rasio instrumental yang dianggap sebagai teori konvensional, teori kritis, dan studi hukum kritis dapat dilihat di bawah ini.

Teori Konvensional, Teori Kritis, dan Teori Hukum Kritis

Teori Konvensional

Teori Kritis

Critical Legal Study

Dasar

Diterima tanpa kritik

Kecurigaan

Hukum harus dicurigai

Subjek

Universal

Kelas kapital/ penguasa yang membentuk ilmu pengetahuan untuk menindas kelas ploretariat

Hukum sarana penindasan

Sifat

Netral

Menyingkap kedok kepentingan

Hukum dibersihkan dari kepentingan penguasa

Kebenaran

Objektif, kebenaran pada objek

Subjektif, kebenaran ada pada subjek

Kebenaran ada di luar praktek dan regulasi hukum negara

Bacaan

A Historis

Historis

Sejarah hukum berbasis materialisme historis

Penilaian

Bebas nilai

Nilai-nilai paksaan penguasa

Hukum tak bebas nilai

Hukum hanyalah sarana bagi kekuasaan bermain-main dengan tenangnya.[7] Teori kritislah yang menegaskan dikotomi hukum dan kekuasaan.[8] Kritik harus ditujukan pada bentuk formalisme dan objektivisme sebagai doktrin absolute dalam ilmu hukum.

Setelah pengetahuan, pandangan pada sejarah juga disinggung dalam pengantar Bernstein. Pada titik yang sama, pandangan Adorno dengan Walter Benyamin cukup serasi. Yakni kritiknya pada sejarah dan liberalisme. Kritik pada sejarah merupakan hal yang paling sentral di dalam tradisi kritis dan pikiran Walter Benyamin.

Adorno menawarkan cara membedah pengetahuan haruslah dikaitkan dengan konteksnya. Ketidak-mungkinan kritisisme budaya juga dilatar belakangi oleh ketidak-mampuan ilmuwan membaca sejarah. Ketidak mampuan ilmuwan membaca konteksnya, sehingga ia mengalami diskonten.[9] Ia tak mampu menggali kebenaran di dalam pengetahuan yang sudah mapan.

Hampir senada dengan Walter Benyamin yang berjuang melawan ”lupa”. Upaya penyelamatan pada ingatan masa lalu dan menyusunnya kembali fragmen-fragmen sejarah yang ditenggelamkan dan dibungkam agar utuh kembali. Sejarah merupakan optik yang tidak boleh ditinggalkan dalam pengetahuan.

Lalu, apa yang membedakan antara Adorno dengan Benyamin dalam hal ini. Benyamin masih tampil dengan mitologi Yahudi, dengan pengharapan pada messiah sebagai juru selamat atas sejarah. Sedangkan Adorno menegasikan total unsur mistisisme tersebut. Mistisisme dan teologi bagi Adorno telah selesai dikupas pada masa pencerahan. Atau mungkin pengaruh yang kuat tradisi materialisme Marx.

Ya, yang terpenting sekarang ini adalah kritik atas nama ”kemajuan (proggress)” yang dibawa oleh liberalis-kapitalisme lanjut harus dilancarkan. Dengan dalih ”kemajuan” liberalis-kapitalisme lanjut menuntut agar sejarah dilupakan, karena yang ada hanya pandangan menatap masa depan. Namun dibalik instruksi akan kemajuan itu, liberalis-kapitalis mengerjakan sejarahnya dengan homogenitas, dan narasi besar sejarah.

Setelah mengupas sejarah, tiba saatnya bagi membedah seni. Seni, seperti yang pernah dirumuskan oleh Adorno ternyata juga tak menjamin netralitas dan objektivitas. Seperti yang kita singgung di awal tadi, bahwa adanya dikotomi seni kualitas tinggi dan kualitas rendah yang menandakan diferensiasi kelas konsumer seni. Maka tak ubahnya seperti pandangannya Nietzsche[10] yang hendak mengganti paradigma sains dan filsafat yang dianggap sebagai hakim gadungan pengetahuan, untuk digantikannya dengan seni. Perhatian pada seni yang sama-sama membuat mereka mencari sesuatu di dalam seni tersebut. Dan, dua-duanya pada akhirnya menemukan patologi di balik rasionalitas dan keindahan seni itu biang kerok, yakni: kekuasaan.

Lebih lanjut, Adorno sensitif dengan perkembangan teknologi yang memuat seni, umpamanya televisi. Barangkali, di zaman Adorno belum ada televisi yang secanggih saat ini. Tapi kritisisme pada media transformasi seni ini yang membuat pemikirannya masih relevan untuk saat ini. Adalah skenario yang dibangun dengan sengaja untuk mengendalikan kaum pekerja di dalam pabrik-pabrik dan rumah-rumah sepulang buruh dari kerja. Yakni kenikmatan yang dikonstruksi untuk memanjakan dan membentuk benak buruh agar mematuhi sistem yang sudah ada. Masyarakat dibuat tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi.

Pandangannya ini mungkin hampir mirip dengan Baudrillard. Bagi Baudrillard dunia maya, dunia mesin teknologi informasi, telah menjadi kenyataan dan realitas yang telah mengkonstruksi budaya massa modern. Kenyataan itu ada di dalam sebuah televisi, internet, media, dst. The entry into a simulated, virtual or cybernetic world of existence. [11] Baudrillard juga mempercayai bahwa efek dari seni juga dipergunakan dalam teknik menyempurnakan makna dalam situasi hiperrealitas.[12]

Sekarang tiba saatnya bagi membaca karakter budaya menurut Adorno dalam pengantar Bernstein. Pertama, Adorno melihat patologi budaya yang menyembunyikan nalar instrumental di baliknya.[13] Ia menuntut unifikasi dan integrasi yang pada akhirnya berlabuh pada intervensi yang memaksa universalitas dan objektivitas.

Kedua, budaya sudah masuk dalam logika industri. Budaya sudah merangkai skema alur produksi, reproduksi, dan sensitif pada kehidupan konsumsi massa. Dan, logika itu masih di bawah bayang-bayang kebebasan integral a la kapitalisme lanjut. Ketiga, produksi budaya adalah sebuah komponen integrasi dari ekonomi kapitalis sebagai sebuah keastuan. Cultural production is an integrated component of the capitalist economy as a whole.[14] Produksi budaya tak bisa dilepaskan dalam cengkeraman ekonomi kapitalis.

Keempat, budaya konsumeris merupakan degradasi budaya. Berbagai budaya berbagi kesalahan dalam membentuk masyarakat. Yang berasal dari ketidak-adilan telah dimanfaatkan untuk melancarkan upaya yang saling ekspansif.

Oleh : Awaludin Marwan

Disampaikan pada close reading, bab introduction buku ”the culture industry” di depok. Terima kasih diucapkan pada Toufiq, Edi Subkhan, Elin, dan Ikhsan dalam mengapreasi dan menginspirasi tulisan ini.



[1] Theodor W Adorno. The Culture Industry. Yang diedit dan diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh J. M. Bernstein. Routledge. London-New York. 1991. p. 6

[2] Wayne Gabardi. 2001. Negotiating Postmodernism. University of Minnesota Press. London p. 45

[3] Theodor W Adorno. The Culture Industry ….p. 23

[4] …..Criticizing the nihilism of capitalism; questioning the social management of ordinary experience; generating utopian visions in which art is integrated with the social fabric of modern life. Stuart Sim. 1998. The Routlegde Companion to Postmodernism. London-New York. p. 91

[5] According to Adorno the division of labour between disciplines such as sociology, philosophy, history and psychology is not contained in or dictated by their material, but has been forced on them from the outside. p. 4. the telos of instrumental rationality, the rationality first licensed by the drive for self-preservation, is the silencing of reflection in the name of the illusory universality pervaded by the culture industry. Instrumental rationality in the form of the culture industry thus turns against reason and the reasoning subject. This silencing of reflection is the substantial irrationality of enlightened reason. Theodor W Adorno. The Culture Industry ……p. 10

[6] Auguste Comte. The Positive Philosophy. Batoche Books, Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Kitchener (2000, London). p. 27

[7] Allan C. Hutchinson. 1989. Critical Legal Studies. Rowman&Littlefield Publisers, Inc. New Jersey. P. 303

[8] Richard D. Schewartz. Law, Violence, and Civil Right. Dalam Richard D. Schewartz&Jerome H. Skolnick. 1970. Society and the Legal Order: Cases and Materials in the Sociology of Law. Basic Books Inc Publiser. New York

[9] In general, the position of a critic of culture is a dubious one; as critic he reveals a discontent with the very civilization to which he owes his discontent. Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 16

[10] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 8

[11] David Banash. 2003. Review: Reading Baudrillard. Sf-th inc. P. 5

[12] Technical perfection can be part of meaning, […] it is an effect of art. Jean Baudrillard. Simulacra and Simlation. Translated by Sheila Faria Glaser. Michigan. 33

[13] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 2-12

[14] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 9

Kamis, September 03, 2009

Bahaya Kekosongan: Radikalitas Filosofis dan Politis Alain Badiou



Subjek telah mati. Ia dibunuh oleh modernitas sendiri yang melahirkannya. Ia pun dibantai, dimutilasi, dan bangkainya dibuang jauh-jauh oleh posmodern. Lalu, bisakah subjek ini dibangkitkan dari kuburnya. Apa jadinya kehidupan tanpa subjek?

Jika kerusuhan, kerusakan, kehancuran, kebiadaban dan semua peristiwa buruk terjadi siapa yang bertanggung jawab. Subjek telah mati. Objek, tubuh politik, ruang publik, simulasi, kuasa, tak mau bertanggung jawab. Karena memang tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban. Situasi kosong, tanpa subjek itu, mengerikan.

Situasi kosong itu dengan mudah dimainkan oleh kekuasaan. Situasi kosong itu mudah dimanipulasi dan direkayasa. Kehancuran dalam kekosongan itu tak ada yang menyelesaikannya.

Para kerumunan pemikiran kontemporer, posmarxis, mencoba menghidupkan kembali subjek. Dengan pintu gerbang Jacques Lacan, Slavoj Žižek dan Alain Badiou mencoba merekonstruksikan filsafat subjek yang diberangus oleh filsafat analitik, dan filsafat kontinental.

Filsafat subjek ini bukanlah subjek yang teralienasi seperti yang dikatakan Descartes, cogito ergo sum, melainkan subjek yang juga mengacu pada orang lain, cogito ergo es. Es, dimaknai cogitan sebagai sesuatu yang mengacu pada yang lain (the other). Subjek itu memiliki tahap pembentukan dari tahapan imaginer (the imaginary), tahap simbolik (the symbolic), dan tahap real (the real). Sifat subjek yang terpecahkan (split subject), subjek selalu berusaha mencari kepastian diri, yang acapkali mengacu pada Yang Lain. Subjek itu memiliki kuasa dalam menentukan konstruksi realitas.

Wilayah subjek bukanlah ruang tanpa tuan, kosong, dan sempit. Tetapi wilayah subjek itu cukup luas. Ia berisikan kebutuhan (need), tuntutan (demand), dan hasrat (desire) yang bertalian dengan struktur bahasa antara penanda (signifier) dengan petanda (signifid). Badioulah yang memecahkan persoalan ditengah pesimisme dan ketiadaan subjek dalam persimpangan konstruksi kapitalisme lanjut.

Badiou meyakini bahwa diskursus tentang kebenaran patut ditampilkan kembali dalam filsafat. Sebab, diskursus tentang kebenaran ini nyatanya banyak dilupakan dalam situasi kapitalisme lanjut ini. Para pemikir berikut aliran-aliran intelektualnya, terjebak dalam metodologi, mekanisme prosedural, perspektif, paradigma, dst. Diskursus kebenaran oleh Badiou diulas kembali dengan semangat kembalinya subjek ditengah rekonstruksi teoritisnya.

Inilah yang disebut, radikalisme dalam terminologi Badiou. Yakni mengembalikan problem filsafat pada persoalan yang mendalam: kebenaran. Kebenaran itu sendiri yang pada dewasa ini hampir dilupakan.

Kebenaran (vérité) tak bisa dilepaskan dari subjektivisasi. Kebenaran dan eksistensi subjek hadir secara bersama-sama. Eksistensi subjek memiliki peran strategis karena mengandalkan keyakinan, kepercayaan, atau kemantapan. Umpamanya kedapatan pemahaman intersubjektif itu mungkin terjadi, tetapi tidak akan menjadikannya sebuah objektivitas. Keputusan intersubjektif itu bersifat deterministik pada masing-masing subjek itu sendiri. Tafsir yang beragam, sikap yang berbeda, pilihan bahasa dalam suatu situasi menunjukan pengaruh besar subjek dalam menentukan sesuatu.

Lebih lanjut, Badiou menyatakan kebenaran itu berdimensi ruang. Kebenaran bersifat material. Ruang hampir bisa dikategorikan suatu yang nyata, sementara waktu berbentuk abstrak. Dari sini nampak terlihat tradisi Marxian dialektika materiil punya andil dalam kategori kebenaran versi Badiou.

Selanjutnya, kebenaran selalu muncul dengan singularitas. Badiou menyatakan ”singular truth has its origin in an event”. Kebenaran tunggal memperlihatkan keasliannya dalam sebuah kejadian. Tawaran multiplisitas juga tak akan mungkin menggantikan bentuk singular tersebut. Sebab, pada umumnya, yang singular itu mempunyai bentuknya yang hegemonik. Dari sinilah pandangan terhadap yang politis Slavoj Žižek cukup bermanfaat, yakni: intervensi terhadap yang tak-mungkin (risking the impossible). Sedangkan Badiau sendiri menawarkan radikalisme, berupa revolusi total melalui agen perubahan berupa ”aktivitas politik” sebagai lawan dari politisi. ”Sesuatu” itu haruslah diusahakan untuk diubah menjadi ”sesuatu yang baru”. Badiou menawarkan keterlibatan radikal yang mempengaruhi ”kejadian” secara militan.

Hal ini terlihat dalam upaya Badiou dalam mengusahakan dekolonialisasi yang mensaratkan adanya radikalisasi aktivitas politik melawan bentuk poskolonialisasi. Pasca kolonialisme konvensional yang berbentuk agresi, imperialisasi, dan penjajahan sebagaimana pendudukan Prancis ke Al-jazair dulu, kolonialisasi lanjut bergerak melalui infiltrasi ekonomi, kultural, politik internasional, dst.

Kritik pedas Badiou ditujukan pada Heidegger juga sangat subtansial. Di awal sub bab filsafat dan kebenaran dalam bukunya Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy, mengatakan demikian:

Mempertanyakan bangunan kebenaran Heideggerian yang tak meninggalkan solusi, selain hanya problem puitik […] Asumsi sinis patut disematkan pada tradisi filsafat analitik yang menekankan pada proposisi keputusan […] Kebenaran sebenarnya dalam bentuk konstruktif dan berkelindan dalam kejadian dan seperti potensi generic yang ditranformasikan dalam pengetahuan […] Seluruh kategori yang menyebutkan esensi kebenaran masuk dalam pemikiran pada bentuk negatif.[1]

Ketika menyebutkan proposisi yang dianggap efektif dalam menyingkap fenomena linguitik, hanya akan mengestimasikan sesuatu, yang sangat jauh seperti yang seharusnya dipersiapkan. Konsekuensinya, de-naturalisasi atas esensi kebenaran [...] Intrepretasi hanya menempatkan kebenaran dalam semangat intelektual prakmatis [...] Terjebak pada persoalan puitik yang jauh dengan ilmu, logika dan matematika [...].[2] Badiou meneruskan di halaman-halaman berikutnya atas problem klaim kebenaran pada ranah filsafat ini.

Kebenaran tidak memiliki batasan dalam bentuk keputusan. Hegel melihat kebenaran sebagai sebuah ”aliran”[...]. Membedakan kebenaran dari pengetahuan merupakan problem esensial [...] Antara nalar (reason) dengan pemahaman (understanding) [...] Kebenaran haruslah dimasukan dalam pemikiran, bukan dalam keputusan, tapi seperti sebuah proses dalam tatanan the real [...] Pemikiran membuka ulang nalar ketak-berhinggaan sebagai prosedur verifikasi kebenaran [...] Prosedur ini adalah hasil akhir bersama situasi, konsekuensi aksioma dalam kejadian.[3]

Kemudian, kebenaran diterjemahkan oleh Badiou sebagai produksi lokal yang hendak membebaskan relasi, sebuah kondisi produksi radikal yang otonom, dan determinasi itu sendiri (self determination). Badiou percaya bahwa tidak ada kebenaran dalam geeralisasi. Hanya kebenaran kebenaran partikular yang ada dalam situasi yang partikular pula. Sebagaimana yang ditulis oleh Peter Hallward:

Badiou believes that there is no truth in general; there are only particular truths in particular situations. But precisely as the truth of its situation, each truth, in its essential inconsistency, is an exposure of the “Sameness“ of being. A situation counts its elements, and its state counts groups of these elements as one: only a generic procedure, by contrast, exposes the truth of what is counted in a situation, that is, its inconsistent being. Generic procedures reveal that which is counted, or presented, “in the indifferent and anonymous equality of its presentation.[4]

Tepatnya kebenaran situasional juga mengandaikan kebenaran lain, yang merupakan bagian paling esensial meski inkonsisten dan mengharapkan unifikasi. Situasi merupakan elemen penting dalam konstruksi kebenaran. Karena hanya dalam situasilah kebenaran bisa mungkin (possible). Prosedur umumlah yang paling potensial untuk menyamakan pandangan dalam presentasi. Karena presentasi adalah pada sisi keadaan, sementara representasi pada sisi dari bagian keadaan.

Yang paling menarik berikutnya adalah ini. Badiou menyatakan ”kebenaran itu bukan ditemukan, melainkan dibuat”. Kebenaran itu dideklarasikan (declared), disusun (composed) dan ditegakan (upheld). Kebenaran adalah kreasi imaginatif subjek. Proses abstraksi melampui struktur bahasa membuat individu maupun kolektif bergerak tidak hanya untuk membentuk kebenaran, melainkan hingga memiliki kehendak untuk merealisasikan kebenaran.

Realisasi kebenaran didasarkan pada capaian putusan (for judging (or interpreting)), didedikasikan bagi ketepatan (the validity (or profundity)). Badiou memilih matematika sebagai ontologi dalam menjawab problem validitas. Dan realisasi kebenaran memutuskan untuk membangun pernyataan atas pemahaman (of opinions (or understandings)). Kebenaran itu persoalan pilihan. Kebenaran itu problem validitas yang menyatu dengan kesadaran akan keadaan yang mendalam. Dan, kebenaran itu menuntut aksi demonstratif.

Terakhir, Badiou mencoba untuk memberikan daftar empat mode tentang kebenaran, yakni: revolusi (revolution), hasrat (passion), penemuan (invention), dan kreasi (creation). Di samping itu Badiou juga menyediakan empat domainnya, yakni: politik (politics), cinta (love), ilmu pengetahuan (science), dan seni (art). Lalu, bagaimana Badiou mengoperasikan empat mode dan domain itu. Yaitu dengan cara menggabungkan antara filsafat dengan empat mode dan domain itu. Filsafat tidak bisa bekerja sendirian untuk membangun kebenaran, melainkan harus bekerja-sama dengan revolusi politik, hasrat cinta, penemuan ilmu pengetahuan, dan kreasi seni.

Diskursus Badiou tentang kebenaran juga tak terlepas dari bahasan tentang metastruktur. Ketika menempatkan bahwa semua bentuk multiplisitas presentasi dianggap sebagai fenomena kekosongan yang berbahaya. Umpamanya negara yang dipahami oleh Badiou telah tercerabut dari tujuan dan makna terhadap ”yang politis”. Ia menempatkan struktur sebagai poin absolute sebagaimana kaum strukturalis yang memandang dunia layaknya rangkaian struktur terbuka yang matematis.

Metastruktur berusaha menempatkan persoalan kebenaran ke dalam ruang yang mencapai kedalaman dan melepaskan diri dari disorieantasi filosofis. Sehingga persoalan institusi bukanlah problem intrumental, melainkan juga problem teorema ontologis. Salah satu perdebatan ontologis adalah perbedaan ”ada”. Metastruktur merupakan pilihan yang ideal diantara metastruktur itu sendiri dengan negara ditengah tipologi ”ada”. Tipologi tentang ada (the Typology of Being) terdiri dari normalitas (normality), singularitas (singularity), dan kesatuan (excrescence).

Badiou menyebutkan bahwa normalitas sebuah bentuk yang berada dalam dua jalan: presentasi dan representasi. Sementara singular dan kesatuan bersifat presentasi tapi tidak representasi.[5] Presentasi berkaitan dengan ”pada sisi dari situasi”, sedangkan representasi berkenaan dengan ”pada sisi dari bagian atas situasi”. Presentasi muncul secara langsung, sedangkan metastruktur berada dalam representasi yang tak lepas dari setingan yang disentuh filsafat dan matematika yang menghitung dari hitungan (count of the count).

Pandangan radikalisme Badiou ini juga berpengaruh pada pemikirannya tentang Yang politik. Politik sebagai prosedur pencapaian kebenaran. Jadi politik itu bukan hanya yang dipahami secara umum seperti sekarang ini. Politik telah menjauh dari ranah teoritis, apalagi filosofis. Politik sudah menjadi arena pembantaian, keburukan, dan ajang dusta.

Politik bagi Badiou adalah sebuah pemikiran. Pemikiran yang berorientasi pada pencapaian kebenaran. Dimulai dari dua pertanyaan subtansial bahwa apa kondisi yang dapat disebut politik? Dan apa yang bisa dilakukan dalam politik? Badiou mengerjakan proyek intelektualnya di ranah pemikiran politik.

Hendaknya pemeliharaan bahwa kejadian adalah politik, dan bahwa prosedur itu melibatkan suatu bagian kebenaran politik, hanya dibawah kondisi yang pasti. Kondisi yang menyinggung menuju materi atas kejadian, sampai ketak-berhinggaan, atau relasi menuju bagian dari situasi numerikalitas prosedur.[6]

Tesis Badiou pada ketak-berhinggaan (infinity) memiliki dimensi yang menarik. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut. Sebuah kejadian adalah politik jika material adalah kolektif, atau jika kejadian hanya dapat menjadi rujukan sebuah multiplisitas kolektif. Kolektif adalah bukan konsep numerikal disini. Kejadian adalah ontologi kolektif menuju eksistensi yang menyediakan perangkat untuk membangun virtualitas semuanya.[7] Dengan ”pemikiran”, kebenaran dalam politik dapat diproseduralisasi yang dipertimbangkan secara subjektif. Pemikiran adalah nama dari subjek yang membentuk prosedur kebenaran. Penggunaan term kolektif dapat diketahui bahwa pemikiran adalah politik, dan politik adalah pemikiran.[8]

Ketak-berhinggaan (infinity) dalam optik Badiou juga dipahami melalui tiga mekanisme. Pertama, ketak-berhinggan keadaan, yakni panggilan pada peralihan menuju dimensi kolektif dari kejadian politik. Pemikiran yang diperuntukan bagi ”semua”. Kedua, ketak-berhinggaan dari status keadaan, yakni, panggilan untuk bertujuan represi dan alienasi karena hal ini mengandung pemikiran kontrol dari semua yang kolektif atau sub-bentukan dari situasi. Terakhir, kepastian preskripsi politik, di bawah kondisi kolektif yang bisa mengukur tiap bagian kekuasaan.[9]

Badiou menekankan operasi fundamental yang preskriptif yang diberikan dalam membangun kebenaran. Yang tidak lain adalah membangun kebenaran. Tetapi membangun yang tidak memakai paradigma instan yang menyandu dalam struktur negara modern. Kembalinya pemikiran politik, membangun kekuatan untuk menandingi kekuasaan negara dan mengambil alihnya bukan didasarkan unsur emosi dan uforia semata, melainkan pertautan filosofis dengan kekuasaan simpel representasi kolektif.


Oleh: Awaludin Marwan (Luluk)



[1] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Oliver Feltham and Justin Clemens. Continuum. New York. p. 58

[2] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. p. 59-60

[3] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. p. 61-63

[4] Peter Hallward. 2003. Badiou: A Subject to Truth. University of Minnesota Press. London. p. 154

[5] Alain Badiou. 2005. Being and Event. Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Oliver Feltham. Continuum. New York. p. 93-101

[6] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. Di terjemahkan dalam bahasa inggris oleh Ray Brassier and Alberto Toscano. Continuum. New York. p.153

[7] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 154

[8] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 155

[9] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 158