online degree programs

Sabtu, Februari 23, 2008

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL (2)*

Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas nya Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra. Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh---dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring laba-laba.

Jadi, Seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam. Bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan ilmu tentang manusia.

Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita.

Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini.

Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegner dalam memperjuangkan Toeri Kontinental Drift bisa dijadikan bukti, atau nasib Galieo, Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti.

Namun demikian sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengamalan saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya.

Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.

Analisa lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala aqlo saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.

Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya.

Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar untuk berpindah profesi untuk hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan.

(Posting berlanjut….)

*Giyanto : Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya gak setuju sama Hayek kang Gik, masak kerjaan intelektual hanya "memasarkan" saja -walaupun kata itu ada dalam tanda kutip loh...
intelektual lebih dari itu mesti melakukan transformasi intelektual-sosial, melebur, dan merubah tatanan sosial yang gak adil, dalam hal ini adalah intelektual organik khas Gramscian yang emang lebih banyak ditujukan untuk ilmuwan sosial humaniora.

Anonim mengatakan...

Ya saya sepakat dengan hal itu,
dan suatu saat saya akan membongkar habis dan menunjukkan adanya tatanan sosial yang tidak adil itu,
sekarang, tatanan itu bersembunyi di balik slogan-slogan moralis...
parahnya para intelektual sering ikut mendukung program tersebut...
tunggu di tulisan-tulisan saya nantinya...
sekarang saya sedang melakukan penelitian,he2...

Anonim mengatakan...

Ya saya sepakat dengan hal itu,
dan suatu saat saya akan membongkar habis dan menunjukkan adanya tatanan sosial yang tidak adil itu,
sekarang, tatanan itu bersembunyi di balik slogan-slogan moralis...
parahnya para intelektual sering ikut mendukung program tersebut...
tunggu di tulisan-tulisan saya nantinya...
sekarang saya sedang melakukan penelitian,he2...

Anonim mengatakan...

ada sebuah anekdot,
ketika seorang perofesor ular (seorang guru besar yang mengkhususkan konsentrasi penelitiannya pada ular) ditanya oleh seorang awam,
"prof, apa bedanya ular jantan sama ular betina?"

maka sang profesor menjawab,
"ular jantan itu makan katak betina. dan ular betina makan katak jantan!"

si awam kembali bertanya,
"lalu bagaimana kita membedakan katak jantan dengan katak betina?"

dan sang perofesor menjawab dan menegaskan,
"itu bukan kajian saya, itu adalah kajian dari profesor katak. maka anda tanya saja pada profesor katak!"

kiranya dari anekdot tersebut dapat dicermati bahwa penyempitan yang terjadi bukan hanya dalam ilmu sosial. sebagaimana dalam suatu sumber (kurang ingat, tapi yakin ada dalam sedikit buku yang pernah terbaca) dalam perkembangan sampai tahun 80-an, ada lebih dari 300 disiplin ilmu yang telah "memproklamirkan" dirinya, dan itupun terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat.(1 abad)

mungkin yang terjadi, ada semacam kekagetan yang ditanggapi berbeda oleh masing2 ilmuwan. ada beberapa yang menetapkan batas-batasnya secara "radikal" (seperti anekdot di atas) dan sebagian lagi kurang mengetahui batas disiplin keilmuwan yang di buat, sehingga menjadikan "ilmu sosial yang berasa alam"

nuwun..

Anonim mengatakan...

Terimakasih atas tanggapannya, yang barangkali ini memang terkait umur sebuah bidang ilmu, tapi kalo kita ndak menggerakkan ataupun mengingatkan ini akan menjadi berlarut-larut!!!
Namun ndak sepenuhnya demikian, polemik ini sebenarnya sudah lama ketika Plato sedang mengajar matematika, salah satu muridnya bertanya: Apa gunanya kita belajar matematika? konon Plato marah (menurut cerita buku).
yang menjadi keprihatinan saya ialah menyepelekan manusia yg merupakan kajian ilmu sosial terlalu disederhanakan melalui angka-angka yang sifatnya tetap...
ini bukan hanya salah tempat, tetapi sangat merugikan masyarakat umum, karena kebijakan muncul dari ahli-ahli ilmu manusia: salah satunya, Ekonom!!!!
coba pikir!!!