“Mah, lho kok itu temboknya yang sana ditulisi Jawa Pribumi kenapa tho, Mah?”
“Ya karena mereka memang orang Jawa”
“Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah ?”
”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang Indonesia !!!, gitu”
Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny, yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu “membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar, jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi pembakaran….
Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan semangat menceritakan apa yang pernah dialami ia dan keluarganya sejak kerusuhan berbau rasial pada masa pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya, di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadian-kejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku, sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak yang belum bersedia menghargai keragaman.
***
Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapka aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC menggolongkan masyarakat menjadi kelompok berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya. Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif), pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan merasa pihak lain lebih dilindungi.
***
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi budayanya sendiri. (Y. Ardiansyah di ardiansyah_jfc@plasa.com)
“Ya karena mereka memang orang Jawa”
“Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah ?”
”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang Indonesia !!!, gitu”
Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny, yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu “membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar, jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi pembakaran….
Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan semangat menceritakan apa yang pernah dialami ia dan keluarganya sejak kerusuhan berbau rasial pada masa pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya, di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadian-kejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku, sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak yang belum bersedia menghargai keragaman.
***
Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapka aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC menggolongkan masyarakat menjadi kelompok berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya. Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif), pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan merasa pihak lain lebih dilindungi.
***
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi budayanya sendiri. (Y. Ardiansyah di ardiansyah_jfc@plasa.com)
3 komentar:
Kemarin (sabatu, 16/2) saya menghadiri seminar "Sumbangan budaya Tionghoa untuk dunia pendidikan Indonesia" di Ukrida, Jakarta. Acara menghadirkan jaya Suprana dan beberapa tokoh Tionghoa (Cina) yang tak terlalu saya kenal...he. Hadir pula beberapa arti berdarah Cina di situ. Acara ditutup dengan festival kuliner dan pentas wayang Potehi yang khusus didatangkan dari Semarang.
Dalam perhelatan tersebut saya melihat bahwa sudah tidak ada masalah antara Cina dan bukan Cina, pribumi dan nonpri...yang dalam persepsi selama ini digambarkan sebagai Cina an sich (ya itulah imej "negatif" yang timbul). Walaupun begitu sebenarnya tidak dapat dipungkiri beberapa orang Cina masih merasa agak terbelenggu dengan keberadaan mereka yang selama ini masih dianggap pendatang yang serba wah dan tertutup.
Termasuk dan yang terbesar adalah soal imej yang melekat pada seorang Cina seperti keyakinan, agama, tradisi,dan lainnya yang merupakan batu kerikil perjalanan Cina di Indonesia. Dalam acara tersebut seorang tokoh Cina dengan begitu menggebu dan mengutip acak dari Qur'an soal tidak bolenya umat islam memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani (klo tidak salah al-Maidah: 5) menjadi sebentuk keresahan tersendiri dalam pemikiran orang itu ternyata ketika ia ingin menjadi pemimpin formal, sementara mayoritas masyarakat beragama Islam. Dan ironisnya ia mengutip juga dari Bibel, Zabur, dan Taurat untuk menyanggah al-Qur'an.
Saya tahu itu kampanye dan merupakan bentuk keresahan psikologis yang dengan teramat terpaksa terlontar di forum formal seperti itu. yang ingin saya katakan adalah terdapat minoritas dari Cina yang berpikiran sempit, sebagaimana sempitnya pemikiran dan perspektif pandang mainstream masyarakat kita atas Cina.
jaya Suprana menyatakan Cina, jawa, dan Indonesia adalah puncak-puncak budaya dunia, sudah dan mesti sampai kapanpun mengisi untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Filsafat dan pemahaman tentang identitas mesti dipahami secara mendalam agar tak terjebak dalam identitas buta nan palsu yang menutup dari penglihatan akan kesejatian diri atau sisi substantif-esensial dari manusia, baik Cina, Jawa, atau lainnya.
Dalam konsepsi plural dengan tanpa kategorisasi dan standarisasi linier saya akan mengatakan sama atas Cina, jawa, Islam, Kong Hu Cu, Nasrani, sebagai realitas dengan konsekuensi sama.
Edi Subkhan
edi_subkhan@yahoo.com
Sahabat ada karena kita dekat, batas antara sahabat bukan karena "aku" dan "kamu", ia ada karena waktu membiarkannya berlalu...
Luluk bercanda
Yang penting adalah keselarasan. Boleh saja kita menempatkan saat itu kaum etnis tionghoa sebagai kaum tertindas, dan kalangan pribumi yang mendominasi. Karena tak ada keseimbangan (bisa saja disebut keadilan), karena terpisah begitu luasnya kaum borjuis dan kaum ploretar. Kaum borjuis yang amoralis tentunya berimplikasi pada kecemburuan sosial. Dan ini rentan dengan konflik sosial, baik harizontal maupun vertikal.
Kali ini biarlah muncul kesadaran bersama akan arti pentingnya kerja sama, hidup bersama-sama, dan semuanya sama-sama. Terutama kalangan borjuasi yang memiliki tanggung sosial, baik secara perseorangan maupun kelembagaan. Dalam konteks kelembagaan mereka bisa saja mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya melalui Corporate SOcial Responsibility (CSR) yang memiliki tekanan pada kepedulian terhadap penguatan dan pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Yups
Posting Komentar