Ada pertanyaan dalam benak saya, mengapa nasib bapak saya sebagai petani pada saat ini sangat memprihatinkan?. Bapak selalu mengeluh bahwa nilai beras yang dihasilkan dari panen padi saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Maksudnya, baik untuk biaya pendidikan maupun untuk membeli barang-barang konsumsi lainnya. Dulu, kata bapak saya, setiap hasil panen kemungkinan bisa untuk membeli satu sampai dua ekor anak sapi (pedet). Atau kalau untuk beli sepeda motor barangkali mendapat dua kendaraan. Akan tetapi saat ini ceritanya lain. Bayar listrik pun hampir tidak bisa. Dan beliau (bapak) sering menyarankan agar apabila kita mendapat rezeki jangan sekali-kali dicairkan dalam bentuk uang. Karena nilainya akan semakin turun.
Bila dipertimbangkan, pendapat itu sangat benar. Karena pada saat saya bekerja pertama kali sebagai buruh tani sejak SMP bersama-sama satu geng kampung, upah (bukan gaji) saya saat itu sebesar Rp. 750. Dan harga Mie Ayam saat itu ialah Rp. 250, kolak Rp. 50,- dan tiket nonton bioskop hot Rp. 500,-.
Itu dulu. Saat saya masih di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas 1. Dan saya hampir tidak memperdulikan nasehat tersebut. Karena saat ini ukuran kekayaan memang sering diartikan dalam nilai uang.
Uang, Pemerintah dan Masyarakat
Uang adalah media bagi transaksi jual beli. Dulu, bila kita melihat film-film pendekar (jaman kerajaan Mataram, Majapahit dsb), kita sering melihat para pendekar atau pegawai kerajaan menggunakan media emas atau perak untuk bertransaksi. Masa itu ialah jaman kerajaan, sebelum masa kolonialisme datang. Kemudian bangsa kolonial memperkenalkan uang kertas kepada kita. Sekaligus mempengaruhi para founding father kita dengan gagasan konsep negara modern melalui pendidikan kolonial. Saat kita mendeklarasikan “kemerdekaan”, saat itu pula ekonomi moneter menjadi salah satu kendali pemerintah dengan model sisa-sisa kolonial.
Saya tercengang saat membaca buku pengantar mengenai ekonomi uang karya Murray Newton Rothbard (terima kasih yang telah menerjemahkan :Sukasah Syahdan) seorang ekonom mazhab Austria. Seolah saya menemukan titik kejelasan mengenai permasalahan yang sering menggaggu pemikiran, khususnya mengenai kerumitan kondisi ekonomi. Seolah saya mendapat pencerahan baru tentang uang.
Menurut Rothbard (1963) pemerintah pada dasarnya memang bersifat inflasif. Dalam definisinya, inflasi bukan merupakan kenaikan harga-harga barang. Yang menyebabkan kenaikan harga barang itulah yang disebut inflasi. Dengan kata lain, Rothbard mengatakan bahwa inflasi adalah setiap pertambahan pasokan uang dalam perekonomian yang tidak mencerminkan pertambahan stok logam uang. Dengan kata yang lebih kasar, pemerintah ialah agen resmi pemalsu uang. Karena uang seharusnya muncul sebagai efek permintaan dan penawaran di pasar, dia dibentuk melalui pasar sebagai media pertukaran, tidak lebih dari itu. Jadi masyarakatlah yang seharusnya menciptakan uang, dengan stadar atau patokan baku salah satu logam (emas atau perak) yang sudah disepakati masayarakat secara bersama-sama melalui pasar berdasarkan total kapasitas produksi dan konsumsi masyarakat sendiri.
Uang dan Pertanian
Apa pengaruh kebijakan moneter dengan pertanian? Jelas Berpengaruh. Karena dalam setiap transaksi di sektor apapun selalu memakai uang yang dikeluarkan pemerintah melalui bank sentral (BI). Dan kebiasaan bertransaksi oleh masyarakat pertanian kita melalui barter atau bagi hasil dalam pertanian sudah lama ditinggalkan. Gambaran ini bisa kita ambil pelajaran saat kita kecil, ketika saya masih kecil, orang-orang yang berasal dari luar kota sering mencari pekerjaan ke rumah saya dengan upah beberapa kilogram padi. Dulu istilahnya nderep. Nderep, yaitu upah yang diberikan pemilik lahan pertanian saat panen dengan hasil panen langsung melalui bagi hasil.
Namun demikian, saat ini hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Karena tingkat konsumsi masyarakat semakin bertambah sedangkan nilai hasil pertanian tidak mengalami perubahan. Petani seolah diserang dari segala penjuru. Dari biaya produksi yang tinggi, yaitu: upah buruh karena standar upah naik seiring dengan meningkatnya stadart hidup masyarakat, biaya irigasi karena petani sekarang harus membeli minyak atau bensin untuk menghidupkan mesin pompanya, traktor, biaya pupuk, obat pembasmi hama dsb yang semuanya harus dibeli melalui uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Ditambah lagi, munculnya kelas sosial baru: Makelar. Kemunculan penebas tidak membuat petani semakin diuntungkan, akan tetapi monopoli mereka terhadap proses penggilingan dan pengeringan yang telah mereka kuasai membuat nilai tawar harga padi ke pasar sangat rendah. Tidak mungkin petani kecil menggiling serta mengeringkan padinya sendiri karena mereka tidak memiliki alat produksi. Dan yang terakhir faktor alam: seringnya terjadi banjir. Singkatnya, lengkaplah pembasmian secara sistematis terhadap masyarakat petani kita.
Menelusuri Aliran Uang
Menelusuri aliran uang sebenarnya sangat sederhana. ini bisa ditelusuri dari pertanyaan, dari mana uang berasal? Dari Bank Sentral yang kemudian di lempar ke pasar. Darimanakah pemerintah mendapat dana? Jelas dari pajak. Kemudian, buat apakah pajak tersebut? Yang jelas, buat operasional pemerintah. Apa itu? Gaji PNS dan beberapa pembangunan. Selanjutnya, kemanakah uang itu? Yang jelas untuk konsumsi yang berprofesi PNS dan dekat dengan pemerintahan. Lebih jauh, akhirnya kemana uang itu? Ke para peritel. Lalu? Peritel menyetor ke distributor, distributor kemudian ke pusat produksi (pabrik dan sejenisnnya termasuk pertanian). Pusat produksi (sebagian besar pabrik dan pertanian) jelas membutuhkan bahan baku atau bahan produksi yang didapat dari mana? Hasil kerja atau transaksi jasa mereka sendiri untuk mendapatkan uang untuk biaya produksi mereka sendiri dengan memakai uang lemparan dari Bank Sentral. Jelas-jelas disini yang parasit atau pencuri itu siapa? Jelas Pemerintah. Mengapa? Karena mereka tidak harus memproduksi seperti pabrik-pabrik ataupun pertanian.
Uang kita dicetak pemerintah melalui Bank Sentral (dalam hal ini BI), maka otoritas penuh ada di tangan pemerintah. Ironisnya, kita tidak tahu apakah benar-benar Bank Sentral mencetak uang berdasarkan total kemampuan produksi masyarakat atau berdasarkan “pengamanan” kepentingan anggaran mereka sendiri?. Kita tidak tahu pasti.
*Giyanto: Anak Seorang Petani dan Pengamat Sosial tinggal di Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar