Saya sedikit konfirmasi dari apa yang dikemukakan Kang Gik di posting ke-2-nya kemarin. Dikatakan bahwa saya dan taufik jelas-jelas mengalami kebimbangan khas sarjana muda yang baru keluar dari “persembunyiannya”. Hal itu tidaklah benar Kang Gik.
Segala posting saya kemarin, kini, dan yang akan datang adalah refleksi dari pengalaman “baru” di Jakarta yang belum belum pernah saya alami selama ini, atau jika pernah saya alami, maka belum terpikirkan untuk menuliskannya saja, belum ada waktu kemarin-kemarin itu Kang.
Dan itu bukan kebimbangan, secara leksikal bimbang adalah kondisi psikologis dari seseorang yang berada di antara beberapa hal yang tak menentu, termasuk problem eksistensial mengenai pilihan-pilihan (saya tidak nyontek kamus untuk definisi ini, tapi saya abstraksikan dari pengalaman saja). Sedangkan yang kami alami adalah berjumpa dengan sesuatu yang baru dan kemudian merefleksikannya, itu saja.
Misalnya saja tentang kemanusiaan, yakni fenomena kemanusiaan yang baru ditemui, tentang banalitas kehidupan kota, individualitas manusia-manusia urban, kota yang tak pernah tidur, manusia-manusia yang selalu saja berlari, dan lainnya. Itu adalah hal yang sama sekali baru saya berada di dalamnya daripada selama ini di Semarang yang lebih humanis, kota yang kalau malam juga tidur, manusia-manusianya yang berjalan lambat (pambat betul).
Termasuk tentang peta intelektual di Jakarta yang mulai tampak kentara beda antara Utan Kayu dan Driyarkara serta Bengkel Teater Rendra, Freedom Insitute dan Nusantara Centre, dan lainnya. Setidaknya semua komunitas dan institusi yang saya sebutkan tersebut sudah saya datangi semuanya. Mulai terpetakan dengan lebih gamblang, dan untuk sekarang yang terjadi bukan “bimbang”, tetapi memahami, masuk di semua, dan kalau belajar kan mesti lintaskomunitas, lintasilmu, multidisiplin, dan lainnya kan?
Jadi itulah yang terjadi, sekadar ungkapan untuk menyatakan bahwa Jakarta Berbeda dengan Semarang, saking lamanya saya di Semarang dan saya tak pernah menulis esai atau feature yang humanis –mnimal merefleksikan dan menyentuh sisi humanis- soal Semarang.
Okelah soal determinasi, yang penting belajar agar menggunakan istilah tepat untuk tujuan yang tepat, apakah determinasi dalam arti leksikal-semantik atau dalam perspektif keilmuan tertentu. Determinasi banyak dipakai setidaknya oleh teoritis Marxis sebagai sebuah isme (determinisme) tentang konsep-konsep alienasi komunitas. Determinisme secara lesikal (menurut kamus) adalah: (1) kebulatan tekad, ketetapan hati. (2) Penentuan. Penggunaan secara leksikal determinisme seperti: “determination to further” artinya ketetapan hati untuk maju. Rupanya arti secara leksikal yang lebih dekat pada dimensi psikologis inilah yang dimaksud Kang Gik to...oalah Sudrun, mbel gedhes tenan!!!
Kang Gik, saya tidak pernah menolak predikat apa pun yang disematkan pada saya termasuk tokoh “kecil” pendidikan pembebasan, Freire ala Indonesia, tak apalah. Predikat setidaknya menunjukkan saya sebagai subjek yang nantinya akan mengarah pada objek –atau sasaran- gerak cie...
Soal kesadaran dan kebebasan dan pencapaian “tertinggi” yang menurut awam mudah untuk dikatakan sebagai terlalu rendah atau terlalu tinggi, maka saya lebih berpegang pada pemaknaan dan penafsiran atas “pencapaian” itu yang tentunya dipengaruhi oleh latar kehidupan masing-masing. Pemaknaan atas “peran ideal” pun berbada Kang, antara satu orang dan lainnya. Tentunya bergantung dari bacaan mereka, lingkungan mereka, intensitas bertemu dengan aktivis atau aktivitas intelektual tertentu, dan banyak faktor lainnya yang sangat menentukan. Kadang orang tidak tahu potensinya, kadang orang sok tahu potensinya, dan kadang ada yang betul-betul tahu potensinya dan bagaimana menggunakannya dalam satuna ruang dan waktu tertentu. Ingat Kang, kemunculan seseorang yang tepat dalam ruang dan waktu yang tepat dan menjadi yang tepat –dalam arti peran sosial-masyarakat- yang tepat menentukan keberhasilan tujuan utama hidup.
Terminologi “tujuan utama hidup” pun dimaknai beragam oleh kaum borjuis, proletar, agamawan, dan lainnya Kang, ingat itu. Tujuan utama kehidupan merujuk pada sebuah habitus dalam konsepsi teoritiknya Pierre Bourdieu, di mana habitus membutuhkan modal sosial-intelektual dan material, setelah itu melihat ranah juang yang pada akhirnya akan menjadi dan menentukan praktik. Rumusnya Bourdieu adalah, (habitus x modal) + ranah = praktik, di sini Bourdieu telah malampaui sosiologi Marx.
Kang Gik yang khawatir akan dominasi paradigma Cartesian yang positivistik dalam keilmuan, termasuk keilmuan adalah wajar, tapi tak perlu dibesar-besarkan, karena positivistik pun akan berguna dalam ranah ilmu pasti dengan objek kajian masalah tertentu. Akhirnya dibutuhkan keberanian untuk mengabstaksikan pengalaman empiris kita sebagai bagian dari sebuah ilmu pengetahuan. Di sini Kang Gik dan kawan-kawan lainnya meniscayakan untuk belajar teori-teori kritis, tak hanya Marx, tapi juga neomarxisme yang dimotori Mazhab Franfurt seperti Adorno, Horkheimer, Camus, Habermas dan lainnya. Juga teori –teori budaya dalam disiplin cultural studies, perlu juga memperdalam teori feminis, posmodernis, dan Derrida, serta banyak lagi lainnya.
Tak cukup itu untuk soal pilihan hidup, tentang tema-tema makna tujuan hidup, perlu mempelajari aliran eksistensialisme mulai dari Soren Kierkegaard, Nietszche, Sartre, sampai Muhammad Iqbal al-Pakistani, karena tema-tema itu adalah bahasan sentral eksistensialisme. Sekadar catatan tentang penutur eksistensialisme di Indonesia, adalah Soedjatmoko, Fuad Hassan, karya eksitensialisme seperti Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad (jilid 1 s.d 5 diterbitkan Grafiti, untuk jilid 6 oleh Tempo). Selain itu juga Pramoedya Ananta Toer. Kalau di Semarang sulit bertemu eksistnesialis, ya datang saja ke acara Gambang Syafa’at tiap tanggal 25 masehi di Baiturrahman, di situ ada Cak Nun yang bagi saya setelah membaca karyanya Slilit Sang Kiai, Kiai Sudrun Gugat, dan “pentas”nya selama ini di Gambang Syafa’at (Semarang) dan Kenduri Cinta (Jakarta) ia adalah seorang eksistensialis. Tentang idealisme perlu pelajari Hegel, Immanuel Kant, Plato, dan lainnya.
Saya di akhir tulisan –tanggapan- ini menyatakan tak ada otoritas keilmuan tunggal yang dimonopoli sekelompok ilmuwan saja. Pada kenyataannya, semua teori dan temuan dapat dibantah ketika ditemukan yang baru dan lebih “benar” dan “bermafaat”. Positivistik memandang ilmu itu benar jika terdapat kesesuaian antara ide dan realitas, sementara teori kritis menyatakan ilmu itu benar kalau bermanfaat (seperti untuk membebaskan kaum tertindas, menegakkan keadilan). Kita perlu belajar itu semua. Belum lagi ketika keilmuan itu mengalami kontestasi di “ruang publik”, akan kian pelik dan beragam problemanya. Mudah-mudahan saya dapat memahami itu semua, saya sedang mendalami konsepsi dan aktualitas “ruang publik” di STF Driyarkara sekarang ini untuk 1 semester ke depan, biar lebih paham dengan dunia, hidup, dan kehidupan ini.
So, beranilah menjadi intelektual organik, yang mencari kebenaran, menyatakannya, memperjuangkannya, dan mempraktikannya.
Edi Subkhan, peserta Extension Short Course of Philosophy STF Driyarkara, Jakarta.
2 komentar:
ya ikut guru Ed aja, tapi ak belum terlalu sepakat dengan rumusan Boredeau..
Klo gak sepakat dengan Bourdieu ya dibantah secara intelektual ya...landasan epistemologisnya apa, ontologisnya dan lainnya. Setahu aku Bourdieu mengoreksi ketiga "nabi" sosiologi terdahulu yaitu Marx, Weber, dan Durkheim dan merumuskan sosiologi reflektif khas Bourdieu. OK.
Posting Komentar