online degree programs

Rabu, November 26, 2008

Risalah Negara








Izinkan saya untuk menyatakan bahwa saya bukan pakar tata kenegaraan, ideologi-ideologi dan falsafah kenegaraan, bukan pula pengamat dan pemikir kenegaraan, juga bukan pengamat dan pemikir pendidikan. Label-label itu dalam ketakutan saya jangan-jangan justru untuk memupuk subur keangkuhan intelektual saja, yang sebisa mungkin saya hindari, semoga. Saya hanya ingin berbagi tahu sedikit yang sata tahu soal kebebasan dan Negara pada pembaca yang budiman.

“Kebebasan” itu tidak hanya ilusi dan tipuan jargonistik saja, lebih dari itu membuat orang merasa hebat, yang dapat kita lihat dalam filsafat yang berpusat pada kesadaran dan kehendak bebas imbas dari gairah masa renaisance dan berujung pada ide Ubermensch dari Nietzsche sang pembunuh Tuhan, sang pengarang Thus Spoke Zarathustra yang menjadi inspirasi Naziisme Hitler dalam Mein Kampf, dan akhirnya Nietzsche sendiri mati setelah sakit dan divonis gila dalam rumah sakit jiwa, hanya di rawat oleh adik perempuannya.

Filsafat kebebasan adalah omong kosong dari seorang yang lupa pada fitrah kedirian dan kemnusiaannya sendiri. Lupa bahwa ia secara fisikal di alam material tidak bebas dari hukum fisika Newtonian dan geometri Euclydes, bukan di alam virtual-hiperalitas yang sepenuhnya simulacrum dan simulasi dalam pengertian Jean Baudrillard. Adalah Jean-Paul Sartre yang juga pernah memimpikan kebabasan mutlak manusia sebagai prasyarat untuk membentuk moralitas baru, sama sekali baru. Tapi dengan jujur pada 15 hari sebelum wafatnya, ia merevisi total filsafatnya tersebut, sebuah kejujuran intelektual yang patut dan mesti kita ikuti.

Dikiranya dengan kebebasan penuh manusia untuk berbuat sesuatu, termasuk dalam pilihan-pilihan transaksi ekonomi dan negosiasi politik, maka kesejahteraan akan otomatis terwujud, kebahagiaan otomatis. Mereka yang mengimani faham kebebasan ini lupa bahwa ada subjek-subjek lain –yang mungkin dicobamatikan- yang juga berfaham kebebasan. Di titik inilah yang terjadi bukan harmoni, kesejahteraan, dan kebahagiaan, melainkan konflik dan perebutan kekuasaan serta koersi-koersi. Dalam ranah ekonomi terjadilah ekonomi kapitalis yang melahirkan kaum borjuis pro status quo, praktik monopoli, mitos trickle down effect dengan filantropi, omong kosong CSR, dan lainnya. Walaupun saling berjalin kelindan dengan ekonomi dan ranah sosio-humaniora lainnya, namun secara sederhana dalam politik kemudian melahirkan politikus busuk, hasrat berkuasa, konflik perebutan kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan lainnya.

Dalam konsepsi pemahaman Islam atas manusia (insan, nass) dinyatakan bahwa salah satu yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh malaikat (yang lebih tinggi derajatnya dari manusia) dan setan (yang lebih rendah derajatnya dari manusia) adalah nafsu. Jadi, setiap manusia memiliki nafsu, entah baik maupun buruk. Nafsu sifatnya adalah potensial, ia adalah potensi, yang baru menjadi “aktual” dalam pemikiran dan sikap aktif. Salah satu nafsu tersebut adalah keinginan untuk berkuasa, menguasai orang lain, lingkungan, materi (harta), yang dalam bahasanya Nietzsche disebut sebagai will to power. Hasrat in tak hanya bersifat dekonstruktif tapi bahkan destruktif (menghancurkan). Dimensi negative manusia ini dalam pengertian lain dinyatakan oleh Freud sebagai thanatos.

Ketika hasrat destruktif will to power ini diakomodasi dan tolerir oleh filsafat kebebasan, maka yang terjadi –sebagaimana di sebut di muka- adalah konflik, kekerasan, kriminalitas, chaostik. Oleh karena itu, di sini kata kuncinya adalah diperlukannya aturan (rule) dan bahkan paksaan untuk membatasi kebebasan demi terciptanya harmoni dan ketertiban umum dalam ruang public (public sphere/public space). Memang yang paling baik konsensus terbangun secara alami, namun hal itu tidak mungkin karena pasti ada kepentingan, koersi, hegemoni, dominasi, reifikasi, dalam bentuknya yang paling halus sekalipun. Nah, salah satu ijtihad manusia untuk memberikan ketertiban dan mengatur hasrat-hasrat destruktif yang potensial diakomodasi oleh paham kebebasan itu adalah negara dan bangsa –walaupun kata Ben Anderson sekadar imajinasi. Apa yang lebih baik dari negara untuk memberikan ketertiban di ruang public, di mana agama, ras, etnik, gender, kelas sosial berada dan menjadi satu di dalamnya?

Edi Subkhan, hanya penulis artikel pendek ini saja

Selasa, November 25, 2008

Selamat Hari Guru 25/11/08



Beberapa hari yang lalu saya diundang Pak Lody dan Jimmy Paat, beliau berdua dosen fak.bahasa UNJ, yang kebetulan aktif di Koalisi PEndidikan. Undangannya tuk sebuah diskusi yang kemudian kami namakan Kelompok Kajian Kultural dan Pedagogi yang diback up penuh oleh begawan pendidikan kita, Prof. H.A.R.Tilaar, kebetulan waktu itu beliau juga hadir. Dengan sedikit perkenalan, Pak Jimmy yg pernah kuliah di Perancis dan sempat jadi dosen di sono, menyampaikan paper tentang "Pendidikan Guru dan Neoliberalisme", sebuah tema yang jarang disentuh oleh civitas akademika kita.


Dikemukakannya dengan mengutip Apple, Giroux, Bourdieu & Passeron -ya jelaslah dia kan dari Perancis, hingga nuansa Posmonya lumayan kuat- bahwa pendidikan guru sekarang terkungkung dalam neoliberalisme an sich.

Sekadar tuk referensi bagi yang tertarik adalah Henry A. Giroux, Teacher as Intellectuals. Toward a Critical pedagogy of Learning, New york, Bergin & Garvey, 1988. juga Stanley Aronowitz & Henry A. Giroux, Education Still Under Siege, westport, Bergin & Garvey, 1993 (edisi ke-2).

Yah, kelihatan di komunitas Kelompok Kajian Kultural dan pedagogi asuhan Prof. H.A.R. Tilaar tersebut memang kental nuansa cultural studies, jadi memandang pendidikan tidak dari sisi pendidikan itu sendiri, tapi secara multidisiplin, intradisiplin, dan cultural studies pada tahun 70-an marak di Amrik sono tuk juga memandang pendidikan, muncullah para teoritisi pendidikan kritis. Saya pikir di Indonesia masih jarang yang memandang pendidikan dari sisi tersebut, kecuali Prof.Tilaar dan beberapa intelektual muda yg belum diberi kesempatan oleh sistem yang hegemonik ini untuk bersuara. Prof. Tilaar telah merumuskan pedagogi transformatif, sebagaimana Giroux mengemukakan critical pedagogy, atau bahkan radical pedagogy. Jadi biasa dalam diskusi kami menyebut para pemikir posmodernisme, marxisme, postmarxisme, neomarxisme, dll spt jean-Francoys Lyotard, Jean Buadrillard, Derrida, martin Heidegger, Jurgen Habermas, Adorno, Marcuse, Marx, Gramsci, Laclau & Mouffe, Poulantzas, atau yang lebih familiar di telinga kita seperti Freire, Ivan Illich, Rheimer, dll.

Nah, neoliberalisasi pendidikan guru bagi Pak Jimmy dengan acuan referensi seperti Bourdieu, Apple dan lainnya itu adalah, pendidikan guru tradisional yang hanya menghasilkan guru-guru yang mendukung status quo dan guru pengikut (follower). Di sinilah mestinya, pendidikan guru menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap neoliberalisme. solusinya adalah, (1) mendudukkan pendidikan guru sebagai politik kultural, dan (2) yang diperlukan adalah -dengan mengutip Giroux- guru sebagai intelektual transformatif, Pak Tilar menyatakannya sebagai pedagogi transformatif.

Secara singkat, guru sebagai intelektual transformatif mesti: (1) membuat pedagogi menjadi lebih politis, dan (2) membuat politik menjadi lebih pedagogis. Dengan demikian, memasukkan pendidikan guru dalam ruang publik politik dengan memperlihatkan bahwa sekolah dan kampus merupakan ruang pertarungan makna dan relasi kekuasaan, yang dicoba tutupi oleh kesadaran palsu -kata Marx- berupa ideologi-ideologi itu (bagi Marx kesadaran yang tak palsu, atau kesadaran sejati adalah kesadaran kritis, atau kritisisme tapi bukan dalam pengertian Kantian).

Yah, sampai sekarang sistem pendidikan guru kita, bahkan sistem pendidikan nasional bahkan untuk menyebut sedikit saja, terbitnya kesadaran politik kultural. Guru sekadar mau demo ketika meminta hak gaji, tunjangan, dan kesejahteraan materi saja, rasanya belom pernah saya lihat guru demo tanda tidak setuju sebuah kurikulum top down diberlakukan, atau memperdebatkan sebuah substansi materi pelajaran. Guru sebagai sebuah gerakan kolektif, seperti PGRI sekadar jadi alat politik saja, yah..apa daya.

Saya jadi ingat dalam perkenalan itu, Pak Tilaar memperkenalkan diri denan mengatakan, "perkenalkan, saya...pemberontak!", dan diakhir ulasannya atas materi yang dibawakan Pak Jimmy, Pak Tilaar berteriak, "Merdeka!!!". Ah, betapa malunya saya sama beliau, masih muda tapi semangat memberontak dan memerdekakan diri saya sangat kecil. DI usia yang sudah 70 tahun lebih, binar cahaya idealisme itu masih terang di mata Pak Tilaar, seakan dalam hati saya berkata, "jangan khawatir Pak, jika bukan saya yang meneruskan cita-cita Bapak, saya yang akan mendampingi seribu Tilaar baru tuk berontak dan memerdekakan bangsa ini dari neoimperialisme, neoliberalisme, kapitalisme sialan itoe...!!!". Semoga,

Salam,

Edi Subkhan, di Jakarta

Minggu, November 23, 2008

BELAJAR MAKNA “BELAJAR” DARI YAN ZHITHUI *


"Asia is the near-term hope for humanity. They are becoming more free and experiencing the prosperity that ensues. If their economists read and understand the Austrians (or rediscover the same truths) the sky is the limit. If not, expect another world empire accompanied by politics and war for another 200 years."
Brian Gladish, Quote on Mises blog comment (Capitalists in China)

Belajar mempunyai nilai praktis dan juga idealis. Selain membentuk karakater, belajar memampukan kamu untuk meningkatkan kecakapanmu secara umum dan menguasai keterampilan tertentu untuk hidup. Keahlianmu dapat membuat kamu bertahan terutama pada masa ketidakpastian ketika tidak ada pekerjaan tetap dan keluarga yang mendukung. Kemampuanmu untuk bertahan tergantung pada pendidikanmu. Keahlian yang bermanfaat adalah lebih baik daripada uang. Apakah kamu pandai atau bodoh, kamu harus belajar. Adalah berguna untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dan mengenal lebih banyak orang.

Waktu yang paling baik untuk belajar adalah ketika kamu muda dan pikiranmu masih segar. Apa yang telah dipelajari sejak kecil akan bertahan sampai mati. Ketika kamu tumbuh dewasa, kamu akan dikacaukan oleh berbagai hal yang lebih sulit berkonstrasi. Ini alasan kenapa kamu jangan menyiakan masa mudamu. Saya masih ingat apa yang telah saya pelajari ketika setelah berumur tujuh tahun. Tetapi apa ang saya pelajari setelah bermur dua puluh tahuh, saya cenderung untuk melupakannya setelah sebulan.

Karena berbagai alasan, sebagian orang tidak dapat mengabdikan dirinya untuk belajar pada saat mereka masih muda. Dalam hal ini, mereka harus menerima pendidikan ketika mereka dewasa dan harus melipatgandakan usaha mereka untuk mendapatkannya. Pendidikan di usia dewasa sudah tentu selangkah lebih lambat, karena orang dewasa tidak dapat berkompetisi dengan orang muda. Tetapi mereka tidak seharusnya menganggap diri mereka tidak berguna[...]

Belajar itu seperti bercocok tanam. Kamu menuai apa yang kamu tabur. Kamu dapat bercita-cita tinggi. Jika kamu tidak menetapkan cita-cita tinggi bagi dirimu sendiri, kamu mungkin gagal di bawah rata-rata. Untuk belajar sesuatu dengan baik, kamu harus mempelajari karya-karya klasik di bidang yang kamu pilih dan pada saat yang sama belajar dari ahlinya. Hormatilah kekuasaan tapi jangan memperlakukakannya seperti dewa. Kalau tidak mau tidak akan pernah dapat menandinginya. Dengan menggunakan presatasi mereka sebagai titik awal, kamu bisa berharap untuk menandinginya. Pada setiap bidang, ada guru yang hebat, tetapi kau tidak mendapat kesempatan bertemu dengan mereka. Kebanyak orang hanya dapat belajar dari orang yang bukan ahlinya. Jangan membiarkan mereka membatasi potensimu.

Pada setiap bidang profesional ada petunjuk pasti yang dapat diikuti. Jika kamu tidak memahaminya, kamu tidak dapat membuat prestasi yang baik. Maka jangan hanya berkonsentrasi pada keahlian teknis saja.

Saya tidak menentang orang yang berpengetahuan. Tetapi kamu harus memilih profesi kamu. Syarat awal untuk menjadi orang yang terdidik adalah bahwa kamu sudah menguasai bidangmu sendiri. Sangatlah sulit bagi kebanyakan orang untuk menguasai segalanya di bidang yang mereka pilih. Secara maksimum, mereka hanya dapat mempelajari mungkin dua pertiganya. Itu sudah cukup bagus. Jika kamu belajar keahlian khusus, penting sekali untuk belajar di bawah bimbingan seorang ahli. Lebih baik mengetahui sesuatu secara menyeluruh daripada mengetahui sedikit tentang segala hal. Banyak orang pandai tidak menyadari potensi istimewa mereka sendiri karena mereka tidak menjadi ahli di bidang tertentu.

Buku dapat mengajar anak-anak tentang kewajiban mereka terhadap orangtuanya, dan mengubah sikap angkuh menjadi sederhana, kejam menjadi murah hati, pelit menjadi dermawan, kasar menjadi lembut, pemalu menjadi berani, egois menjadi pemerhati, gegabah menjadi sabar dan picik menjadi toleran.

Bagaimanapun juga, banyak orang dapat mengutip kalimat dari apa yang mereka baca, tetapi tidak pernah menjalankan apa yang mereka pelajari. Belajar seharusnya membantu anda meningkatkan diri anda sendiri. Tetapi saya mengamati bahwa orang cenderung untuk menjadi sombong hanya karena mereka mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu. Mereka memandang rendah generasi mereka dan tidak menghormati orang yang lebih tua. Sebagai hasilnya, orang-orang tidak menyukai mereka. Jika pengetahuan membuat mereka bersikap seperti itu, lebih baik tidak berpengetahuan sama sekali.


* Disadur dari buku Kisah-Kisah Kebijakan China Klasik: Refleksi bagi para pemimpin. Yan Zhitui (531-591) adalah seorang cendekiawan terkenal pada abad ke enam.

Sabtu, November 22, 2008

Candu


Candu….

Tak bisa hidup ini tanpamu

Tak bias seharipun aku tanpamu

Kecuali aku akan binasa…….


Tapi dahulu……

Saat aku belum mengenalmu

Saat burung-burung selalu menghampiriku

Hanya untuk berkata “ikutlah denganku”

Saat kelelawar datang di malam sunyi

Hanya untuk berkata “good night

Aku iri pada kalian…..

Bebas terbang menembus cakrawala

Menghantam kencangnya angin yang menghalaumu terbang

Menerjang derasnya hujan penghalang kepergianmu

Tapi kalian tetap terbang

Tak peduli aral melintang

Tak peduli badai datang

Aku iri pada kalian………..

Aku yang bagai terpenjara jiwa ini saat itu


Tapi kini……………..

Setelah candu itu kutemukan

Setelah candu itu mengubah hidupku

Setelah candu itu membuatku terbang

Yah, terbang bebas ke angkasa

Menembus cakrawala

Seperti burung-burung dan kelelawar

Aku telah temukan lorong-lorong jalan menuju kebebasan dan kemerdekaan

Merdeka jiwa, hati dan pikiran

Hingga membuatku tiada…..

Tiada arti, bukan siapa-siapa……

Kecuali dengan candu-Mu

Oh, candu…………..


By: Nur Amri El Insiyati




NB: mbak Elin saya tampilkan gambarnya Sir Mohammad Iqbal al-Pakistani ya hehehe....

maklum saya lagi baca Iqbal dikit-dikit.... (Ed Khan)

Matinya Diskursus Ilmu Pendidikan


Dunia pendidikan sekarang mengalami kekeringan ide, minim diskursus ilmu pendidikan yang mampu membangun fondasi ilmu pendidikan baru. Para generasi tua, para pendidik dan aktivis pendidikan tua lebih disibukkan atau mungkin memang sengaja dibuat sibuk untuk menanggapi isu-isu kulit seperti ujian nasional, sertifikasi guru dan dosen, UU Sistem Pendidikan Nasional, Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, dan lainnya, sementara itu diskursus ilmu pendidikan tidak terurus.


Tak banyak diskursus ilmu pendidikan yang mengemuka di jagat pendidikan nasional kita. Satu yang dapat disebut adalah H.A.R Tilaar yang begitu produktif untuk terus mengkaji dan mengembangkan diskursus ilmu pendidikan melalui karya-karyanya, antara lain Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (2002), Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (2003), dan Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (2005). Melalui karya-karya itu beliau mempertemukan diskursus ilmu pengetahuan kontemporer, terutama teori-teori sosial kritis, cultural studies, post-strukturalis, feminis, posmodernis, muncullah nama-nama Adorno, Marcus, Habermas, Lyotard, Derrida, O’neill, Bourdieu dalam diskursus ilmu pendidikan yang coba dikembangkan Prof. Tilaar.

Satu wakil dari penulis muda pendidikan kritis, Eko Prasetyo pun tampaknya lebih berperan sebagai provokator intelektual kritis dalam karya-karyanya, belum terdapat yang betul-betul mengkaji secara serius diskursus ilmu pendidikan dengan mempertemukan pikiran-pikiran besar seperti Foucault, Bourdieu, Habermas untuk mendedah ilmu pendidikan di Indonesia. Menurut hemat penulis, baik Prof. Tilaar maupun Eko Prasetyo –anggap saja mereka mewakili dua generasi pendidik kritis Indonesia- masih berkutat pada sekadar menghadirkan diskursus itu ke dunia pendidikan kita, belum membuat diskursus tersendiri dengan pikiran-pikiran besar itu.

Selebihnya para intelektual pendidikan lebih banyak terjebak pada menyikapi ketidakberesan implementasi sistem pendidikan Indonesia. Memang secara prioritas problem empiris seperti ujian nasional, akses pendidikan, dan lainnya yang terjadi mesti segera diselesaikan, namun pada akhirnya hal itu menjadikan mereka terlupa pada hal fundamental pendidikan, yakni untuk terus mengembangkan ilmu pendidikan. Di sinilah terjadi matinya diskursus ilmu pendidikan, mungkin banyak artikel muncul di media massa nasional yang seakan-akan membawa diskursus ilmu pendidikan karena mengambil ide-ide besar dan seringkali membuat pembaca terperangah, “oh iya, ternyata teori itu cukup tajam untuk menganalisis fenomena pendidikan”. Namun sebenarnya tidak, ia hanya sambil lalu, reaksioner sesuai dengan fenomena sosial dalam pendidikan yang agaknya mesti dikomentari, ia tak mampu tumbuh menjadi diskursus, atau ide-ide besar ilmu pendidikan. Ya, karena memang itulah sifat media massa dan tulisan di media massa.

Sejak Ki Hajar Dewantara agaknya diskursus ilmu pendidikan kita tak berkembang, tak pernah ada diskursus, polemik, atau ide-ide besar yang muncul dari para pendidik kita sampai sekarang. Salah satu penghambatnya adalah perasaan telah cukup dengan ajaran Ki Hajar Dewantara yang ‘diwajibkan’ oleh pemerintah untuk dilaksanakan, merasa cukup dengan dogma ilmu pendidikan berbasis agama masing-masing, dan merasa cukup puas dengan impor teori-teori pendidikan dari luar yang dibawa oleh para pengasong ilmu dari Barat. Rasanya belum pernah terdapat diskursus besar yang merupakan dialektika dari ide-ide besar Barat dengan konteks keindonesiaan kita. Padahal memegang ajaran Ki Hajar bukan berarti tak boleh mengembangkan atau bahkan mengkritiknya, justru ia akan mati jika tak dibaca secara kritis dalam konteks kekinian.

Matinya diskursus ilmu pendidikan sebagai sebuah kekosongan diskursus ilmu pendidikan selama ini mengakibatkan keterputusan generasi yang memiliki concern pada ilmu pendidikan -semuanya mengarah pada dimensi praksis pendidikan- yakni mereka yang tak sekadar berminat terjun dalam dunia pendidikan, namun juga menguasai literatur yang memadai atas ilmu-ilmu pendidikan kontemporer maupun klasik, termasuk penguasaan secara multi dan lintasdisiplin sebagai modal awal untuk menumbuhkan ide-ide dan diskursus-diskursus besar ilmu pendidikan. Di sinilah mesti ada satu generasi baru, dan itu tidak mungkin berasal dari generasi tua, para pendidik dan intelektual lama, tapi anak-anak muda yang sadar perlunya penguatan fondasi ilmu pendidikan baru di tengah kejumudan praksis pendidikan dan kekosongan ide-ide besar ilmu pendidikan, yang hal itu menjadi sebab karut-marutnya praksis pendidikan sekarang.

Ketika institus keguruan dan ilmu pendidikan sudah terbelit pragmatisme pedidikan dan prestise beralih menjadi universitas, ketika program filsafat pendidikan pada fakultas ilmu pendidikan sudah dihapus rezim berkuasa dengan alasan dan sepi peminat dan tak ada lapangan kerja, ketika mereka yang belajar S2 atau S3 pendidikan lebih diniatkan untuk menunjang karier akademik masing-masing, maka anak-anak muda ‘yang baru’ dengan kesadaran atas kekosongan ide besar dan diskursus ilmu pendidikan sekarang, mesti pro-aktif menggugat ‘kemapanan’ ini. Mesti berinisiatif untuk mendatangi para guru-guru besar, intelektual, dan pendidik yang memiliki kapasitas ilmu pendidikan cukup tinggi, berguru pada mereka. Kemudian bersama mengkaji diskursus berbagai disiplin keilmuan kontemporer dengan ilmu pendidikan dalam konteks keindonesiaan dan kekinian untuk melahirkan ide-ide dan diskursus besar ilmu pendidikan di Indonesia.

* Edi Subkhan, penulis

TERORISME BARU GEJALANYA

Menangkap, mengadili, dan memidanakan pelaku terorisme ternyata belum menyelesaikan persoalan. Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) ini, sesungguhnya berasal dari kemiskinan dan kebodohan.




Penangkapan pelaku terorisme beberapa waktu yang lalu pantas dipujikan kepada aparat. Namun, itu baru menenangkan gejala sesaat dari suatu kejahatan. Kemiskinan dan kebodohan faktor fundamental. Tanpa kebodohan, ajaran terorisme tak akan mudah di anut (brain washing) para pengikut barunya, tanpa kemiskinan dan pekerjaan yang layak, para pengikut teroris pun tak mau menerima pekerjaan ini.

Untuk meyakinkan akan uraian di atas, mari kita tengok teori penyebab kejahatan berikut ini. Bardanawawi (2008) mengkonstatasikan bahwa konsentrasi pidana diperhatikan pada: tindak pidana (crime), kemudian ke pelaku (offender/ the criminal), dan masyarakat (society). Pertama, tindak pidana, menekankan persoalan pada perbuatannya saja, sehingga penanganannya pun melalui sanksi. Dalam konteks ini dikenal dengan tujuan absolute (vergeldings), yakni metode pembalasan, hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan.
Kedua, pelaku (offender/ the criminal) kejahatan. Kejahatan di nilai bersumber pada pelaku, sehingga study biologi dan perilau manusia menyatu dengan studi ilmu hukum antara lainnya melahirkan, kriminologi. Kriminologi sebuah ilmu yang mempelajari kejahatan dari pelakunya. Penangganan kejahatan dalam kategori ini dilakukan dengan “rehabilitasi”.

Terakhir, kejahatan bersumber masyarakat (society), kondisi sosio-ekonomi, sosio cultural merupakan penyebab terjadinya kejahatan. Sehingga diperlukan sebuah langkah intregatif untuk menanggulanginya. Faktor kemiskinan, kemelaratan, dan penindasan merupakan persoalan aktual yang perlu ditanggulangi melalui kebijakan hukum pidana nasional yang linier dengan kebijakan pembangunan nasional.

Beranjak dari pemahaman asumsi pertama, kita dapat menilai bahwa perbuatan pidana bisa dilepaskan dari pelakunya “hanya” dengan pembalasan, tidaklah benar. Amrozi Cs kasus bom bali di vonis mati pun tak akan menghilangkan watak perbuatan terorisme-nya. Mereka tetap berpotensi melakukan tindak kejahatan serupa misalnya dibiarkan lepas dari jeratan hukum.

Maka, perhatian yang benar adalah perhatian pada pelaku dan masyarakat, bukan semata-mata tindak pidana saja. Perhatian yang ditujukan pada pandangan asal muasal tindak pidana yang kedua dan ketiga, pelaku dan masyarakat, metode yang cukup membantu. Kejahatan tak bisa di pisahkan dari pelakunya, menangani kejahatan mestinya harus mempelajari pelaku kejahatannya.

Ketika orang mempelajari kejahatan yang bersumber dari pelakunya, maka dikemukakan pertanyaan mendasar, bagaimana seseorang menjadi teroris?. Kebanyakan mereka adalah orang yang memiliki keterbatasan intelektual, sehingga dengan mudahnya tercuci otak dengan ajaran/ doktrin jaringan teroris. Kaderisasi di tubuh sindikat jaringan teroris tak pernah lepas dari cuci otak (brain whasing), membentuk militansi kader sampai tuntutan bunuh diri dipintapun akan diberikan.

Bagi doktrin keagamaan dalam jaringan teroris yang ada di Indonesia, mereka kebanyakan berdalil bahwa, islam memang menganjurkan dan memberikan jusifikasi kepada muslim untukk berjuang, berperang (harb) dan menggunakan kekerasan (iqbal) terhadap para penindas, musuh-musuh islam. Dengan doktrin ini, mereka menggunakan jalan kekersan yang membabi buta tanpa memperhitungkan korban tak berdosa (innocent victim) dalam setiap aksi terornya.
Ajaran inilah yang perlu diluruskan dan dipisahkan dalam benak pelaku, dalam upaya represif dan preventif. Merehabilitasi pelaku teroris dan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa, islam sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin jelas menolak penggunaan kekerasan demi tujuan-tujuan (al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah Ushul sekalipun dalam islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah (tujuan yang tidak menghalalkan segala cara.

Dengan diberikannya perhatian penting akan bahaya ajaran/ doktrin cuci otak teroris ini, maka penting kiranya melakukan rehabalitasi dan sosialisasi tentang dampak buruk dan kesalahan ajaran sesat itu. Bisa melalui pendidikan sebagai alat perlawanan terhadap terorisme ini.
Terakhir adalah masyarakat sebagai sumber kejahatan teroris. Di katakana demikian, karena tiada perbuatan jahat tanpa sebab subtansial seseorang melakukannya. Sebab terpenting lahirnya perbuatan jahat adalah kondisi sosio-ekonomi yang terpuruk, kemiskinan. Tenyata pelaku terror yang telah tertangkap sebagian besar memiliki latar belakang pekerjaan yang tidak tetap, pedagang asongan, makelar kecil, dan sejenisnya.

Hal ini membuktikan kepada kita betapa berpengaruhnya keterpurukan di bidang perekonomian terhadap jumlah tindakan kejahatan, termasuk teroris. Kemiskinan di Jawa Tengah tercatat pada tahun 2004 sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185).

Sementara pengangguran yang ditandai dengan banyaknya pencari kerja di Jawa Tengah dari tahun 2002 sampai 2006 selalu bertambah. Pada tahun 2002 pencari kerja berjumlah 100.499, tahun 2003 pencari kerja berjumlah 21.638, pada tahun 2004 sebanyak 190.425, pada tahun 2005 meningkat lagi mencapai 239.079 dan mengalami puncaknya pada tahun 2006 pencari kerja mendulang angka 508.572 atau setengah juta lebih.

Dari data mengerikan ini mestinya, kebijakan penanganan tindak pidana terorisme ini harus sejalan integral dengan kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan penanganan tidak bisa berdiri sendiri mengurus masalah bahaya terorisme ini. Jika ingin menyelesaikan persoalan secara tuntas, maka harus linier sebagai sub ordinat dari rangkaian kebijakan pengentasan kemiskinan dan pengangguran.


Awaludin Marwan, SH

Rabu, November 19, 2008

MASYARAKAT PHLEGMATIS (PHLEGMATISASI)

Abdul Haris Fitrianto



Tipologi Kepribadian Hippocrates

Konon, dalam studi kepribadian klasik tercatat, Hippocrates1 menggolongkan kepribadian manusia ke dalam empat kepribadian saja, yaitu Melankolic (sempurna), Phlegmatic (tenang/damai), Sanguinic (populer)dan Korelic (kuat). Masing – masing kepribadian memiliki ciri khasnya masing – masing.

  1. Melankolic, Karena dia seorang yang cenderung ”sempurna” maka biasanya dia dikenal sebagai seorang idealis, kurang suka berkompromi, kadang cenderung introvert, Suka segala sesuatu berjalan rapih, teratur, karena itu kadang – kadang terlihat agak kaku. Mempunyai impian yang besar/tinggi. Dalam tingkat kecerdasan yang sama dengan tipe kepribadian lain, sosok melankolis cenderung lebih terlihat unggul karena kecenderungannya akan sesuatu hal yang ideal.

  2. Phlegmatic, Orang dengan kecenderungan ini, perilaku aktualnya adalah tenang, mengalir, menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan konon damai adalah tujuan tertinggi tipe kepribadian ini.

  3. Sanguinic, Orang dengan kecenderungan sanguinis ini mempunyai perilaku yang menarik di mata orang lain. Tipe kepribadian ini memperlihatkan pribadi yang disukai banyak orang: ceria, riang, suka berinteraksi dengan orang lain, menghidupkan suasana, bersemangat, suka dipuji, dan ekspresif.

  4. Korelic, adalah tipe kepribadian yang meledak – ledak, kuat, mempunyai kemauan yang keras, sulit dikendalikan, kadang terlihat otoriter, kurang suka basa – basi.


Empat tipologi kepribadian dan kombinasi - kombinasinya ini diyakini Hippocrates mampu menafsirkan pola – pola kepribadian seseorang. Misal, jika seseorang mempunyai kecenderungan kuat pada Phlegmatis, maka tiga kecenderungan yang lain tidak sekuat kecenderungan pada phlegmatis, tetapi bukan berarti tidak ada tiga kecenderungan yang lain itu.


Masyarakat Phlegmatis

Kepribadian adalah suatu bentuk kesatuan jiwa yang di bawahnya terdapat berbagai subsistem yang mengkonstuknya (misal das Es, das Ich, dan das Ueber Ich-nya Freud), Maka pola – pola/kecenderungan kepribadian yang nampak adalah produk dari suatu komposisi yang menggambarkan dinamika susbsistem kepribadian tersebut. Ini jika kepribadian ditujukan untuk menafsirkan gejala kejiwaan seseorang.

Apabila konsep ini dielaborasi dengan mengganti objek ”individu” dengan ”masyarakat” (selanjutnya tanpa tanda petik <”>), maka akan diperoleh suatu tafsiran kepribadian, yaitu kepribadian masyarakat. Kepribadian masyarakat dapat diartikan sebagai deskripsi kejiwaan masyarakat yang pola – polanya terkonstruk oleh dinamika subsistem kepribadian dengan komposisi tertentu yang menunjukkan ciri khas masyarakat tersebut.

Masyarakat Phlegmatis dapat diartikan sebagai gambaran dari suatu masyarakat dengan karakter tenang, mengalir, memilih menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan cinta damai/aman. Namun, karakter ini bukan penulis pakai untuk menggambarkan kepribadian masyarakat yang terkonstruk sedemikian rupa hingga berkarakter phlegmatis. Tetapi penulis mencoba mengambarkan proses phlegmatisasi masyarakat sebagai suatu proses yang membentuk, bahkan (disadari atau tidak) memaksa masyarakat sehingga tampak phlegmatis. Berikut adalah beberapa hal yang penulis curigai mempuyai peran besar dalam membentuk phlegmatisasi masyarakat


  1. Konsep masyarakat positif

Konsep masyarakat positif ini merujuk pada pemikiran Auguste Comte2. Ciri masyarakat positif adalah mereka telah mengganti gaya berpikir spekulatif dengan gaya berpikir rasional empiris. Logika ini didesakkan pada seluruh sendi kehidupan dengan semana – mena. Konsep ini akan menghasilkan pengetahuan yang instrumentalis. Masyarakat/individu dibekali dengan metode sains yang memungkinkan memiliki penguasaan alam dan lingkungan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Dengan keadaan semacam ini, agama harus bersedia menyerahkan diri hegemoninya -seperti pasukan yang kalah perang- pada ilmu pengetahuan empiris. Tempat – tempat peribadatan agama yang dahulu menjadi jantung peradaban manusia, kini, pada masa masyarakat positif telah digantikan Bank, Universitas, dan Industrialisasi. Dengan konstruk semacam itu, maka segala hal yang utama adalah yang dapat diukur, dikendalikan, bahkan dimanipulasi. Hal – hal yang bersifat materiil dan pragmatis (manfaatnya dengan cepat dapat dirasakan) menjadi hal prioritas. Sedangkan hal – hal yang sifatnya spekulatif dan tidak dapat diukur (mistis, agama, bahkan, Tuhan) akhirnya terpinggirkan.

Ciri masyarakat positif berikutnya adalah kehilangan makna. Revolusi di bidang sains (iptek), perubahan sistem kenegaraan, transportasi, teknologi informasi, komunikasi, rekayasa biologis, bidang produksi, dll semakin memudahkan hidup masnusia. Seakan – akan segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan landasan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi berlarut – larut pada masyarakat positif, pada zaman modern ini. Segala cita – cita diwujudkan secara instrumentalis, hingga pada saatnya muncullah imagi tentang robot. Penulis mengartikan robot adalah lambang supremasi positivistik, bahwa setiap “inci” dari manusia dapat diukur dan kemudian dibuat replikanya dalam bentuk robot. Tetapi bersamaan dengan itu, robot adalah lambang kegagalan manusia dalam memanusiakan dirinya, lambang kegagalan manusia dalam usahanya mencari makna. Karena itulah sains -bagi masyarakat positif- sebagai sandaran utama telah gagal dalam memecahkan berbagai permasalahan. Gagal dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan manusia dalam krisis makna, krisis spiritual yang mendera. Dengan sains manusia dapat menciptakan apa saja sejauh itu dapat diukur, dengan sains pula manusia dapat kaya raya, berlimpah materi, tetapi bersamaan dengan itu, manusia dan masyarakat positif mengalami krisis tentang kebermaknaan, dahaga spitirual yang berlarut – larut.

Carl Gustav Jung3, bercerita bahwa kebanyakan pasiennya adalah berasal dari masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke atas dengan usia 30 tahun – 45 tahun. Tentu saja secara pendidikan adalah terpelajar, kehidupan mereka telah mapan, bahkan konon sebagian adalah golongan masyarakat high-class. Tetapi dari pasien – pasien tersebut Jung menemukan persamaan bahwa keluhan – keluhan yang mereka bawa tidak lain tidak bukan selalu berhubungan dengan basic value, filsafat hidup, tentang kebermaknaan; atau dengan kata kata lain mereka mengalami krisis spiritual. Masyarakat positif bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut. Hal ini, antara lain disebabkan karena sumber keyakinan, makna, dan spirit hidup hanya dimiliki oleh agama dan kepercayaan; bukan sains.

Sementara sains telah ”disucikan” dari pengaruh nilai – nilai agama dan dijadikan sandaran peradaban, agama dan kepercayaan itu sendiri telah dipinggirkan, karena tidak terukur dan tidak nyata/secara langsung dapat dirasakan kebermanfatannya (tidak masuk dalam prinsip – prinsip pragmatis). Dengan demikian masyarakat positif, dengan karakternya ini, membutuhkan basic value, filsafat hidup, kebermaknaan, spiritualisme yang sifatnya pragmatis: motivasi. Akhirnya Phlegmatisasi masyarakat menemukan bentuknya dengan menghindari perasaan kurang nyaman karena krisis makna dengan solusi berupa motivasi – motivasi sebagai penambalnya. Tidak peduli dari mana motivasi tersebut, asal (paling tidak) individu – individu dalam masyarakat positif tersebut merasa damai.


  1. Kebijakan kekuasaan

Erich Fromm4 pernah berbaik hati dengan berpesan bahwa untuk menjadi pribadi yang sehat dapat dilakukan dengan mencapai kebebasannya walau betapapun sulitnya, proses dan perjuangan mencapai kebebasan tanpa henti adalah suatu ciri pribadi yang sehat. Hal ini tampaknya telah dipahami oleh para pemangku kebijakan (Pemerintah) sehingga sebisa mungkin mereka menghindari kebijakan yang tampak otoriter. Tetapi bagaimanapun, sifat kekuasaan adalah cenderung memembuat segala sesuatunya teratur, rapi, dan sistematis (setidaknya, seperti yang diinginkan kekuasaan). Maka, ketika pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang tampaknya membebaskan, sesungguhnya kebijakan tersebut tetaplah otoriter. Perbedaannya, mungkin ada pada keluasan, kenyamanan dan kelenturan ruang yang ditawarkan kebijakan tersebut. Maka, dari sini tampak kesalahan dalam mengartikulasikan kata ”bebas” dan ”aman”.

Jika Bebas diartikan keadaan tanpa ada determinasi, maka Aman diartikan sebagai keadaan nyaman dalam determinasi. Dan pemerintah tampaknya lebih condong pada yang kedua. Jadi, artikulasi bebas menurut pemerintah tidak lain tidak bukan adalah membuat nyaman masyarakat dalam berbagai determinasi yang dibuat pemerintah itu sendiri. Dari sini, secara tidak langsung pemerintah berpesan; jadilah waga negara yang aman, karena (secara tidak langsung pula) bebas belum tentu aman, bahkan dari otoritas pemerintah itu sendiri. Berarti, dalam kebijakan semacam inilah, pemerintah menghendaki masyarakat untuk berperilaku phlegmatis.

  1. Kemerosotan kualitas hidup

Konstruksi masyarakat phlegmatis semakin lengkap dengan adanya alienasi5. Biaya hidup semakin hari semakin mahal tanpa diikuti pendapatan yang semakin meningkat. Dalam hal ini sistem ekonomi dan kebijakan pemerintah turut memegang peran penting. Ketika dalam hal ekonomi masyarakat golongan atas semakin kaya, masyarakat golongan bawah semakin miskin, dan masyarakat golongan tengah semakin tertekan dan terpolar (ke atas/bawah).

Penakanannya disini adalah pada masyarakat dalam strata ekonomi menengah ke bawah.

Masyarakat tidak bertindak macem – macem karena mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Yang penting bisa hidup aman dan nyaman. Kualitas hidup golongan menengah ke bawah semakin merosot, orientasi pada kebutuhan – kebutuhan dasar (makan-minum, sex, istirahat, bernafas, dll) dan kebutuhan keamanan (fisik maupun psikis) telah memaksa golongan masyarakat ini untuk melakukan apa saja. Asal kebutuhan tersebut terpenuhi.

Dalam paradigma Maslow6, sekarang, setiap kebutuhan terasa semakin tinggi dan mahal untuk dijangkau. Kebutuhan merosot hingga pada kebutuhan untuk keamanan dan kebutuhan untuk bertahan hidup (kebutuhan dasar). Sedangkan kebutuhan akan cinta dan saling memiliki, kebutuhan akan esteem, bahkan aktualisasi potensi diri dipraktikkan sebagai ungkapan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keamanan.

Dengan kata lain, kebutuhan – kebutuhan dasar dan kebutuhan akan keamanan menjadi lebih tinggi dan mahal sehingga kebutuhan – kebutuhan lain menjadi subsider bagi tercapainya kebutuhan – kebutuhan ini.


Masyarakat phlegmatis, yang cederung mengalir, tenang, teduh, tidak suka cari masalah, suka damai dan mendamaikan adalah gambaran masyarakat ideal. Mungkin, ini semacam seragam yang dikehendaki penguasa dalam mengatur rakyatnya. Dan, tentu saja keadaan ini menimbulkan banyak implikasi..


Wallahu a’lam bissshowab..





1 Hippocrates (460-377 SM), pemikir yunani klasik yang juga mendapat sebutan “bapak kedokteran”

2 August Comte (1798-1857 M): Pemikir asal Perancis, dikenal sebagai “bapak pemikir Positivisme” yang kemudian berkembang sebagai pola pikir masyarakat ilmiah pada umumnya.

3 Carl Gustav Jung (1875-1961): seorang pakar Psikoanalitic dari Swiss. Konsep Jung yang terkenal dan kontroversial adalah tentang collective unconsciousness, dimana ketidaksadaran ini adalah gudangnya puncak – puncak potensi manusia.

4 Erich Fromm (): Salah satu Tokoh neoFreudian yang juga seorang Marxis. Fromm mencoba mengawinkan pandangan Freud dan Marx tentang manusia.

5 Teori Alienasi (Karl Marx): Pemindahan hak milik kepada orang lain; Pengambilalihan hasil kerja (upah/gaji) para pekerja oleh para pemilik alat – alat produksi, sehingga gaji yang diterima pekerja tidak sesuai dengan kerja yang dilakukan.

6 Abraham Maslow (1908-1970): Pemikir Psikologi Mazhab III (Humanis). Teori hierarky kebutuhan Maslow an sich adalah upaya manusia mencapai kebutuhan – kebutuhannya dari kebutuhan yang terendah (dasar) hingga yang tertinggi. Dari yang terendah: 1)Kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan rasa aman. 3) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki-dimiliki. 4) Kebutuhan Harga diri. 5) Kebutuhan Aktualisasi diri.

Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan bahwasannya Aktualisasi diri tidak selalu berada diatas dan kebutuhan – kebutuhan lain tidak selalu berada di urutannya, tetapi kontekstual. Bahkan dalam tahun – tahu terakhirnya, Maslow memodifikasi teori ini, dimana kebutuhan tertinggi bukanlah Aktualisasi diri, tetapi diatasnya ada kebutuhan akan spiritualisme; kebutuhan akan keyakinan terhadap dunia transenden.


hariez_zona@yahoo.com

mahasiwa spikologi

Sabtu, November 15, 2008

SERI AJARAN LAO TZU (1): TENTANG LAISSEZ FAIRE

Seorang teman kamarin bercerita tentang acara The Candidate di Metro Tv. Katanya yang menjadi sang tokoh ialah Kwik Kian Gie. Minggu-minggu ini saya memang tidak pernah melihat Tv karena sekarang memang sedang dianugerahi banyak pekerjaan. Menurut cerita sang teman tersebut, yang juga penggemar Kwik---termasuk saya tempoe dulu---menceritakan bahwa Pak Kwik merekomendasikan agar Indonesia mejauh dari ‘pasar bebas’. Serentak saya terdiam….dalam hati saya berbisik: “berapa lama mitos laissez faire perlu ditakuti ini akan berakhir”. Saat itu pula saya sedang menikmati buku Lao Tzu: Daodejing

Dalam kehidupan kenegaraan Sang Guru Tao berkata:
Makin banyak pembatasan dan larangan,
makin miskinlah rakyat,

makin banyak senjata tajam dimiliki rakyat,
makin kacaulah negara,
makin terampil dan pandai manusianya,
makin aneh-aneh lah hasil karyanya
,
makin ketat hukum ditegakkan,
makin banyaklah rampok dan maling.

Karena itu orang suci mengatakan:
Aku tak bertindak,
Maka manusia akan berkembang dengan sendirinya
,
Aku bersikap tenang,
Maka manusia akan lurus-jujur dengan sendirinya,
Aku selalu santai,
Maka manusia akan sejahtera dengan sendirinya,
Aku tak ingin apa-apa,
Maka manusia akan menjadi sederhana dengan sendirinya

Apa yang menjadi inti tulisan ini bukanlah mempersoalkan tentang bagaimana sang guru Tao sampai pada kesimpulan tersebut. Dan juga tidak mempertanyakan basis epistemologis apa sang guru dapat mencapai kesimpulannya yang hakiki? Persoalan tersebut tidak akan saya ulas untuk kali ini. Saat ini dan kedepan, saya akan sedikit-demi sedikit menyangkal beberapa mitos seputar laissez faire yang sering berada di sekeliling kita.

Ada banyak anggapan bahwa laissez faire adalah produk Barat. Anggapan tersebut jelas mitos! Tanpa mengetahui prinsip-prinsip pasar bebas, seseorang memang akan terjebak pada penangkapan simbol-simbol konsep tanpa melihat lebih jauh prinsip-prinsip yang menjadi intinya. Salah satu Prinsip laissez faire adalah adanya batasan bagi pemerintah untuk tidak mencekcoki segala sesuatu terkait manusia. Maka sang guru Tao mengajarkan bahwa ketika saya tidak bertindak, maka orang lain akan sejahtera dengan sendirinya, jelas merupakan ajaran agak aneh bagi orang di zaman sekarang. Di saat banyak negara melakukan tindakan bail-out, subsidi, proteksi dan tindakan-tindakan agresif lainnya, yang jelas hal tersebut merupakan pelanggaran bagi prinsip-prinsip pasar bebas.

Inti ajaran Lao Tzu adalah pandangan non tindakan. Menurut Rothbard, dalam artikelnya Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire, Lao Tzu adalah tokoh pertama laissez faire. Menurut pandngan Lao Tzu, bahwa pemerintahan yang baik adalah yang sedikit sekali melakukan sesuatu sehingga rakyatnya dapat hidup dengan bebas. Maka dalam hal pemerintahan beliau mengajarkan:

Kalau pemerintahan berdiam-diri saja,
Maka rakyat akan menjadi sederhana dan jujur
,
Kalau pemerintah waspada dan tegas,
Maka rakyat akan menjadi cerdik dan nakal.

Nasib baik itu bersandar pada nasib buruk,
Nasib buruk mengintai di belakang nasib baik,
Adakah yang tahu, akhir dari keadaan yang silih berganti ini?

Masih adakah kejujuran di dunia ini? Kalau tak ada lagi,
maka
Keluguan bisa disalah-artikan sebagai kecerdikan, dan
Kebaikan bisa disalah-artikan sebagai kejahatan,
Kesesatan seperti ini sudah berlangsung sejak lama
.

Itulah sebabnya orang suci itu:
Berlapang dada, tanpa menampik,
Bermurah hati, tanpa merusak moral,
Bersikap jujur-lurus, tanpa melepas,
Menyebar kebaikan, tanpa membingungkan.


Itulah ajaran sang guru Tao, yang sejak 2600 tahun yang lalu telah mengajarkan tentang laissez faire! Masihkan anda menakutinya?


Giyanto: Fellow Writer Jurnal akaldankehendak dan pengelola blog gyblog-praksiologi.blogspot.com.


Rekomendasi bacaan:
Laozi. 2007. Daodedjing: Kitab Kebijakan dan Kebajikan. (Terj. Tjan K). Yogyakarta: Indonesiatera
Rothbard, M.N. 1986. Concepts of the Role of Intellectuals in Social Change Toward Laissez Faire.

Selasa, November 11, 2008

Etika Lingkungan Sony Keraf

Konon, Sony Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan [atau alam] diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu.

Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.

Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis, mungkin seperti impian Fritjof Capra.



Antroposentrisme

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.

Nilai tertinggi adalah kepentingan manusia [sehingga, sebenarnya kurang tepat kalau diistilahkan dengan antroposenrisme]. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.

Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.


Biosentrisme dan Ekosentrisme

Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism)
***

Setidaknya, demikianlah beberapa poin pemikiran Sony Keraf, tentang etika dan etika lingkungannya.
Tetapi ada yang janggal ketika membahas tentang etika lingkungan, yang kemudian dibedakan menjadi yang bersifat biosentris, antroposentris, dan ekosentris. Antroposentris kemudian dirujukkan kepada Aristoteles, yang menekankan bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Bahwa dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Dan secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan menghindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu.

Lingkungan adalah segala hal yang “bersentuhan” dengan kita, baik secara pikir, rasa, indra, ataupun sarana lain yang kita miliki. Tetapi dalam diskursus ini, sebenarnya selalu ada hidden subject [subyek yang disembunyikan]. Kata “kita” di atas, menyiratkan adanya penyatuan antara saya, dan beberapa anda. Mengatakan “kita” berarti menapal batas, antara “kita” dan yang “bukan kita”. Ketika saya mengatakan “lingkungan”, sebenarnya saya mengatakan “lingkungan saya”. Begitu juga ketika anda mengatakan lingkungan, maka sesungguhnya anda pun megatakan “lingkungan saya”. Bagi saya, anda adalah “anda”; bagi anda, saya adalah “anda”, dan anda adalah “saya”. Subyek yang disembunyikan itu, tak lain adalah subyek itu sendiri. Dunia, hanya terdiri dari “saya”, dan yang lain, yang “bukan saya”.

Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan ikhtiar mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Maka etika adalah usaha “saya”, usaha “kita”, usaha manusia, untuk memahami bagaimana ber-laku kepada sesamanya, juga kepada yang bukan sesamanya. Etika adalah bagaimana “saya” ber-laku terhadap diri sendiri, juga kepada yang lain, sehingga etika mempunyai dimensi ke dalam dan keluar. Dan yang lain, juga bisa, untuk mengatakan “saya”, sebagaimana saya bisa untuk berkata “saya”.
Sehubungan dengan ini, kemudian Sony Keraf, dengan merunut cerita sejarah, membagi etika lingkungan [dimensi keluar, dari etika], menjadi antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia, juga harus dipahami sebagai makhluk biologis, serta makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup, dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.

Sedangkan ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme, yang hanya berpusat, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak hidup. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Dalam hal ini Keraf hanya memasukkan banyak “yang lain” ke dalam “kita”. “kita” yang semula hanya berisi “saya” dan “kamu”. Dalam diskursus antroposentrisme, “kita” berisi manusia. Kemudian ini dirasa tidak cukup, sehingga mengundang hewan dan tumbuhan, ke dalam “kita”. “kita” di sini, tidak bisalagi dinamai antroposentrisme, melainkan biosentrisme. Hal ini pun berlanjut, ketika kemudian bebatuan, minyak, gas, dan lain-lain dimasukkan ke dalam “kita”. “kita” adalah ekosentrisme. Jika etika adalah sebuah proses tentang bagaimana manusia ber-laku terhadap yang lain, dan lingkungan adalah segala sesuatu yang “menyentuh” subyek, dan di sini Keraf telah melebarkan konsepsi subyek, maka secara epistemologis, kategorisasinya terhadap etika perlu kembali dipertanyakan. Dan lebih jauh lagi, etika lingkungan tidaklah berbeda dengan dimensi-keluar, dari etika.

Menurut saya, permasalahan bukanlah sampai mana batasan kita tentang “kita”, juga bukan siapa saja yang harus masuk ke dalam “kita”. Melainkan bagaimana kita, sebagai subyek meng-etis-kan etika itu sendiri. Secara praktis, adalah terus mempertanyakan bagaimana ber-laku terhadap “yang lain”. Keraf melihat, dan mengandaikan bahwa relasi antara “kita” dengan “yang lain” adalah relasi tuan-budak, yang banyak disuarakan oleh Hegel, juga Nietszche. Dan saya kira, jika bentuk relasi semakin di teguhkan, maka bentuk etika ekosentrisme pun [atau etika lain, yang lebih banyak meng-kita-kan, kalau ada], tidak akan bisa memberikan banyak perubahan. Karena, bagaimana kita ber-laku kepada yang lain, adalah lebih mengenai sikap dan preposisinya, dan sekali lagi, bukan dengan memasukkan “yang lain” ke dalam lingkaran “kita”.


Ahmad Fahmi Mubarok

Mimpi, dan “Mimpi”

‘Ah, malam ini aku bermimpi aneh. Aku bermimpi, aku menjadi seorang Snow White. Tetapi, Snow White yang tertidur dalam sekotak peti mati batu, dan pangeranku tak bisa mendorong tutup peti itu, sehingga peti itu bisa terbuka. Aku, Snow White, tak berhasil dibangunkan. Aku, Snow White, tetap mati suri. Mimpi ini aneh, karena pintu itu tak pernah terbuka, tetapi, aku tahu, kalau ada pangeran di luar sana, yang mencoba membuka pintu.” Canda seorang, beberapa waktu lalu.

Mimpi, kemudian merujuk pada “jalan-jalannya nyawa”, saat mata terpejam sebelum bangun di pagi hari. Mimpi, kemudian dianalisis, setidaknya oleh Freud dan Carl Jung. Bahwa mimpi adalah salah satu luapan alam bawah sadar, yang hadir dengan symbol-symbol, sehingga perlu untuk meraba-raba maknanya. Alam bawah sadar, kata Jung, adalah akumulasi pengalaman si subyek, juga nenek moyangnya, yang tersimpan dalam jiwa setiap manusia, sehingga bersifat kolektif di satu sisi. Archetype, adalah istilah yang dirasa tepat, oleh Jung, untuk menyebut alam bawah sadar yang kolektif itu.

Karena mimpi penuh dengan rangkaian symbol, yang bersifat subyektif, sekaligus kolektif, maka Jung kembali mengatakan, bahwa tidak ada rumusan penafsiran yang bisa berlaku secara universal. Mobil, tak bisa melulu diandaikan sebagai diri. Dan rumah, tak bisa melulu diartikan sebagai ibu. Menurutnya, seorang penafsir mimpi yang baik, adalah seorang yang juga mempelajari symbol-symbol; semiotika.

Belajar tentang semiotika, berarti belajar tentang symbol, atau tanda, dan bagaimana meraba maknanya. “Semiotika, adalah ilmu tentang kebohongan”, kata Umberto Eco. “Karena jika tak bisa mengungkap kebohongan, maka suatu hal juga tak bisa mengungkap kebenaran”. Menafirkan sesuatu, bukan berarti menyematkan makna kepadanya, tetapi lebih kepada menghargai apa-apa yang menyusunnya. Seolah, Jung juga Eco, sangat berhati-hati, dan mengingatkan atas subyektivitas pemimpi, juga subyektivitas penafsir.

Dan behavioris, terkesan lupa, bahwa penafsiran, tak bisa obyektif an sich. Mungkin juga, mimpi menjadi tak ilmiah, karena tak bisa menjadi obyektif, kecuali lompatan-lompatan setrum diantara potongan neutron.
***

Seiring dengan persetubuhan manusia dan waktu, kemudian hadir “mimpi”. Apitan tanda petik, mengisyaratkan adanya pergeseran makna di sana. Seperti teriakan lantang Mario Teguh “jangan takut bermimpi!”, juga bisikan seorang anak, “aku bermimpi, suatu saat nanti bisa seperti Mario Teguh..”

Mimpi, kemudian menjadi “mimpi”, yang lebih dekat dengan cita-cita, dengan harapan-harapan akan masa depan. “Mimpi” bukan lagi desakan alam bawah sadar a la Jung, maupun Freud.

Harapan itu sendiri, menyiratkan kesadaran bahwa diri adalah makhluk yang rendah, yang dhaif. Harapan terkait erat dengan masa ; waktu. Harapan akan masa silam, senada dengan penyesalan. Harapan akan masa kini, adalah harapan itu sendiri. Sedangkan harapan akan masa datang, bersinggungan keinginan, dengan hasrat, yang terkadang tak bisa terpenuhi oleh sekedar obyek.

Sebuah harapan, setidaknya adalah sebuah permainan, yang denotatif, dan yang teknis, kata Lyotard. Denotatif, adalah permainan tentang baik-buruk. Tetapi, adakah, batas antara baik dan buruk? Minggu lalu, Juventus bertanding melawan Torino. Juventus memperoleh hasil yang baik, karena memenangi laga dengan skor 1-0. Tetapi, malam itu, Torino juga bermain baik.

Mengatakan baik, atau buruk, ternyata tak bisa dilandaskan pada satu alasan. Secara teleologis, bisa dikatakan Juventus lebih baik dari Torino. Dan secara deontologi, Torino lebih baik dari Juventus. Mengatakan “secara teleologis, Juventus baik”, secara tidak langsung, setidaknya, juga mengatakan “menurut pengamatan saya pada pertandingan tersebut, anggapan saya tentang potensi pemain-pemain Juventus -yang saya dapat dari media dan permainan championship manager-, pemahaman orang-orang yang memperkenalkan saya dengan ‘teleologi’, pemahaman saya tentang pemahaman orang-orang tersebut, sehingga saya secara sadar [kebanyakan tidak sadar] mereduksinya menjadi “secara teleologi, Juventus bermain baik”.

Permainan teknis, berarti tentang bagaimana me-nyata-kan harapan. Berbicara tentang harapan, cita-cita, adalah berbicara tentang keresahan akan masa depan, yang tersusun dari apa yang sedang dilakukan [sekarang], dan kekecewaan-kebahagiaan masa lalu. Tetapi kita, manusia, yang selalu dalam keadaan terlempar ke dunia, kata Heiddeger, hanya hidup di sini [diskursus ruang], dan sekarang [diskursus waktu]. Kita, manusia, hanya bisa ber-laku di sini, dan sekarang, sambil menggantung pada rajutan pengandaian tentang masa depan.

“Eh, ikanku tambah gemuk lho!”, imbuh sosok yang sama, yang bermimpi menjadi Snow White, yang ternyata juga memelihara ikan.


Ahmad Fahmi Mubarok

Senin, November 10, 2008

POTRET DEMOKRASI LOKAL


Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan, dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat. Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan berdaulat.
Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam Budiardjo,1 rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran demokrasi, government or rule by the people, dari peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, kratein/ kratos berarti kekuasaan/ berkuasa. Sistem Negara-Kota (city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M) merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial. Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi. Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah. Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja, bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat.
Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habis-habisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan.
Penulis memandang terdapat empat masalah paling menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah : uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus mengalami fase pendewasaan politis elit dan masyarakatnya.
Uforianis pemekaran merupakan persoalan yang bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali (pusat suku bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una (terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebut-nyebutkan bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah di implementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh sebagian besar rencana kabupaten baru.2
Sementara persoalan keuangan daerah membawa pada satu titik di mana kemandirian daerah dan ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal.
Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah lain yang tertinggal.
Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri.3 Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pembangunan menjadi prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah, penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas penggunaan anggaran,4
Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi dari Jawa. Untuk mengindari kerugian financial dagi daerahnya, maka nagari di pecah-pecah menjadi unit administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak lahirnya, system desa dan pemecahan nagari ini dikritik habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit territorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda dengan desa.5 Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di masyarakat dari sudut budaya.
Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan, melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6 Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret ekonomis.
Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang bersamaan pembangunan basis politik daerah yang demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik dan pendidikan politik pun telah banyak memulai pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara kolektif komunal daerah setempat.


Awaludin(luluk)

1. Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka. Jakarta. Halm. 50-54
2. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries; local politics in post-Suharto Indonesia. Diterjemahkan oleh, Bernard Hidayat. 2007. Politik Lokal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hal. 50
3. Dede Mariana dan Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi. Graha Ilmu. Yojakarta. hal. 139
4. Tranparancy International Indonesia. 2007. Pakta Intregitas Kota Banjarbaru. TII. Jakarta. hal. 5-8. Tesis dalam tulisan ini adalah potensi korupsi paling banyak terdapat dalam pengadaan barang/ jasa. Masalah pengadaan barang/ jasa pemerintah daerah di identifikasikan sebagai berikut : masih terjadinya praktik penyuapan dan pembayaran yang tidak resmi; masih terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power); masih adanya pejabat/ pegawai dan penyelenggara Negara yang beraktivitas bisnis terkait dengan jabatannya; masih adanya konflik kepentingan; masih adanya praktek pemerasan dan budaya premanisme; adanya pertentangan hokum dengan tidak mempertimbangkan kaidah hukum yang berlaku; rendahnya keterlibatan masyarakat dalam melakukan pemantauan terhadap proses pengadaan barang/ jasa; kurangnya pemahaman dalam pelaksanaan metode penunjukkan langsung; kekeliruan pemahaman tentang jens pekerjaan swakelola; kurangnya pemahaman dalam penentuan metode pengendaan jasa konsultasi; masih terjadinya tender diatur (tender arisan); masih terjadinya pengalihan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama kepada pihak lain (jual beli proyek); lambatnya pelaksanaan penyelesaian pengaduan dan penyelesaian masalah; kurangnya penghargaan dan lemahnya pemberian sanksi kepada pihak yang terkait; dan terakhir lemahnya pengawasan pelaksanaan pekerjaan.
5. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2006. Renegotiating boundaries;......Op. Cit. halm. 545
6. Ibid., halm. 225

Sabtu, November 08, 2008

PENIPUAN YANG SEMPURNA*

Dalam tulisan terdahulu saya telah menguraikan dengan singkat kaitan antara bagaimana prinsip hak milik pribadi dalam per-Bank-an bebas serta bagaimana sistem FRB sebenarnya bertolak belakang terhadap prinsip kekebasan. Pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah sistem FRB dapat dikatakan sebagai penipuan?


Ketika hampir semua Per-bank-an saat ini menerapkan sistem FRB, mengapa hampir semua masyarakat penabung tidak pernah merasa ditipu? Jawabnya, karena masyarakat memang benar-benar tidak mengetahuinya. Toh kalaupun mengetahui, mereka tidak akan mempersoalkan karena merasa tidak tertipu. Tapi pertanyaan lanjutannya, apabila terjadi penarikan besar-besaran terhadap seluruh deposit, dan ternyata cadangan di Per-bank-an tidak mencukupi terhadap permintaan dari nasabah, kemanakah si penabung dapat mengadu?


Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat terlintas dalam benak saya setelah kemarin memutuskan untuk menabung di salah satu Bank Swasta yang menurut saya dapat dipercaya. Bisa jadi, uang nasabah akan lenyap karena tidak mendapat jaminan, ataupun akan terhempas penyakit mematikan yaitu: inflasi.


Jawaban lain barangkali menarik mengutip kesimpulan yang ditulis dalam situs EOWI beberapa minggu yang lalu: bahwa 1) Pemerintah tidak menjamin nilai riil uang anda agar supaya tetap. Hanya nominalnya saja yang tetap. 2) Pemerintah tidak mengatakan bahwa deposit anda tidak akan dibekukan. Uang anda akan utuh di bank tetapi tidak bisa diambil kalau pemerintah memutuskan untuk dibekukan.


Dengan kata lain, tidak ada jaminan apapun bahwa uang anda akan aman ketika disimpan di Bank. Selanjutnya, bagaimana solusi praktis bagi persoalan tersebut. Jawabnya adalah: tidak ada! Anda tidak akan dapat mengelak terhadap segala resiko yang telah diterapkan oleh sistem per-bank-an saat ini. Apa pun penawaran yang ditawarkan kepada anda, baik itu Syariah ataupun tabungan biasa tidak akan dapat menghindar dari penyakit yang namnya INFLASI. Selama uang yang anda pegang masih bergambar lukisan pahlawan-pahlawan nasional.


Terlepas dari itu, pertanyaan moralnya adalah, mengapa sistem yang demikian telah diperbolehkan beroperasi selama bertahun-tahun dan mendapat legetimasi yang nyaris penuh dari pemerintah? Hal itu dikarenakan hampir semua ekonom kita menganggap bahwa perbankan adalah jantung bagi perekenomian. Jadi menurut pandangan tersebut, perbankan harus mendapat perlindungan dari pemerintah, bukan si nasabah. Lho kok bisa? Ya begitulah adanya yang kebanyakan dari kita masih menganggap bahwa negara adalah aparatus keadilan.


Jadi apa yang seharusnya dilakukan. Saran saya, tetaplah waspada. Apalagi dalam masa ekonomi mandeg seperti ini. Harga komoditas turun, sektor perkebunan lumpuh total sehingga bukan tidak mungkin nantinya akan banyak terjadi kredit macet, sehingga pengusaha tidak dapat membayar kreditnya ke Bank. yang akan mengakibatkan dana yang tersimpan tidak sesuai dengan jumlah deposit nasabah yang menabung. Anda bisa membayangkan apa yang akan terjadi?


Tidak bermasuk menakut-nakuti. Tapi ini adalah upaya penyadaran bahwa sebenarnya kita saat ini sedang berada di sebuah sistem yang benar-benar berdiri di atas prinsip yang rapuh. Prinsip yang berdiri atas dasar penipuan. Prinsip yang melegalkan kejahatan. Prinsip yang menginjak-injak kebebasan individu.


Dan hampir mustahil kita untuk berharap sistem tersebut dapat diperbaiki ataupun dibubarkan. Satu-satunya jalan adalah upaya penyadaran bahwa sebenarnya nasabah saat ini sedang ditipu. Bahwa bukti legal tabungan anda sebenarnya tidak benar-benar berada di bank, tapi telah ditanamkan ke berbagai perusahaan sekuritas untuk 'diinvestasikan' dengan berbagai resiko. Jadi solusi satu-satunya adalah revolusi sistem perbankan, yang harus dimulai dari nasabah itu sendiri.


*Giyanto adalah salah seorang nasabah. Anda dapat berkunjung diblogpribadinya.

Jumat, November 07, 2008

Aporia

Aporia

Bulir-bulir puisi
Janganlah datang malam ini

Bidadari telah datang tanpa angin
Dan tetabuhan
Kereta lewat tanda petang
Kata-kata adalah apa saja yang membuatmu
Pagi
Dan Lupa

Halu purnama yang selalu tiba-tiba
Perjumpaan hanya istilah
Selebihnya mungkin tiada


Depok, 8 November 2008
Taufiq

Minggu, November 02, 2008

“PERTARUNGAN” KAUM “LIBERAL”: KONTRADIKSI BERFIKIR BRYAN CAPLAN

Oleh: Giyanto*
Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi 'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan beo....

terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.

Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat?

Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan.

Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-- dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.

Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker---ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya---hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan.

Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan---tokoh idola ekonom-ekonom 'liberal' kita--- tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan.

Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.

Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.

Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri! Salam
*foto menyusul