online degree programs

Senin, Februari 04, 2008

Kekuatan Determinasi (2): Menengok Diri Kita Serta Pendidikan Kita

Oleh: Giyanto*


Dari beberapa tanggapan yang ada, menunjukkan bahwa artikel saya yang kemarin memang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan dunia pendidikan kita saat ini. Praktik-praktik pendidikan yang tidak memberikan pilihan-pilihan bebas serta ketidakjelasan sasaran dari apa yang ingin dicapai. Yaitu sebagai sarana penegak kebenaran ilmu atau menjadi salah satu sekrup kepentingan masyarakat kapitalis industri.

Bagi pilihan pertama, kita tidak pernah benar-benar serius mendiskusikan dunia ilmiah seperti apa yang akan diperjuangkan oleh pendidikan kita. Sedangkan untuk pilihan kedua, kita selalu dililit masalah pengangguran.

Dua sahabat kita yang sekarang pergi ke Jakarta mungkin bisa dijadikan kasus. Kalau memang benar niat-niat hijrah ke Jakarta ialah demi pembelajaran, berarti usaha penegakkan ilmiah itu memang terjadi. Akan tetapi bila sebaliknya, berarti pilihan kedua pendidikan kita begitu jelas adanya.

Dari artikel “guru Ed” jelas-jelas kelihatan akan kebimbangan dari keduanya. Keresahan psikologis dari sarjana muda kita yang sekarang terjadi saya kira sudah terjadi hampir sering menjangkit ke seluruh kalangan intelektual muda kita. Hal ini apabila ditelusuri maka akan begitu sangat panjang.

Determinasi sebagai Suatu Kesadaran

Determinasi (dalam konteks psikologis bukan dalam konteks aliran falsafah) setidaknya saya artikan sebagai suatu kesadaran yang ada pada setiap manusia untuk dapat dipergunakan menggali kehendak bebasnya dalam menciptakan (to create) diiringi dengan perenungan-perenungan mendalam untuk menciptakan pilihannya sendiri.

Kesadaran ini muncul karena adanya hasrat dinamis manusia untuk maju disertai dengan refleksi-refleksi sehingga tercipta suatu kondisi kesadaran mengenai apa yang dia kerjakan.

Memang benar bahwa manusia memang tidak dapat benar-benar bebas. Apa yang dilihat, didengar, dirasa serta dimodelakan oleh lingkungan terhadapnya akan mempengaruhi cara berfikirnya. Buku apa yang kita baca, tentang apa yang kita bicarakan, gambaran ideal yang ada di kepala kita, setidaknya memberikan cerminan bahwa kita tidak benar-benar bebas dalam menciptakan apa yang kita pikirkan dan kita lakukan. Oleh karena itu, pada masa fase perkembangan dewasa hal ini menjadi sangat relevan untuk dibahas. Karena pada fase ini, setidaknya menurut ahli psikologi perkembangan, merupakan fase peneguhan siapa diri kita sebenarnya. Masa inilah seperti apa kita kelak dapat sangat mudah dilihat.

Apabila dikaitkan dengan praktik pendidikan kita, maka subyek ini akan sangat menarik. Apalagi ada mentor Guru Ed,hi2. Pakar pendidikan yang membebaskan. Suatu trend pemikiran pendidikan yang ada di dunia ketiga. Reaksi logis praktik pendidikan pasca kolonial. Semoga Edy menerima pendefinisian saya yang barangkali semena-mena mengkategorikannya sebagai tokoh “kecil” pendidikan pebebasan. Paulo Friera versi Indonesia.

Kembali ke permasalahan tingkat kesadaran yang diperlukan bagi manusia “bebas”. Kebebasan dalam arti kesadaran menentukan pilihan tanpa ketakutan-ketakutan dari harapan yang diciptakan lingkungan kepada kita. Dari keluarga, guru, ulama, pacar, istri, anak dan teman, yang kesemuanya memiliki kepentingan masing-masing bagi pembentukan nilai masyarakat yang sudah mereka tentukan menjadi apa yang “baik” dan “benar” menurut versi kepentingan masyarakat “saat ini”.

Dengan demikian, walaupun sangat halus, harapan-harapan itu secara tidak langsung memasung kebebasan yang seharusnya sudah menjadi kodrat manusia. Semisal, mimpi status sosial bagi para bekas aktivis yang biasanya terpasung bahwa menjadi dosen atau politisi ialah berada pada strata tertinggi menurut versi mantan aktivis. Bukan berarti saya menganggap rendah impian tersebut. Akan tetapi, kesempitan berfikir demikian akhirnya “membunuh” proses alami yang seharusnya diperankan secara “ideal” dari status dosen maupun politisi yang dalam sistem masyarakat mengemban tanggung jawab sebagai “khalifah”. Dengan kata lain, kesempitan visi pribadi yang terjebak dalam “status” atau “simbol” bukan pada peran ideal dalam kepentingan seluruh sistem masyarakat atau peradaban modern akhirnya memperlambat gerakan sistem sendiri tersebut untuk tumbuh secara sehat.

Kalaupun Seandainya secara normal orang disuruh memilih antara hak dan kewajiban. Maka orang secara normal akan memilih hak secara dominan( karena mereka memiliki anak istri yang harus dipikirkan, walaupun secara mikro itu juga merupakan kewajibannya untuk menafkai mereka tapi demi kepentingan untuk memenuhi itu, dalam sistem sosial itu bisa dikategorikan hak). Dengan demikian, suatu status yang dalam proporsi keseluruhan sistem sebenarnya mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang besar, tetapi dalam prakteknya hak yang dipentingkan, maka secara tidak langsung peran ideal status tersebut akan terbunuh. Bagaimana bisa orang mau memberi tapi dirinya sendiri bergantung secara mutlak pada sistem yang menopangnya. Saya kira akan muncul alasan-alasan klise bagi pembelaan status quo mereka.

Akibatnya, tanggung jawab bagi peran-peran yang dalam keseluruhan sistem seharusnya dapat memberi kontribusi yang besar (semisal bagi status dosen: gagasannya dalam karya ilmiah, hasil penelitian, sumber bagi benih-benih ilmu pengetahuan) tidak dapat mereka laksanakan dengan seharusnya. Begitu juga peran politisi, sebagai agen pembuka kran demokrasi akhirnya membunuh demokrasi itu sendiri karena alokasi proporsi tuntutan hak mereka yang terlalu besar, mencoba melanggengkan kekuasaan yang ada.

Sistem-Sistem yang tak Terbahasakan

Ada banyak penyebab mengapa kerumitan sistem sosial yang ada dalam masyarakat kita sulit untuk dikaji secara sistematis dengan bahasa yang bebas dan mudah dipahami oleh akademisi kita. Pertama, dominasi yang besar akan warisan teori-teori pengetahuan yang selalu kita impor yang lebih banyak dipengaruhi oleh logika kartesian. Kedua, dalam melihat ilmu, kita terlalu takut bahwa pengalaman empiris yang kita alami untuk mengatakannya sebagai sebuah ilmu. Lebih lanjut, hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya memberi kita satu bahasa definisi yang baku. Kita tidak pernah diberi kesempatan-kesempatan untuk membahasakan sendiri secara sistematis tentang apa yang kita lihat dan alami.

Kebiasaan dalam praktik pendidikan kita memang tidak bisa dibahas dalam satu artikel. Namun saya harap wacana ini dapat menjadi perdebatan dari sudut pandang pribadi dengan bahasa ilmunya masing-masing sehingga kita akan dapat berbagai mengenai apa yang kita resahkan untuk menjadi perenungan lebih lanjut. Sekian. Bravo embun pagi!!!

*Mahasiswa Geografi UNNES

Tidak ada komentar: