online degree programs

Jumat, Februari 22, 2008

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL*

Tulisan ini, mencoba merefleksikan, dan bukan untuk menemukan hal-hal baru yang barangkali diharapkan oleh teman-teman di Embun Pagi। Pengalaman bergulat dalam banyak hal, seperti menjadi buruh, siswa, pengangguran, mahasiswa, pemikir, peminat buku, organisatoris dan yang terakhir mencoba berbisnis setidaknya memberikan ciri khas saya secara “unik” dalam usaha mengungkapkan gagasan yang “aneh-aneh” agar dapat dipahami teman-teman di komunitas ini.

Kali ini kita akan membahas epistemologi ilmu sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises yang telah diterjemahkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan) akhirnya memberikan saya keberanian untuk menulis hal ini.

Selain frustasi memahami arti sifat statistik yang induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial---kalo bisa dibilang aneh. Ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari yaitu Ilmu Sosial.

Bertahun-tahun mempelajari ilmu sosial, seolah saya “belum” mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, rekomendasi yang dihasilkan semua sama: kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi. Setidaknya hasil itu yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain.

Terlepas dari teori-teori besarnya Kuhn, Capra dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai perkembangan proses ilmu pengetahuan. Dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat ketidaksesuaian antara teori-teori dan “realitas sosial”. Seandainya teman-teman menganggap “seksi” untuk menjadi sosialis ataupun intelektual saya kira itu merupakan mimpi yang wajar.

Hal tersebut diperparah oleh perpecahan dan semakin banyak munculnya spesialisasi bidang kajian ilmu tentang manusia. Dan ketidakseimbangan peran atau penyebarluasan berbagai disiplin ilmu yang sudah saya singgung dalam artkel : Kritik Logika Aristotelian.

Kecenderungan untuk meminati kajian politik, yang sebenarnya sudah saya “sindir” berkali-kali merupakan awal mula dari keresahan intelektual saya pribadi. Lambatnya pemahaman akan kajian ilmu pengetahuan yang lebih dalam, dalam mengkaji manusia secara utuh tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan dalam melihat fenomena manusia kita cenderung menggunakan paradigma, teori, dimensi dari perspektif bacaan kita. Kita tidak pernah benar-benar membuka “perilaku-perilaku dasar” manusia yang sebenarnya setiap hari kita lihat. Kebutaan intelektual ini saya kira disebabkan oleh “ego” terhadap disiplin ilmu kita masing-masing. Namun demikian saya merasa beruntung mendapatkan “media” seperti yang disediakan oleh teman-teman di Komunitas Embun Pagi.

Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistic yang sudah bertahan-tahun menjangkit pemikir-pemikir sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku Filsafat Ilmu (misal Buku Filsafat Ilmu Populer Karya Jujun Suryasumantri) oleh para pakar saya kira telah memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih menurut saya sangat tidak beralasan.

Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Dan saya juga menganggap aneh apabila Bordeu memiliki rumusan yang pasti tentang tindakan "praksis manusia",

Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded research merupakan cikal bakal "pemberontakan tersebut". Walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang masih menyerang akut saat ini, yang barangkali termasuk yang diusung oleh Bung Nad di Jurnal Kebasan A&K, dalam bidang Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi membawa kita kembali mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu: praksiologi.

Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat negara-negara di seluruh dunia menjadi "was-was". Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah sering disampaikan orang tua kita yang secara ilmiah bukan "pakar"-nya---setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari kebijaksanaan-kebijaksaan klasik Cina maupun Jawa Kuno....

(Tulisan ini akan berlanjut di Posting selanjutnya, dimaksudkan agar pembaca tidak kelelahan membaca: seperti saran Edi: tulisan jangan panjang-panjang,ha2)

*Giyanto: Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang


6 komentar:

Anonim mengatakan...

Ha...posting Kang Gik ini sekali lagi meneguhkan asumsi saya bahwa ia sedang dalam fase kehausan intelektual yang teramat sangat, untuk orang2 yng sedang dalam fase ini memang jarang dapat melihat bagaimana seorang filsuf bersikap tidak dengan kata-kata yang jelas, provokatif, berapi-api, dan tergesa-gesa, tapi dengan metafora-metafora, metalinguistik, keteladanan, lebih mengendapkan rasa, dan keberhasilan mencermati dan membaca sikap di balik metafora itu tergantung dari tingginya intelektual pembaca apakah dapat memahami atau tidak...
di sini ungkapan Roalnd Barthez mengenai matinya sang pengarang ketika teks sudah di tengan pembaca terbukti, dan itu tak masalah bagi seorang filsuf, justru keragaman penafsiran -sampai pada yang tak tahu bahwa melalui ungkapan metafora itu saya telah bersikap dapat saja terjadi...sekali lagi tergantung dari kecermatan membaca teks (yang dalam lain hal tergantung dari intelektualitas juga)- merupakan kekayaan, karena tak ada penafsiran yagn benar atau salah...yang benar adalah maksud pengarang, penulis.

soal kegelisahan epistemologi itu, sekadar bahan pengantar bacaan beli buku judulnya "Epsitemologi Kiri" penerbit Ar-Ruzz Media Yogya, sampulnya warna merah dengan gambar beberapa pemikir kiri, di Gramed kayaknya masih ada..

itu bacaan pengantar sebelum lebih dalam memahami Mazhab Frankfurt, mazhab Islam Kritis, dan lainnya..

Salam,

Anonim mengatakan...

Saya lebih sependapat dengan Borges, teks itu bukan seperti apa adanya, dia hanyalah simpul-simpul yang saling terkait, dan akhirnya itu bergantung pada bagaimana dia dibaca...
dan di sini, saya sebagai mahasiswa ilmu sosial, tanpa membaca buku pun, saya dapat merasakannya kelemahan epistemologis ilmu sosial..githu!!!

Anonim mengatakan...

Klo Borges mengatakan teks itu tidak sebagaimana adanya, ya itu sama seperti perspektif hermeneutika, baik menurut kategorisasi Joseph Bleicher yang teoritis, filosofis, maupun kritis (yang kemarin tak gunakan tuk pendekatan penelitian skripsiku),

ketika mengatakan"ia 'hanyalah' simpul-simpul yang saling terkait, itu artinya Borges dan Kang Gik secara tidak langsung mengamini tesis Piere Bourdieu yang kemarin "sempat" disangkal Kang Gik....
gimana ne, kok paradigmanya Kang Gik belum mapan(?) di sini kentara kontradiksi dan paradoksalnya...he.

kelemahan epistemologi sosial yang menggunakan positivisme baca bukunya F Budi Hardiman (1) Kritik Ideologi, (2) Menuju Masyarakat Komunikatif.....dan masih banyak pemikir sosial radikal yang menemukan ketidakcocokan ketika positivisme diterrapkan juga di ilmu sosial..

Anonim mengatakan...

Maaf kan saya belum membaca bordeu, anehn saja ketika kamu di salah satu posting mengatakan bahwa Bordeu punya rumus bagi tindakan praksis manusia,he2...
Fokus kritik saya sebenarnya hanya pada rumus tersebut...
mana bisa konsep sosial diabstrasikan dalam rumusan tetap?

Anonim mengatakan...

Lho selama ini konsep-konsep ekonomi khan juga diabstraksikan dengan -misalnya konsep suply-demand dan lainnya to?
dirumuskan itu artinya diformulasikan, tidak leterlijk benar seperti dalam matermatika ketika memahami rumusnya Bourdieu, "kali" tidak dipahami sebagai "kali" dalam hitungan matematis Kang Gik, tetapi dipahami sebagai sebuah interaksi yang progresif, "berlipat-lipat", kompleks, dan berdayaguna....saya sukar melukiskannya dengan bahasa yang etpat, maklum masih belajar Bourdieu juga...
gitu Kang Gik

Anonim mengatakan...

ha2...
ini yang jadi runyam kalo rumus-rumus sudah menjadi kesimpulan akhir dalam konsep sosial...
Sebenarnya, Epsitemologi Ekonomi sekarang juga saya bedah&kritisi sampai ke asumsi-asumsinya, kemarin "karya kecil" saya juga sudah tak terorkan ke Dekan FE UNNES....
Dan tulisan saya sekarang memang cenderung mencoba menggugurkan empirisme ilmu sosial yang positivistik itu....saya sudah "muak" dengan teori abstrak yang diwakili dengan simbol-simbol angka...
obyek kita itu manusia....
tidak bisa diganti lagi dengan simbol yang lain.