online degree programs

Kamis, Februari 28, 2008

Ruang Publik Pendidikan (1)

(Keniscayaan ruang publik & privat)



“Pengetahuan adalah kekuasaan”
Francis Bacon (1561—1626)

Tulisan ini, setidaknya untuk saat ini, tidak berpretensi sebagai tulisan ilmiah yang layak kutip, tapi lebih sebagai sekadar refleksi atas fenomena yang terjadi dengan dibumbui oleh teori “ini—itu” saja (meminjam istilahnya Hegel). Entah nanti manuskrip ini akan saya kembangkan menjadi lebih serius atau tidak, saya harap kritik dan masukan untuk perbaikan, agar seminimal mungkin tidak ada perspektif yang terlewat, tidak ada hal yang tidak tak terbahas, walau sedangkal apa pun itu, dan saya berharap banyak dari sahabat-sahabat semua di Komunitas ini.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kedirian kita di dunia ini, adanya diri kita sekarang ini, sebagaimana diungkapkan oleh Heidegger bahwa, “Manusia sudah selalu terlempar ke dunia”; manusia bukanlah subyek yang dapat melepaskan diri dari dunia. Charles Taylor (1993) menyatakan bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu.

Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia selalu terlahir sudah dalam berada dalam komunitas masyarakat tertentu, dalam ruang kehidupan tertentu, baik secara geografis, etnis, keyakinan, dan lainnya. Takdir kedirian, fitrah kemanusiaan, atau “kutukan” kehidupan manusia ia selalu sudah mendapati dirinya berada di dunia ini dengan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti etnis, bahasa, budaya, dan keyakinan. Kenyataan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia berada dalam “ruang” tertentu secara sosial, dan ini adalah keniscayaan abadi yang tak dapat dielakkan oleh manusia.

Pun ketika seseorang itu menjadi eksistensialis, seperti Kierkegaard, Nietzsche, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoevsky, Jean Paul Sartre, Muhammad Iqbal al-Pakistani, dan lainnya, maka mereka tak dapat mengelakkan kenyataan bahwa mereka telah eksis terlebih dahulu dalam “ruang” tertentu sebelum berupaya meng-eksistensi-kan dirinya secara “sadar”. Eksistensialis yang lebih mengedepankan “eksistensi” daripada “essensi” terlepas dari penafian mereka akan “ruang” sosial justru memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki “ruang” privat tersendiri, yang memisahkan diri dari “ruang publik”.

Secara distingtif-oposisi biner, maka ketika terdapat “ruang publik” maka sebaliknya pasti ada “ruang privat”. Di sini kita agaknya sudah mendapatkan basis filosofis yang memadai mengenai adanya ruang publik dan privat, walaupun tidak terlalu epistemologis, apalagi sebagaimana kata Mas Fahmi “etis-estetis” yang merupakan bagian dari dimensi aksiologi dari filsafat (sebagaimana dalam klasifikasi filsafat Barat, terdapat dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang pada masing-masing dimensi tersebut terdapat subbahasan yang lebih terperinci seperti kosmologi, teologi, teleologi, termasuk etika, estetika tadi).

Dengan terpaksa melampaui bahasan historis ruang publik –dan privat- mulai dari Yunani kuno sampai pada alam modernitas dan posmodernitas sekarang (bagi yang percaya “mitos-mitos” tersebut), maka sekarang dapa dikatakan bahwa hidup dan kehidupan kita, sampai ruang privat kita tidak dapat menolak keberadaan ruang publik; ia selalu berhadapan dengan ruang privat, dan pada akhirnya melahirkan banyak perspektif seiring banyak masalah yang terlahir dari persetubuhan ruang publik dan privat tersebut.

Secara singkat ruang publik bicara soal kebebasan, kesetaraan, egalitarianisme, demokrasi, kesejahteraan bersama, di sisi lain ruang privat bicara soal hak asasi, kekhasan tertentu, privelege tertentu, keyakinan tertentu, yang seakan-akan berada di balik tirai yang sewaktu-waktu dapat keluar, mendesakkan “kekhasan” tersebut pada ruang publik, menghegemoni, mendominasi wacana, dan pada akhirnya –sebagaimana yang terjadi pada metanarasi besar terdahulu (modernisme, posmodernisme, dialektika roh [Hegel] dan mitos-mitos besar lainnya)- mendesak ruang privat lain.

Sebenarnya, berkaitan dengan latar pendidikan saya di FIP Unnes, banyak masalah pendidikan yang mau tidak mau mesti mengantarkan kita untuk mendekatinya dari perspektif ruang publik. Dan hal itu merupakan keniscayaan untuk mengambil ruang publik sebagai pendekatan dalam memahami masalah sosial terlihat dalam banyak ranah kehidupan.

Misalnya, soal moralitas guru sebagai manusia biasa, sebagai bagian dari ruang privatnya ketika berhadapan dengan ruang publik yang menuntut keselarasan antara apa yang ia ajarkan pada siswa dengan ruang privatnya secara betul-betul personal. Kasus yang nyata adalah soal guru yang berbuat mesum, selingkuh, bertindak asusila. Guru sebagai personal dan guru sebagai bagian dari ruang publik menjadi problematik, bagaimana mesti menempatkan diri dalam hak privasi untuk menjadi manusia biasa yang bisa amoral dan menjadi manusia “agung” yang mesti selalu baik di mata siswa dan masyarakat.

Ruang publik telah menjadikan posisi guru di situ tidak boleh memiliki ruang privat karena tidak disepakati oleh mayoritas pendapat ruang publik, yang nota bene pendapat mayoritas ruang publik pun sebenarnya merupakan desakan dari ruang privat moral dan etika yang sudah menjadi “sewajarnya”. Ruang privat berupaya, dalam hal ini, pendapat atas moral dan etika tertentu pada akhirnya menjadi dominan di ruang publik ketika semuanya berpendapat sama berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Mirip prinsipnya Thomas Hobes, maka saya berpendapat tidak boleh mendesak ruang privat lain apalagi merusaknya dan lebih berupaya menjaga ruang privat sendiri, oleh karena tindak amoral itu sebenarnya telah merusak atau mendesakkan persepsi bahwa amoralitas itu benar kepada ruang privat lain yang tidak sepaham, maka amoral tidak diterima di ruang publik.

Tapi bukankah keyakinan dari ruang privat yang dominan di ruang publik dan menjadi sebuah konsenses kemanusiaan dan kelaziman moral, bahwa amoral itu tidak boleh, juga sebentuk pemaksaan dan “pengrusakan” atas ruang privat lain yang meyakini bahwa amoral itu boleh? Bagaimana Anda menjawab ini? Ini baru pemanasan, posting selanjutnya sedikit menginjak soal intelektual kampus.

Edi Subkhan
peserta extension course of philosophy
STF Driyarkara, Jakarta

Rabu, Februari 27, 2008

Kuba Bertahan dalam Kepemimpinan Marxisme-Leninisme


Proses pergantian kepemimpinan dari Fidel Castro ke Raul Castro menjawab kegamangan publik internasional akan kepastian arah Kuba. Kuba diyakini sebagai negara komunis paling konsekuen, disamping Korea Utara -meskipun dalam sistem perekonomian korsel cenderung kapitalis-, memang terasa cukup fonumenal berkat lahirnya tokoh dengan kepemimpinan berhaluan kirinya yang kental di Kuba. Fidel Castro maestro politik dunia mengundurkan diri pada usia 83 tahun digantikan sang adik Raul Castro yang se-ideologi. Bisa diartikan, tak ada perubahan di Kuba, generasi muda harus menunggu, demokrasi pun layu.

Hampir sama suara khalayak luas berdentang, mengira tak akan ada bedanya antara Kuba sebelumnya dan saat ini. Dinasti Castro telah mengakar hingga titik nadir kehidupan sosial politik negara berkonsep pemikiran Karl Marx itu. Castro memang dikenal gigih memperjuangkan komunis di negaranya. Sebelum bertahta di puncak kekuasaan, Castro mengulingkan Fulgencio Batista dengan kudeta cukup fantastis. Konon dengan 600-an pasukannya, Castro mati-matian menumbangkan tentara milik Batista berjumlah 30 ribua-an. Batista pun akhirnya lari ke Dominika pada tanggal 1 Januari 1959 yang kemudian hari tersebut disebut-sebut sebagai hari revolusi Kuba. Setelah menjabat, Fidel cukup populis dengan kebijakannya untuk mendirikan Organizaciones Revolusionarias Intergradas (ORI) yang kemudian berubah menjadi Partido Unido de la Ravalucion Socialista (PURS-1963), terakhir berganti nama menjadi Partido Comunista de Cuba (1965). Kemudian kebijakannya yang “mungkin” menyentuh kepentingan akar rumput, yakni penanganan hak kepemilikan tanah, pengangguran, buta huruf, dan pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin.

Di tangan Fidel, Kuba memang menjadi negara komunis terkental. Komunis menjadi pilihan Presiden yang cukup akrab dengan tokoh revolusioner terkenal Argentina Ernesto “Che” Guevara sebagai mitra se-ideologi yang memiliki gagasan bernegara karena watak dan kepribadian keras dan keinginan sosial yang relatif tinggi untuk tujuan keadilan macam sama rata sama rasa. Dua tokoh sosialis ini sadar atau tidak, tak bias lepas dari pemikiran Marx. Marx seorang filosof, sosiolog dan ekonom terkemuka abad ke-19 menjadi kiblat pemikiran komunis yang merajut sebuah gagasan/ konsep/ teori hingga penerapannya pada negara. Dalam The German Ideology (1846) ia menegaskan bahwa sosialisme sebagai antitesis kapitalisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan lagi sekadar tuntutan etis melainkan telah menjadi sebuah keniscayaan objektif. Sementara itu, perkembangan kehidupan bidang ekonomi dalam masyarakat kapitalis sendiri ditentukan oleh pertentangan kelas, yakni antara kelas pemilik modal (kapital) dan kelas pekerja. Seiring berjalannya waktu, pertentangan di atas akan dipertajam oleh kemajuan teknik produksi. Dan, pada akhirnya, pertentangan tersebut akan meledak dalam sebuah revolusi sosial dan akan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi; tidak akan ada lagi hak milik pribadi. Akhir dari perjalanan sejarah umat manusia adalah masyarakat sosialis.

Memang banyak kalangan yang menilai ada perbedaan tebal antara sosialis dengan komunis. Namun dalam praktek, komunis lahir terilhami oleh pemikiran sosialis ala Marx ini. Kita bisa melihat penerapan konsep penyamarataan kelas ala Marx ini di negara-negara berhaluan komunis. Misalnya ketika kita berkenalan dengan partai komunis yang umumnya cukup dominan di negara komunis, maka kita dapat melihat posisi partai yang mencoba mengambil hati rakyat banyak dengan dalih kaum buruh bersatu, tetapi kemudian terlahir diktator ploletariat walaupun masih dalam kerangka sama rata sama rasa. Kaum buruh bersatu menjadi simbol dari semangat keseragaman (uniformitas) untuk meneriakkan angin kebebasan yang akhirnya pada sebuah antiklimaks yang mengarahkan arti pentingnya persatuan dan kesatuan yang utuh untuk membangun sebuah negara tirai besi di bawah mahzab komunisme. Sebuah gagasan ideal yang mengarahkan pada tujuan kesetaraan ini masih menyisakan kebuntuan akan terus lahirnya diktator ploletariat sebagaimana tadi disebutkan. Sebagai implikasinya tampak bagaimana ilmuwan idealis tercampakkan, pers tertekan, hak asasi dikesampingkan, dan demokrasi dimodifikasi menjadi kekuatan diktator ploletariat yang bersangkutan.

Gagasan Marx lambat laun tumbuh-kembang maupun runtuh dengan sendirinya. Pukulan pertama diderita komunisme dengan runtuhnya Partai Komunis Indonesia (1965). Tiga puluh empat tahun kemudian (1989) satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: mulai dari Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dan akhirnya Rumania. Tiga tahun kemudian (1991), Uni Soviet (negara adikuasa kedua sebagai simbol komunis dunia) pecah menjadi 14 Republik Negara yang mendeklarasikan untuk merdeka. Kendatipun demikian gagasan Marx tersebut masih tumbuh subur di Korea selatan, Rusia, Armenia, Azerbaijan, Belorussia, Estonia, Georgia, Kazakstan, Kirginstan, Latvia, Lilthuania, Moldavia, Tadzhikistan, Turkministan, Ukrania, Uzbekistan dan beberapa negara lain di belahan dunia ini. Ajaran Marx ini juga menemukan potensinya tumbuh subur di Kuba dengan pergantian Fidel Castro ke tangan Raul Castro sama-sama seorang sosialis.

Raul Castro tidak hanya sekedar adik dari Fidel. Akan tetapi bisa dikatakan orang yang paling setia kepada Kakaknya. Raul senantiasa berjuang bersama dengan Fidel, karena hampir semua jabatan strategis baik kenegaraan ataupun kepartaian diserahkan kepada adik. Bahkan tercatat Raul pernah dinobatkan menjadi Presiden pengganti Castro pada tahun 2006 dalam kisaran waktu tertentu. Semenjak ke-aktifan kembali Fidel sebagai presiden, Raul dipercaya menjadi sekretaris pertama komite pusat partai komunis kuba dan palima angkatan bersenjata Kuba dan presiden dewan negara. Begitulah Fidel dan Raul di ibaratkan Raul buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, Fidel Castro... Kuba tetap menjadi negara tirai besi seperti sebelumnya

Senin, Februari 25, 2008

Rileks Sejenak : Yuk Nonton Bal-balan.


Bolehlah kiranya, setelah membahas hal-hal yang mebuat jidat berkerut, kita ngobrol "ringan" saja : sepakbola. Kata Jules Cesar : beri roti dan sirkus, maka semua akan baik-baik saja. Sepakbola adalah sirkusnya, tetap menjadi perhatian sekalipun kadang-kadang rotinya belum tersedia. Sekali lagi, teori dari barat tidak berlaku untuk orang Indonesia. Ha...ha...

Masyarakat Indonesia penggemar olahraga boleh jadi lumayan beruntung dalam hal menikmati tayangan pertandingan di televisi, khususnya cabang sepakbola. Hampir setiap hari selama sepekan penuh, dapat dipastikan ada stasiun televisi yang menayangkan siaran sepakbola mulai dari Liga dan Copa Indonesia, Liga Champion Eropa, Liga Italia, Belanda dan Spanyol hingga momen-momen temporal semacam kualifikasi Piala Dunia 2010, kualifikasi Euro 2008 hingga yang baru saja usai SEA Games Thailand 2007. Semua tidak luput dari sorotan kamera televisi Indonesia. Hal ini tentu saja membawa manfaat besar, baik dalam perkembangan olah raga tersebut, sebagai hiburan yang mendidik –ditengah belantara sinetron dan infotainment yang menggunung bagai sampah, hingga membantu sepakbola menjadi industri yang bisa membiayai hidupnya sendiri.

Namun dilain pihak, jika kita cermati, ternyata banyak diantara tayangan-tayangan tersebut yang terkesan asal tayang, tidak dipersiapkan menjadi tayangan yang berkualitas dan sekadar menjadi pengisi waktu kosong siaran. Sebagai contoh, banyaknya siaran yang sudah tidak up to date lagi. Artinya, banyak siaran yang ditayangkan merupakan siaran tunda yang sudah kehilangan nilai kekinian. Padahal, sebagai sebuah berita, masyarakat menginginkan pertandingan yang masih “hangat dan segar”, bukan berita kadaluarsa lusa kemarin. Pertandingan yang ditayangkanpun bukan partai bersejarah yang pantas untuk diingat kembali sekelas final yang monumental atau pertemuan dua juara, melainkan partai biasa atau pertandingan reguler yang orang mungkin cukup puas mengingatnya dengan data statistik hasil akhir saja. Tentu kita memaklumi kasus tayangan Liga Inggris yang oleh pihak-pihak tamak, dibuat hanya bisa dimiliki orang kaya saja sedangkan rakyat biasa dijatah pertandingan sisa yang sudah basi. Toh kita sudah cukup senang. Tetapi sangat disayangkan jika pertandingan domestikpun disajikan dalam format yang sama, basi alias kadaluarsa. Kejadian ini memang sangat berkaitan erat dengan bisnis dan uang, tetapi konsumen pasti akan memilih barang yang masih baru dan fresh, selain mutu yang terjamin.

Contoh kedua, kemasan yang kurang menarik dan menjenuhkan. Tajuk siaran langsung pertandingan sudah mengudara pukul 14.30 sedangkan pertandingan yang sesungguhnya dilangsungkan kurang lebih pukul 15.30. Jeda satu jam tersebut diisi dengan komentar-komentar, sedikit ulasan data dan bejibun iklan. Selebihnya, komentar dan iklan lagi. Sekali lagi memang ini erat berkaitan dengan uang, tetapi penataan yang baik serta sedikit idealisme tentu bisa mengatasi hal ini. Pihak penayang mungkin bisa berkata “Kalau tidak mau nonton ya pindah chanel saja lah ! Susah amat !” Tetapi ini jelas bukan jawaban yang simpatik dan cenderung ingin menang sendiri.

Hal lain yang sepele tetapi cukup mengganggu kesakralan sebuah pertandingan adalah pemilihan kerabat siar. Terlibatnya beberapa wanita yang –mohon maaf, seperti tidak menguasai apa yang sedang dibicarakan dan tidak mengerti apa yang sedang ia katakan sendiri adalah inovasi perlu ditinjau ulang. Hal ini memunculkan kesan bahwa wanita hanya berperan sebagai “pemandangan indah” atau “tombo ngantuk…”, meminjam istilah yang sering dipakai Tukul jika ada wanita muda yang cantik dan berpakaian seksi. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan sebagian kaum wanita yang menuntut peran bukan hanya sebagai penarik perhatian. Tayangan televisi Eropa memang menggunakan wanita sebagai presenter tayangan pertandingan sepakbola, tetapi mereka menguasai betul topik bahasan dan juga tidak berpakaian seksi-seksi amat. Mungkin televisi nasional hendak mencontoh hal ini.

Para komentator dan presenter pria pun tak kalah anehnya. Mereka memang mengerti dan menguasai topik, tetapi ada diantara mereka yang tidak mampu menggambarkan pertandingan dengan kata-kata yang tepat atau memberi komentar yang hanya menjadi komentar saja, bukan sebuah analisis. Presenter, orang yang bertugas memandu pertandingan menggunakan media bahasa, acap kali salah dalam menggunakan bahasa. Bacalah kalimat ini : “bola umpan crossing daripada Itimi Dickson tidak mampu dimanfaatkan Kurniawan menjadi gol ke gawang daripada Yevgeni Khamarouk”. Penggunaan kata yang digaris bawahi adalah tidak tepat. Contoh lain adalah penggunaan kata “sangat, terlalu, sering, sekali, cukup, sempurna, atau kata lain yang bermaksud melebihkan arti. Penggunaan kata-kata tersebut yang tidak pada tempatnya dapat memberikan arti yang keliru pada pemirsa. Misalnya kalimat : cukup sempurna sekali, tadi, penguasaan bola dari Mahyadi Panggabean…” Kata “cukup sempurna sekali”, untuk mereka yang mendengar dan mempercayai ucapan komentator mempunyai arti yang rancu dan aneh. Cukup, berarti sedang atau tidak sempurna. Sedangkan sempurna berarti lebih dari cukup, tanpa cela. Jadi kata “cukup sempurna sekali” terdengar aneh dan membuat pemirsa bingung. Mungkin ini hanya soal kebiasaan bahasa. Tetapi seorang pemandu pertandingan, seorang yang harus bisa memberikan nuansa megah dalam pertandingan, seorang yang suara dan bahasanya sedang didengar jutaan masyarakat Indonesia, harus mampu menguasai penggunaan bahasa dengan baik. Belum lagi jika ditambah dengan pemandu pertandingan yang tidak bisa menggambarkan jalannya pertandingan, atau terkesan hanya “mengabsen setiap pemain yang sedang memegang bola” dan hanya berteriak kencang “akhhh…………” setiap kali ada kemelut di depan gawang atau tendangan melenceng yang tidak dapat ia gambarkan. Ini membuat pertandingan kehilangan sisi spektakuler dan seperti hanya milik komentator saja.

Kritikan-kritikan ini bertujuan memberikan saran membangun dalam tayangan sepakbola. Akan menjadi sebuah ironi jika keuntungan berupa begitu banyaknya siaran pertandingan sepakbola yang bertujuan menghibur dan memberi contoh pertandingan yang baik guna kemajuan sepakbola tanah air justru membuat msyarakat jengah dengan sepakbola. Diibaratkan, makan sayur asam dengan lauk ikan bakar Cianjur tentu sangat nikmat. Tapi bagaimana jika setiap hari anda hanya disuguhi menu itu saja ? Akan bosan, bukan ? Apalagi dengan penyajian yang semakin hari semakin kurang menarik.

Mohon maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan. Hidup sepakbola Indonesia !!! Semoga…

ardiansyah_jfc@plasa.com

Minggu, Februari 24, 2008

Sudah Pegang Kunci, Tapi Ternyata Tertukar*

Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda

Adagium yang akrab terdengar, mengingat “takdir” geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita sebagai bangsa Indonesia untuk menerapkannya dalam setiap sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, dan civitas akademika Unnes pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut, tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun Naruto (secara periodik seminggu sekali) karena alasan kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah dengan ungkapan tersebut?
Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda” tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena tersebut, dimana kesenjangan antara das sein dengan das sollen, ada kemungkinan kekeliruan dalam penerapannya. Perlu diketahui bahwa sebagai tuntunan norma, dua kalimat tersebut adalah dwitunggal jika memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih tua” yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda justru dipegang oleh mereka yang tua, dan begitu sebaliknya. Demikian yang terjadi sehingga Si muda terlebih dahulu menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak henti-hentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya penghormatan kepadanya. Saling menuntut berlanjut saling menyalahkan tidak lagi terhindarkan, melupakan bahwa yang terjadi hamyalah “kunci” yang tertukar.

Kaitan logika, etika, dan estetika
Masih senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas, kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama. Sebagai bagian dari civitas akademika tentu tak asing lagi dengan prinsip ”Semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis (pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga dimana Orang Tua mendidik anak-anaknya, keluarga besar Indonesia (dan Unnes) juga mempunyai tujuan mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak jarang Orang Tua melakukan kesalahan yang menuai protes dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai fenomena yang wajar-wajar saja bukan?
Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik-sebagai bentuk protes-dan penyampaian tanggapan yang diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan Orang Tua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik. Seharusnya hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik yang pantas dan tidak menentang etika agar selaras dengan prinsip hirarki logis-etis-estetis mengingat status civitas akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan tidak terkesan urakan.

Menunjukkan eksistensi
Sedikit menggeser kursi agar didapat angel yang berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-etis-estetis. Sebagaimana prinsip probabilitas dalam dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun golongan. Secara psikologis pengakuan dan penerimaan sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi lain sebagaimana diungkapkan oleh Voltaire dengan sangat indah ”aku tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk mengatakannya”

Ahmad Fahmi Mubarok
psikologi 2006
*dimuat di ekspress edisi ,aret 2008

Sabtu, Februari 23, 2008

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL (2)*

Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli ilmu sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas nya Thomas Kuhn. Atau yang lebih kontemporer barangkalai Capra. Entitas sosial apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh---dengan logika biologi alih-alih seperti yang sekarang dipakai ialah logika fisika. Atau bila memakai analogi Rothbard seperti jaring laba-laba.

Jadi, Seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam. Bukan tidak mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti suatu generasi yang hilang atau buta terhadap pencerahan ilmu tentang manusia.

Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk berstatus quo karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran ilmiah yang belum tentu hasilnya. Apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil” seperti kita.

Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat. Termasuk dunia akademis. Dan mengenai peran untuk mendebatkannya secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini.

Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas ilmu pengetahuan sosial. Sejarah perjuangan ideologi ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang ilmu alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan menegakkan ilmu pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegner dalam memperjuangkan Toeri Kontinental Drift bisa dijadikan bukti, atau nasib Galieo, Kopernikus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik ekonomi setelah penyia-nyian masyarakat akademis yang tidak lepas dari pengaruh ideologi politik yang bermain sekarang ini. Akan tetapi, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti.

Namun demikian sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial biasanya orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademiknya. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut. Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengamalan saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya.

Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang sebagian atau bahkan kebanyakan diam itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi yang menerapkan paradigma yang ada. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada untuk memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar. Barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.

Analisa lain yang saya tuduhkan kalau bisa dikatakan gugatan terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” “berbarengan” atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965 dan selanjutnya pengaruh liberalisme ala aqlo saxon dari tahun 1966 sampai sekarang masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.

Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara akademik berada di luarnya. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali dimimpikan oleh para intelektual jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya.

Dari fakta tersebut, begitu sangat jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-putar untuk berpindah profesi untuk hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang seharusnya dan patut diperjuangkan.

(Posting berlanjut….)

*Giyanto : Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Jumat, Februari 22, 2008

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL*

Tulisan ini, mencoba merefleksikan, dan bukan untuk menemukan hal-hal baru yang barangkali diharapkan oleh teman-teman di Embun Pagi। Pengalaman bergulat dalam banyak hal, seperti menjadi buruh, siswa, pengangguran, mahasiswa, pemikir, peminat buku, organisatoris dan yang terakhir mencoba berbisnis setidaknya memberikan ciri khas saya secara “unik” dalam usaha mengungkapkan gagasan yang “aneh-aneh” agar dapat dipahami teman-teman di komunitas ini.

Kali ini kita akan membahas epistemologi ilmu sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises yang telah diterjemahkan di Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak oleh Bung Nad (Sukasah Syahdan) akhirnya memberikan saya keberanian untuk menulis hal ini.

Selain frustasi memahami arti sifat statistik yang induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial---kalo bisa dibilang aneh. Ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari yaitu Ilmu Sosial.

Bertahun-tahun mempelajari ilmu sosial, seolah saya “belum” mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, rekomendasi yang dihasilkan semua sama: kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi. Setidaknya hasil itu yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain.

Terlepas dari teori-teori besarnya Kuhn, Capra dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai perkembangan proses ilmu pengetahuan. Dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat ketidaksesuaian antara teori-teori dan “realitas sosial”. Seandainya teman-teman menganggap “seksi” untuk menjadi sosialis ataupun intelektual saya kira itu merupakan mimpi yang wajar.

Hal tersebut diperparah oleh perpecahan dan semakin banyak munculnya spesialisasi bidang kajian ilmu tentang manusia. Dan ketidakseimbangan peran atau penyebarluasan berbagai disiplin ilmu yang sudah saya singgung dalam artkel : Kritik Logika Aristotelian.

Kecenderungan untuk meminati kajian politik, yang sebenarnya sudah saya “sindir” berkali-kali merupakan awal mula dari keresahan intelektual saya pribadi. Lambatnya pemahaman akan kajian ilmu pengetahuan yang lebih dalam, dalam mengkaji manusia secara utuh tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan dalam melihat fenomena manusia kita cenderung menggunakan paradigma, teori, dimensi dari perspektif bacaan kita. Kita tidak pernah benar-benar membuka “perilaku-perilaku dasar” manusia yang sebenarnya setiap hari kita lihat. Kebutaan intelektual ini saya kira disebabkan oleh “ego” terhadap disiplin ilmu kita masing-masing. Namun demikian saya merasa beruntung mendapatkan “media” seperti yang disediakan oleh teman-teman di Komunitas Embun Pagi.

Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistic yang sudah bertahan-tahun menjangkit pemikir-pemikir sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku Filsafat Ilmu (misal Buku Filsafat Ilmu Populer Karya Jujun Suryasumantri) oleh para pakar saya kira telah memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih menurut saya sangat tidak beralasan.

Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Dan saya juga menganggap aneh apabila Bordeu memiliki rumusan yang pasti tentang tindakan "praksis manusia",

Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded research merupakan cikal bakal "pemberontakan tersebut". Walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang masih menyerang akut saat ini, yang barangkali termasuk yang diusung oleh Bung Nad di Jurnal Kebasan A&K, dalam bidang Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi membawa kita kembali mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu: praksiologi.

Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat negara-negara di seluruh dunia menjadi "was-was". Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah sering disampaikan orang tua kita yang secara ilmiah bukan "pakar"-nya---setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari kebijaksanaan-kebijaksaan klasik Cina maupun Jawa Kuno....

(Tulisan ini akan berlanjut di Posting selanjutnya, dimaksudkan agar pembaca tidak kelelahan membaca: seperti saran Edi: tulisan jangan panjang-panjang,ha2)

*Giyanto: Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang


Kamis, Februari 21, 2008

Belenggu Idealisme Ubermensch

Dunia pendidikan kita sekarang tak hanya dimaknai sebagai sarana untuk memanusiakan manusia sebagaimana dikatakan Driyarkara. Lebih dari itu sekarang dengan berbasis pada paradigma education as human investment, maka dunia pendidikan telah menjelma menjadi pabrik-pabrik yang siap memproduksi manusia-manusia pesanan pasar.
Konsekuensinya, dengan harga tertentu maka akan didapat produk dengan kualitas sebatas harga yang diberikan. Dengan kata lain, dalam logika ekonomi, semakin tinggi kita berani membayar -atau berinvestasi pada sebuah lembaga pendidikan- maka semakin tinggi pula kualitas produknya.

Tampaknya semua lembaga pendidikan menyadari hal itu, hingga yang terjadi selanjutnya adalah persaingan antarlembaga. Mereka semua berupaya untuk menunjukkan bahwa lembaga mereka lebih berkualitas dari yang lain. Ketika tantangan globalisasi sekarang menghendaki penguasaan soft skill dan hard skill competence bahasa Inggris, IT, keuletan, kreativitas, profesionalisme, dan lainnya, maka lembaga pendidikan beramai-ramai mengakomodasinya. Nah, ketika persaingan kian ketat antarlembaga, maka inovasi-inovasi pendidikan dilontarkan agar tak sekadar keunggulan kompetitif yang didapat tetapi juga keunggulan komparatif.

Dari sini lahirlah lembaga-lembaga pendidikan semacam full day school (sekolah sehari penuh) yang bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang bermodel imersi, akselerasi, boarding school, sekolah alam, dan lain-lainnya. Karena sudah bernalar bisnis, maka promosi digencarkan bahwa konsep-konsep inovatif tersebut lebih unggul dibandingkan dengan sekolah-sekolah biasa dengan tujuan agar orang tua dan calon peserta didik kian tertarik, hingga akhirnya memilih sekolah mereka, dan ketika mereka bersekolah di lembaga tersebut tentu semakin banyak “investasi” yang masuk, dan semakin sejahteralah lembaga tersebut.

Jika ditelisik secara lebih filosofis, maka sebenarnya masalah tersebut terjadi karena dunia pendidikan kita tak mempunyai landasan filsafat dan ideologi pendidikan yang kuat. Visi pendidikan kita pada kurikulum 1994 dan sebelumnya telah mengandaikan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang sempurna lahir & batin, mampu menguasai segalanya, bisa apa saja, intinya adalah sebentuk ubermensch (superman) yang digadang-gadang oleh Hitler ketika mengklaim rasnya sebagai yang terunggul di dunia. Intinya pendidikan kita ditujukan untuk membentuk manusia super (superman) yang serba unggul yang ternyata hal itu pun masih dalam kontroversi secara filsafati dan mengabaikan realitas sosial-budaya bangsa Indonesia.

Akhirnya yang dirujuk adalah filsafat idealisme dalam pendidikan. Filsafat idealisme ini mencoba memberikan semua materi yang penting bagi siswa, celakanya semua materi dianggap penting, karena memang tujuannya menciptakan manusia super tadi. Yang terjadi adalah, banyak materi dijejalkan pada siswa walaupun ternyata dangkal. Mulai dari hal sederhana sampai teori yang sebenarnya belum perlu diberikan pada siswa SMP –misalnya- akhirnya diberikan juga. Selanjutnya pembelajaran lebih bersifat teoritis karena banyaknya materi yang harus dipelajari, waktu belajar terbatas, hingga tak mendalam dan minim prakteknya.

Walaupun paradigma tersebut sudah mulai ditinggalkan dengan mensinergikan idealisme dan realita dalam pendidikan kita, ternyata mimpi ubermensch tidaklah tamat riwayatnya. Dengan disulut api nalar bisnis yang penuh persaingan untuk mendapatkan hati pasar (masyarakat dan dunia kerja) maka ia berganti baju dan menjelma menjadi –salah satunya-konsep full day school.

Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day school tak sekadar “memaksa” siswa belajar dari pagi sampai sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih variatif, dan kemungkinan lebih mendalam. Tak hanya itu, yang pasti full day school tentu lebih mahal biayanya daripada sekolah biasa.

Yang dikhawatirkan adalah, siswa menjadi jenuh belajar seharian. Tak hanya karena dibatasi dalam lingkup sekolah yang seringkali menjauhkan dari realita kehidupan, tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan konsep yang tak lagi menarik hati, maka siswa akan kian jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal resistensi pada materi yang diberikan.

Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak semuanya tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang berkarakter pemberontak, tak semua siswa mampu mencerap bejibun materi, karena berbedanya kecerdasan, tak semua siswa mau mempelajari semua, karena bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana dikemukakan Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya.

Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa oleh lembaga pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak untuk mengaktualisasikan diri, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada usia anak-anak. Dengan konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban idealisme visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang “memaksa” anaknya jadi yang terbaik. Bukankah ketika ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan? Begitu pula dengan sekolah, tak perlu “memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang belajar, hingga saat yang paling dibencinya justru ketika waktu belajar usai dan liburan tiba. Bisakah?


* Edi Subkhan; peneliti dan penulis, tinggal di Jakarta.

Rabu, Februari 20, 2008

Tentang Cinta...


Ya Allah
jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang
yang melabuhkan cintanya padaMu,
agar bertambah kekuatanku untuk menyintaiMu…

Ya Muhaimin,
jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang
yang hatinya tertaut padaMu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu…

Ya Rabbana ,
jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya,
agar tidak berpaling daripada hatiMu…..

Ya Rabbul Izzati ,
jika aku rindu ,
rindukanlah aku pada seseorang
yang merindui syahid di jalan Mu….

Ya Allah ,
jika aku menikmati cinta kekasihMu,
janganlah kenikmatan itu
melebihi kenikmatan
indahnya bermunajat
di sepertiga malam terakhirMu…

Ya Allah ,
jika aku jatuh hati pada kekasihMu
jangan biarkan aku
tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang
menyeru manusia kepadaMu….

Ya Allah
jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu,
jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku
pada cinta hakiki
dan rindu abadi
hanya kepadaMu….

…Amin Ya Rabbal ‘Aalamiin…
(Unwriter be founded)

-diambil dari friendsternya Fina af'idatushofa (Qaryah thayibah Salatiga)
by Ed Khan

KRITIK LOGIKA ARISTOTELIAN*


“Semua orang ingin hidup di atas biaya negara.
Mereka lupa: negara ingin hidup di atas biaya semua orang.”

Claude Frederic Bastiat**

Sebelum terbentuk masyarakat, individu terlahir lebih dulu. Dia hidup dalam sebuah keluarga. Ketergantungan pada orang tua menjadi sesuatu yang tak terhidarkan bagi si anak. Dia menyusi dan berbicara seperti yang disimbolkan keluarga oleh orang tuanya.

Makin kompleksnya sistem kekeluargaan dalam komunitas, keluarga-keluarga membentuk desa, yang kemudian menjadi kota. Maka munculah pemerintahan. Disini awal mula terjadi relasi antara si pemerintah (pelayan dalam arti idealnya) dan yang diperintah: yaitu rakyat (atau yang dilayani dalam arti ideal).

Sering kali dalam melihat politik, para ahli mengacu pada sistem yang ada pada masyarakat Yunani kuno. Karena di Yunani memiliki sistem pemerintahan yang “unik”. Ada beberapa ratus kota di Yunani, dan di setiap kota berpenduduk ratusan ribu---orang Yunani menyebutnya Polis. Dan polis terbesar ialah Athena, ada sekitar tiga ratus ribu penduduk. Setiap kota memiliki corak pemerintahannya masing-masing.

Masa itulah cikal bakal istilah demokrasi. Para filsuf membuat konsep ideal mengenai relasi pemerintah dan yang diperintah. Atau dalam arti ideal, antara yang melayani dengan yang dilayani. Dalam konsepnya, karena individu bagian dari masyarakat maka dia tidak bisa lepas dari hukum masyarakat---yang diwakili oleh para legilator serta eksekutif plus yudikatif: ketiganya sebagai sistem ideal pemerintahan. Dalam keputusan bersama itulah peran politik berjalan.

Pendekatan tersebut menjadi cikal bakal konsep politik di masa sekarang. Melalui berbagai tambahan-tambahan oleh filsuf sesudahnya.


Politik sebagai salah satu Ilmu Tentang Manusia

Kata politik setidaknya mengacu pada komunitas ideal pada zaman Yunani kuno. Sedangkan sistem idealnya ialah demokrasi: suatu pemerintahan oleh rakyat. Sebagai bidang ilmu sendiri, kajian politik berkembang, melebihi bidang-bidang kajian ilmu yang lainnya. Sampai-sampai proporsinya menjadi kurang seimbang dengan kajian ilmu lainya (semisal: sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi, geografi dsb). Menurut bahasa saya pribadi: terlalu dibesar-besarkan.

Padahal, sebagai bagian dari kajian ilmu manusia, ilmu politik hanya sebagian kecil dari kajian ilmu tentang masyarakat (social). Politik mengkaji hubungan antara individu dengan komunitasnya dari sudut pandang sistem pengaturan kekuasaannya. Sosiologi mengkaji individu dengan individu lain dari sudut pandang interaksi yang membentuknya sehingga menciptakan organisasi, antropologi mengkaji individu karena gagasan kolektifnya yang membentuk sistem budaya, psikologi mengkaji manusia sebagai makhluk otonom yang memilik jiwa (pikiran, perasaan dan tubuhnya), sejarah mengkaji manusia berdasarkan tindakannya berdasarkan waktu, geografi mengkaji manusia berdasarkan dimana dia bertempat tinggal dan bagaimana pola-pola itu terjadi di muka bumi, dan sebagai makhluk ekonomi manusia harus mengkonsumsi, berproduksi serta berdistribusi, serta yang terakhir manusia sebagai makhluk pembelajar dalam kajian ilmu Pendidikan. Saya sendiri kurang memahamai mengapa dalam mengkaji manusia, kita menjadi terpecah belah seperti ini?


Manusia sebagai Makhluk Berfikir

Dari berbagai penjabaran mengenai posisi ilmu yang mengkaji manusia diatas, saya sengaja mengingatkan, bahwa manusia itu “unik” bila dilihat dari berbagai sudut pandang. Dan saat ini kita melihat peradaban manusia sedikit-demi sedikit memperlihatkan paradok-paradok yang menegangkan sekaligus menggelikan (menurut saya). Para intelektual “berkoar-koar” tentang konsep serta gagasan yang mencoba menggerakan sejarah dunia. Anehnya, semua orang, termasuk intelektual, ikut-ikutan tanpa dengan kritis menelaah gagasan tersebut: Dengan bahasa saya: kita mengalami sindrom “kebaruan”, artinya apa yang baru itulah yang baik.ha2...(menurut saya ini pemikiran yang paling bodoh yang sering kita lakukan)

Aristoteles memang bukan yang pertama membicarakan tentang negara. Sebelumnya Plato lebih dulu membahas tapi masih dalam tataran konsep ideal. Kedua filsuf, baik Plato maupun Aristoles, merupakan generasi “pemikir” terbaik pasca kematian Socrates yang menyedihkan: karena dituduh memprovokasi anak muda untuk memberontak. Padahal, saat itu Socrates sedang mengajak anak muda untuk “menggunakan pikirannya”.


Manusia sebagai Warga Negara dalam Pengertian Aristoteles

Aristoteles mengembangkan dengan konkret mengenai gagasan negaranya Plato, selain itu juga sedang mengembangkan kemampuan dalam hal ilmu logika. Aristoteles mejabarkan dengan rinci pemikiran-pemikiran politiknya. Ringkasnya: Aristoteles memberikan panduan pemikiran bagaimana individu harus menjadi warga negara yang baik dan bagaimana seharusnya negara memperlakukan individu.

Dengan demikian, apa yang “dilakukan” individu dan “dimiliki” individu ada dibawah wewenang “negara”. Termasuk hak milik pribadi yang manusia kumpulkan selama hidupnya. Dalam sudut pandang inilah, Aristoles terlalu menyederhanakan relasi yang dikembangkannya. Dia hanya melihat manusia sebagai “bagian” dan “milik” komunitas ataupun “negara”.


Kecenderungan-Kecenderungan

Sekarang, konsep relasi individu dan negara menjadi perdebatan yang sangat sengit. Sebagai bagian dari komunitas, individu harus tunduk pada komunitas yang mengaturnya (sekarang disebut negara---dan barangkali di masa depan kita akan meneliti istilah “negara” seperti saat ini ketika kita meneliti kerajaan ataupun peradaban kuno seperti yang kita lakukan sekarang). Dan perdebatan ini akan kita lihat lebih seru dengan kendaraan globalisasi yang melaju kencang. Relasi dunia yang terdiri dari hubungan “negara-negara bentukan pasca kolonial” dengan “akumulasi modal internasional melalui perusahaan multinasional, serta pemerintahan global, institusi global, ideologi transnasional sampai dengan “desa global” (global vilage) hingga dalam bahasa global akan muncul dua jenis orang: “pemenang dan pecundang”. Begitu banyak jargon-jargon hinga kita lupa bahwa yang kita bicarakan itu: Manusia.

Kerumitan tersebut, ibarat benang yang sudah sengaja kita kusutkan, tapi anehnya kita marah karenanya....barangkali Tuhan sekarang sedang tertawa melihat kita. Sekian...


*Giyanto: Mantan Filsuf tinggal di Semarang

**kutipan ini diunduh dari Jurnal Kebebasan Akal dan Kehendak

Selasa, Februari 19, 2008

Pilpres AS; Suatu Fenomena Politik Menarik


Amerika sebuah negara yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1776 ini memiliki pengaruh internasional cukup besar pascaberakhirnya perang dingin tahun 90-an. Perang dingin yang yang menyingkirkan uni soviet sebagai satu negara yang bisa mengimbangi kekuatan Amerika, membuat negara paman sam ini cukup berpengaruh dalam beberapa momen dan politik internasional. Amerika mengisyhtiharkan dirinya sebagai polis dunia yang memiliki peran signifikan dengan aksinya di Kosovo, Haiti, Somalia, Liberia dan Perang Teluk pertama menentang irak yang mencerobohi negara Kuwait. Tragedi black september pada 11 September, 2001 di World Trade Center dan Pentagon, memicu kemarahan Amerika yang berimplikasi pada aktivitas yang ditandai dengan aksinya melancarkan serangan balas ke atas Afghanistan, mengutuk Usama bin Laden Al-Qaeda dengan simbol teroris sebagai musuh dunia yang sontak saja berbagai negara menerapkan peraturan tindak pidana terorisme. Tak hanya itu, Amerika juga ikut bertanggung jawab atas jatuhnya kerajaan Taliban dan pada tahun 2003 melancarkan Perang Teluk menentang Irak untuk menyingkirkan rezim Shadam Husein. Tak pelak, dengan berbagai dominasinya di berbagai negara-negara ini momen penting dalam negeri di Amerika menjadi soroton publik internasional.

Begitu halnya dengan kondisi politik di Amerika, pemilu sebagai momen penting dalam penyelenggaraan sistem politik, tentu banyak menuai soroton masyarakat internasional. Pemilu di Amerika di lakukan setiap dua tahun, pemilu 2006 dilaksanakan tapi kurang mendapat perhatian publik, sedangkan dua tahun berikutnya pemilu presiden yang banyak menjadi bahan atau referensi perkembangan demokrasi dan politik yang ramai diperbincangkan oleh khalayak internasional. Peran media internasional memberitakan bacaan tentang peta, positioning kandidat, kultur, dan partisipasi politik di Negara tempat markas besar PBB berdiri itu.

Penting halnya mendiskursuskan bagaimana system dan pola komunikasi dalam pentas demokrasi Amerika, khususnya bagaimana media memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan dan pertarungan retoris opini publik. Peranan media sangat strategis dalam even politik seperti ini. Secara umum Schramm (1973) dalam buku yang ditulis Antar Venus (2004) yang berjudul manajemen kampanye menyatakan pentingnya saluran kampanye sebagai perantara apapun yang memungkinkan pesan-pesan sampai kepada penerima. Sementara Klingemman dan Rommele (2002) menurut Venus juga menempatkan secara lebih spesifik bahwa saluran kampanye segala bentuk media yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Media memiliki peran yang berpengaruh secara kognitif khalayak pemilih. Dengan kata lain media juga dapat di fungsikan sebagai wadah untuk memasarkan produk politik seorang kandidat. Dalam pelaksanaan pilpres Amerika, media nasional dan internasional ramai-ramai menyunting proses bersejarah di dunia. Pilpres Amerika oleh media nasional Amerika di ekspose dalam tampilan iklan kampanye, jejak pendapat, pemberitaan peta dan aktivitas kandidat beserta timnya, sebagaimana halnya dilakukan oleh stasiun televisi ABC, majalah time, dan radio RNP, sedangkan media internasional juga tak ingin ketinggalan dalam memberitakan dan menganalisis situasi politik kekinian negara kiblat demokrasi liberal itu. Media internasional mulai dari Harian Inggris The Guardian yang mengunggulkan Hillary Clinton yang akan mengalahkan, kubu republik, Jonh McCain atau Rudolph Giuliani. Kemudian Harian Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid yang cukup terperangga dengan kemunculan Barack Obama. Setelah itu, harian Rusia Kommersant yang terbit di Moskow sudah berani memprediksikan keunggulan kandidat dari partai demokrat. Tema lain yang dikomentari harian internasional adalah pertemuan Kanslir Jerman Merkel dan Presiden Rusia Putin di Sochi. Harian Jerman „General-Anzeiger“ yang terbit di Bonn menulis: keberpihakkan elit jerman terhadap kelompok oposisi Amerika melihat persoalan hak asasi manusia dan ketersediaan energi global akhir-akhir ini.

Positioning Kandidat

Positioning merupakan suatu langkah yang ditujukanoleh kandidat untuk menancapkan citra tertentu di benak pemilih. Citra inilah yang juga bisa disebut sebagai salah satu produk politik. Asumsi pemasaran dalam positioning di negara-negara maju khususnya Amerika juga diterapkan di dalam arena pertarungan politik yang melogiskan bahwa positioning merupakan produk yang harus layak untuk dipasarkan. Bagi setiap calon presiden Amerika tentunya telah memilih dan merumuskan positioning dan strategi pemasaran produk politik masing-masing.

Di negara-negara maju, begitu halnya penerapan prinsip-prinsip marketing telah meluas keluar institusi-institusi bisnis. Di Amerika Serikat, ahli-ahli pemasaran sangat terlibat dalam persaingan merebutkan kursi presiden maupun parlemen. Angkatan bersenjatanya membuat rencana pemasaran untuk menarik minat para calon tentara. Untuk mendorong konserasi energi dan lingkungan, mengurangi rokok dan minuman yang berlebihan, dan mencegah penggunaan narkotika, lembaga terkait mendesain social marketing compaigns. Para mareketer sosial juga menerapkan konsep serupa untuk menyebar luaskan pengetahuan tertentu seperti cara mengetahui nilai-nilai nutrisi pada makanan, memicu suatu aksi sesaat seperti imunisasi massal, mengubah perilaku seperti mengkonsumsi minuman keras saat mengendarai, hingga ketika mengubah keyakinan komunitas tertentu. Lain pasar, lain konsumennya, sehingga muncul cabang-cabang baru (pemasaran organisasi nirlaba) dan social marketing (pemasaran sosial) (Nursal: 2005: 5). Hingga saat ini terhitung jumlah logistik hampir tiap titik negara bagian di Amerika tersebar alat peraga kampanye dengan jumlah massal, padahal kita ketahui bersama bahwa Amerika adalah negara terbesar keempat di dunia setelah China dan Rusia. Jadi berapa budget yang harus diperlukan untuk pengadaan media pemasaran tersebut.

Selanjutnya, peningkatan popularitas para kandidat dalam pilpres Amerika dengan system political marketing dilakukan secara terus-menerus dalam masa pemilihan berlangsung. Skema dasar kampanye pada hakekatnya adalah kandidat calon mempromosikan diri. Sehingga mereka mulai menjual apa yang sekiranya menarik untuk mendapatkan konsumen, yakni simpatik dan dukungan khalayak masyarakat pemilih. Dalam mempromosikan diri, sikap, tindakan, kegiatan, dan aktivitas para kandidat baik kubu democrat atau republic ini dapat dianalisis melalui disiplin ilmu marketing, seperti biasa disebut political marketing. Turunan marketing lain seperti person marketing (Kotler dan Amstrong, 1994) dapat menjadi rujukan. Person marketing meliputi aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menciptakan, memelihara, atau mengubah sikap dan perilaku orang-orang tertentu. Semua orang dapat menerapkan turunan marketing ini. Para politisi dapat memakainya ketika memasarkan diri sendiri, untuk memperoleh suara dan mencari dukungan program; figur-figur penghibur atau atlit juga dapat memakainya untuk mendongkrak karier dan pendapatannya.

Person marketing bertujuan menciptakan selebritis sebagai seorang pribadi yang terkenal yang mempunyai citra diri tertentu yang kuat karena kepribadian, sikap, dan tindakannya. Proses person marketing mirip dengan proses memasarkan produk yang akan dimulai dari sebuah riset dan analisis untuk menemukan kebutuhan dan segmentasi pasar. Objek yang dimaksud dengan pasar adalah publik yang diharapkan dapat mengubah penilaian, sikap, dan perilaku terhadap figur yang dipasarkan. Hasil dari riset berupa analisis tentang kebutuhan konsumen dan segmentasi pasar ini kemudian menjadi bahan-bahan rujukan penting guna mengembangkan produk atau figur yang bersangkutan. Pengembangan produk ini dimulai dengan nilai-nilai citra dan kualitas pribadi yang bersangkutan pada saat ini dan mentranformasikan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan-harapan konsumen dengan lebih baik.

Suksesnya Ronald Reagen meraih dan mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden Amerika Serikat terdahulu tak lepas dari person marketing. Dengan menerapkan person marketing, Reagen mengembangkan citra sebagai pemimpin yang patriotik, yang diperlukan untuk memimpin Amerika Serikat saat itu. Untuk melanggengkan pemerintahannya, selama delapan tahun Reagen menerapkan person marketing untuk mendukung positioning dan strategi pemasaran pemerintahan. Ia punya sebuah tim kerja marketing yang terdiri dari para specialis-spesialis peneliti, jago-jago iklan, penasehat politik, penulis pidato, perencana media, sekretaris pers, hingga seniman make up. Tim itu bertugas mendefinisikan segmen pasar politik dan mengidentifikasi isu-isu kunci untuk memperkuat program dan posisi Reagen.

Posisi yang khas, jelas dan meaningfull dari sebuah kontestan bersumber pada faktor-faktor pembeda yang dimiliki oleh kontestan tersebut dibandingkan dengan kontestan lain. Tetapi tidak semua karakter pembeda yang dimiliki oleh seorang kontestan itu menghasilkan positioning yang efektif. Setidaknya diperlukan enam syarat agar perbedaan itu menjadi berharga dapat kita lihat dari pilpres Amerika terdahulu seperti: a) penting (important), artinya perbedaan itu harus berarti penting bagi para masyarakat. Sebagai contoh sebuah partai politik bisa saja membedakan dirinya dengan partai yang lain dengan warna lain yang dimilikinya seperti yang dipakai untuk atribut bendera, posko, seragan, dan sebagainya. Kendatipun berguna untuk identitas partai, akan tetapi warna partai bukan merupakan perbedaan yang penting untuk masyarakat. Lain halnya dengan usia kandidat presiden –seperti Bill Clinton yang lebih muda dari pada Bob Dole- memiliki arti lebih penting di mata masyrakat Amerika Serikat; b) Istimewa (distinctive), sebagai pembeda faktor tersebut tidak di miliki pihak lain seperti Bill Clinton berusia muda yang tidak dimiliki oleh Bob Dole. Akan tetapi, satu atau beberapa faktor yang juga dimiliki oleh pihak pesaing , masih bisa dijadikan sumber pembeda asalkan faktor tersebut diwujudkan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan kontestan lain. Misalnya sejumlah partai bisa saja mengklaim sebagai partai wong cilik, partai lainnya antara lainnya antara lain dengan menunjukkan pola hidup sederhana dengan menerapkan kebijakan bahwa seluruh legislator dan pengurus partai menggunakan fasilitas hidup sederhana seperti mobil pribadi yang tidak melampaui harga tertentu untuk menunjukkan keprihatinan terhadap nasib wong cilik; c) Superior, perbedaan yang dimunculkan harus memberikan suatu manfaat yang lebih baik ketimbang cara-cara lain untuk menghasilkan manfaat yang sama. Dalam konteks Bill Clinton vs Bob Dole terlihat bahwa bagi sebagian besar pemilih, untuk mewujudkan kesejahteraan Amerika, melihat kedepan lebih baik dibandingkan melihat masa silam; c) dapat dikomunikasikan (communicable), positioning itu mudah dipahami pemilih dengan berbagai media komunikasi. New Demokrat yang pernah digunakan oleh Bill Clinton lebih mudah dipahami dan dikomunikasikan untuk menunjukkan bahwa ia kandidat dri Partai Demokrat berjiwa muda dengan ide-ide baru yang tidak mungkin muncul dari pengikut partai demokrat yang konservatif; d) Preemptif, perbedaan tersebut tidak mudah ditiru oleh pihak yang lain. Kembali lagi kita ambil contoh A Bridge to Future yang digunakan oleh Bill Clinton yang tidak mudah ditiru oleh Bob Dole karena Bob Dole karena Bob Dole yang berusia tua dipersepsikan para pemilih identik dengan masa silam; e) jumlah signifikan, yang terpenting adalah bahwa positioning tersebut pada akhirya dapat meraih suara sesuai dengan sasaran objektif kontestan.

Ketika di lihat dari sudut positioning, hal yang cukup berbeda di miliki oleh masing-masing kandidat dari partai democrat dan partai republic. Meskipun dapat dinilai bahwa dari sudut kuantitas dan peta politik partai democrat lebih diunggulkan dari republic, karena democrat mengantongi kemenangan pada pemilu tahun 2006 dan bangunan citra positif, namun tampaknya hanya John McCain Senator Arizona ini mendapatkan untung dari persaingan ketat antara Hillary dan Obama pasca kemunduran diri Romney pada 7 Februari 08 sebelum super tuesday di mulai. Citra yang di miliki oleh kandidat partai republik sangat tidak diuntungkan dengan kebijakan politik luar negeri George W Bush tentang penambahan pasukan di Irak, serangan di Afghanistan, Persekongkolan dengan Israil. Dalam beberapa periode, presiden Amerika Serikat hampir selalu berasal dari Partai Republik. Sejak tahun 1861, dari 27 presiden AS, 18 berasal dari Partai Republik. Namun Bush menurunkan citra institusi politik ini, sehingga publik amerika lebih menyukai dengan perubahan. Hal inilah yang mendorong kuat Hillary Clinton, Senator New York, Barack Obama, Senator Illinois dan John Edwards, mantan Senator dari North Carolina kandidat dari partai demokrat untuk maju dengan isu strategis menyoal anti kemapanan.

Citra yang terbangun di kalangan pemilih bahwa kandidat partai republik akan mewarisi gaya kepemimpinan Bush cukup logis. Traumatis ini yang menguatkan posisi tawar kandidat dari Demokrat yang sebenarnya semuanya mengusung wacana anti kemapanan. Kandidat kuat dari partai demokrat yang cukup diunggulkan yakni Obama dan Hillary memiliki positioning yang hampir sama, anti kemapanan dan mengurangi ekspansi politik luar negeri. Kendatipun demikian, persamaan diantara kandidat kuat ini masih dapat dilihat perbedaannya. Perbedaan inilah yang menjadi positioning masing-masing kandidat. Pertama, dalam hal kebijakan politik luar negeri. Dalam masalah perang Irak misalnya, kedua calon memiliki posisi yang berbeda. Walaupun saat ini baik Obama maupun Clinton menginginkan pasukan Amerika ditarik mundur secepatnya dari Irak, namun Obama lah yang sejak awal secara tegas menyatakan tidak setuju dengan perang Irak. Sedangkan Hillary Clinton dalam kedudukannya sebagai senator New York, dari awal turut menyetujui agenda pemerintah Bush dalam melakukan agresi militer ke Irak. Perbedaan kedua, dalam hal kebijakan politik kesehatan. Obama menyatakan, program kesehatan yang dicanangkannya, supaya setiap warga Amerika Serikat memiliki asuransi kesehatan. Perbedaan ketiga adalah persektif politik Obama dan Clinton dalam menghadapi krisis properti di Amerika Serikat. Sejak pertengahan 2007 lalu, rumah-rumah di Amerika Serikat banyak yang terpaksa dilelang, karena para pemiliknya tidak mampu lagi membayar jaminan dan bunga pinjaman. Bank-bank Amerika sering menawarkan pembeli dengan suku bunga awal yang rendah, tetapi untuk selanjutnya persentasi bunga yang harus dibayar terus naik. Obama percaya, pemecahan krisis properti ini hanya bisa dilakukan dengan pembekuan suku bunga dan biaya ditanggung bank. Dengan demikian, bisa dihindari adanya calon pembeli dengan suku bunga tinggi. Untuk programnya, Obama merencanakan pengadaan dana sebanyak 10 juta milyar Dollar yang akan digunakan untuk menghindari terjadinya pelelangan

Pola Kampanye

Memasuki paruh kedua dasawarsa 70-an minat untuk mangkaji kampanye marak kembali dikalangan pakar komunikasi, bahkan akhirnya memancarkan harapan baru akan potensi kampanye dalam mendorong perubahan sosial dan prospeknya bagi penelitian komunikasi. Optimisme semacam itu berkembang terutama setelah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Mendelson (Perloff, 1993); Warner (1977); AJ. Meyer, Nash, McAlister, Maccobby dan Faquhar (Perry), prinsipnya menegaskan bahwa sebuah kampanye yang dikonstruksi dengan baik akan memberi efek yang luar biasa terhadap khalayak sasarannya. Masa ini kemudian dikenal sebagai era kesuksesan kampanye.

Begitulah keadaan yang sampai sekarang masih berkembang sarana/ strategi persuasif dan komunikatif yang efektif bagi kandidat untuk menggiring suara dukungannya. Amerika saat ini dan sebelumnya menjadi contoh yang menarik bahwa kandidat kuat di negara tersebut kampanye dengan banyak menggunakan retorika politik. Pidato menjadi kunci ketertarikan massa pada kandidat tersebut. Sehingga kata-kata indah yang persuasif di susun rapi oleh kandidat untuk di sampaikan ke khalayak publik. Contoh pidato Obama pada pasca super tuesday menandai retorika yang di sampaikan seperti “Kami tahu bahwa perjalanan kami menuju pemilihan bukanlah hal yang mudah. Tapi kami tahu bahwa saat ini, orang-orang yang sinis tidak dapat lagi mengatakan bahwa harapan kami salah. Karena kami telah menang di timur dan barat, di utara dan selatan, hampir di seluruh negara kita cintai ini”. Ataupun Hillary yang pada satu kesempatan mengatakan “Kami akan menyapu perolehan suara di Texas tiga minggu ke depan dan mengumumkan pesan kami, apa yang Amerika butuhkan seorang presiden yang sejak hari pertama mengemban tugas sebagai panglima serta mendorong kembali perekonomian. Saya telah teruji dan dan saya siap!!! Ayo kita wujudkan!”. Kata-kata ini tidak banyak menunjukkan teori, data, dan asumsi ilmiah. Tapi lebih menekankan pada kesederhaan dan kemudahan orang memikirkan perkataan lesan kandidat. Disamping bentuk retorika, praktek persuasi yang juga membantu mengidentifikasi proses-proses yang terjadi ketika pesan-pesan kampanye diarahkan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak oleh Perloff (1993) sebagaimana dikutip oleh Venus (2004: 31) menyarankan strategi persuasi yang dapat dipergunakan dalam praktik kampanye yakni, memilih komunikator yang tepercaya. Sehingga tidak hanya para tokoh elit politik saja yang dipercaya untuk menjadi juru kampanye, akan tetapi artis-artis besar (hollywood) juga turut meramaikan proses politik ini. Komunicator yang populis, cakap, dan berintregitas dapat mengoptimalkan target kampanye. Pesan yang diorganisasikan dan disampaikan dengan baik belum cukup untuk mempengaruhi khalayak. Diperlukan juga komunikator yang terpercaya untuk menyampaikan pesan trsebut. Semua bukti di dunia menunjukkan bahwa pesan yang dirancang dan disampakan dengan sempurna tidak akan mendapat membawa perubahan perilaku jika khalayak tidak percayai komunikator (Larson, 1992). Karena alasan ini maka kredibilitas komunicator merupakan hal yang harus diperhatikan agar ia bisa menjadi pembawa pesan yang dapat dipercaya.

Minggu, Februari 17, 2008

Sudahlah... Mari bersahabat

Mah, lho kok itu temboknya yang sana ditulisi Jawa Pribumi kenapa tho, Mah?”
“Ya karena mereka memang orang Jawa”
“Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah ?”
”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang Indonesia !!!, gitu”

Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny, yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu “membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar, jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi pembakaran….

Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan semangat menceritakan apa yang pernah dialami ia dan keluarganya sejak kerusuhan berbau rasial pada masa pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya, di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadian-kejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku, sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak yang belum bersedia menghargai keragaman.

***
Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapka aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC menggolongkan masyarakat menjadi kelompok berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya. Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif), pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan merasa pihak lain lebih dilindungi.
***
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi budayanya sendiri. (Y. Ardiansyah di ardiansyah_jfc@plasa.com)

Sebuah perpustakaan kecil...yang wah


Hari ini (minggu, 17/2/08) saya sama Taufik dan Luluk yang kebetulan sedang pelatihan manajemen LSM di FISIP UI selama dua minggu meluangkan waktu tuk jalan-jalan bareng. Kali ini sasarannya adalah perpustakaan Freedom Institute di J Irian No. 8 Menteng.

Dasar anak-anak ndesit, katrok, dan sok aktivis, maka setelah bangun kesiangan karena semalem ngenet gratis di kantorku (mumpun Boss besar ga ditempat) sarapan dan naek kereta ekonomi ke Gondangdia, kami nekat berjalan kaki dari stasiun ke tempat tujuan. Dengan bekal peta yang ditenteng-tenteng ke sana ke mari, dengan penuh keterasingan dan kecurigaan aka peta yang seakan selalu terlihat mudah (cieee....) pada akhirnya sampai juga di perpus itu.

lagi-lagi dasar sok aktivis, eeee...belum masuk perpus kami udah nongkrong duluan di pinggir jalan gerbang perpus; pesen kopi dan energen anget sambil roko'an -saya sich sambil gigit jari aja- ngrasani Pak Rizal Malarangeng pendiri dan bos besar freedo institute kira-kira liburan begini lagi ngapain he..he..

Setelah masuk, kami langsung disodori kertas untuk menjadi anggota perpustakaan gratis -Luluk karena gak baca telanjur bayaar dan ternyata diterima juga ama karyawannya he...- dan kartu anggota itu berlaku selamanya sampai ilang, rusak dan ganti lagi. Sebelum ke dalam terdapta beberapa buku review tentang penghargaan Achmad Bakri dari tahun 2003-2007 ada Cak Nur, GM, Frans Magnis S, Sapardi, Rendra, dan lainnya bagus juga...dan ternyata boleh di bawa gratisan he...

Perpustakaan mungil itu memiliki koleksi sekitar 8000 buku dan 14000 jurnal. Saya dan temen-temen begitu terhenyak dan larut di dalamnya, buku yang selama ini saya rujuk dalam berbagai tulisan dari sumber kedua atau ketiga, saya dapati langsung versi aslinya. Leonard Binder tentang agama-agama, Karen Armstrong, Basam Tibi, Fazlur Rahman, Adorno, Habermas, Nietszche, Bertrand Russel, Fromm, fuih....apa-apaan ini. Sungguh saya merasa belum apa-apa selama ini ketika beum membaca itu semua, selama ini banyak membaca versi terjemahannya, versi inggris mungkin hanya beberapa dengan bantuan mecin pencari di internet. Bahkan freedom yang nota bene adalah penggerak wacana demokrasi liberal punya koleksi Das kapital asli seri 1 s.d 3 plus jurnal New Left Review jurnalnya gerakan sosial baru yang alam banyak hal memuat pikiran neo-marxsme mazhab frankfurt- sampai terbitan 2007 kemaren. Gila....

Rata-rata bukunya adalah asli bahasa Inggris. Di tata berdasrkan tema-tema tertentu, di samping menurut klasifikasi Dewey,yaitu ada buku soal nasionalisme, liberalisme, libertarianisme, komunitarianisme, postmodernisme, yang menjadi satu tema. Amazing broe... Dalam hati dan angan saya bertanya,"Kapan saya bisa buat perpustakaan macam ini, plus kafe tuk diskusi, panggung kecil tuk pembicara dan pentas seni, dan juga toko buku".

Saya setelah sampai di kontrakan sama Luluk dan Tufik kemudian gerundel bahwa kita jangan lupa masih punya banyak teman dan sahabat di Semarang, dengan asumsi bahwa saya tidak ingin membut konsep seperti itu di Jakarta atau lainnya, tapi Semarang -di mana hati saya masih tertingga di situ cieee... Dan di antara sekian banyak teman itu adalah Giyanto yang sedang getol-getolnya berintelektual ria di blog maupun "rela" menuangkannya dalam bentuk tugas akhir skripsi. Giyanto punya banyak modal material dan intelektual tuk membantu mewujudkan angan saya itu. Dengan semangat entrepreneurship tinggi, catatan kesuksesan yang dibuktikan dengan banyak tawaran modal padanya, plus percikan-percikan pikiran kritisnya, saya sangat berharap banyak untuk mewujudkan hal itu. Kang Giyanto kapan itu bisa terwujud, saya tantang kamu he....

Edi Subkhan

Rabu, Februari 13, 2008

PILIHAN*


Sekarang saya masih bersyukur harga mendoan di dekat kos saya masih lima ratus rupiah. Saya sempet “was-was” kalo-kalo pedagang angkringan menaikkan harga mendoan terkait dengan naiknya harga kedelai. Barangkali pilihan mereka untuk tidak menaikkan harga dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang: yaitu agar pelanggan tidak pada lari.

Sebuah pilihan memang tidak bisa lepas dari kehendak akal. Cuma ada sedikit perbedaan penekanan bahwa pilihan keputusannya memiliki efek jangka panjang atau jangka pendek. Keputusannya apakah akan mempengaruhi secara mendasar bagi sebagian orang atau kebanyakan orang.

Seringkali keputusan-keputusan tersebut tidak lebih bijak dilakukan oleh orang-orang besar. Saya disini mengandaikan bahwa saya sedang menjadi presiden yang sedang bimbang menghadapi pilihan-pilihan terkait dengan kenaikan harga beras di pasar nasional: pertama, pilihan untuk menyelesaikan kasus pangan sesegera mungkin. Kedua, saya akan menyiapkannya untuk menanggulangi masalah tersebut di masa yang akan datang, karena saya yakin yang perlu diperbaiki ialah inti dasar permasalahan. Dan pilihan ketiga, saya memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Bagi pilihan pertama: sekarang saya membutuhkan usaha untuk “menolong” penduduk saya dalam menghadapi masalah pangan dengan “sesegera” dan secepat mungkin. Konsekuensinya, apabila saya tidak melakukan apa-apa yang dapat dilihat rakyat saya saat ini, popularitas saya akan segera lenyap. Pilihan saya ini terkait citra saya di mata rakyat. Dan saya tidak bisa membayangkan lawan-lawan politik saya akan menelanjangi saya dalam menghadapi pemilu berikutnya. Ini ialah keputusan saya.

Dengan terpaksa, saya harus mengkoordinasikan para menteri-menteri saya untuk “segera’ dapat menangani masalah yang sedang saya hadapi. Seperti biasa, dan sering dilakukan oleh pendahulu saya, saya harus menambah stok beras di pasar agar harga beras di pasar menjadi turun. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, yang anak SMP pun dengan mudah memahaminya, saya harus mendatangkan beras dari Negara tetangga melalui anggara cadangan periode saya untuk dapat menekan harga beras di pasar. Setelah saya melakukan keputusan tersebut, rakyat pasti akan mengangguk-ngangguk bahwa keputusan saya begitu gesit sehingga masalah pangan dapat cepat terselesaikan.

Kedua, dengan mengorbankan popularitas saya, saya harus memikirkan sendiri apa sebenarnya permasalahan dari masalah pangan dari negeri saya. Selidik punya selidik, bahwa kemampuan produksi pangan di negeri saya tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Dan saya harus mefokuskan diri pada rencana swasembada. Artinya, ini tidak dapat langsung saya lakukan karena saya harus menyiapkan sarana-sarana dan program-program pendukungnya. Barangkali butuh bertahun-tahun untuk menyiapkan swasembada beras. Dengan keputusan ini saya tidak dapat berharap untuk karir politik saya. Dan untuk sementara biarlah masyarakat membeli beras dengan harga yang tinggi, walaupun untuk sementara popularitas saya menurun.

Pilihan ketiga. Biarlah rakyat saya merasakan naiknya harga beras, agar bisa memakan makanan alternative selain beras dan petani saya belajar sendiri untuk “menangkap peluang” atas kenaikan harga-harga beras.

Anehnya: Pilihan pertama begitu baik dan bijaksana bahkan mengacu teori ekonomi yang tidak terbantahkan, tapi akibatnya: membunuh petani. Pilihan kedua kelihatannya bijaksana, walau hasilnya cukup lama. Pilihan ketiga, “kelihatan kejam” dan “dingin”, yang barangkali hasilnya sama-sama dengan pilihan kedua saya, tapi uniknya, menurut saya itu sangat bijaksana. Gimana?

Kalau begitu, barangkali saya tidak perlu ada….

*Giyanto: anak seorang petani