online degree programs

Senin, Maret 03, 2008

MENGGUGAT EPISTEMOLOGI ILMU SOSIAL (Bag. 3 Habis)


(lanjutan….) Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.

Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif kesejarahan ilmu alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan Teori Continental Drift, mula-mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik, Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada untuk mendukung teorinya.

Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya mefokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegner bersikap acuh dan menikmati bidangnya dalam klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.

Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menjeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia. Tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut, belum diselidiki sama sekali. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi kurang mampu menyatakannya secara argumentatif tertulis ataupun mendasarkan pada teori yang sahih untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya.

Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain sangat rendah, apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Barangkali dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- Seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak menjadi berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi yang lebih keren, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh petani, bapak saya biasanya, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif. Belum lagi biaya-biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya.

Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan pembayaran pajak agar tepat waktu!. Suatu paradoks yang sering terjadi di kehidupan realitas.

Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap hal yang remeh temeh. Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Dan sandiwara tersebut diulang berkali-kali tiap lima tahun sekali.

Memang tidak mudah menerapkan paradigma individualisme metodis dalam epistemologis ilmu sosial. Mises telah memperingatkan:

Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan ataukah sebuah badan teorganisasi atau jenis lain dari entitas sosial merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan makna mereka berikan bagi keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukankah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial.

Mises menambahkan:

Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonisme-antagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi.

Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan sengaja kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan.

Salah satu dosen saya pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan!

10 komentar:

Anonim mengatakan...

Manusia dan ilmuwan seringkali lalai melihat kelebihan dan keberhasilan sebuah zaman, dan terlalu sering hanya melihat kejelekan, kesalahan, dan segala dekadensi lainnya....
alih-alih untuk sebuah kemaslahatan umat manusia, banyak yang sekadar untuk agar dapat kembali meneguhkan mitos baru, piye jal nak ngono iku...?

Anonim mengatakan...

Mas Gik, firasatku kok kelak sampeyan diundang Sorbonne atau Berkeley, atau paling tidak Monash atau Sydney, atau minimal S2-nya UI, untuk memaparkan ide-idemu...
Amini...amini...cepet!!!
ardiansyah_jfc@plasa.com

Anonim mengatakan...

Wah kalo saya cek realitas aja!!! ndak usah pake teori!!!
Apa yang saya tulis itu sebuah pencarian...dari Jaga Konter, jadi kuli bangunan, buruh sawah, pemulung, dsb. Teori di kelas itu jauh dari realitas, itu saja intinya pendapat saya kali ini, untung ada yang sedikit mendukung, yaitu Mises. itu aja ketemu referensinya ndak sengaja...githu!!!

Anonim mengatakan...

Oh ya sebagai tambahan.
Sekarang yang dipakai dalam ilmu sosial ialah dengan cara berpikir induktif yaitu dari fakta-fakta ke kesimpulan. Alat yang paling sering digunakan yaitu Statistik.
Tapi, Kalo dengan metode Mises memakai cara berpikir Deduktif. Mencari asumsi-asumsi yang sahih dulu, setelah dua pernyataan atau dalil ditemukan baru ditarik kesimpulan dengan cara deduktif. Cara ini sudah dirangkun di Bukunya Tan Malaka: Madilog, dia mengutip dari Logika Stuart Mill...

Anonim mengatakan...

...dan akhirnya menjadi teori.
apakah mereka yang berfikir deduktif tak merefleksikan realitas? Apakah mereka menafikan fakta dan data? Bukan soal statistik atau bukan....tapi fenomena adalah dasar utama abstraksi pemikiran kita....ini empirisme-realisme, pun idealisme tak menafikan realita....
bisakan simpulan ditarik berdasar asumsi belaka, tanpa mendasarkan pada data fakta? hayo jawab Kang Gik....

Anonim mengatakan...

Ya sebagai teori, dalam pengertian yang sudah saya singgung dalam artikel: Prinsip, pengertian teori yang sudah saya kutip itu. jadi, hukum atau prinsip itu sudah apa adanya...dalam hal saya menyangkal "teori" dalam arti yang sekarang di pakai: Misal Keynes yang mengatakan bahwa "Pengangguran itu disebabkan oleh kegagalan pasar" tapi dalam kenyataan tidak ada orang yang menganggur secara tidak sukarela, artinya orang itu tidak bekerja karena secara sukarela...jadi artinya apa, Teori kegagalan pasar itu tidak ada, yang ada hanya orang yang tidak mau bekerja...itu fakta dan realitas...
sedangkan, asumsi itu sesuatu yang sudah melekat sebelum teori diungkap...contoh: saya berasumsi bahwa apa yang dipunyai laki-laki ada yang tidak dipunyai perempuan, itu asumsi..
dalam hal ekonomi: asumsinya adalah manusia itu bertindak...
jadi tindakan itu sudah melekat sebelum teori diungkap...
disini bahwa teori seperti yang saya singgung dalam artikel prinsip...dia ada apa adanya, bukan dari abstraksi pikiran dalam otak manusia yang dikonsepsikan secara tetap lewat rumus matematis ataupun ditarik dari data statistik...
(dalam hal teori itu saya mengatakan "diungkap" bukan dengan kata "dibangun", jelas sekali bedanya...!!!

Anonim mengatakan...

Klo klarifikasi Kang Gik seperti itu, mesti merevisi pernyataan sebelumnya, dengan mengatakan bahwa, "tidak menafikan realitas, dan tidak semata-mata berdasarkan aumsi" karena asumsi juga berdasar dari realitas,

pun ketika Kang Gik menyatakan, "yang ada hanya orang yang amlas bekerja", maka itu adalah paradigma borjuis yang dipakai.

sampai di sini, Kang Gik jangan menafikan ilmu-ilmu positivistik untuk ilmu sains ya....

Ed Khan

Anonim mengatakan...

Okelah, barangkali ini masalah pendefinisian...tapi intinya...
Ketika melihat alam semesta kita memang harus menengadah dan takjub akan ke tak terbatasannya...
begitu juga dalam melihat manusia...
seolah kita mengerti...tapi
dia ibarat samudra yang dalam...barangkali kita tahu permukaannya biru...tapi apakah kita tahu jenis karang-karang dan bermacam makhluk di dalamnya yang begitu luas...
akal manusia dalam mengerti manusia masih jauh dari tugasnya...

Anonim mengatakan...

Okelah, barangkali ini masalah pendefinisian...tapi intinya...
Ketika melihat alam semesta kita memang harus menengadah dan takjub akan ke tak terbatasannya...
begitu juga dalam melihat manusia...
seolah kita mengerti...tapi
dia ibarat samudra yang dalam...barangkali kita tahu permukaannya biru...tapi apakah kita tahu jenis karang-karang dan bermacam makhluk di dalamnya yang begitu luas...
akal manusia dalam mengerti manusia masih jauh dari tugasnya...

Anonim mengatakan...

salam kenal from mahasiswa pasca sarjana unhi dps

please welcome mangga kang mampir ti http://tessis-asa-asi-asu.blogspot.com