online degree programs

Kamis, Juli 31, 2008

MOTIVATOR & HUMANITY

Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso?

Siapa tidak kenal John C. Maxwell?

Mereka adalah beberapa dari tokoh – tokoh motivasi papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka (antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, memandang gap yang ada pada relita dan system untuk kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia (SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata – kata seperti ”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”berhasil..”, ”Semangat..” dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi. Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari berbagai soft dan hard skill. Tak ayal pada konteks kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil karya atau bahkan orangnya.

Jika memperhatikan momentum zaman, motivator memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan dan pengembangan (training and development); Sang motivator (trainer)[1] hadir di ruangan dengan bersenjatakan laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada trainee[2] melalui layar yang ditembakkan dari sinar LCD (Liquid Crystal Display). Tentu saja yang utama disamping perangkat tersebut adalah cara dan style penyampaian dari sang trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity. Ada yang menyebutnya Outbond[3]. Tujuan dari berbagai metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee dengan benar agar dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ’kira – kira’ menjadikan manusia ’seutuhnya’ manusia.

Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di jaman modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan, menguak potensi SDMnya dan diaktualisasikan dengan optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan ’suplemen’ yang dipercaya mampu memompa semangat serta kebugaran otot – otot altet agar tampil dalam kondisi maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal.

Dengan didukung manajemen strategis perusahaan, rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan pada grafik produksi dan pemasaran.

Industrialisasi-konsumerisme-motivator.

Modernitas dengan industrialisasinya telah melahirkan konsumerisme[4]. Berbagai perusahaan, dengan menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau brand.[5] Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal conditioning[6] jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas, budaya, dan primordialisme yang berbeda - beda. Dari sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.

Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya dalam hasil – hasil produksi perusahaan (karena memang itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-penawaran, Gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi. Menggenjot produksi berarti menyusun strategi agar volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg dalam kisaran tersebut maka dibutuhkan strategi kerja yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan. Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka tugas motivator (dan kebijakan direksi melalui HRD) adalah memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran motivator menjadi vital.

Dehumanisasi?

Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks industri telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan. Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi mendapatkan job dari perusahaan.

Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli program pelatihan dan pengembangan dengan harga murah, sementara para motivator (dengan lembaga pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka kondisi ini potensial memunculkan dilema; mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain, pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan ’nilai dan guna’.

Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target perusahaan. Sedikit mengingat cita –cita luhur humanis yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya, sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu menjurus pada dikategori dehumanisasi.

Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh pada prinsip – prinsip kemanusiaan?


Atau disandarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati?

Prinsip kemanusiaan yang ’disunat’?


Hariz
hariez_zona@yahoo.com


[1] Kata ”Motivator” digunakan untuk menyebut profesi, sedangkan ”trainer” digunakan manakala motivator sedang memberikan pelatihan.

[2] Istilah yang digunakan untuk Peserta pelatihan.

[3] Metode pelatihan dengan menggunakan alam sebagai sarana kelas.

[4] Gaya hidup yang memandang barang – baran (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan.

[5] Merek produk dan gunanya sesuai kebutuhan

[6] Sublimal Conditioning: Pengkondisian kognitif yang berlangsung dalam alam prasadar (setingkat di bawah kesadaran) personal.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

permasalahannya barangkali karena masyarakat sedang banyak yg "sakit". Menurut saya, kalau semua manusia dapat dengan optimal menggunakan akal-nya. Bisnis motivator barangkali akan sepi.

seperti layaknya bisnis. Semua ada harganya. Padahal, humanisme tidak memerlukan imbalan materi.

Motivator yg humanis tidak akan ada selama si motivator "menjual" inteletualitasnya.

Kita harus dapat membedekan antara kepentingan pribadi atau kepentingan sosial.

Seandainya motivator memiliki niat awal untuk dapat "menjual" kata ajaibnya, maka dia tidak akan tahan lama.

menurutku, motivator2 hebat adalah motivator yg memiliki visi humanis, kalaupun toh mereka mendapatkan kelimpahan materi, itu hanya efek samping belaka.

barangkali ini menjadi prediksi saya:
setelah muncul banyak motivator, masyarakat akan menilai rendah motivator. Akibatnya mreka menjadi sadar bahwa mereka dapat memotivasi dirinya sendiri

setiap organisasi, baik negara ataupun perusahaan memang butuh loyalitas.

Di perusahaan barangkali ada bidang HRD, sedangkan di negara diperlukan "doktrin" nasionalisme melalui jalur pendidikan resmi.

menurut saya Cara kerja dan tujuan-nya sama saja. Yaitu "mencuci otak" manusia agar tidak menjadi bebas ato berakal. Ini adalah bahaya laten motivasi ataupun pengajaran di sekolah.

Anonim mengatakan...

anxious education, http://vilinet.communityserver.com/members/sex-anu.aspx sex anu, 3AC01H, http://portishead.forums.umusic.co.uk/members/anal-raw-sex.aspx anal raw sex, lXkNpf, http://vilinet.communityserver.com/members/horse-cum-tube.aspx horse cum tube, 5dPBgK, http://vilinet.communityserver.com/members/sex-teen-toy-using.aspx sex teen toy using, YAF9AN, http://portishead.forums.umusic.co.uk/members/how-to-play-sex.aspx how to play sex, x8edRh, http://vilinet.communityserver.com/members/arousal-classroom-in-sexual.aspx arousal classroom in sexual, R3DhNm, http://portishead.forums.umusic.co.uk/members/free-gallery-hardcore-sex-thumbnail.aspx free gallery hardcore sex thumbnail, nMwCDI, http://vilinet.communityserver.com/members/your-porn-tube.aspx your porn tube, K6Jg6f,