online degree programs

Minggu, Juli 27, 2008

MADZHAB KRITIS ABU SUUD: MANUSIA, SEJARAH DAN AGAMA*

Oleh:Muhammad Taufiqurrohman*

Di semua tulisannya hampir tak ada yang besar, megah, tegas , pasti dan berwibawa. Hampir segala yang bernada tinggi tak dimainkannya. Beberapa orang, sepertinya juga termasuk saya, harus menghela nafas dalam-dalam sebelum membaca kalimat pertama. Apalagi jika kalimat itu adalah kalimat pembuka penelitian ‘ilmiah’nya. Ide, gagasan, pemikiran yang dilagukan hampir tak pernah melengking. Hampir membosankan. Lagu itu hampir tak pernah seperti rock, pop, dangdut, bahkan jazz. Ia hampir seperti bisikan wirid yang dilafadzkan di sepertiga malam. Bahkan suara itu mungkin masih terlalu keras. Barangkali suaranya serupa suara daun-daun yang sedang jatuh berguguran. Begitu nikmat. Begitu pelan. Hampir tak terdengar. Tapi, begitu dalam.

Membacanya bukanlah perkara yang mudah. Beliau telah ‘terkutuk’ menjadi manusia kompleks, manusia ‘carut marut’. Mungkin beliau sendiri menyesal dengan keterkutukannya itu. Sebab, hampir tak ada yang tak dipikirkannya. Oleh karenanya, hampir tak ada yang menemaninya kecuali kegelisahan yang mungkin begitu sepi. Sebagai hanya seorang guru sejarah, beliau terlalu serakah. Sudahlah mengurusi sejarah saja, mungkin demikian kata koleganya. Tapi, tidak. Lampu merah, tukang becak, mahasiswa, presiden, masjid, politik, pengemis, salib bahkan prostitusi jadi bahan tulisannya. Apalagi agama. Apalagi manusia. Kita seperti berhadapan dengan seorang pembaca yang begitu setia, yang membaca apa saja. Beliau memikirkan segala. Bahkan angin yang tak pernah kelihatan. Bahkan mungkin tuhan yang memerintahkan beliau untuk membaca. Begitulah beliau, Prof. Abu Suud yang saya kenal.


I
Manusia. Sejarah. Agama. Adalah kata kunci untuk memahami pemikirannya, mungkin juga dirinya.

Mungkin semua itu bermula dari manusia. Bermula dari pertanyaan tentang siapakah sesungguhnya manusia itu? Siapakah sebenarnya aku dan kau? Siapakah ‘kita’? Dahulu kala ketika masyarakat masih hidup di klan-klan tertentu mungkin mudah menjawab pertanyaan itu. Kita adalah sunda. Kita adalah batak. Kita adalah jawa. Kita adalah samin. Kita adalah aborigin. Kita adalah Indian. Kita adalah hutu. Kita adalah…. Waktu itu nilai-nilai, norma, adat, kepercayaan, dan identitas begitu tunggal. Ia hampir tak punya pesaing. Batas-batas antara kami dan kalian begitu tegas. ‘Kita’ hanyalah kami yng serupa dalam segalanya. Diluar kami tak pernah ada ‘kita’. Yang ada hanyalah kalian yang sama sekali lain, yang beda, yang tak pernah mungkin menjadi ‘kita’. Kalian adalah ‘liyan’ yang bukan kami. Di ruang ini identitas kami adalah satu. Garis itu begitu lempang, hampir mutlak. Semua serba jelas. Semua serba tegas.

Hingga kemudian modernitas datang. Teknologi diciptakan. Awalnya hanya sebuah perahu bermesin yang bisa menembus samudra dari sebuah benua ke benua yang lain. Juga mesin-mesin di pabrik yang bisa mengubah kapas jadi kain. Lalu lampu, mesin ketik, sepeda, motor, pesawat terbang. Teknologi membuat orang Belanda bisa mendarat di Selat Malaka. Buku-buku juga dicetak. Sebuah cerita di sebuah pedalaman di Amerika bisa dibaca mereka yang di pojok Afrika. Orang-orang keluar dari dusunnya, dari klannya. Mereka bertatapan dengan ‘liyan’. Mereka bercakap-cakap, berinteraksi, berbagi, menangis, bahkan kawin. Mereka bertukar. Juga dengan membawa nilai-nilai, kepercayan, adat, keyakinan, identitas dan segala keakuan masing-masing. ‘Liyan’ itu dengan ‘liyan’ ini sama-sama bertemu di sebuah ruang yang juga sama-sama bukan milik mereka. Garis batas identitas itu diam-diam mulai kendur. Identitas menjadi sulit untuk dikatakan tunggal. Aku menjadi bagian darimu. Juga ada bagian-bagian dariku yang telah menempel di benakmu. Garis itu memang mulai kendur. Tapi sampai periode ini sepertinya ia belum benar-benar putus.

Modernitas memang sudah terlanjur datang. Identitas sudah terlanjur tercemar meski ia belum sepenuhnya hilang. Ongkos untuk membayar pesawat terbang, kapal laut, dan membeli buku-buku dari negeri seberang masih terlalu mahal. Tidak semua orang punya uang sebanyak itu. paling hanya mereka yang priyayi yang berduit banyak, yang punya koneksi bisa pergi ke negeri seberang. Atau mereka yang datang ke negeri yang lain untuk menjajah atau untuk memberikan pencerahan atau untuk menyebarkan agama. Informasi dari yang satu ke yang lain masih mahal. Pecakapan dan pertukaran nilai-nilai antar manusia meski sangat mungkin tapi masih sulit untuk dilakukan kebanyakan orang.

Modernitas memang terlanjur lahir. Sebagai anak modernisme, teknologi terus melahirkan anak-anak kandungnya lagi tanpa ampun, tanpa menunggu setuju. Dan lahirlah televisi, telepon, dan internet. Informasi menjadi demikian murah dan oleh karenanya hampir semua orang bisa mendapatkannya. Seorang anak SD di sebuah pedalaman Sumatra bisa melihat sebuah film koboi Amerika di layar televisi di rumahnya. Seorang Filipina bahkan bisa bercakap-cakap bahkan sambil terbahak-bahak dengan seorang koleganya di ujung Eropa sana. Apalagi internet, bahkan ia bisa menghadirkan tidak hanya suara tetapi keseluruhan gambar seluruh badan di hadapan kita. Bahkan hampir dimana saja. Berita, buku-buku, ajaran, harga rumah, cerita pribadi, jurnal, hampir semua informasi dari penjuru dunia mana saja dapat diakses melalui internet. Rapat para anggota konsultan bank dunia bisa diadakan di benua yang berbeda pada saat yang sama. Internet bahkan bisa membuat orang tidak kenal dengan orang di sampingnya tetapi membuat orang kenal dengan orang yang begitu jauh di seberang samudra. Setiap hari kita bisa lihat, percakapan justru sering terjadi antara mereka yang berjauhan. Dengan yang dekat orang bahkan mulai lupa bercakap. Dengan demikian, lalu lintas perbincangan antar nilai antara manusia yang satu dengan yang lainnya menjadi tanpa batas. Perubahan nilai, kepercayaan, cara pandang terhadap dunia demikian cepat terjadi pada seorang manusia bahkan yang semula disangka lama. Masyarakat sebagai kumpulan manusia-manusia itu pun menjadi demikian sulit dinamakan. Identitas menjadi sangat kabur. Garis batas identitas itu tidak hanya kendur. Ia, mungkin, sebentar lagi akan hilang.

Giddens, dalam The Consequence of Modernity-nya, menyebutkan tiga aspek yang berkaitan dengan perubahan akibat modernitas. Pertama, tingkat kecepatan atau tempo perubahan yang digerakkan modernitas. Perubahan paling kentara akibat modernitas memang terjadi dalam dunia teknologi. Namun, justru akibat perkembangan teknologi itulah, semisal tv, telepon,internet, aspek-aspek lain dalam kehidupan turut menjadi cepat berubah. Sebab, apa yang diubah oleh teknologi adalah manusia. Strutur-struktur modern lain semisal politik, hukum, ekonomi, budaya, dll hanyalah alat untuk melayani kebutuhan manusia itu. Jika nilai-nilai, cara pandang dan kebutuhan manusianya berubah maka struktur-struktur itu mau tidak mau harus turut berubah. Kedua, cakupan perubahan. Interkoneksi dari ‘liyan’ satu dengan ‘liyan’ lainnya menjadi demikian intensif. Gelombang transformasi sosial secara tidak langsung merembet ke seluruh permukaan bumi. Semua yang ada di kolong langit menuju pada sebuah dunia yang satu. Ketiga, sifat intrinsik institusi modern. Hampir semua institusi modern merupakan produk yang sama sekalian tidak ada dalam masyarakat pra-modern. Sistem negara-bangsa, kota, sistem upah, sistem industri, urbanisme adalah hal-hal yang membuat manusia menjadi manusia lain. Sesuatu yang sebelum era modernitas tidak ada dan manusia harus menghadapinya.

Demikianlah seorang manusia di zaman ini adalah seorang manusia multi nilai, multi identitas. Hampir tidak ada lagi beda antara manusia yang hidup di Indonesia dengan yang hidup di Amerika. Gaya hidup, nilai-nilai, kepercayaan, dan pandangan terhadap dunia menjadi tidak jauh berbeda bahkan hampir sama. Meski posmodernisme datang melawan ambisi modernisme tersebut, tetapi tetap saja identitas manusia sepertinya sudah terlanjur tercemar. Posmodernisme dengan marah menyatakan bahwa dalam proses perbincangan dan pertukaran nilai yang demikian tanpa batas tersebut cenderung selalu melahirkan hegemoni. Posmodernisme melawan kenyataan bahwa hanya nilai-nilai mereka yang kuatlah yang cenderung menang, bahkan kadang dengan paksaan, terhadap mereka yang lemah. Mekanisme kapitalisme modernlah sebagai akibat modernisme yang bertanggungjawab atas hal tersebut. Kontekstualitas nilai-nilai yang coba ditawarkan posmodernisme menjadi hanya sekadar utopia. Ia tak berkutik melawan anak jadah modernisme itu, kapitalisme dan teknologi. Namun, tetap saja teknologi sudah terlanjur berdosa membuat identitas manusia tercemar. Sehingga bahkan hanya untuk mengatakan ‘kita’, terkadang perang harus dikobarkan.


II

Tulisan tentang manusia di atas hanyalah usaha mencari gambaran manusia zaman sekarang sebagai orientasi utama sejarah dan agama. Sebab, kita tahu hampir seluruh hidup sang profesor diabdikan pada terutama dua bidang tersebut. Sejarah, mungkin karena beliau adalah seorang guru besar sejarah di universitasnya. Agama, mungkin karena beliau adalah anggota bahkan pernah menjadi pimpinan Muhammadiyah di wilayahnya.
Sejarah dan agama. Menurut penulis, ada dua pertanyaan yang harus diajukan berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan sejarah dan agama. Pertama, bagaimana manusia memandang sejarah dan agama. Dan kedua, apa yang bisa dilakukan oleh sejarah dan agama terhadap manusia sebagai orientasi utamanya.


III

Sejarah. Bagaimana cara manusia memandang sejarah tidaklah dengan sendirinya netral. Pertanyaan tersebut masih menyisakan dua kata yang tersembunyi, yakni ‘seharusnya’ atau ‘seadanya’. Jadi pertanyaan manakah yang kita pilih; bagaimana manusia (seharusnya) memandang sejarah atau bagaimanakah manusia (seadanya) memandang sejarah? Pertanyaan pertama mengandaikan adanya sebuah ideal. Manusia dimaknai sebagai dari sesuatu yang seadanya menuju sesuatu yang ideal. Sedangkan yang kedua dimaknai sebagai penerimaan terhadap adanya manusia saat pertanyaan itu diajukan.

Pertanyaan ‘seadanya’ ini menunjukkan penerimaannya terhadap kondisi manusia saat itu. Bagaimana cara pandang manusia modern dan manusia postmodern terhadap sejarah diakui kedua-duanya. Pertanyaan yang seperti ini cenderung mudah jatuh dalam jurang relativisme. Cara pandang, kemudian, menjadi demikian tidak jelas sebagai konsekuensi logis atas penerimaan terhadap relativisme. Relativisme yang pasrah. Perbedaan identitas manusia dalam memandang sebuah realitas sejarah, misalnya, mengakibatkan cara dan hasil pandang yang berbeda. Hampir tidak ada yang ideal yang dituju. Sebab, yang ideal juga merupakan sesuatu yang relatif.

Sedangkan cara pandang ‘seharusnya’ menuntut sebuah ideal. Ia mengakui relativisme manusia. Tetapi ia tidak dengan membabi buta menerima kesubjektifannya sebagai manusia. Cara pandang yang seperti ini termanifestasikan dalam satu kata, yakni kritis. Jadi, bagaimana kita (seharusnya) memandang sejarah adalah dengan menggunakan paradigma kritis dalam berpikir. Berpikir kritis bukanlah sebuah sistem melainkan lebih sebagai cara. Sebab, ia hanyalah cara maka ia bukanlah bangunan yang mandeg dan selesai. Jadi, seorang manusia yang berpikir kritis dalam memandang sejarah adalah manusia yang kritis terhadap dua arah; terhadap dirinya sendiri dan sejarah. Ia menerima relativitas dirinya sendiri. Namun, ia terus tidak puas dengan relativitas dan mengkritisi dirinya sendiri sebagai bekal memandang sejarah. Oleh karenanya, berpikir kritis justru merupakan sebuah pengakuan akan keterbatasan diri. Terhadap sejarah dia juga tidak bersikap apa adanya, melainkan terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mengarah pada ideal yang diinginkan. Ideal yang seperti apakah yang diandaikan dalam cara memandang sejarah ini adalah saat ketika tidak ada kebohongan di dalam sejarah. Ia akan mengkritisi segala hambatan menuju yang ideal tersebut, baik hambatan tersebut datang dari dirinya sendiri (history as written or history as fact) atau dari luar dirinya semisal pihak penguasa yang berkepentingan dengan sejarah tersebut.

'Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas', penulis kira, merupakan salah satu bukti pilihan sang profesor pada paradigma ‘seharusnya’ berpikir kritis dalam memandang sejarah. Dengan demikian kita bisa sedikit mengerti mengapa sang profesor seperti tidak bergeming alias cuek terhadap geger gemuruh pro kontra modernisme yang ditantang postmodernisme. Bahkan belakangan lahir modernisme radikal yang memberi perbandingan wacana kembali terhadap postmodernisme. Beliau seperti hendak mengatakan bahwa sistem atau isme-isme itu hanyalah suatu sistem yang kelak bisa roboh dan saling berganti. Oleh karenanya, beliau lebih berkonsentrasi pada memberikan dasar bagaimana cara manusia menghadapi realitas, khususnya dalam sejarah, entah dalam isme apapun. Dalam tulisan tersebut beliau menyatakan:

“Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial adalah untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis, yang antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial” (halaman 313)

Berpikir kritis hanyalah efek dari sebuah rasa ingin tahu tentang sebuah kebenaran (kebenaran sejarah, misalnya), suatu yang ideal. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar tetap adanya rasa ingin tahu tersebut. Hanya dalam suasana yang bebas, sederajat, dan setara rasa ingin tahu dapat dijaga. Membaca, berpikir dan berdiskusi hanyalah sebuah efek/akibat dari rasa ingin tahu tersebut. Relasi yang diciptakan dalam pengajaran sejarah pun seharusnya adalah relasi yang membebaskan mahasiswa untuk terus bertanya secara kritis. Di dalam kelas, diandaikan semua yang terlibat dalam pengajaran (termasuk dosen) berangkat dari pijakan yang sama (meskipun berbeda-beda). Tidak ada yang paling benar diantara yang lain (terasuk dosen). Jadi, pertanyaan-pertanyaan tidak dibatasi. Dosen tidak hadir dengan sebuah relasi kuasa. Dimana dia merasa mengetahui segala-galanya. Mahasiswa dihadapi sebagai sebuah benda mati yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apapun. Pertanyaan yang kritis terkadang dituduh sebagai keluar dari aturan ‘ilmiah’. Padahal sesungguhnya hanyalah ketidakberdayaan memberikan jawaban. Demikianlah, seharusnya relasi yang dibangun adalah relasi pengetahuan. Relasi dimana dosen dan mahasiswa sama-sama merasa sebagai makhluk yang terbatas dalam mencari kebenaran. Namun, justru karena keterbatasannya tersebut keduanya terus berpikir kritis tidak hanya terhadap sistem-sistem di luar dirinya (termasuk sejarah), juga terhadap dirinya sendiri.

Lalu apakah yang bisa diberikan sejarah pada umat manusia? Orientasi sejarah adalah manusia. Sejarah hadir untuk manusia bukan manusia untuk sejarah. Namun, sejarah juga bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ia adalah suatu konstruk nilai sebuah sistem tertentu. Apa yang bisa diberikan sejarah pada manusia zaman sekarang, yang paling menarik, adalah sejarah kritis. Sejarah kritis merupakan sejarah yang dibangun dalam paradigma berpikir kritis. Sejarah yang dibangun diatas fondasi nilai-nilai kritis.


IV

Agama. Pilihan sang profesor pada paradigma ‘seharusnya’ berpikir kritis juga tampak dalam bagaimana cara pandang manusia terhadap agama. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tulisan beliau dalam tema Dialog Antar Agama. Seperti tanpa kecemasan terhadap apapun, beliau membuka ruang dialog yang begitu lebar dengan para pemeluk agama lain. Ketidakcemasan, ketidakkhawatiran, dan keberanian dalam melakukan dialog tersebut, menurut penulis, adalah lahir dari paradigma kritis yang beliau terapkan. Dialog dengan ‘liyan’ diadakan disamping dalam rangka mencari kebenaran, juga dalam rangka mengkritisi kemungkinan kelemahan-kelemahan diri sendiri khususnya, dan umat Islam pada umumnya.

Berpikir kritis selalu mengandaikan yang ideal. Dalam agama, posisi ideal yang hendak dituju beliau dengan paradigma kritisnya adalah Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Di dalam Umat Beragama: Apa Yang Dicemaskan? dalam menanggapi perseturuan umat beragama beliau menyatakan:

“Masing-masing pemeluk beranggapan bahwa misi agama adalah memperbesar jumlah umatnya, padahal yang lebih penting bagi umat manusia adalah penyebarluasan kesejahteraan, damai ataupun ‘rahmatan lil’alamin’”. (halaman 216)

Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh manusia di semua penjuru alam raya ini adalah ideal yang dituju. Jadi, segala yang menghambat tercapainya ideal tersebut harus dikritisi. Apakah penghambat itu datang dari dirinya sendiri (Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai person) atau dari luar dirinya. Jika melihat perkembangan agama Islam akhir-akhir ini, paradigma kritis justru ingin mengajak menukik lebih dalam melihat ke dalam diri agama sendiri. Apakah kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri Islam sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan yang ideal tersebut, yaitu Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan demikian posisi manusia menghadapi agama juga tidak terjatuh pada relativisme semata. Pengetahuannya tentang agamanya sendiri (dalam hal ini Islam) harus selalu dikritisi. Oleh karenanya, ia tidak boleh exclusive (tertutup) melainkan harus inclusive (terbuka). Ia selalu merasa dirinya belum selesai. Maka dia tidak pernah berhenti membaca, berpikir, bertanya, berdiskusi, selalu mencari informasi, mencari sebuah kebenaran. Sebab, dia merasa tidak akan pernah mampu mencapai kebenaran yang paling mutlak tersebut.
Keterangan diatas juga meghubungkan pada pertanyaan tentang apakah yang bisa dilakukan agama buat manusia? Dalam menanggapi perbedaan aliran-aliran dalam agama, sang profesor menyatakan dalam 'Bisakah Agama Salah':

“Agama itu makin membesar dan penuh dengan interpretasi pemeluknya. Persis seperti bola salju yang makin membesar ketika mnggelinding dari puncak bukit sampai ke kaki bukit. Agama makin jauh dari otentik. ….Lalu mana diantara aliran-aliran itu yang bisa disebut ‘benar’ dan mana yang sudah ‘salah’? (halaman 242-243)

Pernyataan di atas menunjukkan akan keterbatasan penafsiran terhadap agama. Manakah agama yang paling benar. Manakah aliran yang paling benar. Konsentrasi agama pada zaman sekarang mestinya tidak pada ingin diakuinya secara jumawa bahwa dialah yang paling benar. Sebab, alih-alih mendapat pengikut justru hal tersebut dapat memicu perselisihan antar umat dan antar aliran. Pada akhirnya justru hal tersebut malah menjauhkan dari tujuan ideal agama sebagai rahmatan lila’alamin.

Menurut penulis, sang profesor tidak banyak menulis tentang apa yang harus dilakukan agama untuk manusia. Beliau tidak banyak me’lagu’kannya. Namun, beliau telah me’laku’kan ideal itu dalam tulisan yang hampir selalu bernada rendah dan tidak bombastis. Manifestasi agama kritis dengan demikian bukanlah merupakan etika kesucian, etika keagungan, dan etika kebesaran. Etika kesucian, keagungan, kebesaran dan segala yang bernada tinggi hanya akan menimbulkan keangkuhan, sombong, dan jumawa. Dia seakan lupa bahwa dia hanyalah manusia biasa yang bisa sesat. Bagi penganut etika ini patut diajukan pertanyaan; jika merasa diri sudah paling suci dan paling benar lalu apakah guna beragama?

Agama berparadigma kritis, sebaliknya, termanifestasikan dalam etika kedaifan, etika keterbatasan, etika kerendahhatian. Sebab yang mutlak benar tidak akan pernah dapat dicapai, maka tidak ada alasan untuk merasa paling benar. Etika kedaifan agama justru berangkat dari kesadaran untuk terus merasa berdosa, untuk terus merasa kotor, untuk terus merasa sesat. Sebab, yang mutlak benar itu masih begitu jauh maka dari situlah lahirnya vitalitas dalam beragama yang luar biasa. Dengan pengakuan akan keterbatasan diri sendiri, kita dapat dengan mudah mengenali kelemahan dan kelebihan diri sendiri. Bukankah dalam surat Al-Fatikhah itu dalam setiap sholat kita, ayat Ihdinasshirootolmustaqiim yang berarti ‘tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus’, mengingatkan bahwa kita selalu masih berada di jalan yang belum lurus (sesat), atau minimal belum lurus-lurus amat?

Dari manakah kira-kira sang profesor mendapatkan 'ajaran' madzhab kritisnya ini? Penulis kira inspirasi itu bukanlah datang dari sesuatu yang jauh semisal filsafat barat, dari yang klasik hingga yang paling kontemporer. Juga bukan dari madzhab-madzhab pemikiran semisal madzhab Frankfurt, Austria, Amerika dan lain sebagainya. Penulis kira inspirasi kritis itu berasal dari sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan beliau, yaitu Al Quran, kitab suci agama Islam yang beliau yakini, yang selalu memerintahkan manusia untuk terus membaca, untuk terus berpikir, untuk terus setia merawat pertanyaan.


*Tulisan ini hanyalah usaha kecil mencari inti sari pemikiran Prof. Abu Suud yang tertuang dalam buku beliau, Berapung-apung dalam Keberuntungan.

*Penulis adalah Pegiat Komunitas Embun Pagi Semarang, Alumni Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Tidak ada komentar: