Maaf saya baru balas. Di sini saya tekankan, bahwa saya adalah manusia biasa. Saya juga berasal dari desa seperti Dik Taufiq. Tapi barangkali karena saya memang lebih beruntung, atau bisa jadi karena hasil kerja keras yang selama ini saya lakukan, membuat saya bisa seperti ini.
Awalnya bukannya saya menginginkan orang menjadi pengikut saya---termasuk Dik Taufiq. Bukankah mereka melakukannya dengan sukarela, dan saya memang tidak memaksa mereka untuk membeli buku ataupun membaca tulisan-tulisan saya di majalah saya. Saya hanya bertugas melakukan hal-hal yang memang keseharian harus saya lakukan, yaitu menulis, menulis dan terus menulis.
Ketika Dik Taufik memilih untuk membaca tulisan-tulisan saya, itu adalah kehendak Dik Taufik sendiri. Dan seandainya sekarang Dik Taufik menuduh saya meng-hegemoni sastra atau wacana pemikiran, jelas saya menolak tuduhan itu. Alasanya sederhana: karena saya tidak bermaksud melakukan hal itu. Dan saya merasa tidak melakukan seperti yang Dik Taufik tuduhkan.
Saya akui saat ini pengikut saya memang semakin bertambah. Lihat saja oplah majalah saya, ataupun blog yang menerbitkan tulisan-tulisan saya, atau lihat saja berapa orang yang mencari karya-karya saya sampai dicetak ulang berkali-kali. Itu menunjukkan bahwa orang menerima pendapat saya, ataupun pemikiran-pemikiran saya.
Mengenai sejarah, entah itu memang sebuah keberuntungan atau memang bayaran dari ”pengorbanan” yang telah lama saya lakukan. Semua itu adalah masa lalu. Jika seandainya Dik Taufik mengeluhkan mengapa wacana sosialisme sekarang mati atau mengapa belum ada wacana sastra alternatif, jelas itu sepenuhnya bukan kesalahan saya.
Terus kalau Dik Taufik mengeluhkan bahwa saya kurang peka dengan sekeliling, jelas saya menolak tuduhan itu. Saya memang menggunakan mobil pada saat berangkat kerja, dan kantor saya memang tertutup rapat, dan tidak semua orang bisa menemui saya dengan bebas. Saya berhak menentukan, siapa yang bisa menemui saya atau tidak dapat menemui saya. Semua itu sudah diatur asisten saya dengan sangat baik. Tapi kalau hal itu dijadikan alasan bahwa saya kurang peka terhadap sekeliling, jelas saya sangat tidak sepakat. Nyatanya tulisan saya selalu mengangkat sisi kemanusiaan. Tanpa kepekaan, maka saya tidak akan mampu menulis masalah-masalah sosial dalam tulisan-tulisan saya.
Kalau Dik Taufiq mau contoh, saya memiliki banyak contoh. Semisal, tulisan saya dengan Judul Slamet. Slamet, si penjual nasi aking yang bunuh diri gara-gara tidak sanggup membayar hutang dikarenakan harga kedelai yang naik, saya dan teman-teman mengadakan tahlilan bersama-sama untuk mendoakan Slamet. Padahal, saat itu mantan Penguasa Orde Baru juga sedang ”gugur”---kalau tidak mau dikatakan ”modar”. Saya tidak tertarik untuk melaksanakan tahlilan buat dia.
Barangkali surat balasan saya ini memang tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Dik Taufiq. Tapi bukankah dalam masyarakat yang bebas sekarang ini, setiap orang memiliki hak jawab kalau nama baiknya terancam dicemari. Apalagi itu dilakukan cecunguk dari desa, yang kapasitas intelektualnya pas-pasan seperti Dik Taufik. Bukannya saya menghina, tapi jujur, saya memang sangat tidak suka dengan surat yang ditulis Dik Taufik.
Semoga SuksesSalam dari Mas Goen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar