online degree programs

Sabtu, Juli 19, 2008

SPL DAN DISORIENTASI TUJUAN PENDIDIKAN*

Sumbangan Pengembangan Lembaga (SPL) Universitas Negeri Semarang 2008 cukup membuat masyarakat luas terhenyak khususnya masyarakat Jawa Tengah. Lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, Unnes menetapkan anggaran SPL tahun akademik 2008/2009 sebesar minimal 5 juta rupiah dan maksimal 35 juta rupiah bagi calon mahasiswa baru. Peningkatan sumbangan tersebut cukup fantastis di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. Apalagi kita tahu ‘pangsa pasar’ Unnes selama ini adalah mereka yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, cukup beralasan kiranya jika kita mengajukan beberapa pertanyaan terkait hal tersebut.


Bagaimanakah alur logika para birokrat Unnes dalam persoalan yang cukup ‘gawat’ ini? Masyarakat sangat mengharap ada transparansi informasi tentang alur logika tersebut. Sehingga misunderstanding terhadap fakta SPL ini dapat diminimalkan dan dapat memicu dialog yang lebih jernih dan komunikatif.


Sayangnya, sepengetahuan penulis sejauh ini belum ada semacam press conference yang digelar oleh Unnes sebagai sebuah pertanggungjawaban publik atas kebijakan ini. Sejauh yang penulis tahu satu-satunya alasan adalah pernyataan petinggi Unnes yang menyatakan bahwa SPL 2008/2009 sudah disepakati oleh Senat Unnes seperti yang dilansir beberapa media massa. Apakah hubungan antara alasan-alasan keputusan tentang SPL dengan disepakatinya alasan-alasan tersebut oleh Senat? Jawaban yang diharapkan masyarakat mestinya adalah jawaban yang lebih ideologis, filosofis dan relevan dengan keadaan masyarakat.


Pertanyaan lain yang datang adalah soal aturan hukum yang memayungi keputusan tersebut. Unnes kita tahu belum menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) (penulis berharap semoga tidak). Itu artinya, memang tidak ada aturan hukum baru lagi yang bisa dijadikan payung selain persetujuan senat universitas sebagai legislator utama keputusan-keputusan publik universitas selama ini. Lalu mengapa, dengan status yang masih sama sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan itu artinya dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terlalu berbeda seperti tahun-tahun sebelumnya, SPL Unnes dinaikkan begitu dramatis?


Mencoba meraba-raba inti persoalan penulis menyimpulkan beberapa hal. Pertama, SPL Unnes tahun ini sangat erat kaitannya dengan isu BHP. Kebijakan tentang SPL ini bisa jadi merupakan sebuah persiapan sebelum diBHPkannya Unnes. Sebab, lazim kita tahu bahwa persoalan BHP adalah persoalan sensitif dan multikompleks. BHP merupakan proyek besar pemerintah pusat dengan segala undang-undang yang hampir pasti akan ditetapkannya. Apalagi kita tahu, entah dengan keterbatasan daya untuk melawan atau memang secara ideologis sepaham, hampir semua petinggi PTN di Indonesia tak terkecuali petinggi Unnes dapat menerima kebijakan publik yang dirancang petinggi negara tersebut tanpa reserve dan gejolak sebagai ciri utama masyarakat akademis dalam menanggapi wacana-wacana baru dan sensitif secara sosial semacam wacana BHP.


Sebagai pendukung BHP, dilemparkannya bola api SPL oleh Unnes ini merupakan sebuah uji coba sebelum dilemparkannya bola api yang lebih panas lagi bernama BHP. Oleh karena itu, seberapa jauh upaya mengkritisi SPL bahkan perlawanan terhadapnya merupakan tolak ukur terhadap mulus atau tidaknya jalan Unnes menjadi BHP. Jika terhadap isu ‘kecil’ SPL saja masyarakat luas (yang berhak untuk menggugat keputusan publik yang merugikan kehidupannya) dan khususnya masyarakat akademis Unnes (senat universitas, BEM Universitas, BEM Fakultas, dosen dan karyawan) sebagai kekuatan kontrol pembuat kebijakanlemah syahwat’ untuk mengkritisinya maka bagaimana dengan isu sebesar BHP?


Disorientasi Tujuan Pendidikan

Kedua, lalu apa yang hendak dikritisi? SPL Unnes hanyalah merupakan batu loncatan kecil untuk merefleksikan persoalan pendidikan nasional kita. Bagi penulis membicarakan SPL dan BHP adalah membicarakan satu persoalan, yaitu disorientasi tujuan pendidikan yang berujung pada komersialisasi pendidikan.


Pemahaman bahwa tujuan pendidikan hanya bisa tercapai dengan mengkomersialkan pendidikan (menjadikan pendidikan sebagai suatu komersial atau barang dagangan) seperti yang terjadi di Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Maka sepaham dengan Romo Mangunwijaya, tujuan pendidikan bukanlah menjadikan manusia sebagai ‘sarana’ seperti mesin, cangkul, dan sedan seturut dengan menggemuknya kebutuhan masyarakat komersial kapitalisme modern. Pendidikan hanya dimaknai sebagai bekal mencari kerja. Negara melalui Direktorat Jendral Perguruan Tinggi tampaknya mengamini hal ini. Sebagai contoh simak saja rencana Dikti baru-baru ini yang akan menutup program studi-program studi yang dianggap tidak ‘marketable’ alias yang justru menambah pengangguran semacam ilmu politik, ilmu sejarah, dan lain-lain. Begitulah jika pendidikan diperdagangkan maka mahasiswa pun direduksi menjadi hanya semacam asongan.


Melampaui hal itu, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai ‘tujuan’, yaitu menjadi manusia seutuhnya. Lalu, apakah mengkomersialkan pendidikan yang membuat rakyat kecil semakin tidak bisa menjangkau ‘harga’ atas pendidikan adalah manusiawi? Apakah sebuah kebijakan yang menyakiti perasaan kemanusiaan rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan hak-haknya sendiri untuk mendapatkan pendidikan adalah manusiawi? Mengapa justru yang tidak memanusiakan manusia adalah sesuatu yang mengatasnamakan pendidikan yang justru bertujuan untuk memanusiakan manusia? Mungkin disinilah letak persoalannya bahwa SPL dan BHP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan hanyalah efek-efek kecil turunan dari sesuatu yang jauh lebih mencekam, yaitu disorientasi tujuan pendidikan nasional kita.


Taufiq

* Tulisan ini pada saat hangatnya isu SPL pernah saya coba kirimkan ke media massa sebagai upaya membangun tradisi diskusi demi terciptanya masyarakat yang komunikatif dan berfikir. Namun, rupanya karena harus saya akui artikel ini tidak bermutu dari segala sisinya, oleh pimpinan redaksi tulisan ini dikembalikan dengan baik.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

UUD: Ujung-Ujung Duit...

Bagi yg masih percaya janji, makan tu janji...

Anonim mengatakan...

Klo alasannya "kualitas" maka birokrat Unnes menyanyikan lagu lama...

Anonim mengatakan...

barangkali kualitas bagi sedan baru.