Era multipartai tak banyak memperlihatkan kemajuan di bidang moral dan etika. Kita digelitikkan dengan banyak berita korupsi dan skandal politisi yang terhormat. Jelang pemilu mereka mulai mendekat dengan masyarakat pemilih. Berharap mendapat pengampunan dosa dan maaf melalui proses demokrasi.
Politik yang bertanggung jawab adalah politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan. Pelarian diri masyarakat yang benuansa apatisme, keluar dari lingkup politik untuk menyelamatkan diri di kehidupan pribadi menjadi faktor utama terbentuknya krisis kepercayaan.
Rendahnya kepercayaan ditandai dengan perilaku pemilih bersikap golput. Selepas pilgub, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 10.739.152 suara, unggul di atas pemenang kontestan. Gubernur terpilih Bibit-Rustri hanya sekitar 6.084.261 suara dari 25.855.542 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kemenangan golput ini salah satunya ditengarai oleh keputus-asaan pemilih terhadap proses pemilu.
Pilgub belum lama berlalu, pemilih akan dihadapkan dengan pemilu legislatif. Mereka akan mencoblos politisi dari partai politik yang selama ini banyak mewarnai media televisi dengan kasus amoralnya.
Media diramaikan berita seputar kasus suap, jual-beli perkara, dan adegan syur politisi yang berjuang demi harta dan wanita. Membuat terkikisnya tanggung jawab politik yang melekat di setiap warga untuk menghindar dari lingkungan politik. Wibawa pemilu runtuh diakibatkan orang yang terjun di dunia politik masih memiliki mentalitas animal laborans (Hannah Arent, 1958) di mana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi dominan. Politikus cenderung menjadikan politik sebagai mata pencarian utama ketimbang pengabdian.
Konsepsi yang coba ditawarkan oleh Saint-Simont (1760) berupa elit industrial juga tidak menjawab persoalan. Elit industrial menempatkan orang-orang yang cakap memimpin Negara adalah kaum industri –pemimpin bank dan perusahaan– yang di nilai rajin, kompeten dan bekerja tidak atas dasar kepentingan ekonomi, karena kebutuhannya relative sudah terpenuhi. Namun di zaman sekarang, tak banyak elit industrial yang terlibat di kasus-kasus senayan.
Kita juga sudah tidak bisa berharap banyak dari intelektual organik yang pernah di ungkapkan Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks. Kaum muda inteletual saat ini banyak yang lari berafiliasi, bahkan masuk menjadi kader partai ketimbang konsisten berdampingan dengan rakyat memperjuangkan kepentingan bersama.
Padahal citra partai sudah diujung tanduk. Belumlagi politisinya yang memupuskan harapan rakyat. Partai gagal menjalankan fungsinya. Prof. Miriam Budiardjo (2001) menyebutkan beberapa fungsi partai.
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Dalam masyarakat modern di negara demokratis, partai politik berfungsi sebagai penampung pendapat dan aspirasi masyarakat. Sehingga pada fase tertentu, partai politik memainkan peran dengan cara penggabungan kepentingan (interest aggregation), sesudah digabungkan kemudian aspirasi dan pendapat masyarakat tersebut diolah dalam bentuk yang teratur dengan perumusan kepentingan (interest articulation). Pada tahap akhir, partai politik menggunakan proses penggabungan dan perumusan kepentingan tersebut sebagai bahan-bahan pembuatan kebijakan publik (public policy) yang efektif dan aspratif.
Selama ini partai gagal menyampaikan aspirasi masyarakat. Komunikasi gagal dibangun oleh parlemen dengan bukti kebijakan tak pro-rakyat masih tumbuh subur. Kenaikkan harga BBM, pembangunan infrastruktur yang tidak berbasis kebutuhan masyarakat dan sebagainya. Singkatnya partai gagal menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat melalaui kader-kadernya di parlemen.
Kedua, Partai sebagai sarana sosialisasi politik; Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Pada kenyataannya, informasi hanya bisa diakses oleh elit partai. Konsituen partai hanya mendapatkan informasi yang berbau iklan, slogan, dan fatwa untuk setiab pada kebijakan partai saja. Maka tidak jarang kita melihat kebijakan pusat partai tidak sesuai dengan aspirasi konstituen akar rumput.
Ketiga, Partai Politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik memiliki fungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik (political recruitment). Dalam kerangka fungsi ini, partai politik memiliki tugas untuk berlomba menawarkan dan mengisi jabatan-jabatan publik. Partai politik juga mengusahakan untuk menarik golongan muda guna dididik menjadi kader partai yang di masa mendatang akan menggantikan pimpinan lama (selection of leadership).
Politik dagang sapi yang kita kenal dan lihat selama ini memberikan penjelasan tentang uraian diatas. Bahwa partai lebih menyukai mengangkat tokoh lain diluar partai sebagai calon pemimpin, tentunya dengan kompensasi tertentu, ketimbang kader didikannya. Pilkada di sejumlah daerah –Kabupaten Banyumas, Kabupetan Jepara, dan daerah yang lain–mengambarkan keasyikkan partai mengusung calon dari tokoh luar partai yang akhirnya mengalami kekalahan.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Beberapa konflik berkepanjangan dari kasus pilkada di beberapa daerah menandakan kemandulan partai dalam memanage konflik. Konflik pilkada Maluku Utara tak akan pernah selesai sebelum elit politik partai tak legowo dan mengedepankan budaya politik santun.
Kendatipun demikian, harapan itu masih ada tentang perubahan kehidupan politik yang lebih baik. Yakni dengan menjadikan diri sebagai pemilih rasional. Pemilih yang cerdas dan sadar dalam mencerna politik. Kini bukan saatnya partai dan politisi memberikan tawaran politik, tapi pemilihlah yang menawarkan “konsep partai dan politisi ideal” yang dirindu-rindukan selama ini. Bukan rakyat yang mengikuti keinginan partai, tapi sebaliknya.
Awaludin Marwan, SH
Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA) Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar