Oleh: Sukasah Syahdan
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 37, Tanggal 7 Juli 2008
Hari Sabtu dua minggu lalu lepas saat Ashar, sewaktu berada di kemacetan lalin di sekitar Lebak Bulus, saya dan keluarga melihat seorang bocah belasan tahun yang sedang mempertontonkan atraksi topeng monyet–atau tepatnya topeng bayi, di pinggir jalan itu. Si bocah merantai seekor kera yang memakai sebuah topeng bayi di mukanya. Beberapa meter dari sang bocah dan keranya ada bocah lain dengan kera pasungannya sendiri. Anak lelaki ini juga mempertontonkan “kehebatan” sang kera dalam mengendarai sebuah motor-motoran kayu. Beberapa puluh meter dari situ, seorang pemuda yang dalam taksiran saya berusia 30-an menampilkan pertunjukan serupa. Saya hitung ada 7 atraksi serupa di sepanjang jalan tersebut. Motifnya sama, mencari uang. Semua anak dan pemuda tadi memegang kaleng uang recehan. Mereka sama-sama berharap agar para pengendara yang lewat menyisihkan sekeping atau selembar recehan. Dan ada beberapa pengendara yang mengabulkan permintaan mereka.
Paginya, saat sarapan di rumah, saya sempat membaca satu artikel di kolom opini pada sebuah surat kabar. Paragraf pertamanya dimulai dengan pernyataan ini: “Tidak ada realitas di luar bahasa.” Di pagi itu, kembali, saya bertanya-tanya apa artinya.
Ludwig Wittgenstein pernah mengatakan, jika Anda tidak tahu apa yang harus dikatakan, mungkin sebaiknya Anda diam. Sebagaimana juga mungkin Anda, saya tidak merasa keberatan dengan sepotong kebijakaan ini. Tapi kalimat tentang realitas tadi bukan pertama kali saya jumpai. Saya tidak tahu persis siapa pertamakali kapan kalimat tersebut pertama kali diucapkan dan dalam konteks apa. Selama itu pula saya telah berdiam, mencoba memaklumi maknanya yang samar tanpa mengutak-atiknya sama sekali. Sore itu, saya memutuskan mengabaikan peringatan Ludwig. Dan sekarang tilikan awal ini saya coba tuliskan.
Jika bacaan-bacaan sekunder selama ini dapat diandalkan, saya ketahui bahwa cikal bakal gagasan di balik kalimat tersebut berkembang dari disiplin multidisipliner yang relatif baru-awal 1990-an, bernama analisis wacana atau discourse analysis. Gagasan tersebut cenderung sering dipakai sebagai pendorong semangat liberasi interpretasi sastra oleh beberapa kritikus sastra tentang makna karya yang dicoba dikritiknya.
Kalau ditarik lebih jauh lagi ke belakang, dan mengingat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan linear maupun soliter terhadap gagasan-gagasan sebelumnya, benihnya sudah ada di abad 19, bahkan sempat solid dan mengemuka dalam bentuk historisisme di Jerman. (Kalau harus ditarik mundur lagi, seperti kebanyakan isme, tentu semuanya bermula ke Yunani kuno, ke Plato misalnya..)
Intinya kurang-lebih serupa dan ingin mengatakan bahwa, dalam hal karya sastra, apa yang perlu diketahui tentang makna karya sudah termasuk di dalam teks tersebut. Korolarinya, begitu karya sastra disajikan oleh seorang penulis, maka makna dan pemaknaannya sudah lepas dari kuasa sang penulisnya, sehingga bebas untuk diinterpretasikan oleh sidang pembaca.
Mungkin karena daya liberasinya yang luar biasa, atau barangkali juga atas dasar jejak historisnya yang sering menjadi”mainan” asyik tersendiri bagi penelusurannya, paham ini mendapat penerimaan yang luar biasa pula di bidang-bidang lain- hermenetika dan posmodernisme, terutama dalam bentuk teori dekonstruksinya, yang penggunaannya pernah menjadi amat trendi untuk mendekonstruksikan hampir semua hal di bawah matahari.
Dalam wujud ekstrimnya, sesuai keterbatasaan pemahaman saya saat ini terhadapnya, barangkali harus diartikan bahwa menurut hermenetika, Shakespeare tidak memiliki kuasa atas apa-apa yang telah dituliskannya; bahwa tidak penting apa tafsiran Shakespeare sendiri terhadap makna baris-baris sonetanya ketika ia menuliskan,” Let me not to the marriage of true minds, Admit impediments …” atau dalam lakon-lakon The Taming of the Shrew, The Tempest, atau Romeo and Juliet.
Dalam hemat saya, empirisme telah berhasil ditarik ke ekstrem terjauhnya, menuju kepada semacam permisifisme dan nihilisme. Hegemoni metode tunggal ini memungkinan dan telah memunculkan berbagai versi “kebenaran.” Apakah kebenaran yang berwajah majemuk yang dicita-citakan akal budi manusia melalui ilmu pengetahuan? Apakah demikian fungsi sains sebagai alat bantu manusia dalam mencari kebenaran yang dicitakan?
Jika seorang proponen menyatakan bahwa semua hal boleh diinterpretasikan sebebas-bebasnya, bagaimana dengan status pernyataannya? Tidakkah itu sama saja berarti bahwa yang dikatakannya itu tidak berguna, tidak perlu didengar atau diingat, sehingga aman untuk diabaikan saja?
Biasanya demi kesantunan argumen, kita perlu mendefinisikan dulu konsep yang ingin kita bahas. Untungnya, konsep realitas sudah cukup intuitif untuk dipahami. Apapun definisinya, kalimat di atas, jelas dan tanpa ketaksaan apapun, mengatakan bahwa hal tersebut berada di dalam bahasa. Saya justru dengan ini ingin mengatakan bahwa realitas ada di luar bahasa; sedangkan pemahaman terhadapnya tercermin di dalam bahasa. Bahasa tidak lebih dari simbol-simbol bunyi/huruf/gambar belaka serta seperangkat konvensi penggunaannya.
Baiknya saya kembali ke contoh konkrit saja, ke pertunjukan kera-kera di atas.
Dalam contoh empiris (sejarah) yang saya saksikan Sabtu sore tersebut, yang mengelilingi kera-kera yang malang itu adalah realitas yang riil meskipun mereka mungkin tidak memahaminya secanggih manusia-manusia, termasuk yang sedang terjebak kemacetan sore hari itu.
Pada kenyataannya, ketidakpahaman kera-kera tersebut tidak menisbikan hukum-hukum alam di sekitar mereka, termasuk hukum-hukum alam yang time-invariant antarkera, antarmanusia, antara manusia dan kera; dan termasuk juga norma-norma yang mungkin temporal-yant tidak langsung bergeser secara drastis dalam semalam, yang telah ikut menentukan pola relasi antarmanusia, yang dapat ikut menjelaskan mengapa sejumlah pemakai jalan sore itu memutuskan (tidak) memberi para empunya kera-kera tersebut uang recehan.
Setiap orang selaku pengguna bahasa apapun pada hakikatnya senantiasa harus selalu tunduk kepada aturan-aturan internal yang mengatur pembentukan makna, dari tingkat fonologis, morfologis, sintaksis, semantis dan pragmatisnya-kecuali jika intelijibilitas dalam penggunaan bahasa bukan menjadi tujuannya.
Kegagalan Humpty Dumpty dalam usaha menggunakan bahasa seenak hatinya adalah bahwa unsur-unsur semantik dan sintaksis yang dikacaukannya tidak mampu menjadikannya sebuah konvensi yang, meski tidak harus kekal, dianggap berlaku untuk suatu periode waktu tertentu oleh komunitas penggunanya. Untuk memahami dunia lain yang murni suatu rekaan, semisal tokoh telur di atas, kita mungkin boleh bebas menafsirkan sebebas-bebasnya tentang peristiwa yang telah menyebabkannya pecah berkeping-keping, tanpa ada seorang prajurit raja yang mampu menyatukannya kembali.
Tapi realitas berbeda dari fiksi. Demikian juga bahasa, instrumen riil bagi pemahaman manusia. Dia bukan rekaan. Aturan-aturan kebahasaan jelas ada dan terbukti universal, sesuai teori generative transformative grammar dari Noam Chomsky melalui konsep deep structure-nya yang oleh banyak pihak dianggap telah merevolusi linguistik dan telah mengharumkan nama sang linguis, dan dibuktikan oleh potensi multilingualitas anak dalam mempelajari bahasa apapun secara sekaligus.
Ludwig Wittgenstein, saudara sepupu Hayek, dalam magnum opusnya Philosophical Investigation, cenderung lebih akurat ketika menyatakan bahwa, “The limits of my language are the limits of my world”. Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku.
Dalam retrospeksi, setiap realitas empiris yang terjadi dan berlalu sedetik yang lalu telah menjadi sejarah. Dan sejarah adalah gagasan, yang berbeda dari realitas. Semisal kera-kera, kemacetan, dan ketertegunan anak saya saat mengalami semuanya di Sabtu itu. Kalau gagasan harus juga dianggap sebagai realitas, maka realitas sejarah tersebut by nature berbeda dari realitas fisiknya yang telah lewat.
Dalam introspeksi, realitas yang dibayangkan adalah imajinasi, yang belum berwujud dan tidak mesti ada karena keterwujudannya mutlak bergantung kepada dan terkendala oleh hukum-hukum pembentuk alam raya.
Namun, dunia akademis sepertinya telah melupakan seorang filsuf asal Vienna lainnya: Ludwig von Mises. Salah satu temuan filosofis tokoh kita yang terabaikan selama ini adalah bahwa, sejauh terkait manusia, tindakan manusia adalah satu-satunya konsep yang menjembatani dunia gagasan dan dunia realitas. Ia menyebut kajian sekaligus metodologinya praksiologi. Praksiologi memberi landasan dan batasan yang jelas bagi interpretasi akal manusia. Disiplin ini bahkan memberi batasan yang jelas pada apa yang dapat ditelusuri manusia dengan praksiologi itu sendiri.
Teori yang baik, menurut empirisme termasuk ekstrem-ekstremnya, akan tunduk kepada pengalaman-kepada realitas, sementara menurut praksiologi, teori yang baik hanya akan membatasinya. [ ]
Artikel ini diunduh dari: akaldankehendak.com
Paginya, saat sarapan di rumah, saya sempat membaca satu artikel di kolom opini pada sebuah surat kabar. Paragraf pertamanya dimulai dengan pernyataan ini: “Tidak ada realitas di luar bahasa.” Di pagi itu, kembali, saya bertanya-tanya apa artinya.
Ludwig Wittgenstein pernah mengatakan, jika Anda tidak tahu apa yang harus dikatakan, mungkin sebaiknya Anda diam. Sebagaimana juga mungkin Anda, saya tidak merasa keberatan dengan sepotong kebijakaan ini. Tapi kalimat tentang realitas tadi bukan pertama kali saya jumpai. Saya tidak tahu persis siapa pertamakali kapan kalimat tersebut pertama kali diucapkan dan dalam konteks apa. Selama itu pula saya telah berdiam, mencoba memaklumi maknanya yang samar tanpa mengutak-atiknya sama sekali. Sore itu, saya memutuskan mengabaikan peringatan Ludwig. Dan sekarang tilikan awal ini saya coba tuliskan.
Jika bacaan-bacaan sekunder selama ini dapat diandalkan, saya ketahui bahwa cikal bakal gagasan di balik kalimat tersebut berkembang dari disiplin multidisipliner yang relatif baru-awal 1990-an, bernama analisis wacana atau discourse analysis. Gagasan tersebut cenderung sering dipakai sebagai pendorong semangat liberasi interpretasi sastra oleh beberapa kritikus sastra tentang makna karya yang dicoba dikritiknya.
Kalau ditarik lebih jauh lagi ke belakang, dan mengingat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan linear maupun soliter terhadap gagasan-gagasan sebelumnya, benihnya sudah ada di abad 19, bahkan sempat solid dan mengemuka dalam bentuk historisisme di Jerman. (Kalau harus ditarik mundur lagi, seperti kebanyakan isme, tentu semuanya bermula ke Yunani kuno, ke Plato misalnya..)
Intinya kurang-lebih serupa dan ingin mengatakan bahwa, dalam hal karya sastra, apa yang perlu diketahui tentang makna karya sudah termasuk di dalam teks tersebut. Korolarinya, begitu karya sastra disajikan oleh seorang penulis, maka makna dan pemaknaannya sudah lepas dari kuasa sang penulisnya, sehingga bebas untuk diinterpretasikan oleh sidang pembaca.
Mungkin karena daya liberasinya yang luar biasa, atau barangkali juga atas dasar jejak historisnya yang sering menjadi”mainan” asyik tersendiri bagi penelusurannya, paham ini mendapat penerimaan yang luar biasa pula di bidang-bidang lain- hermenetika dan posmodernisme, terutama dalam bentuk teori dekonstruksinya, yang penggunaannya pernah menjadi amat trendi untuk mendekonstruksikan hampir semua hal di bawah matahari.
Dalam wujud ekstrimnya, sesuai keterbatasaan pemahaman saya saat ini terhadapnya, barangkali harus diartikan bahwa menurut hermenetika, Shakespeare tidak memiliki kuasa atas apa-apa yang telah dituliskannya; bahwa tidak penting apa tafsiran Shakespeare sendiri terhadap makna baris-baris sonetanya ketika ia menuliskan,” Let me not to the marriage of true minds, Admit impediments …” atau dalam lakon-lakon The Taming of the Shrew, The Tempest, atau Romeo and Juliet.
Dalam hemat saya, empirisme telah berhasil ditarik ke ekstrem terjauhnya, menuju kepada semacam permisifisme dan nihilisme. Hegemoni metode tunggal ini memungkinan dan telah memunculkan berbagai versi “kebenaran.” Apakah kebenaran yang berwajah majemuk yang dicita-citakan akal budi manusia melalui ilmu pengetahuan? Apakah demikian fungsi sains sebagai alat bantu manusia dalam mencari kebenaran yang dicitakan?
Jika seorang proponen menyatakan bahwa semua hal boleh diinterpretasikan sebebas-bebasnya, bagaimana dengan status pernyataannya? Tidakkah itu sama saja berarti bahwa yang dikatakannya itu tidak berguna, tidak perlu didengar atau diingat, sehingga aman untuk diabaikan saja?
Biasanya demi kesantunan argumen, kita perlu mendefinisikan dulu konsep yang ingin kita bahas. Untungnya, konsep realitas sudah cukup intuitif untuk dipahami. Apapun definisinya, kalimat di atas, jelas dan tanpa ketaksaan apapun, mengatakan bahwa hal tersebut berada di dalam bahasa. Saya justru dengan ini ingin mengatakan bahwa realitas ada di luar bahasa; sedangkan pemahaman terhadapnya tercermin di dalam bahasa. Bahasa tidak lebih dari simbol-simbol bunyi/huruf/gambar belaka serta seperangkat konvensi penggunaannya.
Baiknya saya kembali ke contoh konkrit saja, ke pertunjukan kera-kera di atas.
Dalam contoh empiris (sejarah) yang saya saksikan Sabtu sore tersebut, yang mengelilingi kera-kera yang malang itu adalah realitas yang riil meskipun mereka mungkin tidak memahaminya secanggih manusia-manusia, termasuk yang sedang terjebak kemacetan sore hari itu.
Pada kenyataannya, ketidakpahaman kera-kera tersebut tidak menisbikan hukum-hukum alam di sekitar mereka, termasuk hukum-hukum alam yang time-invariant antarkera, antarmanusia, antara manusia dan kera; dan termasuk juga norma-norma yang mungkin temporal-yant tidak langsung bergeser secara drastis dalam semalam, yang telah ikut menentukan pola relasi antarmanusia, yang dapat ikut menjelaskan mengapa sejumlah pemakai jalan sore itu memutuskan (tidak) memberi para empunya kera-kera tersebut uang recehan.
Setiap orang selaku pengguna bahasa apapun pada hakikatnya senantiasa harus selalu tunduk kepada aturan-aturan internal yang mengatur pembentukan makna, dari tingkat fonologis, morfologis, sintaksis, semantis dan pragmatisnya-kecuali jika intelijibilitas dalam penggunaan bahasa bukan menjadi tujuannya.
Kegagalan Humpty Dumpty dalam usaha menggunakan bahasa seenak hatinya adalah bahwa unsur-unsur semantik dan sintaksis yang dikacaukannya tidak mampu menjadikannya sebuah konvensi yang, meski tidak harus kekal, dianggap berlaku untuk suatu periode waktu tertentu oleh komunitas penggunanya. Untuk memahami dunia lain yang murni suatu rekaan, semisal tokoh telur di atas, kita mungkin boleh bebas menafsirkan sebebas-bebasnya tentang peristiwa yang telah menyebabkannya pecah berkeping-keping, tanpa ada seorang prajurit raja yang mampu menyatukannya kembali.
Tapi realitas berbeda dari fiksi. Demikian juga bahasa, instrumen riil bagi pemahaman manusia. Dia bukan rekaan. Aturan-aturan kebahasaan jelas ada dan terbukti universal, sesuai teori generative transformative grammar dari Noam Chomsky melalui konsep deep structure-nya yang oleh banyak pihak dianggap telah merevolusi linguistik dan telah mengharumkan nama sang linguis, dan dibuktikan oleh potensi multilingualitas anak dalam mempelajari bahasa apapun secara sekaligus.
Ludwig Wittgenstein, saudara sepupu Hayek, dalam magnum opusnya Philosophical Investigation, cenderung lebih akurat ketika menyatakan bahwa, “The limits of my language are the limits of my world”. Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku.
Dalam retrospeksi, setiap realitas empiris yang terjadi dan berlalu sedetik yang lalu telah menjadi sejarah. Dan sejarah adalah gagasan, yang berbeda dari realitas. Semisal kera-kera, kemacetan, dan ketertegunan anak saya saat mengalami semuanya di Sabtu itu. Kalau gagasan harus juga dianggap sebagai realitas, maka realitas sejarah tersebut by nature berbeda dari realitas fisiknya yang telah lewat.
Dalam introspeksi, realitas yang dibayangkan adalah imajinasi, yang belum berwujud dan tidak mesti ada karena keterwujudannya mutlak bergantung kepada dan terkendala oleh hukum-hukum pembentuk alam raya.
Namun, dunia akademis sepertinya telah melupakan seorang filsuf asal Vienna lainnya: Ludwig von Mises. Salah satu temuan filosofis tokoh kita yang terabaikan selama ini adalah bahwa, sejauh terkait manusia, tindakan manusia adalah satu-satunya konsep yang menjembatani dunia gagasan dan dunia realitas. Ia menyebut kajian sekaligus metodologinya praksiologi. Praksiologi memberi landasan dan batasan yang jelas bagi interpretasi akal manusia. Disiplin ini bahkan memberi batasan yang jelas pada apa yang dapat ditelusuri manusia dengan praksiologi itu sendiri.
Teori yang baik, menurut empirisme termasuk ekstrem-ekstremnya, akan tunduk kepada pengalaman-kepada realitas, sementara menurut praksiologi, teori yang baik hanya akan membatasinya. [ ]
Artikel ini diunduh dari: akaldankehendak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar