online degree programs

Senin, Juli 14, 2008

SAYA BERTEMU AL-GHAZALI

Beberapa waktu yang lalu Umi saya pergi ke tempat Mbah di Kebumen, yang mempunyai koleksi kitab-kitab juga buku yang cukup banyak. Diantaranya ada “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan Soekarno (tertulis di buku itu Rp. 6.000,-, dan tadi siang sempet diajak Mas Luluk jalan-jalan di Gunung Agung harganya Rp. 250.000,-). Saya minta kepada Umi untuk membawakan Ihya Ulumuddin, Tahafudz Al-Tahafudz, dan atau Tahafudz Al-Falasifah. Tetapi yang ada hanya Ihya Ulumuddin, itupun tanpa jilid 1-entah terbawa siapa. Tidak sampai di sini saja, masalah yang sebelumnya telah saya prediksi, saya tidak-belum-bisa membaca apalagi menafsirkan huruf dan Bahasa Arab tanpa harokat semacam itu. Tetapi setidaknya kekecewanku telah terobati dengan tidak sengaja menemukan “Mutiara Ihja Ulumuddin”, buku Abah sewaktu kuliah (ejaan lama).

Baiklah, saya mencoba bercerita tentang pertemuan saya dengan Al-Ghazali.

Banyak orang mengatakan Al-Ghazali sebagai biang stagnasi pemikiran ummat islam seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut saya ini tidak benar! Bagaimana bisa orang berkata seperti itu, karya Al-Ghazali tidak sedikit, dan ini membuktikan dia berpikir. Hal ini, secara tidak langsung “menyuruh” orang (islam) untuk berpikir seperti yang dia contohkan. Saya menganggap Al-Ghazali mengarang kitab-kitabnya untuk berbagi “kgelisahan-kegelisahan” sehingga mengajak orang untuk berpikir. Dengan ini, tuduhan erhadap Al-Ghazali sebagai biang stagnasi jelas patah dan batal.

Dengan apa yang saya ketahui, saya melihat Al-Ghazali adalah seorang intelektual, karena terus berjalan dalam proses pencarian atas kegelisahan-kegelisahannya. Belajar dari simpulannya saja, tentu saja sangat fatal!

Belajar dari Al-ghazali berarti belajar dari dan trajektori kehidupannya. Dalam kasus ini, Al-Ghazali terus mencari ketenangan hati-atau dalam bahasa Al-Ghazali adalah Ilmu Yakin-yang bermula dari fiqih, lalu syari’at, mantiq (logika-filsafat), tasawwuf (seringkali dijadikan legitimasi pengharaman filsafat oleh Al-Ghazali). Barangkali-secara kebetulan-keterbatasannya membuat dia berkesimpulan di situ, tetapi dari sisi trajektori, Al-Ghazali mengatakan hal yang sangat lain dari kesimpulanya.

Mungkin itu adalah kesimpulan Al-Ghazali, tetapi kegelisahan-kegelisahan sepanjang hidupnya, mencari dan terus mencari, adalah “mutiara” yang sebenarnya dari ajaran Al-Ghazali. Belajar untuk tidak selalu percaya dan taqlid (mengikuti), mempelajari terlebih dahulu baru kemudian menjustifikasi dan mengambil sikap. Sekali lagi, jangan langsung percaya dan nganut!
Tentang ilmu yakin itu, bagi saya ilmu adalah means yang tak akan pernah sempurna, sehingga tak akan pernah dan konsekuensinya tak harus selesai.

Ahmad Fahmi Mubarok

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Al-Ghazali, klo gak salah pas di pesantren dulu saya dicritani klo Ihya Ulumuddin itu delapan ato sembilan jilid....sekarang tinggal empat...lainnya hilang pas peristiwa penyerbuan Mongol di Baghdad...