Selama ini ada semacam kesepakatan tentang dikotomi intelektual dan non-intelektual. Kesepakatan ini tumbuh begitu saja di masyarakat. Bahkan obrolan di kalangan ‘intelektual’ sendiri, kesepakatan tersebut mendapatkan legitimasinya. Semacam ada persetujuan bahwa suatu opini masyarakat tertentu bisa dianggap intelek, nggak intelek atau setidaknya kurang intelek.
Ada banyak pengertian tentang intelektual. Pengertian lama tentang intelektual mestinya bisa kita bongkar. Seperti yang dipahami masyarakat tentang mitos intelektual,misalnya. Bahwa intelektual adalah mereka yang lulus dari pergguruan tinggi. Hanya mereka yang bergelar sarjanalah yang dianggap intelek. Mereka yang berada diluar lingkaran itu, seberapapun hebat produksi pengetahuan dan kontribusi nyatanya pada masyarakat sekitar, tidak dianggap kaum intelektual. Seorang petani yang turut mempelopori penghijauan di desanya tidak kita anggap intelektual. Seorang seniman tamatan smp yang menulis puisi dan kerap mewarnai kegiatan kesenian di daerahnya tidak dianggap intelektual. Alangkah naifnya jika alasannya hanya karena mereka tidak menyandang gelar sarjana.
Saya bertolak dari kesadaran yang dibawa oleh posmodernisme bahwa ilmu pengetahuan tidak berhak dihegemoni oleh satu pihak saja (dalam hal ini kaum sarjana) . Falsafah jawa menyebutnya sebagai lintas tutur. Ia bisa lahir dari seorang guru, seniman, petani, nelayan, dosen, professor hingga pensiunan. Dengan ini definisi intelektual adalah siapa saja yang masuk menyelam ke dalam realitas kehidupan masyarakatnya lalu memproduksi pengetahuan dari sana dan memberikan kontribusi nyata berdasarkan pengetahuannya tersebut di bidangya masing-masing. Kata-kata ‘di bidangnya masing-masing’ hanya menekankan pada segi fokus atau orientasi kerja masing-masing person, bukan pada tertutupnya kemungkinan adanya fusi dengan bidang lain. Justru, karena lintas tuturlah maka produksi pengetahuan memungkinkan fusi antar bidang (cross-field understanding). Seorang seniman, misalnya, bisa bekerjasama denganseorang dosen seni lukis dalam upaya mengembangkan kesenian di desanya. Aktivis politik yang berfusi dengan para sastrawan dalam rangka melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat. Dan masih banyak contoh yang bisa diusahakan sesuai kepentingannya masing-masing.
Demikianlah, maka orientasi utama proyek masyarakat intelektual adalah pengetahuan dan masyarakat. Pengetahuan merupakan suatu dambaan tentang apa yang sejati. Apa yang sesungguhnya ada. Dambaan tersebut hampir selalu lahir di setiap masyarakat. Entah di kota ataupun di desa. Sedangkan masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal di suatu wilayah dengan realitasnya sendiri. Satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya tentu saja mempunyai realitas yang tidak sama (meskipun tidak selalu berbeda). Realitas yang mungkin berbeda inilah yang melahirkan pengetahuan yang juga mungkin berbeda. Pengetahuan tentang ilmu pertanian di daerah Jepara, misalnya, pasti tidak sama persis dengan di daerah Kalimantan. Hal ini dikarenakan realitas iklim, realitas tanah dan alam yang berbeda, misalnya. Atau contoh sederhananya: bagaimana cara kita mengajar seorang anak berumur enam dan tujuh belas tahun pastilah tidak sama karena realitas masing-masing anak yang berbeda.
Lalu bagaimanakah implementasi kongkret proyek masyarakat intektual? Adalah jika setiap kita pada bidangnya masing-masing kembali menyelami realitas masyarakat dimana dan kapan kita berada, yaitu di ruang kita berada, disini (here) dan sekarang (now).
Muhammad Taufiqurrohman
Pegiat Komunitas Embun Pagi
Minggu, Juli 06, 2008
Proyek Masyarakat Intelektual
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Wow!, saya tidak sepakat kalau "mencintai wanita" ternyata hanya diklaim dan dimonopoli Topik...
hayoo teman2, kita tolak hegemoni ini...hua2....
Dasar.....!!!huh!!!!
al Luluk minal Kentiiirrrr........
Santai wae bos! Wanita tetep racun dunia! okeh!!!
Posting Komentar