Mengapa kita perlu hukum?
Pertanyaan ini sebenarnya tidak penting-penting amat untuk dijawab tetapi juga sulit untuk tidak dijawab. Menjawab pertanyaan ini dengan baik mensyaratkan pengetahuan tentang hukum dan sejarah masyarakat yang dalam. Ada masanya ketika hukum dilahirkan oleh masyarakat. Tetapi juga ada masa ketika sebuah masyarakat dilahirkan dan kemaudian hidup berkembang dengan sebuah hukum tertentu. Sebuah masyarakat hampir pasti mempunyai hukum, bahkan di rimba konon juga ada hukum rimba.
Sebagai sebuah produk peradaban, hukum merupakan sebuah alat untuk mewujudkan kebahagiaan manusia. Hal tersebut akan tetap diakui sepanjang kebahagiaan manusia masih menjadi tujuan hidup umat manusia di dunia ini. Pada mulanya hukum lahir dengan cara sesederhana itu. Salah satu dimensi kebahagiaan tersebut adalah ketertiban dan ketentraman dalam lalu lintas kehidupan bersama sebuah masyarakat. Hampir dimana saja sebuah masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang memiliki kemungkinan-kemungkinan perbedaan dan juga kepentingan-kepentingan yang tidak sama bahkan bertolak belakang (walaupun juga memiliki kecenderungan-kecenderungan yang sama). Untuk menjaga kepentingan-kepentingan ini manusia yang beragam itu membutuhkan hukum yang memberikan aturan-aturan main (rules of game). Intinya hukum adalah aturan hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Ya, hukum ada untuk kebahagiaan kita umat manusia.
Tetapi siapakah yang dimaksud dengan ‘kita’? Kita adalah umat manusia. Ya, manusia yang mana. Apakah manusia yang hidup di sebuah negara dengan batas-batas teritori tertentu dengan nama Indonesia. Ataukah kita adalah manusia yang hidup di sebuah kebudayaan tertentu dan oleh karenanya kita disebut sebagai kita orang jawa, kita orang sunda, kita orang batak dan lain sebagainya. Atau kita adalah sekumpulan manusia yang hidup dengan keyakinan dan agama yang sama misalnya kita orang islam, kita orang budha, kita orang konghuchu, bahkan kita orang atheis. Tetapi juga kesulitan untuk menentukan islam yang mana , kita yang nu, muhammadiyah, syiah, persis, masyumi, hti, dll. Atau kita adalah manusia-manusia yang berkumpul di wilayah-wilayah kecil bernama kabupaten, kecamatan, desa, dukuh, rw, bahkan rt dan oleh karenanya kita disebut sebagai orang desa bandungharjo rt 2 dan bukan rt 6. Atau apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kita? Apakah batas-batas yang harus digariskan agar kita bisa menyebut ‘kita’ dengan baik. Apakah yang dimaksud dengan batas-batas itu adalah sebuah kemungkian untuk dapat melakukan sebuah kesepakatan bersama dalam sebuah ‘kita’ itu?
Betapa susahnya membayangkan tercapainya kesepakatan bersama atas sebuah hukum di wilayah yang demikian plural macam Indonesia ini. Tentunya semakin kecil sebuah komunitas akan semakin besar peluang untuk melakukan sebuah kesepakatan di dalamnya. Tetapi betapa sulitnya membayangkan sebuah kesepakatan untuk menggunakan sebuah hukum tertentu di sebuah komunitas yang begitu beragam dengan berbagai latar belakang agama, budaya, dan ideologi macam komunitas Indonesia ini. Apalagi jika hukum yang ‘seakan-akan’ disepakati itu adalah hukum yang ditetapkan pada sebuah masa yang sudah sangat lama dengan dinamika masyarakatnya sendiri saat itu yang hampir bisa dipastikan berbeda (walau mungkin juga sama) dengan dinamika masyarakat sekarang dimana hukum itu sekarang berlaku. Itulah hukum positif.
Lalu kita berhadapan dengan sebuah pilihan yang oleh Prof. Satjipto Raharjo disebut sebagai cara berhukum. Pilihan cara berhukum itu adalah manusia untuk hukum atau hukum untuk manusia. Pertama, manusia untuk hukum. Cara berhukum ini mengandaikan sudah adanya sebuah hukum di dalam sebuah masyarakat, pada sebuah ‘kita’. Padahal hukum yang sudah diandaikan ada ini ditetapkan oleh orang-orang tertentu dengan latar belakang tertentu pada suatu masa tertentu (mungkin juga) dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Hukum tersebut kemudian diakui dan diberlakukan secara dogmatis kepada masyarakat tersebut hingga kapanpun. Hukum tersebut seperti mengandaikan bahwa masyarakat yang dikenai hukum tersebut adalah masyarkat yang sama dengan masyarakat saat hukum tersebut ditetapkan. Masyarakat sekarang dianggap ‘seakan-akan’ menyepakati hukum tersebut seperti dahulu kala ketika masyarakat zaman tempo doeloe menyepakatinya. Tetapi apakah benar bahwa masyarakat sekarang sama dengan masyarakat dulu? Mungkinkah masyarakat tidak berubah? Cara berhukum seperti ini biasanya dianut oleh para penganut esensialisme khususnya dalam kebudayaan. Para esensialis adalah orang-orang yang akan pertama kali memprotes perubahan-perubahan dalam hukum dan kebudayaan pada umumnya. Mereka percaya bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang, pendahulu, senior, orang-orang sepuh adalah doktrin-doktrin yang suci yang harus dilaksanaan secara mutlak. Orang-orang macam ini biasanya mudah kecewa dengan peruabahan-perubahan di dalam cara bemasyarakat, juga berhukum, yang berubah karena menyesuaikan diri dengan perubahan dalam masyarakat itu sendiri.
Sedangkan cara berhukum yang kedua adalah hukum untuk manusia. Titik tekan cara berhukum ini adalah pada manusianya, pada ‘kita’nya. Hukum ada untuk mewujudkan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan. Hukum sewaktu-waktu dapat diubah jika dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat. Hukum mengikuti manusia bukan manusia yang mengikuti hukum. Orang-oarang yang cenderung mneyepakati cara berhukum ini biasanya dalah mereka penganut eksistensialisme khusunya dalam kebudayaan. Eksistensialis adalah mereka yang percaya pada perubahan sebagai sesuatu yang niscaya. Manusia adalah makhluk yang berubah. Masyarakat dimana manusia itu tumbuh dan cara bermasyarakatnya pastilah ikut berubah. Hukum progresif, dengan demikian, dalam pasal-pasal, ayat-ayat, kata-katanya adalah selalu hukum yang sementara.
Contoh yang paling kongkret dari cara berhukum kedua penganut pandangan ini adalah masalah amandemen UUD 45. Kaum esensialis adalah mereka yang secara tegas bahkan hampir mutlak menolak segala amandemen UUD 45. Mereka menganggap seolah-olah uud 45 tak ubahnya sebagai kitab suci yang ditulis tuhan dan oleh karena itu tidak boleh dirubah sedikitpun walau aayah(walaupun satu ayat saja). Di sisi yang lain mereka yang eksistensialis menganggap UUD 45 hanyalah sebuah produk manusia pada zaman tertentu dan oleh karenanya ia tidak bebas nilai dan bebas kepentingan. UUU 45, pada dasarnya, juga mempunyai potensi kesalahan dalam meramalkan masa depan dinamika bangsanya sehingga dia juga mempunyai kemungkinan untuk tidak sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang.
Lalu muncullah hukum progresif. Titik tolak hukum progresif adalah keniscayaan perubahan masyarakat yang menuntut perubahan hukum yang berlaku. Ia lebih cebderung dianut oleh yag kedua yaitu golongan eksistenisalis. Dari titik inilah kita bisa menganggap hukum progresif lebih sebagai cara berhukum dan bukannya sebuah hukum sendiri. Dengan demikian hukum progresif sebagai cara berhukum sesungguhnya merupakan sebuah sikap yang rendah hati. Hukum progresif dengan demikian adalah cara berhukum yang lebih berhati-hati. Dia tidak arogan dengan menolak segala yang bernada lama, tua, tradisi, esensi dan masa lalu. Pada saat yang sama dia juga tidak khawatir membuka diri dengan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dibawa oleh hal-hal baru, masa kini, modern, dan sekarang yang membentang di hadapannya. Titik pijaknya adalah tingkat kebermanfaatan dan kebaikan hal-hal itu (entah lama entah baru) kepada masyarakatnya. Yang lama bisa dipertahankan jika dianggap masih memberi potensi kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Yang baru juga tidak serta merta diambil bahkan ia bisa ditolak dengan keras jika dianggap tidak memberi potensi kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Hukum progresif oleh karenanya mengakui yang lama dan yang baru, dia persis berada di tengah-tengah. Persis seperti sebuah timbangan. Oleh karena itu, hukum progresif tampak persis seperti sebuah adagium yang sangat terkenal dalam Islam, yakni almuhaafadzotu ‘alalqodiimissoolih walakhdzu biljadiidilaslaah (menjaga hal-hal yang lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik).
Titik fokus hukum progresif pada subjek hukumnya yakni manusia dan bukan pada hukum itu sendiri di samping memiliki kelebihan juga pastinya kelemahan. Kelebihannya terletak pada potensinya menghadirkan hukum yang manusiawi. Hukum menjadi demikian fleksibel mengikuti perubahan manusia. Hukum tidak menjadi sebuah dogma yang mau tidak mau harus dilaksanakan manusia.
Pada saat yang sama orientasi hukum progresif pada manusianya akan mudah menjadikannya sebagai tertuduh yang telah terjerembab dalam jurang relativisme. Atau jangan-jangan memang ia mengakuinya. Hukum progresif yang mengakui manusia sebagai pusat ordinatnya secara otomatis mengakui subjektivisme. Disinilah letak persoalan penerapan cara berhukum progresif. Sebagai sebuah pandangan, relativisme adalah sebuah pengakuan akan tidak adanya yang mutlak. Semua hal adalah terbatas pada dan oleh sebuah ruang dan waktu tertentu. Ruang dan waktu yang berbeda tentu akan menghasilkan manusia, masyarakat dan peradaban yang berbeda. Standar-standar kebaikan dan kebahagiaan juga berbeda pada masyarakat yang berbeda, bahkan pada manusia yang berbeda. Jika titik pijak hukum progresif adalah kebaikan dan kebahagiaan manusia maka pertanyaannya adalah manusia yang mana, standar kebahagiaan manusia yang mana, ‘kita’ yang mana?
Tantangan relativisme itulah yang mensyaratkan kontekstualitas di dalam berhukum. Hukum dibuat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan dimana masyarakatnya hidup. Sebuah masyarakat tertentu harus hidup dengan sebuah hukum tertentu karena mempunyai standar-standar kebahagiaan tertentu. Kontekstualitas adalah menyesuaikan hukum pada ruang dan waktu dimana masyarakat tersebut ada. Disinilah letak persoalannya, bahwa apakah ruang dan waktu itu hanyalah dibatasi secara geografis semata? Lalu kita berfikir keras, dengan dalih mengkontekstualisasikan hukum, untuk membuat hukum masyarakat jawa, hukum masyarakat Sumatra, hukum masyarakat kota, hukum masyarkat desa, dan lain sebagainya yang hanya memandang letak geografis sebagai ukuran kontekstualitas? Apakah sebuah masyarakat yang bertempat tinggal di sebuah letak geografis yang sama bisa dipastikan juga mempunyai standar-standar kebahagiaan yang sama? Kongkretnya, apakah bisa dipastikan bahwa semua orang Jepara mempunyai standar kebahagiaan yang sama, apalagi semua orang jawa, orang Indonesia, orang sedunia?
Dahulu kala ketika masyarakat masih hidup di klan-klan tertentu, wilayah-wilayah tertentu, yang terisolasi dari dunia di luar dirinya, kemungkinan standar kebahagiaannya sama sangatlah besar. Sebab, mereka tidak memiliki pembanding kebudayaan mereka dan pandangan-pandangan mereka tentang segala hal, juga tentang kebahagian. Standar-standar segala hal menjadi relatif sama. Model-model ideal setiap manusia di dalam masyarakat yang tertutup itu hampir tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai, pandangan hidup, ajaran dan lain sebagainya adalah hal-hal yang hampir bisa dipastikan sama. Hampir tidak ada lalu lintas pertukaran ide-ide, nilai-nilai, wacana dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kemungkinan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan bersama juga tentang standar-standar kebahagiaan menjadi hal yang tidak sulit diwujudkan. Itu tejadi pada zaman dahulu.
Bagaimana realitas masyarakat sekarang? Realitas masyarakat sekarang sangat bertolak belakang dengan realitas masyarakat dahulu. Perkembangan teknologi mau tidak mau membuat perubahan dalam sebuah masyarakat. Dengan lahirnya televisi, internet, hp, pesawat terbang, radio, dan lain sebagainya telah memungkinkan terjadinya lalul intas pertukaran ide, nilai-nilai, yang saling berebutan untuk minta diikuti. Seorang yang hidup terpencil secara geografis semisal di pulau Karimunjawa dapat menyaksikan sebuah gambar asing di tayangan televisi. Dari layar kecil itu, dia mendapatkan informasi-informasi baru, nilai-nilai baru yang sama sekali lain sebagai pembanding nilai-nilai yang sudah diyakininya. Padahal kita tahu nilai-nilai baru itu dipakai oleh masyarakat yang sama sekali lain dan hidup di dunia yang jauh sekali bahkan di seberang benua yang jauh sekali. Begitulah batas-batas sebagai pembeda antara manusia yang satu dengan yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, tidaklah dapat direduksi hanya persoalan geografis semata. Tentu saja hal ini mengecualikan beberapa masyarakat yang memang masih tertutup baik secara fisik maupun secara kultura yang jumlahnya lebih terbatas. Masyarakat pada umumnya seperti hidup dalam sebuah ruang tanpa sekat tanpa batas tanpa kategori. Standar-standar tentang segala hal, juga kebahagiaan, jadi silang sengkarut carut marut tanpa batas-batas. Semua nilai-nilai saling berkompetisi berebut pengaruh. Semua hal tampak berbeda bahkan yang semula disangka sama. Perbedaan-perbedaan menjadi tampak demikian detail. Bahkan setiap manusia minta diakui sebagai manusia yang sama sekali lain dari liyan. Dengan realitas masyarakat yang demikian, bagaimanakah batas-batas mengukur nilai-nilai dalam suatu kebudayaan untuk menciptakan standar-standar kebahagiaan diciptakan? Atau mungkinkah batas-batas itu diciptakan?
Bagaimanakah hukum progresif bersikap menghadapi realitas masyarakat yang seperti itu? Penghargaan utama hukum progresif atas relativisme terletak pada kata ‘perubahan’. Pengandaian bahwa hukum harus mengikuti perkembangan masyarakatnya haruslah diarahkan pada realitas masyarakat sekarang. Perubahan nilai-nilai yang secara otomatis menentukan perubahan standar-standar kebahagiaan umat manusia menjadi demikian cepatnya. Perubahaan dalam masyarakat tidak bisa diandaikan terjadi dalam sebuah rentang waktu yang relatif lama memakan waktu bepuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad seperti pada waktu dulu. Perubahan harus diandaikan terjadi pada setiap saat setiap waktu karena kemungkinan masuknya nilai-nilai baru juga terjadi setiap waktu lewat internet, televisi, radio, dan lain-lain. Tempo (rentang waktu) perubahan diandaikan terjadi demikian cepat. Dan lebih kacaunya lagi, perubahan yang sama tidak selalu bisa terjadi secara berjamaah (bersamaan). Justru pada saat yang sama dan tempat yang sam bisa terjadi perubahan yang berbeda. Misalnya, seorang ibu yang setiap hari menonton sinetron dan seorang mahasiswa yang setiap hari membaca jurnal-jurnal ilmiah di internet pada saat yang sama dan di kota yang sama akan mengalami perubahan yang berbeda. Lalu, bagaimanakah menerapkan hukum pada saat yang sama dan di tempat (katakanlah kota, Negara, dsb.) yang sama pada manusia yang berbeda tersebut, baik nilai-nilai hidup dan standar-standar kebahagiaannya? Dan kita terngiang-ngiang kembali dengan pertanyaan tentang siapakah ‘kita’?
Nilai-nilai memang ada yang cenderung tahan lama dan ada yang cenderung cepat hilang. Namun, titik tekan persoalan hukum progresif menghadapi realitas masyarakat tersebut adalah pada pengandaian akan kemungkinan cepatnya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Cepatnya tempo perubahan manusia dalam lalu lintas perbincangan nilai-nilai dalam masyarakat--yang mengakibatkan kaburnya batas-batas kebudayaan, nilai, pandangan hidup, ideologi, dsb.-- membuat standar-standar kebahagiaan sebagai titik tolak hukum progresif menjadi tidak jelas bahkan pada ruang dan waktu yang sama. Menghadapi ketidakjelasan standar-standar kebahagiaan ini, mungkinkah hukum progresif telah menemukan tantangan terberatnya?
Taufiq
2 komentar:
wah sejak kapan Taufik jadi ahli Hukum?
terimakasih... biodata spesifikasi streaming tv sport berita siputih info Rekomendasi
Posting Komentar