Sangat mudah menerka alasan mengapa banyak orang memutuskan untuk mengunungi Bali. Pulau Bali adalah obyek wisata berkelas internasional yang (katanya) menyimpan sejuta pesona. Nyatanya Bali memang indah, Bali memang mempesona, sedemikian hingga pensifatan indah dan mempesona menjadi melekat padanya. Mengunjungi Bali yang semula ditujukan untuk melihat keindahan Bali, seketika berubah dikarenakan telah terbentuknya mindset masyarakat bahwa “Bali itu indah” sehingga orientasi yang ada lebih dekat pada “mencari keindahan di Bali, karena keindahan hanya ada di Bali”. Artinya, pemutlakan manunggaling indah kelawan Bali telah terjadi, dan melupakan keindahan-keindahan lain yang ada “di luar” Bali.
Sejatinya,” indah” adalah kata sifat dan maka dari itu relatif dalam penempatannya terhadap obyek tertentu. Boleh saja Immanuel Kant mendefinisikan indah sebagai sifat yang membuat orang yang melihat tidak merasa perlu untuk menanyakan mengapa, tetapi setiap orang mempunyai selera dan kriteria masing-masing, sehingga memiliki otoritas yang sama untuk mengatakan “ini indah, dan itu tidak indah”. Penilaian suatu obyek dalam dikotomi indah-tidak indah bersifat subyektif.
Dari sisi obyek yang padanya dilekatkan kata sifat tersebut, dalam hal ini Bali, tentu tidak menutup kemungkinan adanya penilaian yang cenderung sama antara masing-masing individu. Penilaian yang menitikberatkan pada obyek lebih dibenarkan, karena lebih diakui secara ilmiah membentuk pola dalam setiap pergolakan pikiran manusia. Terdapat beberapa obyek yang dipandang indah oleh banyak orang, dan nampaknya Bali termasuk di sini.
Terlepas dari hal di atas, pelekatan sifat indah pada Bali mendatangkan banyak keuntungan bagi berbagai pihak, baik dalam skala mayor maupun minor. Mayor-minor di sini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi ; dalam hal keuntungan itu sendiri, dan banyaknya penikmat keuntungan tersebut. Bukan hal yang baru bahwa banyak fasilitas, yang bertujuan menjaga kenyamanan dalam menikmati keindahan Bali, dibangun dan disediakan bagi penikmatnya. Deretan Hotel, tempat makan, tempat belanja, hanya contoh kecil tempat penyediaan penunjang untuk menimati keindahan di seantero jagat Bali. Hal ini tentu saja mendatangkan keuntungan secara finansial yang besar bagi mereka yang kreatif (kreatif yang bersifat matrealis) dalam menyikapi realitas. Di sisi lain, keuntungan finansial yang lebih kecil secara finansial melalui cara yang sebenarnya sama juga banyak terlihat. Ada pihak yang berkeuntungan besar, menengah, juga kecil, barangkali menjadi suatu hal yang niscaya dalam kehidupan yang bergelimang ukuran finansial.
Dimensi Budaya
Keadaan semacam itu hanyalah potret kecil dari keadaan-keadaan lain yang sebenarnya juga bersentuhan dalam aras budaya, juga kemanusiaan. Selain moncer sebagai melekatnya sifat indah, Bali juga menjadi “percontohan” tentang bagaimana maremperlakukan budaya dengan semestinya. Menjunjung tinggi nilai kebudayaan lokal yang bertalian erat dengan agama tetap ada di Bali, meskipun Bali telah bertaraf internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kancah peradaban secara luas, kekaburan budaya bukan lagi bersifat kasuistik. Kekaburan budaya disebabkan oleh lalu lintas informasi terjadi sedemikian cepat dan serabutan, yang membawa serta transformasi nilai-nilai bahkan standart moral. Seorang Indonesia bisa dengan mudah mengetahui pakem fashion yang sedang digemari di daratan Jepang, dan juga sebaliknya. Kemajuan ilmu pengetahuan telah sedemikian membuktikan tesis Francis Bacon, bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” melalui maneuver dalam bentuk jaringan internet, HP, Televisi, sebagai jalan bagi lalu lintas informasi.Dalam konteks kehidupan Bali, di samping persentuhan melalui jagat maya, juga didukung dengan persentuhan “fisik” secara langsung dengan pelaku-pelaku kebudayaan yang secara geografis sangat berjarak dan berbeda.
Potret di sana tetap mengingatkan bahwa masyarkat Bali sedarinya percaya adanya rwa binedha, bahwa semesta terdiri dari unsur putih di satu sisi, dan hitam di sisi lain. Secara umum, mereka sepakat bahwa putih mengacu pada kebakan, dan hitam mengacu pada ketidakbaikan. Penghormatan terhadap unsur-unsur / kekuatan penyusun semesta tersebut dapat terbaca ketika melihat sebuah pohon, patung, dan benda lainnya, yang disemati kain bermotif papan catur -hitam dan putih- disertai sesaji. Laku semacam ini merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap unsur tersebut, yang memang diyakini berperan nyata dalam kehidupan. Sebagaimana terlihat di setiap depan rumah (kebanyakan) warga terdapat “sesuatu” (benda tertentu) yang disemati kain bermotif papan catur, sebagai “penjaga rumah”. Sesaji yang selalu diberikan dan diganti tiga kali dalam sehari merupakan bentuk “bayaran” atas penjagaan yang diberikan oleh unsur tersebut.
Hal yang berbeda terlihat berbeda dalam sekitaran kuta. Bentuk penghormatan semacam itu tidak (lagi) mendominasi, sehingga ada kemungkinan hal ini merupakan suatu bentuk kompromi dalam dimensi kebudayaan. Dan keadaan ini semakin mengukuhkan keyakinan bahwa persentuhan budaya akan selalu menyertakan kompromi dalam bentuk apapun, se-adiluhung apapun budaya terkait, dan budaya Bali bukan perkecualian.
Hilangnya Manusia
Bentuk kompromi yang terjadi (kalau tidak boleh dikatakan perubahan) juga menjadikan “permainan finansial” yang tergambarkan sebelumnya ternyata tidak sepenuhnya murni. Artinya, orientasi finansial telah tercemari sebagai akibat dari lalu lintas informasi yang sedemikian sulit untuk digambarkan, sehingga menggantikan arti penting manusia sebagai manusia. Bahwa manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat dan sikap kemanusiaan, manusia yang hidup dalam das sein untuk terus mencoba menggapai das sollen , dan oleh karena itu dianggap sebagai manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, usaha menemukan manusia-dalam arti yang sesungguhnya-dalam kawasan kompromi tersebut lebih mendekati peribahasa “bagai menegakkan benang basah”. Dalam komotra (angkutan umum yang ukurannya berada diantara minibus dan kendaraan jenis L-300, yang bisa berkapasitas 12 orang dalam riteria nyaman) yang harus menanggung tiga kali lipat kapasitas dari kapasitas kriteria nyaman, kesenjangan sosial-ekonomi yang terlalu jauh, maka manusia tidak lagi berada di sana.
Barangkali manusia bersembunyi di balik kemegahan tebing Garuda Wisnu Kencana, dan menunggu untuk di evakuasi.
Ahmad Fahmi Mubarok
Sabtu, Juli 19, 2008
Bali Berkata Lain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
barangkali memang demikianlah manusia. dia selalu sulit untuk tak berbincang dengan yang lain itu.tetapi memang, adakah yang murni?
benarkah identitas sepertinya memang selalu terkutuk di wilayah dilema? sebab, ia sepertinya tidak pernah selesai. ia selalu sementara.
tetapi, apakah juga selalu seperti itu? nyatanya, setiap tangisan hampir selalu membuat yang lain sedih dan turut menangis?
kita. kita. kita. mungkin tidak pernah tercapai. tapi haruskah kita frustasi mengakhiri kehidupan ini?
barangkali murni memang tidak ada, barangkali itu adalah nilai ideal. tetapi tetap berusaha menggapai itu, bukankah hakikat dari perjalanan manusia, walaupun manusia tahu, bahwa itu tidaklah bisa dilakukan..?
Posting Komentar