online degree programs

Rabu, Juli 23, 2008

Membaca Ulang Eksistensi Sekolah

Membaca “Jepara Dalam Angka”, yang dibuat melalui hasil kerjasama BAPPEDA dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara, akan didapat informasi bahwa pada tahun 2006 tercatat 590 Sekolah Dasar Negeri, 37 Sekolah Menengah Pertama Negeri, dan 10 Sekolah Menengah Atas Negeri, yang tersebar di seluruh Wilayah Jepara. Masih dari sumber yang sama, tercatat 1.062 orang mengalami putus sekolah. Data yang dikatakan sebagai semua tentang pendidikan ternyata hanya perihal sekolah, bukan pendidikan. Sebagian kalangan yang belum dan tidak berkesempatan mengikuti Masa Orientasi Siswa, Ujian Nasional hingga hingar bingar kelulusan yang sarat kontroversi itu justru tak tersentuh. Berangkat dari hal tersebut, agaknya pembacaan ulang terhadap hakikat belajar, pendidikan, dan hubungannya dengan eksistensi sekolah perlu dilakukan.

Melalui perkataan populer Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”, juga mengingat perdebatan klasik yang melibatkan Plato (yang lebih mengedepankan faktor nativis-dari dalam individu) dan Aristoteles (yang menekankan pada faktor empiris-dari luar individu), dapat dipahami bahwa belajar mempunyai konteks yang sangat luas dan bersifat personal. Bagi sebagian orang, belajar bukan didasarkan pada tujuan yang bersifat material, melainkan nilai-nilai transendental yang bersesuaian dengan janji Tuhan dalam Kitab Suci yang akan meninggikan derajat bagi mereka yang berilmu pengetahuan.

Dalam konteks perdebatan panjang tentang belajar, dengan melepaskan titik tolak sudut pandang masing-masing kubu, terlihat bahwa kesepakatan implisit terletak pada adanya perubahan sebagai hasil dari belajar. Perubahan yang terepresentasi dalam overt behavior (perilaku kasat mata) maupun covert behavior (perilaku tak kasat mata, perubahan mindset misalnya). Dengan demikian, belajar bukan hanya perihal dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang menjadi bahan perdebatan banyak ahli psikologi, tetapi lebih kepada proses belajar itu sendiri yang bersifat kewajiban personal.

Pentingnya belajar juga diungkapkan Al-Ghazali dalam rangkaian Ihya Ulumuddin. Dalam kasus ini, Al-Ghazali terus mencari ketenangan hati-atau dalam bahasa Al-Ghazali adalah Ilmu Yakin-yang bermula dari fiqih, lalu syari’at, mantiq (logika-filsafat), tasawwuf (seringkali dijadikan legitimasi pengharaman filsafat oleh Al-Ghazali). Belajar adalah untuk tidak langsung percaya dan taqlid (mengikuti), mempelajari terlebih dahulu baru kemudian menjustifikasi dan mengambil sikap. Modal awal manusia dalam belajar adalah “otak” dan berbagai seluk beluknya, yang bertemu dengan teks-teks kehidupan. Kedua hal ini tak bisa dianggap terpisah dan berdiri sendiri.

Proses belajar, yang lebih ditujukan untuk pengembangan diri melalui menuntut ilmu adalah suatu kebutuhan. Barangkali inilah yang membuat Aristoteles mendirikan Academia untuk saling berbagi ilmu pengetahuan antar masyarakat. Aristoteles membuka kesempatan lain bagi masyarakat agar bisa melaksanakan kewajibannya, belajar bersama, dan kemudian proses ini disebut pendidikan. Disebut pendidikan karena ada perluasan proses belajar, pendikotomian pendidik dan yang dididik. Lebih jauh lagi, proses pendidikan semacam itu diperluas dan pada akhirnya membentuk formalisasi melalui pelembagaan proses belajar dan pendidikan dalam suatu sekolah. Konsekuensi dari formalisasi memerlukan manajemen dan adminitrasi, sehingga mengharuskan biaya bagi peserta didik.

Konsekuensi lain dari formalisasi pendidikan melahirkan jenjang wajib pendidikan dan pengakuan berupa “kertas ijazah”. Kelanjutan alur ini, dengan didukung campur tangan “pihak berwenang” yang memberikan penghargaan kepada sekolah berupa pensyaratan kepemilikan ijazah dalam lamaran pekerjaan, menempatkan sekolah seolah-olah sebagai kebutuhan dan kewajiban. Sekolah dan ijazah yang tadinya sebagai simbol yang mengacu pada belajar dan pendidikan dibuat berdiri sendiri ; pendewaan terhadap simbol. Dalam terminologi De Saussure, penanda (signifier) telah dilepaskan dari petandanya (signified), sehingga penanda tak lagi mengacu pada apa-apa selain penanda itu sendiri.


Sekolah Sebagai Sumber Kontroversi

Pada kenyataannya juga banyak kontroversi yang lahir sebagai akibat dari sekolah. Bermula dari kekerasan di Masa Orientasi Sekolah, Ospek Mahasiswa, kerancuan landasan ideologis, perdebatan pemenuhan aliran 20% dana APBN, sertifikasi guru, UU guru dan dosen, kapitalisasi pendidikan, dan masih banyak lagi persoalan lainnya. Penyebab mendasar permasalahan tersebut bisa dikatakan adalah ketidaktepatan menafsirkan belajar dan pendidikan dalam bentuk formalisasinya. Hal ini secara tidak langsung membentuk opini masyarakat bahwa sekolah (sebagai lembaga) adalah satu-satunya tempat untuk belajar dan mengais pendidikan. Seolah menahbiskan diri sebagai kewajiban manusia.

Sekolah yang memiliki pakem kurikulum yang timpang, antara pemberdayaan otak kiri dan otak kanan juga turut menyumbang kontroversi dalam masyarakat. Secara garis besar, otak manusia dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan, di mana otak kiri yang “berisi” logika-matematika, dan otak kanan berkaitan dengan estetika. Kedua belahan otak tersebut tentu saja harus diperlakukan seimbang jika ingin melihat perilaku yang seimbang. Melihat kenyataan, penekanan yang dilakukan oleh kurikulum hanyalah pada otak kiri. Mata pelajaran Seni Rupa, Seni Musik, Ketrampilan Tangan, selain diberikan dengan porsi yang demikian sedikit, juga mendapatkan reduksi menjadi satu Mata Pelajaran-Kesenian-saja. Belum melihat dari sisi Teknik Pengajaran menurut Psikologi Belajar Kognitif, Behavioristik, Kompetensi Staf Pengajar, penyediaan fasilitas pendukung, dan Jumlah siswa perkelas, sudah jelas yang terjadi masih jauh dari mendekati proporsi yang semestinya.

Akibat jangka panjang dari susunan kurikulum tersebut, barangkali sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ludwig Wittgeinstein “bahasaku adalah batas duniaku”. Bahasa yang terbentuk melalui pembiasaan kurikulum tentu tidak jauh-jauh dari bahasa yang bersifat kuantitatif. Artinya, apa yang terjadi tidak bisa lepas dari pengaruh proses pendidikan yang sebelumnya dijalani. Bermula dari semasa kanak-kanak, semenjak SD anak dibebani dengan kurikulum yang serba berlebih pada otak kanan mereka. “Bahasa angka” yang dikenalkan melalui pembiasaan dan proses pendidikan akhirnya terinternalisasi dan (lagi-lagi) mendukung pendewaan terhadap angka-angka dalam ijazah. Dan paradigma semacam itu sangat tidak komprehensif karena telah menafikan pertanyaan Abraham Maslow yang pernah diungkapkan, “mengapa sekolah mencurahkan perhatian begitu banyak pada angka-angka, nilai, kredit, dan ijazah, bukannya memusatkan perhatian pada pemahaman?”

Sejatinya, yang menjadi kebutuhan dan kewajiban adalah belajar, bukan sekolah. Jika pada akhirnya sekolah menempati posisi wajib, kesalahan yang jelas terlakukan ; pembalikan titik tolak logika! Menyelesaikan semua permasalahan yang bersumber dari formalisasi proses belajar dan pendidikan, seharusnya melihat dari titik tolak yang paling awal, bukan secara parsial. Maka pantas saja Ivan Illich menyusun buku berjudul “Bebaskan Anak-anak Dari Belenggu Sekolah”.


Ahmad Fahmi Mubarok

Pegiat Komunitas Embun Pagi (komunitasembunpagi.co.cc)

Tidak ada komentar: