online degree programs

Rabu, Juli 23, 2008

Kebijakan Itu Bernama PPA (analisis -of- kebijakan)

Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, Orientasi Kehidupan Kampus (OKKA) secara resmi telah diganti nama menjadi Program Pengenalan Akademik (PPA). Demikian yang terjadi di kampus Unnes. Perjalanan tarik-ulur yang secara eksplisit “terpotret” dalam demonstrasi di depan gedung rektorat Unnes pada Jum’at 20 Juni 2008, yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam forum Lembaga Kemahasiswaan seluruh kampus. Demonstrasi tersebut dimaksudkan sebagai pernyataan sikap atas pemberlakuan PPA. Hal serupa juga terjadi di kampus IAIN Walisongo Semarang beberapa waktu lalu, bahkan sempat dibumbui pembakaran ban dan penyegelan gedung rektorat oleh mahasiswa.


Kesan yang terlihat, (hanya) ada dua kubu dengan kepentingan tak sama yang saling berhadapan ; birokrat kampus dan mahasiswa. Tetapi bukankah sebuah kesan yang terlihat belum tentu sepenuhnya benar? Konsekuensi logisnya, tetap ada peluang berbagai kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi.


Salah satu pihak menganggap bahwa mahasiswa telah diberi banyak kesempatan untuk mengenalkan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru, tetapi kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Nyatanya cerita kekerasan fisik dan penghamburan uang demi penugasan neko-neko masih rajin muncul pada laporan surat kabar, jika awal tahun ajar tiba. Kegiatan orientasi selama ini dipandang tak bisa membantu mewujudkan kehidupan kampus bercorak akademis. Mahasiswa justru “lalai” dengan kehidupan akademik, karena turun ke jalan mengkritisi jalannya pemerintahan negara.


Di pihak lain, ada semacam perasaan “tidak terima” ketika ranah student government di campuri oleh mereka yang bukan student. Orientasi kehidupan kampus yang sedari dulu menjadi tanggung jawab mahasiswa kemudian diambil alih oleh birokrat universitas. Motto kegiatan Lembaga kemahasiswaan yang tadinya “dari, oleh, dan untuk mahasiswa” tidak bisa lagi dilaksanakan. Dan hal ini tak jarang dikaitkan dengan terancamnya harga diri, dan pengakuan eksistensi, yang kata Abraham Maslow merupakan salah satu kebutuhan manusia setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan kasih sayang tercukupi.


Terlepas dari perbenturan kepentingan antara kedua belah pihak, yang juga tidak menutup kemungkinan adanya fenomena “titipan” kepentingan dari pihak lain, PPA ternyata juga berbicara lain. Sebuah tindakan yang (mungkin) berniat baik, tetapi tak bisa lepas dari desakan kepentingan-kepentingan.




PPA; Hanya Efek Kecil


Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, penggantian format orientasi kehidupan kampus menjadi PPA, telah menimbulkan kontroversi. PPA ditujukan untuk mengenalkan kehidupan akademik yang ada di kampus universitas. Dengan demikian kehidupan kampus yang semula diibaratkan sebagai miniatur masyarakat sebagai pembelajaran mahasiswa sebelum menghadapi masyarakat sesungguhnya tidak lagi berlaku. Bukankah kehidupan masyarakat justru syarat dengan persentuhan arus intelektual, politik, ekonomi, juga keragaman budaya? Mencoba menyederhanakan kehidupan pada bidang akademis an sich berarti sebuah pemikiran yang tidak mengacu pada realitas masyarakat.

Format baru berupa pengambil alihan pelaksanaan kegiatan oleh universitas, pada akhirnya memaksa mahasiswa untuk tidak bisa berperan banyak. Mahasiswa tak bisa lagi berkreasi dengan kreativitasnya, melainkan hanya menjadi pelaksana lapangan yang mendapatkan kompensasi berupa “kertas bernilai beli” atas tenaga yang dikeluarkan. Format ini sangat riskan untuk disebut sebagai sebuah kerjasama, karena memang tidak sesuai dengan hakikat kerjasama itu sendiri.


Hal ini cukup sejalan dengan program wakil presiden dan menteri pendidikan Indonesia, bahwa sekolah harus bisa membekali warga Indonesia agar cepat mendapatkan pekerjaan. Tingginya angka pengangguran dan keterpurukan ekonomi mungkin menjadi alasan kuat lahirnya pemikiran semacam ini. Pendidikan diibaratkan sebagai pabrik pencetak robot pekerja; sebuah pemikiran yang instan dan tidak menghargai pentingnya sebuah proses.Sejatinya proses pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan diri, juga nalar (kritis) pelaku pendidikan.



PPA; Siapa yang Salah?


Dalam konteks PPA yang sedemikian kompleks ini, menempatkan kesalahan hanya pada satu pihak justru memperlihatkan kepicikan dalam melihat suatu permasalahan. Karena PPA termasuk kategori organized irresponsibility, meminjam istilah Yasraf Amir Pilliang. Artinya, rumitnya struktur birokrasi terkait sebelum diberlakukannya PPA, menjadikan pelacakan atas siapa yang sebenarnya bersalah juga menjadi rumit.


Tetapi bagaimanapun juga PPA telah diberlakukan. Mencoba untuk tetap khusnuzon, penyebab sesungguhnya mungkin kesalahpahaman dalam memahami makna belajar dan pendidikan. Kesalahan berpikir menyebabkan salah laku, dengan meletakkan peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa) menjadi sekedar obyek yang tidak diberikan kesempatan untuk memilih, apalagi berpikir sebelum memilih. Peserta didik yang juga manusia tidak diberikan kesempatan untuk berupaya menjadi manusia secara utuh.


Barangkali keterkaitan antara PPA dengan kesalahpahaman penafsiran belajar dan pendidikan memang terlalu jauh, apalagi keterkaitannya dengan positivisme yang telah menghegemoni kehidupan, sehingga menjadi sebuah dogma (hal ini juga menjadi sasaran teori kritis Max Horkheimer, Harbert Marcuse, Theodore Adorno, juga Jurgen Habermas yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt). Tetapi yang jelas, terlalu dini memperkenalkan orientasi “kertas bernilai beli” kepada mahasiswa, bukanlah tindakan bijak jika bermaksud mencerdaskan kedidupan bangsa. Karena dengan demikian hanya akan mengurangi bahkan, secara berangsur, menghilangkan nilai ketulusan dan kejujuran sebagai nilai-nilai moral manusia sebagai manusia seutuhnya.


Mungkin hal ini terdengar utopis dalam konteks kekinian, karena memang orientasi manusia untuk menggapai nilai-nilai ideal telah dipangkas menjadi sekedar orientasi temporer. Pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar, apresiasi menjadi konsumsi, kreativitas menjadi produktivitas, seperti yang dikatakan Goenawan Mohammad, adalah fakta.



Ahmad Fahmi Mubarok

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Habis diskusi dengan pak ali formen, kayaknya langsung nulis artikel ini fah? ini termasuk rational legal study or crtical legal study? Siapa piahk yang dinuntungkan fah?