Oleh : Muhtar Said*
Yogyakarta dan Jakarta merupakan dua kota besar yang telah berdiri sederetan kampus-kampus terkenal dan melahirkan tokoh intlektual yang disegani di dunia ilmiah. Lalu yang menjadi pertanyaannya bagaimana dengan Semarang? yang juga mempunyai perguruan tinggi seperti Unnes. Terlalu bermimpi untuk bisa mensejajarkan mahasiswa unnes bisa seperti mahasiswa yang ada di dua kota besar tersebut, jika tidak ada perbaikan dalam diri mahasiswa Unnes itu sendiri , yang dimulai dari detik ini.
Bukan maksud untuk mendiskriminasikan mahasiswa yang ingin menjadi pegawai negeri tapi alangkah mulyanya cita-cita tersebut jika dilandasi dengan wawasan intelektualias yang tinggi sehingga nantinya tidak gampang goyah jika ditempa suatu permasalahan. Untuk membangun pondasi tersebut tidak bisa hanya dengan mengandalkan perkuliahan formal saja tetapi juga didukung dengan lingkaran diskusi dan kemudian membuat karya berupa tulisan. Metode seperti inilah yang diterapkan mahasiswa di Yogja dan Jakarta, sehingga memunculkan cendekiawan-cendekiawan yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Mahasiswa Jakarta untuk mencerdaskan dirinya sendiri, mereka berlomba-lomba untuk membentuk lingkaran diskusi yang hanya terdiri beberapa mahasiswa, tapi itu dilaksanakan secara rutin, misalnya seminggu sekali. Sistem ini sagat efektif sehingga melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Cak Nur, Ulil dan masih banyak lainnya.
Jika di Unnes Madzhab buku dan cinta masih dipertahankan, penulis yakin akan bermunculan sarjana pengangguran lagi dan akhinya menambah beban pemerintah untuk membiayai hidup mereka. karena para lulusan tidak mempunyai bekal kretivitas untuk mengisi waktu pasca lulusan, misalnya menulis buku dan menulis artikael yang nantinya akan memberi keuntungan pada diri kita sendiri berupa kecerdasan dan profit. Dan hal seperti ini bisa dijadikan sebuah profesi sehinggga hidupnya tidak tergantung pada instansi negeri atau swasta. Kegiatan seperti itu secara tidak langsung juga bisa membantu Negara ini, yang masih mengalami krisis Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara menyumbangkan ide-ide baru lewan dunia tulisan atau Dialektika. Teringatkah kalingan tentang apa yang dikatakan Kenedy(Mantan Presiden USA) “ Jangan katakan apa yang Negara berikan kepadamu tapi katakanlah apa yang kamu berikan kepada negaramu”.
Penulis bukannya tidak memperbolehan mahasiswa untuk bercinta, tapi seharusnya cinta dijadikan pelecut semangat untuk selalu berkarya. Karena karya akan menambah kecerdasan seseorang. Jika kecerdasan sudah dalam genggama, secara otomatis harta dan cinta akan mencarinya, bukan dia yang mencari.
*Penulis adalah mahasiswa hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes),
Pegiat intelektualisme
3 komentar:
sepakat, mas Muhtar.
saya merasakan hal yang sama dengan anda. kuliah di sebuah sekolahan yang tidak pernah mengajari kita untuk BERPIKIR apalagi BERPIKIR KRITIS adalah sebuah 'karir' yang sama sekali tidak membanggakan. akibatnya, sekolah tidak lebih dimaknai sebagai berapakah IPK saya nanti di ijazah. karena hanya itu orientasinya maka kuliah yang semestinya mengajari orang untuk benar-benar 'belajar' malah jadi ajang kejar nilai. yang penting buat tugas, masuk kuliah tidak boleh kurang 75%, ikut ujian dan keluarlah nilai yang diharapkan.
belajar, oleh sistem di pergurun tinggi kita (bahkan sistem pendidikan nasional), direduksi hanya mendapat nilai. selesai.
belajar tidak dimaknai sebagai upaya pencarian ilmu pengetahuan. rasa ingin tahu pun ditekan. pertanyaan-pertanyaan apalagi yang kritis tidak ditanggapi bahkan kalau bisa dilarang bertanya kritis! padahal, pertanyaan kritis itulah sebuah wujud kongkret 'rasa ingin tahu' dalam ilmu pengetahuan.
karena rasa ingin tahu yang kritis tidak ada, maka tidak adalah orang yang berpikir.karena tidak ada yang berpikir maka otomatis tidak adalah budaya baca di situ. jadi, menurut saya mas, budaya baca itu hanyalah efek dari sebuah perwujudan rasa ingin tahu yaitu berpikir itu.
diskusi juga demikian.ia hanyalah efek dari kegelisahan, pencarian, rasa ingin tahu, ingin tahu apa yang sejati, yang sesungguhnya ada dan terjadi. orang jawa mengatkannya, opo to jan-jane?
oleh karena itu, diskusi tidak bisa 'pura-pura' digalakkan terjadi sebagai wujud 'citra' intelektual.diskusi yang lahir hanya untuk membentuk 'citra' adalah diskusi yang pura-pura. disamping diskusi tersebut tidak bisa hadir dengan tulus untuk mencari sesuatu, diskusi seperti itu pasti hanya kan menjadi ritual semata dan juga tidak bisa konsisten berjalan. sebagai contoh bisa kita lihat, hanya berapa kalikah diskusi atau seminar yang dilakukan oleh sebuah jurusan (katakanlah jurusan ilmu hukum,misalnya, dan jurusan-jurusan lainnya)dalam setahun? hampir dipastikan kita bisa menghitungnya dengan jari tangan saja.
begitulah saya kira, kalau diskusi hanya dimaknai sebagai ritual. apalagi jika dimaknai sebagai transfer sebuah 'dogma/doktrin'. ini lebih parah lagi. sebab, yang terjadi bukanlah usaha untuk mencari tahu, mencari kebenaran. yang terjadi adalah pihak yang satu merasa lebih tahu bahkan paling tahu dalam segala hal dan pihak yang lain dianggap kurang lebih tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali atas hal tersebut.saya kira letaknya disini pebedaannya dengan sebuah diskusi yang baik.diskusi yang baik hampir selalu mengandaikan posisi yang sama, setara, sederajat di antara para anggota diskusi.dengan demikian, masing-masing berhak bahkan harus mengutarakan pikirian, ide-ide, gagasan, wacana, keyakinan, dsb dalam forum tersebut. dengan demikian, yang satu jadi tahu atas pikiran yang lain.hal ini juga mestinya yang terjadi dalam relasi dosen-mahasiswa, guru-siswa, senior-yunior, dsb.
maka, menurut saya yang paling menarik untuk dilakukan di samping terus mengkritisi keadaan di sekitar kita adalah membuat ruang-ruang sendiri yang memungkinkan kita untuk terus bisa belajar terus.entah itu berwujud komunitas baca, komunitas pecinta buku, lingkaran diskusi, kelompok studi, dsb.
juga tak kalah penting adalah silaturahmi dengan yang lain (other/liyan. silaturahmi disamping sebagai upaya menjalin hubungan yang baik antar sesama, juga bisa maknai sebagai upaya mengukur kemampuan diri kita sendiri. hal ini dapat mencegah kita untuk menjadi sombong/angkuh karena merasa sudah melakukan yang luar biasa dan istimewa. padahal sesungguhnya hanyalah pernyataan 'katak dalam tempurung'.
begitu, mas. saya kira sebagai pengakuan atas keterbatasan dan ketidakmutlakan diri, etika kedaifan diri yang disampaikan dengan sangat baik oleh mas Goenawan Mohamad masih relevan.
terima kasih.
Gus taufik, komentarmu ini sudah layak untuk diposting secara independen dan mandiri tuk jgua dijadikan bahan naskah buku kita hehehe....tak tunggu naskah lainnya ya....
suatu pernyataan yang membuat saya tersenyum ...hidup dari negara...lupa negara dapat hidup dari mereka...
Posting Komentar