Oleh: Miftahul A’la
Gonjang ganjing di tubuh internal lembaga kejaksaan kembali mencuat dan menjadi perbincangan yang menarik oleh khalayak umum. Berbagai macam kebobrokan yang selama ini tabu sedikit demi sedikit mulai terlihat dengan jelas di mata publik, setelah beberapa oknum di dalam lembaga kejaksaan tersebut terseret dalam skandal kasus suap maupun tindak korupsi. Tragedi semcam ini tentunya merupakan sebuah ironi dalam lembaga kejaksaan itu sendiri. Lembaga yang seharusnya menjadi pelopor utama dalam pemberantasan kasus KKN dan mafia peradilan ini justru semakin mengabaikan tugas yang seharusnya diemban. Lembaga yang seharusnya menjadi garda depan dalam menangani masalah korupsi justru menjadi garda depan pula, namun dalam ranah melakukan tindakan yang melawan hukum seperti suap dan korupsi.
Gonjang ganjing di tubuh internal lembaga kejaksaan kembali mencuat dan menjadi perbincangan yang menarik oleh khalayak umum. Berbagai macam kebobrokan yang selama ini tabu sedikit demi sedikit mulai terlihat dengan jelas di mata publik, setelah beberapa oknum di dalam lembaga kejaksaan tersebut terseret dalam skandal kasus suap maupun tindak korupsi. Tragedi semcam ini tentunya merupakan sebuah ironi dalam lembaga kejaksaan itu sendiri. Lembaga yang seharusnya menjadi pelopor utama dalam pemberantasan kasus KKN dan mafia peradilan ini justru semakin mengabaikan tugas yang seharusnya diemban. Lembaga yang seharusnya menjadi garda depan dalam menangani masalah korupsi justru menjadi garda depan pula, namun dalam ranah melakukan tindakan yang melawan hukum seperti suap dan korupsi.
Keterlibatan langsung kejaksaan agung yang berperan aktif sebagai “pemain” dalam mafia peradilan dan kasus korupsi ini, tentunya akan semakin memerosotkan serta mencoreng citra kejaksaan baik di mata masyarakat maupun pemerintahan. Dapat dibayangkan, bagaimana kebobrokan yang terjadi dalam birokrasi pemerintah Indonesia, jika lembaga tinggi setingkat Kejakgung terbukti menjadi bagian praktik mafia peradilan, lalu bagaimana kondisi lembaga kejaksaan yang lebih rendah, seperti Kejati dan Kejari. Pasti dapat dipastikan kinerjanya tidak akan jauh berbeda dengan kinerja kejagung. Institusi kejaksaan saat ini mengalami krisis akan kepercayaan masyarakat Indonesia. Ibarat sebuah kapal di tengah laut, posisinya lembaga ini dapat dikatakan hampir tenggelam, hanya tinggal menunggu waktu.
Terkuaknya skandal kasus korupsi yang dilakukan oleh jaksa Urip Tri Gunawan semakin mempertegas kepada dunia publik, bahwa memang pada kenyataanya kejaksaan masih terlalu masif dan dengan seenaknya mengabaikan instruksi dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menciptakan tataran pemerintahan Indonesia yang harus bersih sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintah.
Perombakan Total Memang jika diruntut lebih jauh, praktik korupsi yang terjadi di tubuh internal kejaksaan merupakan persoalan krusial yang tidak pernah kunjung usai. Mengingat dalam sejarah perjalanannya, perilaku korupsi di kejaksaan bukanlah merupakan hal yang baru, bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mahfum. Bahwa dalam tubuh internal kejaksaan sering terjadi prilaku yang justru menyimpang dengan hukum yang berlaku. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kejaksaan, memperkuat kebenaran adanya korupsi yang dilakukan oleh oknum di lingkungan lembaga itu. Dan modus operansi yang dilakukan juga bermacam-macam.
Pergantian kepemimpinan dalam lembaga kejaksaan terbukti tidak serta merta mampu untuk merubah keadaan. Meskipun pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menganti ketua umumnya, namun kenyataanya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Nakhoda baru yang terpilih dalam tubuh jaksa agung yang seharusnya mengembalikan citranya kecemelang lembaga ini, ternyata kinerjanya tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Ada banyak indikasi yang tetap saja menunjukkan indikasi masih buruknya kinerja kejaksaan. Seberapa banyak dana yang berhasil diselamatkan untuk negara belum signifikan, tak transparan, dan akuntabilitasnya semakin hari semakin menurun. Kinerja lembaga kejaksaan masih tetap saja harus berurusan juga hukum Indonesia akibat tersandung di lubang yang sama.
Dalam keadaan tragis yang semacam ini, jadi yang harus dilakukan bukan hanya sebatas pergantian oknum mapun pemimpin yang diperlukan. Yang harus dilakukan adalah dengan segera merombak atau jika perlu harus dengan segera dilakukan sebuah “reformasi” total terkait sistem maupun oknum secara keseluruhan yang ada dalam internal lembaga kejaksaan tersebut. Hal ini harus dengan segera dilakukan, sebab sebanyak apapun pergantian kepemimpinan yang dilakukan oleh presiden, tidak akan pernah merubah keadaan jika hanya sebatas merubah tanpa melakukan perombakan total dalam tubuh kejaksaan. Sebab sistem yang ada sudah bobrok dan menjadi komoditas yang menguntungkan, dan harus diperbaharui dengan segera.
Peran Strategis Presiden Lembaga kejaksaan ini harus segera dibersihkan dari berbagai praktik yang memperjelek citranya dalam dunia publik. Selain itu, salah satu jalan keluar alternatif untuk membersihkan mafia kejaksaan yang akut itu adalah Presiden SBY sendiri harus dengan legowo untuk turun tangan dalam mengatasi persoalan pekik tersebut. Sebab sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin pemberantasan korupsi di Indonesia, SBY mempunyai peranan yang sangat strategis dan dapat mengambil tindakan luar biasa, yaitu merombak jajaran kejaksaan, membentuk tim khusus kepresidenan untuk mengawal proses reformasi di kejaksaan, memperkuat sistem pengawasan bersama dengan Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK), dan menaikkan remunerasi bagi jaksa.
Tindakan ini sangat penting mengingat kejaksaan merupakan bagian yang paling urgen dari pemerintah. Artinya, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan secara tidak langsung akan berdampak pula pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada institusi pemerintah. Hanya tindakan yang luar biasa dan sikap berani mengambil resiko tinggilah, yang mampu untuk menyelamatkan serta menjaga eksistensi institusi kejaksaan dari keterpurukan yang berkepanjangan. Sehingga mampu mengembalikan pamornya dan membuat institusi ini kembali dicintai oleh masyarakat.
Wajah kejaksaan agung kedepan harus dibangun berdasarkan dengan peningkatan kinerja penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Pemberantasan korupsi yang dilakukan bukan demi memperbaiki citra di depan publik, tetapi benar-benar berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan terhadap semua pelaku tindak pidana tanpa memperhatikan status yang disandangnya, termasuk para koruptor kelas kakap. Sebab bagaimanapun juga kejaksaan sebagai suatu lembaga penuntut umum dan eksekutor dari putusan pengadilan, Kejakgung merupakan ujung tombak sekaligus salah satu pilar yang paling penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain sebagai sandaran keadilan bagi berjuta rakyat Indonesia tersebut, lembaga kejaksaan ini merupakan simbol bagi tegaknya keadilan di negeri ini.
Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta. Hp. 081392627364
Tidak ada komentar:
Posting Komentar