Oleh: Miftakul Akla
Secara historis jika dilihat lebih jauh, pada hakikatnya universitas pertama kali dikenal dunia pendidikan dengan sebutan akademi. Suatu lembaga pendidikan di dunia yang pertama kali didirikan oleh Plato, seorang filusuf terkenal asal Yunani pada tahun 378 SM yang berada di suatu ladang buah-buahan di Athena. Dan di tempat ini pulalah para mahasiswa belajar berbagai ilmu, mulai ilmu filsafat, matematika, geometrik dan berbagai jenis ilmu yang lain.
Baru sekitar seribu tahun lamanya kemudian, setelah kelahiran akademi Athena ini, lahirlah berbagai lembaga pendidikan di berbagai belahan dunia. Semisal akademi Ghundishapur di Persia, Universitas Al-Ahzar di Kairo yang hingga sampai sekarng menjadi satu lembaga pendidikan yang banyak diminati para akademisi, serta berbagai universitas lainnya yang sebagian masih tetap eksis bertahan dan sebagian sudah hilang dan musnah seiring dengan perkembangan zaman. Menariknya lagi, dizaman dulu di tempat-tempat semacam inilah, menjadi ajang untuk berekspresi dan berkreasi. Antara senior dan yunior bertukar gagasan dan berdiskusi tentang berbagai macam fenomena di dunia tanpa ada perbedaan. Dan dimulai dari forum sekecil inilah, lalu lahirlah tokoh-tokoh intelektual terkemuka yang buah pemikirannya sampai sekarang masih tetap dipakai dikenang oleh masyarakat dunia.
Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada Universitas yang berdiri pada zaman itu, namun tetap saja Indonesia harus berbangga dan sedikit berbesar diri. Sebab bagaimanapun juga Indonesia memiliki berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu Universitas. Dan lewat universitas tersebut pula eksistensi Indonesia dapat diakui oleh dunia internasional. Dengan banyaknya jumlah Universitas di Indonesia, paling tidak akan mencerdaskan masyarakatnya serta membawa perubahan yang signifikan untuk ikut bersaing di era globalisasi seperti sekarang. Karena diakui maupun tidak, tujuan awal didirikannya universitas untuk membangun serta mengembangkan pendidikan yang ada dalam suatu bangsa-negara.
Namun sayangnya harapan masyarakat Indonesia untuk menuju perubahan belum dapat berjalan secara optimal. Ternyata banyaknya jumlah universitas di Indonesia belum mampu untuk mencetak kader-kader muda yang mampu untuk membawa perubahan ke arah yang diinginkan. Universitas yang seharusnya mampu menggodok serta membekali anak didiknya dengan berbagai macam wacana baru dan life skill yang memadai belum dapat dioptimalkan. Hal hasil, keberadaan universitas di Indonesia justru menjadi bumerang yang menghambat keberhasilan masa depan.
Minim Intelektualitas Jika berbicara mengenai mutu dan kualitas masalah pendidikan di Indonesia, pasti ingatan kita akan langsung tertuju pada kota DI Yogyakarta. Karena Yogyakartalah yang merupakan ikon terbesar di Indonesia dalam masalah dunia pendidikan. Di kota gudeg inilah yang secara kapabilitas banyak menjulang berbagai bangunan universitas. Mulai dari yang universita negeri maupun universita swasta, semuanya terpusat di tempat ini. Sehingga banyak kalangan yang mengatakan bahwa mutu, kualitas serta seberapa jauh perkembangan dunia pendidikan Indonesia dapat dilihat dari sejauh mana peranan instansi pendidikan di Yogyakarta dalam memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.
Beberapa dekade terakhir, mau tidak mau eksistensi serta peranan instansi pendidikan di Indonesia mulai diragukan dan digugat banyak orang. Benarkan peranan pendidikan yang diharapkan mampu untuk membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih makmur masih dapat diperhatikan? Atau hanya sebatas retorika untuk mengelabihi serta menyenangkan masyarakat kecil (Grassroot)?
Sebab peranan pendidikan yang katanya akan mensejahterakan ternyata akan kontras dengan berbagai fakta dan fenomena yang ada dilapangan. Bagaimana tidak pendidikan tenyata justru semakin memperbanyak jumlah pengangguran di Indonesia serta menyengsarakan. Bahkan bukan hanya sebatas S1 saja yang menganggur, namun sarjana S2 maupun S3 juga banyak dijumpai sebagai pengangguran di Indonesia.
Argumen ini tentunya bukan asal ngawur, sebab berbagai fakta itu diperkuat dengan penelitian sosiolog UGM Ari Sudjito (2008) yang menyatakan, bahwa sedikitnya sebanyak 21.000 orang lulusan S1 dan 2.663 S2 dari perguruna tinggi negeri mapupun swasta (PTN ataupun PTS) di DI Yogyakarta menganggur. Tentunya semua itu semakin memperjelas pada khalayak umum. Memang pada hakikatnya instansi pendidikan (Universitas) di Indonesia mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.
Menurut Agus Suwignyo (2007) sarjana lulusan Universitas di Indonesia secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Indonesia miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Indonesia. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universita. Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing dengan yang lain.
Intelektual OrganikBanyaknya penganguran sarjana lulusan universitas, tentunya merupakan fenomena yang menarik untuk diamati karena ia dapat dibaca sebagai akibat sekaligus bukti dari rendahnya mutu intelektualitas sarjana sekaligus sebagai kegagalan dunia pendidikan Indonesia.
Disinilah pemerintah serta masyarakat diharapkan untuk mampu mengembalikan eksistensi serta kualitas pendidikan Indonesia. Pendidikan yang mampu untuk melahirkan serta mencetak inteletualitas-intelektualitas muda yang dapat membaca kompleksitas persoalan masyarakat kekinian. Intelektualitas yang mampu melakukan berbagai pekerjaan transpormatif bagi kemajuan bangsa-negara yang oleh Antonio Gramsci di sebut dengan intelektualitas organik, yang berbeda dengan intelektualitas tradisional yang hanya terikat pada pakem akademis, serta jauh dari sentuhan masyarakat.
Berbeda dengan intelektualitas tradisional yang hanya bertumpu pada dunia akademis dan mendaur ulang yang sudah ada. intelektualitas organik mampu membaca tantangan zaman dan dapat mengambil keputusan demi kepentingan bersama serta dapat menemukan sesuatu yang baru. Karena intelektualitas organik mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kukuasaan serta dalam pengenrtian Friederich Nietschza kreatif sebagai manusia yang bermental tuan, Ubermench. Sehingga mampu untuk membawa perubahan serta membawa kesejahteraan bagi seluru masyarakat tanpa terkecuali.
Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS)
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.
Hp. 081392627364
5 komentar:
S1, S2, S3 Nganggur?
apa ndk malu ama para kapitalis?
yang ndk sekolah aja bisa berbuat banyak untuk org lain....
Bagi mental2 yg anti kapitalis...makan tu pengangguran!!!
Koment di atas yg bertanggung jawab adalah Giyanto....
Bagi yg keberatan silakan komen....
Saya antikapitalis...tapi saya gak nganggur tuh hehehe.....
amit-amit jadi kapitalis, bisanya menumpuk modal dan menginjak yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya....hihihi...
hops...
ya kalo ndak dari kapital, paling gajinya dari "cipratan" pajak rakyat...ops!
Posting Komentar