online degree programs

Sabtu, Juli 19, 2008

POLITIK KEBUDAYAAN NU?

11-13 Juli 2008, PWNU Jawa Tengah melaksanakan Konferensi wilayah (Konferwil) di Ponpes Al Hikmah, Siarampog, Brebes. Masyarakat NU Jawa Tengah merayakan sebuah pesta sekaligus sebuah momen refleksi.


Pesta sebab masyarakat NU akan melakukan pemilihan pengurus, sebuah pesta demokrasi. Konferwil kali ini digelar tepat setelah pesta yang lain, yaitu Pilgub Jawa Tengah. Konferwil kali ini, sebagai momen budaya, menjadi penting tidak bisa dipungkiri dikarenakan terjadi setelah momen penting politik tersebut. Konferwil kali ini juga menjadi ruang refleksi sebab banyak pertanyaan yang perlu dijawab oleh NU Jawa Tengah. Sampai saat ini, sejauh manakah kontribusi NU terhadap kehidupan warganya (nahdliyyin) pada khususnya dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya juga dalam Pilgub Jawa Tengah?


Sebagai sebuah momen budaya, Konferwil mempunyai posisi yang strategis dalam rangka mengevaluasi sekaligus merancang strategi politik kebudayaan NU. Khittoh 26 meneguhkan diri NU sebagai sebuah gerakan kultural bukan politik. Fakta sejarah ini mestinya selalu menjadi titik tolak setiap kebijakan yang ambilnya. Jika pun ia harus berhadapan dengan politik ia tidak menganggapnya sebagai sebuah politik dalam artian praktis dimana ia menjadi aktor. Ia akan menghadapinya dengan wajah budaya politiknya, khususnya etika politik yang diusungnya. Etika politik menjadi penting karena sifatnya yang menjaga jarak dari realitas politik. Etika politik mengawal proses-proses pengambilan hingga pelaksanaan kebijakan politik tanpa dia harus masuk di dalamnya. Oleh karenanya, ia mewujud menjadi cara berpikir kritis dan dengan demikian dapat mencegah ajaran yang dibawanya menjadi sebuah dogma yang ideologis. Posisi ini bukan disebabkan karena lari dari realitas tetapi merupakan suatu dambaan atas kemurnian semangat dan cita-cita sebuah gerakan kultural yang independen. Terlebih lagi, hal ini dapat juga menjaga kenetralan NU dalam menghindari tarikan-tarikan kepentingan politik tertentu warganya yang berafiliasi dalam berbagai macam aliran politik (partai politik).


Latar belakang peneguhan NU sebagai gerakan kultural tersebut mestinya membuat NU harus lebih menukik ke dalam upaya-upaya mengatasi persoalan-persoalan kebudayaan (suprastruktur) mulai dari budaya politik sampai budaya materialisme masyarakat. Mulai dari korupsi sampai politik uang di kalangan para kader NU sendiri. Dari masalah pendidikan misalnya, bagaimana sikap NU terhadap kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Bagaimana sikap NU terhadap BLT, kenaikan harga BBM, dan masalah-masalah lainnya yang justru berkaitan langsung terhadap kehidupan masyarakat khususnya nahdliyyin.


Konsentrasi politik kebudayaan dengan cara menjaga jarak dari politik praktis akan mampu membuat penilaian dan pengawalan yang dilakukan NU menjadi lebih independen. Oleh karenanya, ia mempunyai pengaruh secara sosial yang kuat dan berwibawa. Tidak terpenuhinya syarat ini mungkin menjadi sebab utama mengapa sepertinya NU saat ini baik di wilayah cabang, wilayah bahkan pusat tidak dapat melakukan bargaining yang kuat dengan pemerintahan yang ada. Hal ini dikarenakan oleh lemahnya kewibawaan dan dengan demikian pengaruh sosial yang ditimbulkannya pun menjadi lemah. Mungkin jalan tengah konsentrasi pada aras kebudayaan dalam bingkai etika politik inilah yang dapat menjadi pilihan terbaik bagi NU di tengah tarikan antara pragmatisme politik dan idaman idealisme gerakan kultural NU.


Dalam konteks JawaTengah banyak sekali garapan soal-soal kebudayaan yang harus dijawab NU. Dalam politik misalnya, NU harus bisa mengawasi kinerja Gubernur Jawa Tengah yang baru dan budaya politik yang dibawanya. Budaya korupsi yang menjadi kian tak terhentikan di kalangan pejabat. Advokasi NU Jawa Tengah terhadap isu PLTN di semenanjung muria. Persoalan strategi ekonomi pertanian di desa-desa. Bagaimana sikap NU dalam rangka perlindungan hutan dan alam. Bagaimana NU dapat menciptakan budaya-budaya tandingan melawan hegemoni budaya-budaya pop yang kian menjauhkan masyarakat dari tradisi-tradisi yang utama. Dalam menyikapi hegemoni wacana oleh media massa bagaimana NU bersikap. Belum lagi dalam persoalan dialog antar kelompok dan kepentingan. Netralitas NU pastilah menjadi kunci dalam soal komunikasi lintas budaya, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang harus dijawab NU.


Hal-hal tersebut kiranya hanya dapat terjadi jika para pengurus NU di tingkat apapun saja mampu mengembangkan amanahnya dengan baik. Kriteria baik secara formal adalah menjalankan NU sebagaimana diamanatkan dalam AD/ART khususnya dalam hal disafiliasi NU terhadip aliran politik tertentu. Jika syarat itu tidak dilaksanakan NU dengan sendirinya akan kehilangan kekuatannya disebabkan oleh pengurusnya yang sibuk mengurus kepentingan politiknya masing-masing.


Justru disinilah kemudian soal muncul. Sebab, jangan-jangan yang terjadi selama ini adalah NU (para aktornya) yang sebenarnya ingin menjadi pemecah masalah justru menjadi bagian dari masalah-masalah yang ada. Misalnya, tidak sedikit pengurus NU yang masuk ke partai politik dan kemudian terbukti melakukan korupsi. Tidak sedikit kyai-kyai NU yang menggadaikan keulamaannya demi memberikan dukungan ke salah seorang calon gubernur/bupati dengan imbalan sebuah mobil mewaah dan amplop yang sangat tebal (materialisme). Dalam pendidikan, banyak madrasah NU yang ikut-ikutan memanipulasi nilai UAN siswa-siswinya agar pada tahun ajaran mendatang tidak kehilangan kepercayaan masyarakat dalam menyekolahkan anaknya, dan sebagainya.


Demikianlah jika NU yang ingin memecahkan masalah ternyata justru menjadi bagian dari masalah tersebut. Oleh karena itu, prioritas pada soal-soal kebudayaan (suprastruktur) tanpa mengabaikan sama sekali wilayah poltik (infrastruktur) inilah yang harus menjadi tekad yang membaja. Lebih-lebih pada persoalan spiritual yang meliputi nilai-nilai kehidupan tentang kesederhanaan, keikhlasan, ketulusan, dll. Nilai-nilai ini harus digalakkan kembali setelah lama seperti tak pernah disuarakan, tentu saja, tanpa meninggalkan gerakan intelektual yang selama ini telah berkembang demikian pesat di kalangan NU khususnya generasi mudanya.


Akhirnya, prioritas perjuangan politik kebudayaan NU juga perlu didasarkan pada prioritas jangka panjang khususnya terhadap pendidikan generasi mudanya. Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan ketidakterputusan sejarah harus meliputi seluruh jajaran pengurus dan masyarakat NU. Untuk itulah visi-visi progresif pengurus yang cerdas akal dan batinnya merupakan syarat yang harus dipenuhi. Demikianlah, pada akhirnya NU tidak akan dapat memperbaiki diri kecuali oleh dirinya sendiri.



Taufiq






Tidak ada komentar: