‘Makan Itu Seni’, kira-kira begitu bunyi sebuah pernyataan seorang artis di sebuah koran ibu kota beberapa hari yang lalu. Artis itu menceritakan hobinya mencari makanan yang lezat. Saya bayangkan sambil berkeringat saking semangatnya dia menceritakan hobinya itu. Saya juga membayangkan dia juga menyebutkan seluruh nama-nama restoran mewah di Jakarta, bandung, semarang, jogja, manado, medan, apalagi bali. Pokoknya semua nama-nama beken restoran hampir di seluruh Indonesia. Bahkan mungkin juga dia ceritakan lezatnya makan pizza di italia, atau makan kacang godok di bawah Eiffel, atau dia ngopi di sampil sungai Nil di Mesir sana. Wah, pokoknya wartawan yang mewawancarainya pastiah wartawan yang sangat sabar. Sebab, untuk menyebutkan nama-nama itu semua ia mebutuhkan hampir 24 jam kurang sepuluh menit buat sesekali ke belakang. Belum lagi dia juga mengeluarkan daftar nama-nama warung tradisonal yang rencananya akan dia kunjungi. Yah, biar disebut merakyat oleh fans-nya yang rata-rata orang miskin dan bodoh itu. Lalu, wartawan-wartawan infotainment baik cetak maupun elektronik segera dihubungi oleh pihak manajemen untuk mengikuti acara petualangan hobi itu. Yah, barangkali saya membayangkan berlebihan tetapi terus terangs hanya satu hal: saya tersinggung!
Sebagai pengangguran yang mempunyai tanggungan satu istri dan dua anak, saya setiap hari harus sedikit demi sedikit mengeluarkan hasil pesangon phk dari ‘perusahaan’ kue bolu yang gulung tikar kemarin. Uang itu mau habis. Istri saya harus pintar-pintar betul memilih sembako. Beras harus yang kelas paling murah saja. Lauk saban pagi tempe saja. Sorenya juga tempe lagi. Malemnya kalau ada sisa saja. Besok paginya lagi, lauk kami baru; tempe diangetin. Aduh, apalagi kalau bapak kontrakan tiba-tiba datang menagih bulanan. Dalam situasi yang demikian biasanya kami terpaksa berpuasa. Yah, itung-itung semacam pengampunan dosa begitu. Sembahyang kami kadang ya bolong-bolong. Sebab perut yang keroncongan tak bisa diajak kompromi buat konsentrasi solat. Ampun, Gusti.
Yah, begitulah keadaan saya. Pokoknya, kalau saya ceritakan detail-detail bagaimana kami makan anda dijamin ndak doyan makan. Belum lagi keadaan kontrakan saya itu. Hanya sebuah kamar berukuran 2x2 meter dengan wc atau tepatnya jamban umum yang kalau disiram air ‘itu’nya ndak mau masuk-masuk. Coba anda bayangkan 101 orang dewasa belum lagi anak-anak kecil hanya dengan satu jamban yang sudah bertahun-tahun tidak pernah disedot. Hi hi….
Ah, begitulah yang kami lakukan sehari-hari. Sebenarnya bukan ini yang saya dambakan dulu ketika datang dari desa. Saya pengennya ya tinggal di apartemen-apartemen begitu. Makan di resto-resto. Mobil banyak kalau bisa lebih banyak mobil daripada banyak anak. Tapi, kenyataan memang pahit saudara-saudara. Kadang kalau tidak ada anak dan istri rasanya saya ingin menangis saja. Ingin menjerit sekeras-kerasnya meluapkan apa yang mendongkol di hati ini. Tapi saya sadar di hadapan istri apalagi anak-anak saya harus mengendalikan emosi saya. Ah, tapi kadang tanpa saya sadari saat tertidur saya bermimpi saya bisa menjerit-jerit sepuas-puasnya sekeras-kerasnya. Ternyata, jeritan itu benar-benar keluar dengan nyata! Seisi rumah bangun, seluruh kampung geger bahkan konon jeritan saya itu sampai di istana-istana negar, gedung-gedung pemerintahan, wakil rakyat, perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan konon lagi orang-orang di kampung saya yang jauh di pedalaman banyumas jawa tengah itu juga mendengar jeritan itu. Itu saya tahu sebab emak saya langsung mengirimkam adikku yang ndak lulus sma itu untuk mengecek keadaanku. Seketika itu, kata adikku, emakku langsung menangis dan bersujud di dahapan gusti kang murbing dumadhi memohonkan kemudahan bagiku, bagi keluargaku. Yah, begitulah kalau keinginan untuk ingin pulang seperti tak tertahankan. Tapi bagaimana lagi saya sudah terlanjur malu.
Tapi, begitulah. Ternyata yang bener-bener jeritan yang nyampe itu ya hanya yang ke emak di desa itu. Selebihnya seperti jeritan-jeritan aneh yang langsung menjadi pemberitaan utama di koran-koran esok paginya itu yang masuk ke gedung-gedung tadi ternyata ndak benar-benar nyampe. Hanya menabrak-nabrak dinding. Selebihnya bisu.
Yah, begitulah saudara-saudara. Keadaan yang sebenarnya tidak ingin saya ceritakan pada siapa-siapa. Ini rahasia kita saja ya.
Lha, kok pagi itu pas saya sedang menunggu kereta ekonomi non ac yang nggak datang-datang itu habis seharian cari kerjaan, di koran yang tak bisa saya beli itu si artis bilang begitu itu. Makan itu seni! Makan itu seni! Tai, kata saya. Saya langsung tidak sadarkan diri. Saya langsung merebut koran itu. Saya robek-robek koran itu tanpa ampun. Saya marah. Saya tersinggung. Saya ndak peduli. Saya marah. Saya lari. Lari terus. Terus. Menabrak apa saja. Saya tidak peduli semuanya. Saya tidak peduli pada anak. Pada istri. Pada emak. Saya terus berlari. Saya meradang. Saya berteriak-teriak di tengah rel. Saya menantang bahkan angin bahkan presiden bahkan tuhan. Dan menyambarlah kereta itu….
Taufiq
Sabtu, Juli 19, 2008
‘Makan Itu Seni’
Label:
kotemplasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
lho, makan itu politik mas!!!!
hwhwhe....
yg bener, makan tu nasi!
tragis........tapi realistis
Posting Komentar