online degree programs

Kamis, Juli 03, 2008

Pinggiran yang Tak Berpusat

Pinggir adalah tepi, yang sudah tentu bukan tengah. Dalam olahraga panahan, berhasil memanah di tengah-tengah berarti mendapatkan nilai yang paling tinggi, semakin ke tepi, nilai semakin sedikit. Tepian serabi selalu tipis, kaku, gosong, dan pahit, tak seperti bagian tengah yang tebal serta tempat semua gula berkumpul. Dalam suatu tayangan demo memasak TV swasta, ketika memasak dengan bahan dasar roti tawar, maka tepian roti dibuang, karena mengurangi keindahan. Pinggir tidak indah.

Ketika Iwan Fals melekatkan istilah pinggir pada manusia, melalui lagu ”Orang Pinggiran”, tentu sang pengarang telah melihat orang-orang yang berada di pinggir(kan).

Orang pinggiran
Ada di lingkaran
Berputar-putar
Kembali ke pinggiran


Mungkin bagi Iwan Fals, orang pinggiran adalah mereka yang terkena dampak paling besar ketika terjadi guncangan di pusat, sementara ketika area pinggir hilang, tak ada dampak apapun yang dirasakan pusat. Dari sini terlihat bahwa pinggir adalah bagian yang tak diperlukan. Bagian pinggir adalah bagian pertama yang dijadikan tumbal.

Tetapi hal yang berbeda terjadi dalam sepak bola. Ronaldinho, Frank Ribery adalah seorang playmaker, pengatur irama permainan, yang lebih suka beroperasi di sayap (pinggir). Mereka menunjukkan jalannya irama permainan tak harus berada di tengah, mereka memindahkan titik pusat. Mereka menunjukkan bahwa pinggir pun bisa menjadi ”pusat” permainan. Di sini pusat menjadi hal yang sangat relatif.

Dalam drama reformasi 1998, banyak orang-orang yang muncul dan dianggap sebagai tokoh reformasi, pada akhirnya menjadi bagian dari pusat. Hal yang tak biasa terjadi ketika itu, sosok Cak Nun yang mendeklarasikan diri untuk siap untuk tidak menjadi apa-apa, tetap menepati ucapannya. Menepikan dirinya, dan memilih menjadi seorang yang lebih dari Frank Ribery maupun Ronaldinho. Cak Nun tak berusaha memindahkan pusat, biarlah pusat berada di tengah, mungkin begitu pikirnya.

Seorang Gunawan Muhammad juga dilengserkan dari pucuk Tempo, meskipun tetap diberikan kompensasi untuk berbisik di halaman terakhir. Kolom yang dinamai ”catatan pinggir” itu memang benar-benar berada di pinggir. Terlepas dari ”cerita kelam” tentang penulisnya, kolom ini, bisa dikatakan telah menjadi nyawa Tempo. Mungkin kebanyakan konsumen majalah tersebut mengeluarkan lebih dari 15.000 hanya untuk membaca kolom catatan pinggir (harga resmi Tempo 24.700). Dengan begini, Gunawan Muhammad bisa disamakan dengan Frank Ribery ataupun Ronaldinho.

Akan tetapi semua tentang tengah, pinggir, maupun pusat di atas, serasa tidak relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Semua orang merasa dipinggirkan. Bahkan ”orang-orang pusat” tak merasa dirinya sebagai ”pusat”, melihat posisinya yang justru selalu dipojokkan. (secara tidak langsung terlihat dari pernyataan Presiden tentang BBM beberapa waktu lalu). Apalagi bagi mereka yang bukan pusat, selain memang tak pernah merasa sebagai pusat, mereka juga tak berhak untuk merasakan itu. Di sini, pusat dan pinggir bukan permasalahan tengah atau tepi. Entah permasalahan apa, ada baiknya jika bertanya pada Wiji Thukul Wijaya.

Ahmad Fahmi Mubarok.

6 komentar:

Said Hukum mengatakan...

Keren..........
Supaya tidak ada gep-antara pusat dan pinggiran
seharusnya semua orang yang hidup dinegara ini.harus mempunyai prinsip.
"Jangan katakan apa yang negara berikan kepadamu tapi katakanlah apa yang kamu berikan kepada negaramu"

Anonim mengatakan...

Negara?
Kata-Kata itu sudah Kuno Id, saya malah punya kata2 yg lebih kuno lagi,he2:

seorang pemikir Prancis, Bastiat mengatakan:
"banyak orang ingin hidup di atas biaya negara, mereka lupa, negara itu sebenarnya hidup di atas biaya semua orang".

Jadi, negara itu sebenarnya parasit!

Anonim mengatakan...

mas Gie, yang jenengan tulis itu pengetahuan mas Gie, atau sudah sapai pada sikap mas?

Anonim mengatakan...

sebisa mungkin diusahakan untuk menjadi sikap, sekedar baru diusahakan....karena seperti kata2 ahli psikologi,he2...
pikiran menjadi tindakan,
tindakan menjadi kebiasaan.
dst. dst. dst....

Anonim mengatakan...

mungkin tentang eksistensi dan esensi

Anonim mengatakan...

wah, mumet kalo mbahas psikologi "ilmiah". Mending psikologi populer ak lebih mudeng: sejenis sevent habitnya Covey gitu....he2..