online degree programs

Senin, Juli 14, 2008

Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-pertanyaanku Ini Jika Kau Mencintaiku (Surat buat Goenawan Mohamad)

Mas Goen,

Akhir-akhir ini aku meresahkan sesuatu. Di zaman yang sulit ini aku masih berharap sastra dapat berfungsi membantu mengatasi krisis. Yah, sastra dapat membantu orang mendapatkan makan, harga bbm yang terjangkau, pendidikan yang baik, angkot yang murah, dan kesehatan yang terjangkau. Atau paling tidak ia dapat menjadi tumpahan batin mereka yang tertindas. Intinya sastra dapat berfungsi bagi sebanyak-banyak manusia bukan hanya mereka yang rajin mengunjungi gedung kesenian dan kolom puisi akhir pekan di koran-koran itu. Mengapa tiba-tiba aku menginginkannya? Mungkin kamu mengganggap keresahanku ini sebagai keresahan yang terlalu mengharap, kekanak-kanakan. Kukira-kira jawabanmu, sastra mesti universal. Sastra tidak bertendens. Sastra adalah tempat dimana daun-daun yang bergugurun layak dirayakan dan juga kesepian malam yang tak bertepi. Aku membayangkan kamu menulis puisi liris itu dengan begitu romantis di temani buku-buku dan lampu itu. Tetapi bayangan akan anak-anak di gerbang kereta bogor-jakarta itu tak mau pergi dariku. Ia tak mau pergi.


Lalu mas Goen,

Aku teringat bayangan-bayangan masa laluku. Yah, aku adalah seorang pembaca setia Pram. Tentu kau tidak akan pernah lupa orang ini bukan? Dengan mata tanpa pejam tiga hari tiga malam aku khatamkan tetralogi buru di masa sma dulu. Di pesantren, malam harinya dini harinya, di sebelah deretan kitab-kitab kuning itu kubaca habis Pram. Aku terbawa oleh semangat kemanusiaannya. Sebagai seorang anak desa dari kampung yang jauh yang tak akan pernah mendapatkan bacaan macam ini di desanya, aku adalah orang rakus. Yah, aku masih ingat buku itu kupinjam tidak dari perpustakaan sekolah atau kabupaten. Sebab, disana tak ada karya-karya Pram dipajang. Aku pinjam dari mas-nya temenku yang kebetulan datang jauh dari sekolah di UI, beli di kwitang katanya. Masa-masa itu harus kuakui aku tidak mengenalmu. Meski puisi-puisimulah yang diajarkan di buku-buku resmi sastra Indonesia yang baik dan benar.


Sebagai seorang bocah, kami diajari untuk menafsirkan puisi-puisi surealis yang abstrak. Tahukah kamu, itu adalah pelajaran termuak selama karirku sebagai seorang siswa. Melebihi kemuakanku pada matematika. Sebab, matematika masih bisa kumengerti ada alasan tentang logika, dan lain-lain. Tetapi, menafsirkan kata-kata yang tidak jelas maksud tujuannya ditulis. Pekerjaan yang aneh. Pertanyaan itu selalu meliputiku; mengapa aku harus mengerti kata-kata yang disimpan oleh penulisnya sendiri dengan sengaja? Mengapa sebuah puisi yang hanya ingin merayakan sesuatu (yang kelak aku tahu Alain Badiaou mengatakannya sebagai event atau peristiwa dalam bahasamu) harus kami baca dan tafsirkan? Dan setelah aku belajar sastra dan hingga sekaranag aku masih tidak mengerti mengapa kami harus bersusah payah menafsirkan kata-kata yang begitu tersembunyi maknanya? Sebab, bukankah kau dan aku ada di ruang yang begitu berjarak. Sebab, bukankah puisi sudah tidak berada lagi di dalam kamar sehingga kau bisa menikmati sendiri sambil mendengarkan John Lennon. Aku tambah tidak mengerti kemudian ketika kulongok puisi-puisi di koran-koran. Mengapa macam puisi sepertimu yang hanya ditampilkan di koran-koran?


Sebagai anak SMA dan kini setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi jurusan sastra, aku tidak mengerti. Kecuali bahwa ini adalah urusan hegemoni. Kekuasaan sebuah rezim sastra. Mengapa bukan puisi yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang yang menyuarakan hati nurani yang ditampilkan? Mengapa puisi temanku yang lugas---yang bercerita tentang bapaknya yang seorang petani yang tidak pernah bahagia karena harga beras yang dipanennya tidak pernah membalikkan modal---tidak pernah dimuat di koran-koran? Mengapa puisi yang hanya dibaca oleh segelintir orang---dan aku menduga mereka juga menduga-duga apa maknanya---dianggap sebagai sebuah produk peradaban umat manuisa yang gemilang? Manusia yang mana? Yang rajin datang ke pentas-pentas teater dan pembacaan puisi yang digelar setahun dua kali itu? Bahwa aku juga bisa menikmati puisi itu, iya aku bisa, tanpa harus kumengerti maknanya. Bahasamu dan bahasa-bahasa puisi itu yang begitu liris dan romantis. Mudah bagiku mendapatkan feelnya. Bahkan aku bisa menuliskan yang demikian berlembar-lembar, berbuku-buku. Lirih dan romantis adalah kesukaanku. Hanya saja, aku ada rasa tidak berterima dengan banyak kenyataan bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah ditampilkan di koran-koran di gedung-gedung kesenian seakan-akan ingin menyatakan bahwa hanya yang seperti inilah yang dianggap sah sebagai sebuah puisi, sebuah karya seni. Puisi-puisi yang tidak sesuai dengan selera redaktur sastra, yang tak lain juga pastilah dia penggemarmu dan juga orang dekatmu itu, bukanlah puisi. Yah, kalaupun puisi pastilah dia puisi nomor dua puluh tujuh, puisi yang tidak baik. Tidak baik? Bukankah kau adalah penganjur ulung tentang relativisme dan kedaifan diri dan terbatasnya tafsir di Indonesia ini? Atau kau telah lupa apa yang kau tulis di Catatan Pinggirmu itu. Atau kau lupa ajaranmu sendiri tentang harus manunggalnya tutur lan lampah, kata dan laku itu. Terus terang aku tidak berterima dengan ini. Tiba-tiba lintasan bayanganku ingin kembali pada masa lalu. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana jadinya jika yang berkuasa bukan Soeharto yang di backup Amerika melainkan Soekarno.


Mas Goen,

Kadang-kadang aku pikir kamu adalah seorang munafik, oportunis. Dulu ketika Soekarno berobsesi menjadikan seni dan sastra untuk revolusi kau melawannnya dengan Polemik Kebudayaan itu. Kau melawan penindasan. Dengan teman-temanmu itu kau bak pahlawan melawan sang proklamator (sungguh aku tidak enak menyebutnya sebagai diktator. Dia adalah sastrawan yang sebenarnya menurut pengertianku. Sebab, bagiku jasanya bagi lebih banyak manusia di Indonesia ini masih lebih tak terhingga dari pada jasamu). Yah, kau memang seperti orang bermuka dua. Atau memang demikian seperti yang kau akui dengan etika kedaifanmu itu. Yah, itu dulu. Ketika kau masih berumur dua puluh tiga tahun. Ketika kau masih muda dan belum mempunyai pengaruh, kekuasaan intelektual, jaringan dan uang yang banyak tentu saja. Dan kini dengan segala kepentingan dan jejaringmu yang sudah menggajah kau tak berdaya. Meringkuk sendiri di bawah kasur. Dan sejarah memang rada berpihak padamu. Soekarno tumbang Soeharto naik. Betapa bencinya Soeharto terhadap puisi-puisi pembertontakan, puisi perlawanan revolusi yang masa Soekarno dulu digalakkan bahkan diharuskan. Kau datang menawarkan sastra universal sastra yang tidak bertendens sastra yang tidak berpolitik. Dalam puisi dia menjadi puisi liris yang menurutmu mengakui kedaifan sebagai manusia. Atau kadang aku pikir adalah hanya pelarian karena ketakutan tidak punya keberanian melawan. Dalam novel cerpen dia adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam bahkan oleh siapapun saja kecuali oleh penulisnya sendiri. Atau mungkin juga tidak, sebab si penulis juga menulis sambil ngantuk atau sambil mabuk. Tetapi karena kelihatan surealis puisi itu di muat di koran-koran. Yah, di masa orde baru itu kamulah yang menjadi model penyair yang baik. Yah, kamu dan orang-orang di lingkaranmu. Bukan Pram. Bukan Pram. Lalu, berikan aku satu alasan mengapa kau bukan seorang munafik. Sebab, setelah kau dan teman-temanmu menjadi penguasa rezim sastra Indonesia yang baru. Yang menampik liyan dengan tidak memberikan ruang bagi puisi-puisi yang kau anggap tak bermutu. Yang menguasai pusat-pusat kebudayaan. Yang menguasai sastra di koran-koran. Bukankah ini juga sebuah bentuk penindasan? Bukankah ini juga sebuah penjajahan bahkan secara nyata? Belum lagi jika ini harus kuhubungkan dengan agenda-agenda besar ideologi di belakangnya. Siapakah di belakangmu di belakang Utan Kayumu itu? Mengapa kau tidak pernah berbicara tentang Ford, Taff, CIA, Amerika, dan lain-lain. Seperti minggu lalu aku masih ingat kau menulis di Bentara tentang Seni, Politik dan Emansipasi. Semuanya kau tulis dari Lekra sampai Polemik Kebudayaan hampir satu halaman penuh. Satu halaman hampir penuh. Tetapi, yang tidak kau tulis adalah alasan mengapa kau bisa menulis satu halaman hampir penuh di sebuah harian besar dan oleh karenanya bisa dibaca berjuta-juta orang dan mengapa tidak puisi-puisi Wiji Tukul di halaman itu yang karena puisi pembelaannya pada mereka yang tertindas dia hilang entah dimana? Mas Goen, jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini jika kau mencintaiku.


Mas Goen,

Di kamar sambil lengang-lengang dengar John Lennon, aku bisa menangis sesenggukan sendirian membaca puisi-puisimu. Tapi ketika tiba-tiba aku berada di gerbong kereta itu di stasiun di jalan-jalan di metromini di trotoar puisimu tiba-tiba menjadi suara yang sama sekali jauh. Di udara. Ketika di depan mata kita ada orang berteriak lapar apakah puisimu dapat membantu paling tidak sebagai cermin yang memantulkan kegelisahan kesedihan suara hati mereka yang miskin yang tidak dapat makan yang tidak bisa membayar uang sekolah yang bunuh diri karena malu tak bisa memberi uang jajan anaknya yang yang yang yang..... Aku tidak akan menyalahkanmu sepanjang kau juga memberi ruang bagi puisi-puisi yang lain. Menghargai yang lain. Merayakan perbedaan yang katanya rahmat itu. Kukirimkan surat ini sebab aku mencintaimu. Sebab, apakah berpikir merupakan sebuah tindak kriminal?


Mas Goen,

Aku memang seorang utopis yang buruk. Aku membayangkan di koran-koran itu di pusat-pusat kebudayaan itu juga terpampang puisi-puisi yang lain semacam puisi realisme sosialis itu atau apapun itu namanya segala yang bernama 'lain' dari mainstream. Ingatkah kau pada Habermas yang juga pasti sudah kau katamkan bahwa represi atas sebuah kepentingan juga merupakan kepentingan. Juga kau. Juga aku yang menulis surat ini. Namun, mas Goen. Jika kepentingan itu hanya didasarkan (aku khawatir) hanya karena kepentingan eksistensi personal masing-masing dan mungkin juga eksistensi sebuah rezim sastra yang ingin menghegemoni semua ruang kebudayaan dan bukanlah disandarkan pada sebuah kepentingan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lebih transenden yang lebih tinggi semisal kemanusiaan, kesederajatan, keilahian, dan lain sebagainya dan oleh karenanya kita berharap untuk tidak mengharapkan apa-apa kecuali yang abadi, di luar hal-hal yang fana semisal pengaruh, popularitas, keyaan, pengakuan dan lain sebagainya. Mas Goen, jika kau mencintaiku maka jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini.


Tapi aku sadar mas Goen, kita lahir di zaman yang berbeda. Kau lahir di zaman ketika. puisi-puisi banyak dibakar tanpa alasan yang kau mengerti. Sedang aku lahir di zaman ketika di trotoar orang meronta-ronta minta makan karena sudah berhari-hari lapar. Tetapi di sebelahnya sedan-sedan termahal di dunia melaju seperti tanpa perasaan. Mengerikan. Sepi. Seperti tidak manusia. Juga dengan alasan yang tidak aku mengerti.



Taufiq

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah wis mirip Goenawan Gus....

Anonim mengatakan...

sendu dan lalu aku terharu.. he he he..