online degree programs

Selasa, Juli 22, 2008

Pimnas, Disorientasi Intelektualisme

Oleh Edi Subkhan*

Ironis, namun hal ini sebagaimana yang penulis duga terjadi pada banyak ajang gelaran nasional yang melibatkan banyak pihak dengan dana besar dan –dapat dikatakan-cukup prestisius, yakni terjadinya kecurangan, manipulasi, untuk dua tujuan, prestise dan materi. Hal yang sama terjadi di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXI di Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pekan ini.

Disinyalir sebesar Rp. 131 juta berupa biaya akomodasi yang mestinya menjadi hak mahasiswa akan dimanipulasi untuk ambil untung dari panitia, namun upaya itu gagal karena kecurigaan beberapa mahasiswa yang diminta menandatangani bukti setoran itu (Media Indonesia, 20/7/08). Hal ini setidaknya menandakan buruknya mentalitas oknum panitia, bukan tidak mungkin manipulasi dan kecurangan juga terjadi para ranah yang lain dari Pimnas, yakni sistem penilaian, penjurian. Lebih jauh lagi adalah kualitas intelektual para penyelenggara, komitmen pada intelektualitas, bukan sekadar prestise dan glamor intelektualitas borjuis.

Walaupun ajang Pimnas selama ini masih belum mendapat liputan yang memadai dari media massa, dan jelas kalah jauh dari glamor kontes-kontesan seperti entrepreneurship di MetroTV beberapa waktu lalu, idol-idolan di RCTI, Indosiar, dan TPI, pun juga tidak sesahih penilaian dari BAN PT dan EPBSD, namun Pimnas cukup prestise bagi kampus-kampus untuk mencitrakan dirinya “berkualitas”. Jika ditilik dari kajian budaya (cultural studies), maka dalam belitan budaya pop yang menganggap penting sebuah pencitraan diri sebagaimana simulakra Baudrillardian (1983), maka citra diri seseorang sangat penting, begitu pula citra diri perguruan tinggi. Citra “berkualitas” yang menjadi obsesi perguruan tinggi menjadi daya tarik utama menarik calon mahasiswa yang juga menganggap penting sebuah citra diri “berkualitas” tersebut.

Calon mahasiswa tentu merasa lebih prestise kuliah di perguruan tinggi yang memiliki citra diri “berkelas”. Citra diri “berkelas” itu diwujudkan dalam bentuk obsesi untuk menjadi research university, word class university, dual degree, twinning program, kelas internasional, dan lainnya. Obsesi tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Sebenarnya dilihat dari liputan media untuk mencitrakan “kualitas” kampus, signifikansi pada keinginan calon mahasiswa untuk studi di kampus yang meraih peringkat atas ajang Pimnas, maka proyek Dikti ini hanya bagian kecil dari obsesi tersebut, dan ternyata gagal total. Pun ketika ditelisik dari komitmen intelektual Pimnas, sampai pada penyelenggaraan yang ke-XXI ini pun seingat penulis belum pernah menghasilkan intelektual-intelektual muda yang mumpuni.

Sebagai puncak dari kompetisi karya tulis mahasiswa, kompetisi mahasiswa berprestasi, program kreativitas mahasiswa (di dalamnya antara lain terdapat penelitian, kewirausahaan, penulisan ilmiah mahasiswa) dan berbagai agenda lainnya, Pimnas sangat seremonial, formalistik, dan lebih berat pada tujuan prestise kampus, ketimbang komitmen intelektual. Karena orientasinya sekadar prestise, bukan intelektual, maka terjadilah berbagai penyimpangan. Ajang ini mulai dari kompetisi di jurusan, fakultas, universitas sampai tingkat nasional (Pimnas) tidak murni dari mahasiswa, tapi lebih banyak campur tangan dari dosen pembimbing agar idenya yang ia berikan pada mahasiswanya dapat menang sampai di Pimnas, dan ini prestise bagi kampusnya.

Yang terjadi adalah menjadikan aktivitas intelektual sebagai kerja-kerja instan belaka, tak ada pembelajaran intelektualitas sebagai sebuah proses yang membutuhkan keuletan, kesungguhan, dan bahkan kejujuran. Mahasiswa diajari oleh sistem kompetisi ala Pimnas ini –dengan orientasi kemenangan prestise- bahwa yang penting adalah menang, karena nanti akan mendapat hadiah uang pembinaan yang cukup besar bagi ukuran mahasiswa dan yang pasti pihak kampus akan berterima kasih, satu contoh bentuk terima kasih tak hanya uang dan piagam saja, tapi juga memudahkan studi dan menjadikannya staf pengajar di kampusnya kelak setelah lulus, ini sudah lazim terjadi. Betapa jelas mahasiswa diajari materialisme, dan ketika matarantai kekolotan ini tak diputus maka dosen jebolan Pimnas di kampus tersebut akan melakukan hal yang sama, dan terjadilah reproduksi intelektualitas instan.

Dalam konsepsi simulakra Baudrillard (1983), maka fenomena Pimnas ini sebenarnya telah menjadikan kampus telah menipu dirinya, yang terjadi adalah: kampus sekadar mencitrakan dirinya berkualitas, tapi tak benar-benar berkualitas; kampus mencitrakan dirinya berkomitmen pada intelektualisme, padahal sejatinya justru menelantarkan intelektualisme dengan menjadikannya bagian dari budaya instan; lebih dari itu Dikti pun mencitrakan dirinya berkomitmen pada pengembangan intelektualitas, padahal terdapat hidden agenda di balik itu semua. Agenda dimaksud adalah delegitimasi kekuatan politik mahasiswa sebagai oposisi permanen pemerintah, hal ini terlihat dari gelontoran dana yang begitu besar dari pemerintah untuk perhelatan Pimnas dan yang serupa, pun pihak kampus telah mempersepsikan bahwa aktivitas intelektual adalah aktivitas ilmiah akademik, lain tidak.

Makanya pembinaan dan seleksi di tingkat kampus pun disemarakkan dan mendapat perhatian serius dari rektorat, termasuk organisasi yang membidangi kegiatan ilmiah dan agenda ilmiah mahasiswa, sedangkan untuk aktivitas mengkritisi kebijakan pemerintah, kajian kritis, ideologis, mendapat tekanan dari rektorat. Dalam analisis teori kritis, yang diinginkan dari Pimnas ini di samping delegitimasi kekuatan politik mahasiswa juga reproduksi kaum intelektual borjuis jebolan Pimnas, yakni intelektual yang memihak penguasa, pro modal, elitis, materialis, tidak kritis dan justru tunduk patuh pada penguasa. Terdapat reduksi dan penyelewengan konsep intelektualisme dalam sistem-sistem kompetisi intelektual ala Pimnas, dengan sendirinya aktivitas ini akan meruntuhkan jantung persemaian intelektualisme, yakni kampus. Ia tak akan lagi menjadi menara api dan center of exellence, tapi menara gading dan –meminjam konsepsi Bourdieu- pabrik reproduksi intelektual borjuis saja.

* Edi Subkhan, penulis

Tidak ada komentar: