Oleh : Muhtar Said
Banyaknya iklan atau sepanduk yang bertuliskan “masa depan anak lebih penting”. Sehingga mereka menawarkan jasa perkreditan bagi orang tua yang ingin anaknya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ironisnya demi pendidikan anaknya, para orang tua rela berhutang kepada Bank atau bahkan Rentainir. pertanyaannya apa yang ada dibenak pikiran mereka tentang pentingnya pendidikan?.
Melalui pendidikan masyarakat akan bisa meningkatkan Sumber Daya Manusianya, sehingga bisa melahirkan ide-ide brilian yang nantinya berguna bagi keluarga serta nusa dan bangsa. Tetapi ini belum bisa terlaksana karena terhalang oleh mahalnya pendidikan yang diterapkan oleh institusi yang terkait, dengan berdalih demi meningkatkan kualitas pendidikan.
Saya Sangat setuju, jika Perguruan Tinggi memasang tarif mahal dengan bertujuan untuk meningkatkan fasilitas, yang kemudian bisa berguna bagi mahasiswa itu sendiri. Tapi kita harus melihat realitas bahwa keadaan masyarakat belum sepenuhnya bisa menerima kebijakan tersebut, karena untuk makan sehari-hari mereka-pun masih kesulitan.
Jika kebijakan ini dipaksakan seharusnya juga dipikirkan solusinya. Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah subsidi silang, yaitu orang yang di anggap kaya diharuskan untuk membantu orang yang dibawah garis kemiskinan, biar bisa sama-sama menikmati fasilitas dari pendidikan yang memadahi. Sebenarnya Subsidi silang sudah dari dahulu didengungkan dan sudah dilaksanakan diberbagai institusi perguruan tinggi, akan tetapi belum sesuai dengan harapan. Karena tidak adanya laporan pertanggung jawaban yang jelas dari institusi perguruan tinggi, terkait tentang subsidi silang tersebut.
Seharusnya Perguruan tinggi yang menerapkan subsidi silang membuat rincian dananya sedimikian rupa, sehingga orang yang memberikan subsidi bagi orang miskin bisa melihat secara detail kepada siapa saja harta yang mereka keluarkan saat itu. Jika ini diterapkan saya yakin akan bermunculan dermawan-dermawan baru, karena mereka akan semakin terpacu untuk menyumbangkan sebagian hartanya, demi kemajuan bersama. Karena mereka berfikir harta yang dikeluarkannya tidak sia-sia.
5 komentar:
mungkin Mr. aliformen benar,
ada kerancuan pemahaman ketika berkata "apa itu policy (kebijakan?"
Fah: "mungkin Mr. aliformen benar,
ada kerancuan pemahaman ketika berkata "apa itu policy(kebijakan?"
Kami di http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/
menyebut policy dengan kata ketidak-bijaksanaan, karena policy pemerintah sering bersifat sok tahu. Mereka seakan tahu apa yang kita inginkan dan solusinya.
Buat kami, subsidi lebih banyak berdampak buruk. Apakah itu subsidi pangan atau pendidikan atau apa saja. Setiap pengaturan akan:
1. menuntut allokasi resources yang tidak produktif
2. membuat ketidak seimbangan, imbalances pada system.
Pak Imam Semar, klo pendidikan saya gak disubsidi negara mungkin saya gak lulus S1, klo BBM gak disubsidi mungkin orangtua di desa saya kembali menjarah hutan belakang rumah yang sudah gundul-dul, klo kesehatan gak disubsidi ya akibatnya kayak pengusiran pasien dari RSCM kemarin..hehehe
gimana menjawab masalah ini dunk? tell me...
Bukankah subsidi justru balance, karena rakyat sebelumnya sudah bayar pajak, dan mestinya kembali ke rakyat dalam bentuk pelayanan negara yang memadai dalam pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya... tolong jelaskan buat saya yang masih awam ini...
ya memang tidak produktif, karena acuan dan tujuannya memang bukan biar produktif, tapi lebih ke kemanusiaan, hak, dan kewajiban...saya kira begitu hehe...ato saya salah ya Pak Imam Semar? (namanya lucu juga hehe)
Tolong jelaskan sama saya yang masih hijau ini....
Sdr Anonim,
Ada suatu pertanyaan yang mendasar. Apakah anda membutuhkan pendidikan (formal S1)untuk hidup?
Bill Gate untuk menjadi millioner, Oi Ek Tjong (Wijaya, pendiri group Sinar Mas), Tommy Suharto dan banyak lagi tidak perlu S1, S2 dan SS lainnya. Di kantor saya banyak sarjana S1 ekonomi yang hanya jadi penerina telpon dan tenaga administratif (SMA bahkan SMP saja cukup). Ini yang disebut penggunaan alokasi resources yang tidak produktif. Tambahan sekolah 9 tahun yang tidak ada gunanya. Dan yang bayar adalah pembayar pajak.
Terus..., kalau sudah dapat S1, S2 dan S lainnya menjadi gengsi. Pada saat menganggur, tidak mau jadi supir taksi atau jadi petani, pemulung atau opportunity lainnya. Maka ada yang disebut ketidak seimbangan tenaga kerja dan lowongan. Pengangguran membuat tekanan pada pemerintah, akhirnya pemerintah membuka lowongan "pengangguran terselubung" di bawah naungan bernama pegawai negri. Kalau 90% pegawai negri di PHK, negara ini akan semakin makmur, karena lebih sedikit pengganggu dan "peraturan".
Karena adanya gangguan dari "pegawai negri", politikus, maka semakin sedikit orang yang bisa produktif.
Dermawan, seperti Bill Gate, Warren Buffet, Ford tua,...., madam Teresia, Carnagie, Albert Schweitzer, dll muncul karena mereka sudah kaya atau merasa berlebih, merasa kelebihan tenaga/waktu. Memperbanyak orang seperti mereka ini lebih baik dari memaksa para dokter dan perawat yang gajinya pas-pasan (dari pajak dan subsidi) untuk memberikan service. Yang anda dapatkan dari uang pajak adalah service yang mediocre!!
Hak dan kewajiban? Penuhi kewajiban dulu, baru anda dapat hak. Bayar dulu baru dapat service. Kecuali dalam kasus perampokan. Seperti orang-orang sosialis, minta pemerintah merampok warga yang produktif untuk diberikan pada yang tidak produktif.
Hibah (dasarnya suka rela) lebih baik dari pada pajak (dasarnya paksaan). Karena pajak memerlukan alokasi resources yang tidak produktif.
Kalau sosialisme maka Uni Soviet sudah makmur. Kenyataannya Soviet hancur dan digantikan Russia dan pecahannya yang lebih liberal. Juga Cina, harus meninggalkan paham komunismenya.
Oke Pak saya tanggapi per paragraf ya, maklum saya belum bisa secara substansial kayak Bapak...
“Ada suatu pertanyaan yang mendasar. Apakah anda membutuhkan pendidikan (formal S1)untuk hidup?”
Ya, saya butuh ilmu yang saya pelajari di S1 untuk dapat hidup lebih baik, memahami kehidupan, kemanusiaan dengan lebih baik ketimbang saya mesti belajar sendiri yang tentunya akan teramat sulit bagi orang desa seperti saya, ya...sekali lagi saya butuh S1, sebelumnya saya butuh SMA, SMP, SD...itu namanya pendidikan sebagai hak tiap warga negara, sebagai manusia. Nah pendidikan formal mestinya mendapatkan bantuan dari negara, karena ia turut menyokong negara, pun karena masyarakat telah membayar pajak, kira-kira begitu Pak Imam Semar..... jd pendidikan ‘yang perlu disubsidi’ itu, yakni pendidikan formal, yang masih dibutuhkan bangsa ini, dibutuhkan.
”Bill Gate untuk menjadi millioner, Oi Ek Tjong (Wijaya, pendiri group Sinar Mas), Tommy Suharto dan banyak lagi tidak perlu S1, S2 dan SS lainnya.”
Tommy itu besar karena ia anaknya Soeharto dengan kekuasaan dan kekayaannya mudah saja ia sukses materi (kaya). Oi Ek Tjong pun sama saja, limpahan modal, relasi kuasa, bekal memadai tuk jadi konglomerat. Bill Gate, tak perlu luluskan diri dari Harvard, ya emang coz dia pinter n cerdas, masalahnya tak semua orang punya sumber relasi kuasa, modal sosial dan kapital seperti mereka. Kapasitas intelektual saya mungkin tidak sebesar Pak Imam Semar, makanya saya butuh pendidikan formal, klo tidak...siapa yang mau ngajari saya grtisan? Klo misalnya saya dapat kerja di perusahaan bonafide tanpa ijazah sih gak masalah, tapi itu khan tak mungkin.
“Di kantor saya banyak sarjana S1 ekonomi yang hanya jadi penerina telpon dan tenaga administratif (SMA bahkan SMP saja cukup). Ini yang disebut penggunaan alokasi resources yang tidak produktif. Tambahan sekolah 9 tahun yang tidak ada gunanya. Dan yang bayar adalah pembayar pajak.”
Saya mungkin salah di sini, tapi saya kira Pak Imam Semar terlalu menekankan dan menggunakan perpektif ekonomi yang meniscayakan perhitungan ekonomis untung rugi, yang dihitung secara materiil-finansial, istilah yang muncul kemudian adalah sumberdaya manusia, modal, produksi(tif), balikan modal, investasi, dll. Bukankah manusia tak dapat direduksi dan dilihat hanya dari dimensi ekonomi dan materiil saja, bukankah upaya pencerdasan tiap warga negara mesti menjadi tanggungjawan negara di samping kebutuhan manusiawi.
”Terus..., kalau sudah dapat S1, S2 dan S lainnya menjadi gengsi. Pada saat menganggur, tidak mau jadi supir taksi atau jadi petani, pemulung atau opportunity lainnya. Maka ada yang disebut ketidak seimbangan tenaga kerja dan lowongan.”
Nah ini, ketika pendidikan sekarang hanya menghasilkan pengangguran, maka yang mesti diperbaiki menurut hemat saya adalah ‘proses pendidikannya’ agar mampu menghasilkan lulusan yang klo S1 ia mesti dapat bekerja mandiri, S2 menjadi profesional, dan S3 menjadi ilmuwan, atau apalah tujuannya yang penting mereka mampu membuka lapangan kerja, mengembangkan ilmu pengatahuan, dan menjadikan dunia kita sebagai tempat hidup yang lebih baik bagi semua. Jadi bukan dengan meniadakan pendidikan Pak, itu menurut saya hehehe...
“Pengangguran membuat tekanan pada pemerintah, akhirnya pemerintah membuka lowongan "pengangguran terselubung" di bawah naungan bernama pegawai negri. Kalau 90% pegawai negri di PHK, negara ini akan semakin makmur, karena lebih sedikit pengganggu dan ‘peraturan’.”
Mohon dijelaskan apa benar pengangguran menekan pemerintah dan akhirnya membuat pemerintah membuka CPNS? Maaf saya ragu... bukankah pemerintah memang membutuhkan pegawai, atau staff profesional -memang format PNS di Indonesia belum seperti di Jerman yang lebih profesional- agar dapat betul-betul profesional dan memberi kontribusi bagi negara dan masyarakat. Bukankah klo PNS di-PHK justru akan semakin menambah pengangguran? ‘Semakin makmur’ bagaimana yang Pak Imam maksud, mohon jelaskan logikanya secara jelas....
”Karena adanya gangguan dari "pegawai negri", politikus, maka semakin sedikit orang yang bisa produktif.”
Gangguan seperti apa yang dilakukan PNS dan politikus yang menyebabkan orang tidak produktif? Ato jangan-jangan kata ‘produktif’ di sini lagi-lagi dalam konteks ekonomi ya? Bukankah PNS dan politikus secara ideal memang tidak dalam kerangka produktif secara ekonomi secara kaprah? Jika terjadi inefisiensi, korupsi, itu memang mesti dibasmi, tapi bukan PNS dan politisinya. Pertanyaan saya sama seperti tentang ‘pendidikan formal’ di atas adalah, klo pendidikan di hapus, karena alasannya tidak prosuktif secara ekonomi, lalu institusi sosial apa, tatanan seperti apa yang dapat menggantikannya? Klo PNS yang menjadi staf profesional negara dan masyarakat ‘dihabisi’, lalu apa sistem yang dapat menggantikannya, atau siapa yang menggantikan mereka? Juga klo politisi tidak ada, lalu bagaimana mekanisme ketatanegaraan berjalan?
”Dermawan, seperti Bill Gate, Warren Buffet, Ford tua,...., madam Teresia, Carnagie, Albert Schweitzer, dll muncul karena mereka sudah kaya atau merasa berlebih, merasa kelebihan tenaga/waktu. Memperbanyak orang seperti mereka ini lebih baik dari memaksa para dokter dan perawat yang gajinya pas-pasan (dari pajak dan subsidi) untuk memberikan service. Yang anda dapatkan dari uang pajak adalah service yang mediocre!!”
Wah saya gak paham service yg mediocre itu apa, mohon jelaskan ya Pak. Saya mau bertanya Pak, kiranya berapa persen dari kekayaan Gates yang didermakan dan seberapa kekayaan Gates yang ia hasilkan dari dagang dengan monopoli hak itu, monopoli program, dll? Akumulasi modal pada sebagian konglomerat dunia, asia, seperti Gates dan Bakrie, bukankah pada kenyataannya upaya mereka untuk akumulasi modal itu dengan menindas kekuatan ekonomi lemah yang lebih banyak daripada gaji yang ia berikan pada karyawan dan dermakan untuk sosial yang hipokrit? Tak hanya itu, terjadi juga yang namanya kerugian sosial. Memperbanyak pada kapitalis bukankah itu artinya melegitimasi tindak akumulasi modal kaum borjuis saja, sementara ia bebas menentukan nasib buruhnya (ya setidaknya buruhnya digaji seh..), eksploitasi alam, monopoli segementasi dagang, dan mematikan ekonomi lemah. Tapi menurut saya madam Teresia tidak linier jika disandingkan dengan Gate dan Ford, bunda Teresia kaya hati, sosial, berderma hati, pelayanan sosial, beda jelas dengan Gate dan Ford, bunda Teresia tak pernah akumulasi modal tuk dirinya sendiri.
”Hak dan kewajiban? Penuhi kewajiban dulu, baru anda dapat hak. Bayar dulu baru dapat service. Kecuali dalam kasus perampokan. Seperti orang-orang sosialis, minta pemerintah merampok warga yang produktif untuk diberikan pada yang tidak produktif.”
Bagi saya ada hak yang tak perlu harus dipenuhi sebelum menunaikan kewajiban, misal adalah hak asasi manusia yang inheren sudah melekat pada tiap manusia ketika lahir, seperti hak hidup, mendapatkan pendidikan, dll, itu jelas dalam deklarasi HAM PBB dulu. Hak tiap orang untuk mendapatkan pendidikan memadai, termasuk pendidikan formal, hak tiap orang pula untuk mendapatkan pelayanan kesehatan memadai, ya....saya paham ini mungkin agak aneh jika dipandang secara parsial dari perspektif untung-rugi ekonomi saja kan, pasti perbincangannya ke arah bayar dokter baru dapat pelayanan, bayar uang pangkal sekolah baru bisa ikut sekolah, bukan itu, tapi lebih pada hak awal, yang asasi, yang melekat sebagai fitrah kemanusiaan. Dan kenyataannya hak itu memang melekat secara fitrah kemanusiaannya, coba deh tanya ke hati nurani kita masing-masing, tanpa mesti bertanya apakah seorang anak umur 6 tahun telah melaksanakan ‘kewajibannya’ (entah kewajiban seperti apa saya pun gak paham) bukankah ia berhak mendapatkan pendidikan memadai?
Ya Pak Imam, saya pun cenderung tidak setuju pada konsepsi keadilan sosialisme seperti itu. Tapi kembali ke depan, bahwa bukankah –secara kasar- rakyat sudah ‘membayar’ negara via pajak, makanya rakyat berhak mendapatkan pelayanan memadai?
Mungkin itu dulu Pak Imam Semar...mksh sbelumnya
Posting Komentar