online degree programs

Jumat, Maret 14, 2008

DILEMA EKSISTENSI MANUSIA (tinjauan psikologi marxian)


Oleh : Abdul Haris Fitrianto*



Seperti filsafat dualisme yang selalu mempertentangkan tesa dan antitesa, akhirnya nanti akan memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya. Konflik eksistensi ini ada sejak manusia dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi

eksistensi manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, mereka berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan prestasi.

Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh.

Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padalah Setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan. Tetapi dia coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian.

Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis ini juga pernah dikatakan Erich Fromm(1973), bahwa selama ini manusia, disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia.

Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas tetapi untuk apa?


* Mahasiswa Psikologi UNNES 2003

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Kesimpulannya,
berarti nafsu manusia sendiri itulah yang membuat dia tidak bebas,
dari nafsu sosial seperti populeritas, kedudukan, dianggap baik dll sampai nafsu pribadi: sex,perut,bahkan barangkali intelektual,he2...
Barangkali itu ya, yang dimaksud?

Anonim mengatakan...

dalam satu minggu ada 7 hari. dalam 7 hari itu ada 5 hari kerja (setidaknya UNNES). 5 hari beraktivitas, bekerja keras (semoga) sembari menunggu akhir pekan yang "bebas". lalu 2 hari itu untuk apa? jalan-jalan ke mall, ke pantai, kongow sama tmen2, seharian nge-game, dsb..

nah, gimana kalau dirasa-rasa?

Anonim mengatakan...

Rekan-rekan penghuni bumi,

Berikut ini kami sampaikan himbauan dan ajakan mematikan peralatan listrik
selama empat jam pada 21 Maret 2008, sebagai bagian dari kontribusi
individu mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini adalah langkah awal kampanye
mencanangkan 21 Maret sebagai HARI HENING DUNIA (World Silent Day).

Kampanye tersebut dipelopori masyarakat dan LSM Bali yang tergabung dalam
Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim pada konferensi PBB mengenai
perubahan iklim di Bali Desember 2007 lalu. 21 Maret adalah juga Hari Air
dan hari pertama musim semi di utara – simbolisasi dari kehidupan.

Mohon kampanye ini disebarkan ke jaringan anda.

BERI SATU HARI UNTUK BUMI BERN AFA S

HARI HENING SEDUNIA – 21 MARET

Kirimkan berita dan cerita hening versi Anda sendiri ke :
mysilent@worldsilen tday.org

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai World Silent Day dapat menghubungi:
info@worldsilentday .org
www.worldsilentday. org

Salam Hening
Kolaborasi Bali untuk Perubahan iklim

Alamat:
Jl. Pengubengan Kauh 94
Kerobokan, Kuta, Bali
+62 361 735321

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

secara sederhana memang keinginan/nafsulah yang membuat seseorang tidak bebas. bahkan dlm sufisme, "keinginan" Abu Yasid adalah "tidak mempunyai keinginan"...

saya jadi teringat artikel dan curhat mz Ed Khan yg dikasih judul "Saya melihat surga Kang"??

ada kalimat menarik: manusia,umumnya selalu ingin bebas..tetapi akhirnya dia juga terpenjara dalam keinginnnya itu..
mgkin akan lebih lengkap pada posting saya yg berikutnya hehe..