online degree programs

Selasa, Maret 04, 2008

INFLASI*


Buat Mas Yogas, yang sama-sama pelanggan warungnya Bu Sum. Jangan kaget kalo sejak kemarin ukuran tempe goreng di warung Bu Sum terpotong separo. Saat mengetahuinya, saya sebenarnya agak tersenyum kecut. Masak yang kemarin ukurannya kurang lebih 10 cm kok sekarang berubah cuma 5 cm, saat saya tanya harganya berapa Mbak, ”tetep lima ratus rupiah” katanya. Tapi tak apalah saya paham sekali tentang masalah ini.

Begini, saat harga kedelai naik banyak warung masih mempertahankan ukuran dan harga dari tempe goreng ataupun mendoan. Tapi semenjak terjadi inflasi akhir-akhir ini strategi tersebut berubah.

Tak pelak, sebenarnya tempe goreng kesayangan saya itu telah ”dipukul” dari dua sisi. Kenaikan pertama disebabkan oleh berkurangnya stok kedelai yang disebabkan oleh kebijakan ekspor AS terkait dengan penyesuaian penanaman jagung sebagai bahan bakar biofuel yang terinspirasi dari keberhasilan Brasil dalam mengembangkan energi Biofiul dari bahan tebu. Sehingga AS, dengan penyelidikan bahwa Jagung efektif sebagai bahan bakar biofuel, rame-rame berpindah untuk menanam jagung. Akibatnya mereka mengurangi menanam kedelai sehingga membuat stok kedelai di pasar dunia turun, yang akhirnya menyebabkan harga kedelai naik.

Penyebab kedua, yang banyak membuat ibu-ibu pada ribut dan tak habis-habisnya ngrumpi masalah kenaikan harga kebutuhan pokok rumah tangga. Yang kata bapak-bapak itu disebabkan oleh inflasi. Inflasi kata orang-orang yang sering mengobrolkannya diartikan sebagai kenaikan harga barang-barang. Akan tetapi dengan sedikit pemahaman yang saya dapatkan, saya akan menyinggung masalah tersebut.

Inflasi, kalo di sekolah-sekolah dan di bebarapa buku teks, diartikan sebagai kenaikan harga barang itu sebanarnya hanya sebagian benar. Dari beberapa pengertian yang saya baca akhir-akhir ini, baik di kamus ilmiah, dari artikel blog, dan bukunya Rothbard, mengartikan bahwa inflasi disebabkan oleh meningkatnya pasokan uang di pasar. Jadi kalau menggunakan definisi tersebut, kalau yang sekarang terjadi itu berarti bukan naiknya harga barang-barang yang disebabkan oleh berkurangnya stok barang ataupun meningkatnya permintaan---kalau tempe, menurut dugaan saya yang makan paling tetep orang-orang itu aja, ndak ada penyerbuan besar-besaran pada minat tempe goreng.

Jadi, yang sebenarnya terjadi adalah penurunan nilai uang (kalau kita rupiah) terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Artinya, uang yang kita pegang itu, yang lama-lama jumlah nolnya semakin bertambah, sejak saya kecil sampai sekarang sebenarnya mengalami penurunan nilai. Disini, kita sering terkecoh dalam melihat fenomena. Tempe goreng kesayangan saya itu sebenarnya nilainya tetap, yang berubah sebenarnya adalah nilai uang yang kita simpen di dompet ataupun di bank. Walaupun bagi orang awam itu sering disebut kenaikan harga barang, namun bagi beberapa ahli itu sebenarnya, secara riil, adalah penurunan nilai tukar.

Kalau ditelusuri, bukan tidak mungkin kita akan kecewa. Uang yang kita hasilkan dari jerih payah kita dan orang tua kita itu telah disalahgunakan oleh orang-orang yang menanganinya. Makanya, sejak kepemimpinan Gus Dur posisi jabatan Gubernur Bank Indonesia selalu menjadi polemik---yang sampai sekarang kasusnya masih berlarut-larut.---baca Tempo.

Masalahnya, dalam hal cetak-mencetak uang negara, masyarakat kita belum ”cerdas” untuk mengontrolnya. Ya, kalau pendapat beberapa ahli yang ”jujur”, bukan ahli yang sekarang menjabat sebagai ”ekonom negara”---kalau ada istilah ini---, uang itu yang seharunya yang membuat ialah rakyat melalui mekanisme pasar. Jadi masyarakat bisa menilai sendiri mengenai kualitas uang dan jumlah uang yang beredar, bukan yang sekarang dipakai yaitu uang fiat yang ditetapkan dengan Undang-Undang yang sangat njlimet itu. Dengan kebijakan uang fiat, maka nilai uang mengambang total. Artinya, dia bebas dibuat sekehendak hati oleh para pemimpin yang akhirnya menyebabkan nilai uang turun karena stok rupiah di pasar bertambah. Dalam mencetak uang, jumlah pencetakan tidak langsung ditetapkan, melainkan secara tidak langsung, melalui kebijakan-kebijakan kredit dan suku bunga.

Wah, temen-temen ndak usah bingung dulu. Sebenarnya saya juga lagi belajar masalah ini. Ini adalah jawaban-jawaban yang saya dapat dan terinspirasi dari temen-temen yang sekarang Drop Out karena biaya kuliah, juga karena melihat nasib Bapak saya yang usianya semakin usur tapi dikhianati oleh negaranya sendiri. Saya menulis ini berdasar atas kecintaan saya terhadap ”mereka”. Dan saatnya sekarang kita perlu mendifinisikan ulang konsep negara. Salam buat temen-temen biar tambah hari tambah pinter.....

*Giyanto: Pengamat & Penikmat Tempe Goreng tinggal di Semarang

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Berani gak kira-kira ada presiden kita yang mematok Rp1 (satu rupiah) sama dengan $1 (satu dolar Amerika).

Presiden "gila" kalee...tapi itu demi bangsa dan rakyat, gimana?

Anonim mengatakan...

Maaf saya tidak Presiden, tapi kalau masalah rakyat, saya menganggap mereka udah pinter-pinter ngurusin ekonominya sendiri karena mereka secara naluriah akan cari makan sendiri bagaimanapun caranya...
Kalau saya (presiden)maka saya berasumsi mereka pinter jadi yang lakukan saya tidak usah ikut campur...
saya cuma ngurusi keadilan dari sisi hukum, bukan ngurusi dan sok tahu masalah ekonomi rakyat githu!!!
Untuk masalah nilai tukar uang maka akan saya ketatkan lagi sesuai standar emas, bukan mengguntingnya dengan ukuran mata uang yang sama-sama mengambang dan tidak tahu pasti mata uang itu nantinya (termasuk dolar)....
Kapan-Kapan saya akan menulis khusus masalah ini, santai aja!!!,he22

Anonim mengatakan...

Seandainya saya seorang presiden, saya gak akan meninggalkan tanggungjawab untuk mengurusi masalah ekonomi rakyat saya...

seandainya saya seorang presiden saya akan tidak akan merasa lebih tahu soal ekonomi rakyat saya, tapi saya mesti mencari tahu apa, mengapa, dan bagaimana ekonomi rakyat saya....hingga menghasilkan solusi yang berpihak pada rakyat...

Seandainya saya seorang presiden, maka saya berideologi bahwa negara pun memiliki tanggungjawab untuk menyejahterakan rakyat via bidang ekonomi.....

Seandainya saya seorang presiden, maka saya tak akan merasa dapat lepas dari alam modernitas dan globalisasi, dan mesti melihat realitas adanya dolar AS dan lainnya, tapi takkan mau bersujud pada mereka.....

Seandainya saya seorang presiden, maka saya.....mau cari jodoh dulu ah, biar gak kayak Sarkozy (president prancis tuh) yang melorot popularitasnya gara-gara baru nikah...he..he..he..

Seandainya saya seorang presiden, saya akan.....

Anonim mengatakan...

Saya dulu pernah berpikir seperti itu, tapi setelah saya melakukan kegiatan ekonomi dan belajar tentang prinsip ekonomi,
ternyata pandangan saya yang dulu berubah total...
sekali lagi, entitas sosial itu seperti sistem tubuh atau jaring laba2...seaindanya saya sakit, yang sebenarnya disebab oleh pemerintah sendiri, maka ketika dicoba diobati itu malah akan merusak ekologis kegiatan ekonomi manusia...
Seandainya saya sakit demam...lalu sering dikasih obat, banyak kemungkinan kekebalan tubuh saya terhadap sakit demam malah hilang,
artinya, segala bentuk intervensi itu akan merusak entitas sosial...
baca artikel tentang Program Kemiskinan di Jurnal Kebabasan Akal dan Kehendak...saya berdebat hebat di situ dengan penulisnya...akhirnya saya menyerah dan mengiyakan pandangannya..Gitu..
Tolong di baca. www.akaldankehendak.wordpress.com untuk artikel program kemiskinan edisi satu atau dua bulan yang lalu, tapi masih bisa dibaca...tolong dibaca ya!!!

Anonim mengatakan...

Oh, setelah saya tengok, ternyata Edisi tanggal 15 Nopember 2007...Buat kang Edi dan temen-temen yang lain biar "tercerahkan"...tulisan di Jurnal itu bagus sekali...
Klik aja nama saya atau judul yang saya tulis di Blog ini maka akan ter-Link langsung ke Jurnal tersebut...

Anonim mengatakan...

Kang Gik, saya telah baca barusan, tapi tak ada yang menyentak di kesadaran saya, ya bacaan biasa itu.
Yang ingin saya katakan sebenarnya dari metafora "seandainya saya seorang presiden..." kemarin adalah, dengan tidak adanya intervensi negara atas ekonomi, pun ketika ekonomi rakyat hancur misalnya, maka artinya itu adalah sistem neoliberalisme an sich.
Padahal neoliberalisme emang menjadikan ekonomi rakyat hancur, sekarang investasi masih lumayan, angka statistik cenderung stabil, indeks-indeks di bursa efek setelah kemarin sempat down karena AS, sekarang mulai stabil....tapi ekonomi rakyat pontang-panting, tempe goreng mahal, kertas-kertas naik harganya, padahal untuk kertas saja jika ingin dibuat buku dan itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa...jika ditentukan sepenuhnya oleh pasar, maka ya gak ada yang namanya buku gratis atau murah yang dapat dinikmati siswa-siswa dari kalangan ekonomi kurang mampu.
Kondisi ekonomi yang seperti ini membutuhkan intervensi negara untuk menstabilkannya, jika tidak maka akan semakin parah, terlebih ketika pasar global kian merasuk dalam pasar lokal, rakyat bisa bertahan di mana kalau negara tak berperan?
Itu pertanyaan saya...

Anonim mengatakan...

kamu tidak tersentak karena kamu tidak pernah kelaparan...dan sudah termakan doktrin wacana...cobalah berpikir bebas...cari sendiri menurut alur logika yang benar...
Tahu ndak, Neo Liberalisme dan Kapitalisme definisi dan persepsinya sudah jauh dari semestinya. Cari saja asal mula kata itu, pasti kamu kelimpungan...
Coba pikir, dimanapun munculnya banyak pengusaha dan pertanian itu akan membuat masyarakat sejahtera, tidak seperti sekarang, semua orang pingin jadi PNS dan di pemerintahan serta karyawan perusahaan besar. ini namanya mental tempe..
padahal, pemerintah itu bukan agen produktif...Ia dapat uang dari mana dan untuk apa? ini mesti ditelusuri...
Orang-orang yang sekarang hidup dan makan enak itu seharusnya berfikir?
mana ada orang yang tidak produktif pingin kaya dan hidup enak & konsumsi melimpah. itu namanya mimpi di siang bolong. artinya, dia sebenarnya tidak adil terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
hidup di indonesia itu, yang jadi korban adalah orang-orang yang bekerja keras...
karena sekarang kita tidak jelas mau sosialis apa liberal, akhirnya milih jalan tengah yaitu monopoli...apa yang terjadi sekarang itu disebabkan oleh adanya monopoli. Pengusaha main mata sama kekuasaan...akibatnya kompetisi tidak sehat...
ke depan (kalau negara sudah bubar) yang namanya raja itu konsumen...saya sudah merasakan itu sekarang...
jadi menghilangkan pengusaha dan kapitalis sama juga mengajak semua orang kelaparan...

Anonim mengatakan...

Oh, Ya minggu depan atau edisi ke depan, atau barangkali yang akan datang, Jurnal itu akan membahas mengenai "ilusi kestabilan"...
itu sama juga seperti ilusi-ilusi jaman dulu "Ilusi Revolusi", "ilusi Demokrasi", "Ilusi-ilusi yang di wacanakan oleh penguasa....jujur: sebenarnya sekarang kita sedang dibodohi...di negara manapun...negara yang paling "makmur ekonominya" adalah yang membiarkan rakyat "bebas berekonomi"...apa itu neoliberal, jujur, saya tidak mudeng...kata Priyono, yang penting sekarang itu" Makan dan tidur...dan pemerintah kita membuat saya tidak bisa tidur dan tidak enak makan...

Anonim mengatakan...

ternyata bayangin jadi presiden itu mumet ya mas, baru baca pengandaian mas gik sama mas edi saja saya sudah nyeras kok,hehe..
sesulit itu masih ada saja orang yang mau daftar? "lha wong emang gajinya gedhe, belum lagi kalo tilep sana-sini"
bukan bermaksud gimana-gimana mas, presiden tentu orang yang bebas (membebaskan diri?) dari harga dan ukuran tempenya bu sum, bebas (membebaskan diri?) dari permasalahan hukum..

dan lagi, tentu jauh lebih kompleks kan?
tapi kan presiden juga manusia, yang butuh diterima dan diakui, bukan hanya oleh pendukungnya tetapi juga pengkritiknya dan "musuh"nya..