online degree programs

Kamis, Maret 06, 2008

Logika, Kebenaran, dan Wacana



Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca.“ -Charles "tremendeous" Jones


Kang Gik, jangan tergesa-gesa memvonis saya seperti itu, tenang dulu, colling down lah. Tapi ya tak apalah, saya agak sedikit terganggung dengan kata-kata Kang Gik dalam “tanya-jawab” posting “Inflasi” (bisa dilihat). Jangan dikira yang pernah lapar cuma Kang Gik saja, yang makan dua kali sampai sekarang cuma Kang Gik saja, yang tak pernah mencecap “nikmatnya” Pizza cuma Kang Gik saja; memvonis tidak semudah pindah channel TV Kang, dan tidak semua hal dapat dijustifikasi dengan logika, ingat itu. Saya bagian dari orang-orang lapar dalam pengertian ekonomi-ideologis-filosofis, dan akan selalu begitu, soal kelaparan saya agaknya saya tak perlu membeber cerita di sini, cukup nanti kalau kita ketemu saja membincangkan soal itu.

Dikatakan Kang Gik, saya termakan wacana?? Ketika Kang Gik menyatakan, “Cobalah berpikir bebas...cari sendiri menurut alur logika yang benar”, maka saya mengatakan; tidak ada orang yang dapat berpikir bebas tanpa terlepas dari pemahaman awal (wacana dalam pengertian sederhana), dari apa yang pernah ia baca, dari konstruk pengetahuan yang mendasari logika formal dalam akalnya. Pun “alur logika yang benar” yang Kang Gik unggulkan itu pun tidak dapat tidak mesti dipelajari, pahami, dan gunakan meniscayakan belajar dari “apa” dan “siapa”, mesti ada referensinya, rujukannya.

“Logika yang benar” itu bukan insting hewani, tapi adalah potensi manusiawi yang mesti terus diasah; ia serupa anak dari persetubuhan akal dan dunia, teori dan realita. Di sisi lain, “logika” dalam konsepsi pemikiran filsafat Barat adalah bagian dari epistemologis yang juga meliputi segenap tiga bagian besar filsafat lainnya (ontologi, epistemologi, aksiologi). Baik logika formal maupun material semuanya bertujuan untuk mencapai kebenaran.

“Logika yang benar” yang Kang Gik kemukakan bagi saya adalah sebuah premis yang lebih serupa klaim, karena “logika yang benar” pun mesti merujuk pada referensi tertentu, yakni teori, formula pemikiran, paradigma, ideologi, diskursus, wacana. Masing-masing memiliki “logika kebenarannya” sendiri-sendiri, dus kita pada hakikatnya tak dapat lepas dari yang namanya wacana. Kita berada di dalamynya, kita bergulat dengannya, kita memihak dan menentangnya, kita merumuskannya. Dengan kata yang teramat sederhana, ketika Kang Gik berargumen, “Saya membebaskan akal dan menggunakan logika yang benar”, maka pada hakikatnya Kang Gik tidak bebas, karena tetap tak dapat keluar dari makna, tafsir, definisi logika dan kebenaran tertentu yang menjadi bagian dari wacana tertentu.

Pun ketika Kang Gik menyatakan bahwa saya termakan wacana, bagi saya bukan termakan wacana, tapi mencoba mempelajari, memahami, “menggunakan” untuk analisis, bukan sekadar untuk menjustifikasi, walaupun itu adalah niscaya, karena wacana-ideologis adalah produk dari logika-filsafati dan logika-filsafati adalah produk dari wacana-ideologis sebagai sebuah lingkaran keniscayaan-kenyataan yang tak terputus.

Soal mencari makna liberalisme dan neoliberalisme, saya akan kelimpungan? Mengapa mesti kelimpungan Kang Gik, janganlah terlalu mendramatisasi hal yang remeh-temeh seperti itu. Baiklah saya akan kemukakan sedikit soal Neolib yang konon “ditakuti” itu.

Kapitalisme sebagai konsepsi ekonomi liberal juga dikenal sebagai neoliberalisme. Neoliberalisme berbeda dari liberalisme, neoliberalisme sudah memasukkan kritik dari sosialisme-komunisme terhadap liberalisme terdahulu atau liberalisme klasik. Di sinilah liberalisme sekarang utamanya dalam diskursus ekonomi agaknya lebih tepat disebut sebagai neoliberalisme, sedangkan liberalisme sebelumnya lebih tepat disebut sebagai liberalisme klasik. Lalu bagaimana dengan penggunaan istilah liberalisme dalam dimensi politik, sosial-budaya, dan agama? Agaknya distingsi atau pembedaan liberalisme dan neoliberalisme lebih ditekankan dalam ranah kapitalisme global, sedangkan dalam dimensi lain, walaupun berkaitan dengan kapitalisme global, pembedaan kedua istilah tersebut tidak terlalu ditekankan. Toh pada hakikatnya sama, kebebasan.

Neoliberalisme itu bisa diartikan sebagai paham liberalisme yang diperbaharui. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neoliberalisme lebih menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik a la Adam Smith itulah yang kemudian menelurkan praktik imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, kolonialisasi. Sedangkan neo-liberalisme menelurkan imperialisme yang diperbaharui, globalisasi. Globalisasi mendapatkan momentum kelahirannya ketika konferensi Bretton Woods merekomendasikan perlunya sebuah lembaga keuangan internasional yang mengawasi kebijakan moneter di seluruh dunia. Maka lahirlah Lembaga Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas yang berada di atas gelombang besar globalisasi.

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme, pertama, munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations –MNC) sebagai kekuatan nyata dan bahkan memiliki aset kekayaan lebih besar daripada negara-negara kecil di dunia. Rata-rata kantornya berada di negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Jepang, dan Australia. Walaupun berkantor di situ, tetapi mereka tak digerakkan oleh semangat nasionalisme, tetapi oleh insting kapitalis untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Di saat-saat kritis mereka dapat mengubah modal besarnya menjadi bargaining power dan memaksa negara-negara kecil bertekuk lutut. Kedua, munculnya organisasi atau rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system yang bertujuan untuk menjamin kepatuhan negara-negara dunia pada sistem pasar bebas. Tiga organisasi utama tersebut adalah, World Trade Organization (WTO), World Bank, dan International Monetery Fund (IMF). Ketiga, sebagai variabel independen dari semuanya itu adalah revolusi di bidang teknologi informasi dan transportasi yang amat dahsyat 20 tahun terakhir ini. Anthony Giddens menyebutnya sebagai “time-space distanction” dan David Harvey “time-space compression.” [1]

Oke, sekarang saya lanjutkan untuk mendedah argumentasi Kang Gik lagi. Kang Gik menyatakan bahwa,”....di manapun munculnya banyak pengusaha dan pertanian itu akan membuat masyarakat sejahtera”, bagi saya itu adalah paradigma borjuis dan sosialis, dan itu tak masalah, wajar dalam realita-empiris. Kemudian Kang Gik menganggap rendah mereka yang bercita-cita menjadi PNS dan karyawan perusahaan besar dengan mengatakannya sebagai “bermental tempe”. Rasanya tidak adil jika tidak cover both side –dalam istilah jurnalistiknya- , karena ada juga PNS yang betul-betul berupaya mendermakan seluruh kemampuannya untuk negara dan bangsa, PNS itu bisa dosen, peneliti di LIPI, guru di pedalaman terpencil yang terpanggil hatinya untuk mencerdaskan anak-anak suku primitif pedalaman di sana, sementara itu banyak mahasiswa lebih ingin berwirausaha di Jawa(?)

Ingat Kang Gik, institusi Pemerintah menjadi tidak produktif itu karena kultur yang tidak produktif. Tidak produktif bukanlah sebuah kutukan abadi, bukan dosa turunan yang tak bisa dipangkas. Mestinya orang yang “berani” masuk ke institusi yang berpotensi memangkas potensi dirinya, kita patut salut kalau ia betul-betul berniat untuk bangsa, negara, pelayanan publik, kemanusiaan, intelektualisme, dan seabreg kemuliaan lainnya. Ya, memang Pemerintah dapat gaji dari rakyat, termasuk pengusaha via Pajak, lalu kenapa? Memang mekanismenya seperti itu, terlebih ketika pemerintahan berjalan semestinya untuk melayani rakyat, tidak muliakah melayani rakyat?

Tapi saya jujur tidak paham dengan argumentasi Kang Gik selanjutnya, yaitu pada, “Mana ada orang yang tidak produktif pengen kaya dan hidup enak & konsumsi melimpah?” ya jelas ada dong, ko ditanya, banyak orang yang tak produktif, bahkan bodo pengen kaya to? Kemudian Kang Gik menyatakan, “Dia sebenarnya tidak adil terhadap dirinya sendiri dan orang lain.” Maksudnya gimana? Kang Gik jangan terlalu risau, pengusaha tak akan dihilangkan dan hilang, karena masih banyak orang yang pengen kaya....

Ada pernyataan menarik dari Kang Gik, “Di negara mana pun, negara yang paling ‘makmur ekonominya’ adalah yang membiarkan rakyat ‘bebas berekonomi’, bagi saya ya jelas itu ketika referensi Kang Gik adalah Amerika dan Eropa, itu semua negara maju, jika Indonesia mau membebaskan ekonomi rakyatnya padahal kekuatan prasar global mendesakkan diri ke Indonesia tanpa ampun lagi, ya matilah ekonomi rakyat. Lebih dari itu saya setuju, bahwa Pemerintah sekarang membuat kita tak nyaman tidur, pun ekonomi diri kita sendiri membuat kita tak nyenyak tidur, mesti memutar otak bagaimana agar besok bisa makan. Hidup kita pun mestinya tidak hidup yang bisa membaut kita terlena dan kemudian tidur dibius mimpi-mimpi indah, tapi mesti hidup yang menggelisahkan, menggairahkan, dengan begitu hidup kita ada dedikasi yang mesti dituju, dan hidup kita menjadi bermakna....

Edi Subkhan, Peserta Extension Course of Philosophy, STF Driyarkara, Jakarta


[1] Baca artikel I. Wibowo pada pendahuluan buku editan I. Wibowo & Francis Wahono. 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, hlm. 3-4.

13 komentar:

Anonim mengatakan...

Modiar...Kowe, Gik!!! Modiar...kowe wani "ngonek-ngonekke" guru Edi (tanpa teori yang mantap pula) Modiar kowe...!
Ha...ha...inilah waktu yang tepat untuk melampiaskan talenta devide et impera saya. Ha...ha...
ardiansyah_jfc2plasa.com

Anonim mengatakan...

Ha2...Maaf he2...
Hati-hati dengan konsep-konsep abstrak yang kamu pakai...
definisi tersebut belum selesai..sebelum ada konsep, persepsi bermain...istilah kapitalis muncul dari Mark, itu muncul ketika masa revolusi industri, sedang masalah neoliberalisme itu yang kamu pakai dari Wikipedia terlalu abstrak...
gini saya contohkan...
sebelumnya saya tanya dulu...apa beda kapitalis, pemegang saham, manajer, ceo,pedagang, pemilik toko, peritel,dll? kapitalis itu hanya ada di buku, yang disebarkan oleh Mark...
di lapangan, belum tentu pemegang saham bisa mengendalikan perusahaan, bisa jadi malah CEO, bisa jadi karyawan, bisa juga malah suplair ataupun konsumen... yang berpengaruh...Jadi wacana-wacana teks itu perlu didefinisikan ulang...makanya kemarin saya fokus pada kajian epistemologis...agar cara berfikir itu diselidiki dulu sebelum nggolontor ke yang lain...
kalau terlalu umum, yang sengsara siapa? ya rakyat yang tak tahu apa tapi ikut2an....
terus masalah adil pada diri sendiri...cermati dulu artikel: Prinsip...

Anonim mengatakan...

Lho, ya jelas gak ada definisi yang selesai, apa kurang jelas tak katakan di situ saya tuliskan "sedikit" soal neoliberalisme, yang memang sejarahnya seperti itu. Neoliberalisme awal sejarahnya setelah liberalisme klasik Adam Smith, lha Kang Gik mau justifikasi sejarah mana lagi? Jangan buat sejarah versi sendiri, mesti ada reefrensi yang kuat untuk itu.

Saya mengambil dari Wikipedia itu bukan untuk neoliberalisme, tapi istilah pasar bebas dan temennya itu. Definisi itu tergantung dari apa yang didefinisikan, sebuah pemahaman filosofis-ideologis, definisinya ya mesti filosofis-ideologis, beda dengan mendefinisikan yang riil. Misal, mendefinisikan "tempe penyet" yang riil dengan "investasi", jelas beda dan memang mesti sesuai sesuatu yang didefinisikan itu.



Pertanyaan "apa beda kapitalis, pemegang saham,..." itu pertanyaan yang tidak linier secara filosofis,ya jelas berbeda, seperti bertanya apa beda Islam dan Ulama. Mohon pertanyaan yang terkategorisasi dan linier (tidak usah dalam definisi Kant) yang nyantai aja sebagimana logika awam.

Pertanyaan itu hasilnya adalah jawaban yang tidak linier pula. Kapitalis itu orang kapitalis (ingat, ini tanpa isme), pemegang saham daan lainnya bagian dari sistem kapitalisme, lha wong kita yang mengkonsumsi produk ini semuanya bagian dari sistem ekonomi kapitalis kok.

kalau dikatakan kapitalis itu hanya ada di buku, itu namanya mengingkari fakta karena sistemnya sudah jalan tentu ada penggeraknya dong. Dan ini tidak relevan dengan argumen yang berkuasa itu CEO atau pemegang saham, karena keduanya kapitalis. Siapa pun yang bepengaruh, ya semuanya ada dalam sistem kapitalis.

Kang Gik mengatakan "wacana teks", wacana itu tak sekadar di teks. Globalisasi itu wacana, modernisme, modernitas, postmodenisme, itu wacana yang memang berbasis pergulatan epistemologis di teks-teks, tapi ketika meliaht realita, ya memang yang terjadi seperti apa kata teks, karena teks refleksi dari realitas via olah akal budi praktis (istilahnya Immanuel Kant).

Kang Gik bicara lagi, "Kalau terlalu umum yang sengsara rakyat...", terlalu umum bagaimana?
Ya, memang begitu karena di sini kita bicara global, bukan terperinci. umum tidak umum itu tak berkorelasi secara langsung dengan rakyat, tapi pemahaman.

Artikel "Prinsip", sama seperti tipikal Kang Gik, saya mengangapnya sebagai curhat intelektual karena sudah merasa jumud dengan ketidakberesan sosial dan "kegagalan" teori-teori yang ada, itu pendapat saya smpai sekarang.

Anonim mengatakan...

Mau bukti kesalahan lompatan logika yang menyebabkan berjuta-juta orang mati...
Ya konsep masyarakat komunis...

Anonim mengatakan...

Ya... dan tak hanya komunis, fasisme, yang dijalankan hitler dan lenin serta kaisar Jepang hirohito waktu itu....

Tapi pernyataan Kang Gik kali ini tak menjawab dan memberikan sanggahan seandainya komentar saya perlu disanggah? justru saya gak tahu kenapa Kang Gik kemudian meloncat logikanya dan menytakan soal kesalahan logika dan komunisme?

Anonim mengatakan...

Info yang terakhir saya dapat mengenai Liberalisme...
Liberalism muncul dari karangan Mises, Namun kemudian itu "dibajak" Keynes, Hayek, selanjutnya sekarang Dikembangkan Oleh Milton Friedman (yang sekarang disebut sebagi Neo Liberalisme)...yang sebenarnya bertentangan asumsi dengan karangan sumbernya...sebentar lagi buku2 Mises akan beredar...sekarang saya juga sedang menunggu,he2....

Anonim mengatakan...

Kang Gik saya mau tanya dikit, yang dari Mises itu liberalisme atau neoliberalisme?
Oh iya...Mises karangan tentang "liberalism" itu tahun berapa?

Di kalangan pemikir politik, tokoh penting yang dikaitkan dengan liberalisme ialah Adam Smith, Thomas Paine, Benjamine Constant dan James Madison.

Di bidang falsafah pula, tokoh liberalisme paling penting ialah John Stuart Mill. Thomas Hobbes, John Locke dan Immanuel Kant memiliki pengaruh terhadap teori liberal, walaupun Locke dan Kant bukan tokoh liberal, apatah lagi Hobbes.

Masa kini, filusuf John Rawls menerajui liberalisme, walaupun perhatian juga diberikan kepada tokoh seperti Aron, Berlin, Dewey, Dworkin, Habermas, Hayek, Popper dan Rorty.

Mises di antara mereka posisinya di mana?

Anonim mengatakan...

Pertanyaan bagus, ini yang saya tunggu-tunggu. Mises adalah ekonom yang dilupakan Dunia. Termasuk berpandangan liberal. Dia korban dari pertarungan Ideologi dominan. Lahir di Lemberg 1881-1973. Karangan mengenai Liberalism ditulis tahun 1927 dengan Judul: Liberalisme: dalam Tradisi Klasik.
Masalah hal ini, saya punya sumber terpercaya. Makanya saat saya tahu masalah ini saya langsung marah, karena saat ini mengenai apa yang kita tahu itu masih banyak yang disembunyikan yang disebabkan kepentingan politik. Untuk Blog2 di Indonesia yang terkait dengan Mises .org adalah Ekonomi Orang Waras dan juga termasuk Jurnal Kebasan A&K. Analisis dan prediksi mereka untuk masalah ekonomi runtut dan logis yang lebih penting, mendekati benar untuk analisis trend pasar saham dan modal...
Jadi tunggu aja sebentar lagi ada reformasi ilmu pengetahuan tentang manusia....

Anonim mengatakan...

Apakah Kang Gik tidak melupakan seusatu? Ekonom liberalisme klasik Adam Smith itu lahir tahun 1723 wafat 1790, Mises khan baru 1881-1973, khan lebih tuan Smith toh, Gimana ini?

Dalam perkembangannya liberalisme ekonomi dibidani oleh tiga tokoh besar yaitu bermula dari gagasan teosofik Martin Luther King, kemudian dikuatkan secara filosofik oleh Benjamin Franklin dan dari segi ekonomi Adam Smith memberikan penjelasan secara rinci tentang dasar-dasar ekonomi yang tujuannya tidak lain untuk menciptakan pengaruh seluas-luasnya dalam memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya.

Orang yang menulis "Liberalisme dalam tradisi klasik" pasti ia bukan bagian dari klasik, minimal ia dalam rentang sejarah bukan periode liberalisme klasik lahir.

jagi, liberalisme itu muncul kali pertama tidak lewat bukunya Mises!!! Jauh sebelum Mises sudah banyak yang membahas dan merajut ideologi liberalisme termasuk dalam ekonomi.

Kang Gik, jangan memaksakan argumentasi yang lemah dech.

Anonim mengatakan...

Ha2.. argumen yang bagus, tapi tak apalah. Sebenarnya kita jangan mengartikan itu sebagai tesis dan antitesis..Liberalisme Mises itu ya melanjutkan Ajaran Klasik...Ya jelas tua Adam Smith...Masalahnya ini bukan pada aliran-aliran apa, makanya jangan terlalu banyak baca filsafat jadi kamu cuma teks books, emang kamu pernah baca bukunya langsung dari Adam Smith, Marthin Luther, Benjamin dll. Paling kamu baca rangkumannya. itu namanya teks books. cek dulu asumsinya... lalu cek ke realitas...emang semua pengusaha atau kapitalis itu seperti punya motif seperti yang dianggap Adam Smith...coba tanya sama Bob Sadino, Citra,dll. Kalau kamu cuma menggunakan asumsinya Adam Smith itu bisa dikategorikan, pandangan sesat...kerja dong, jangan baca melulu...!coba jadi kuli bangunan kek!!!

Anonim mengatakan...

Mohon maaf jika tanggapan ini berkepanjangan. Selain karena karena isunya memang hot, ini sekalian untuk mengomentari beberapa posting terakhir yang saya nikmati di KEP.

Pertama, tentang Mises. Masa hidup nya tidak terpaut jauh dari masa hidup Karl Popper. Keduanya bahkan tumbuh di kota yang sama.

Jadi Bung Ed benar, Mises memang tidak hidup dalam era liberalisme dalam pembabakan formal. Namun aman dikatakan bahwa sepanjang hidupnya ia liberal dalam pengertian klasik. Satu testimoni tentang ini adalah buku menarik yang belum lama terbit, yang berjudul Mises: The Last Knight of Capitalism, karangan Guido Hullsman.

Untuk dapat menilai kontribusi Mises secara memadai di bidang perkembangan ilmu secara umum dan pemikiran sosio politik ekonomi secara khusus, perlu sedikit info tentang apa yang ia lakukan di saat Popper mengembangkan empirismenya. Di Vienna saat itu Mises membangun praksiologi, atau the logic of action, yang bagi segelintir orang termasuk saya (dan mungkin juga Giy), merupakan sanggahan yang amat kuat dalam meruntuhkan validitas empirisme di bidang sosial.

Sidang pembaca yang ingin tahu sedikit lebih tentang epistemologi Mises, mungkin dapat mendapat sedikit tilikan melalui beberapa artikel terjemahan di Jurnal Akal & Kehendak yang kebetulan saya kelola. Saya sendiri sedang menunggu ijin penerjemahan tulisan Herman Hoppe terkait metodologi ilmu pengetahuan sosial.

Di sini saya merasa perlu menunjukkan betapa tidak memadainya empirisme sebagai metode ilmu sosial. Ini cukup penting terutama untuk menambah latar belakang alternatif bagi isu-isu di beberapa posting terakhir dan perkembangan komentar di posting ini.

Saya akan coba menggugurkan empirisme dalam satu kalimat sederhana, yang berasal dari Mises: manusia adalah makhluk yang bertindak. Dalam bahasa Inggrisnya: Man acts. Kebenarannya, intuitif. Tapi menurut empirisme, tunggu dulu! Proposis tersebut harus terus kita tunda dengan verifikasi dan falsifikasi.

Dan berhubung inti pembicaraan kita saat ini adalah liberalisme dan neoliberalisme, maka contoh dari saya adalah proposisi ini:
“Ketika pertukaran tidak terjadi secara sukarela melainkan karena paksaan, maka salah satu pihak mendapat keuntungan di atas kerugian pihak lainnya.”

Kenyataan bahwa empirisme mau menunda kebenaran a prioris di atas adalah salah satu persoalan mendasar dalam teoritisasi sosial serta penerimaannya oleh kita. Implikasi empirisme adalah bahwa, teori dapat berisi apa saja! Toh kebenaran relatif; toh kebenaran baru akan datang!

Setelah memberi sedikit konteks di atas, saya ingin mengatakan bahwa gugatan Giy terhadap epistemologi ilmu sosial menurut saya sahih--bahkan mengagumkan, mengingat bacaannya yang relatif minimum. Tapi, saya harus katakan juga bahwa sebagian komentar2nya memang berisikan lompatan ide dan logika, yang terbukti cuma menyulitkan pembaca dan dirinya sendiri.

Juga waktu ia bilang bahwa revolusi teori sosial akan terjadi sebentar lagi, saya rasa ia sedang terlalu bersemangat;p. Apalagi bahwa Jurnal ringan semacam A&K dapat memberi pencerahan; saya cenderung ragu! (Tulisan-tulisan di sana hanya menarik dan mencerahkan bagi orang-orang yang perabotan berpikirnya sudah tertata sedemikian rupa; sebagian pembaca lain akan hengkang sejak menit pertama!)

Sedangkan mengenai artikel Giy, “Prinsip”, kalau boleh disebut curhat, maka dalam konteksnya konteksnya yang memadai, dia adalah curhat intelektual yang sahih, terutama jika dilihat dari kerangka dasar empirisme dan positivisme dalam melihat persoalan manusia. (Barangkali dia orang Indonesia pertama yang menyatakan gugatannya secara tertulis?)

Kembali ke Mises. Meski ia rentan dicap “ketinggalan jaman” dalam hal perkembangan pemikiran ttg liberalisme, epistemologi yang disusunnya dan konsistensi logika formal yang dibangunnya terbukti telah dipakai dan dikembangkan untuk melakukan kajian kritis dan revisi terhadap banyak hal.
Praksiologi dalam hemat saya sangat berharga bagi kita untuk dapat menilai pemikiran-pemikiran terpenting, baik sebelum maupun sesudah Mises--dari Plato, Aristoteles, Imannuel Kant, John Locke, John Stuart Mills, Adam Smith, Karl Marx, Isaiah Berlin, Thomas Hobbes, Jacques Rosseau, John Rawls bahkan Robert Nozick; apalagi filsuf-filsuf yang super-duper keruh semacam Heidegger, Habbermas, Derrida, Rorty, et all, yang pada dasarnya menarik empirisme hingga ke nihilisme.

Menurut pemahaman sebagian pemikir terakhir, setiap teks bahkan bebas dapat dimaknai apa-apa. Jadi, menurut mereka sia-sia saja seorang Nad menulis di sini karena kebenaran tekstual secara obyektif mereka anggap tidak ada; karena makna yang saya tawarkan benar-benar benar berpulang kepada interpretasi pembacanya.
Mereka tidak mempercayai adanya kaidah-kaidah yang tidak lekang oleh jaman dan yang tidak tunduk pada kehendak manusia. Saya bilang, ada! (Dan edisi Senin depan Jurnal A & K akan terkait dengan salah satunya.)

Kelemahan-kelemahan, dari yang minor sampai yang menurut hemat saya fatal, dari dari filsuf-filsuf dan sebagian besar pemikir di atas telah disoroti dalam dalam tradisi Misesian, terutama melalui pemikiran-pemikiran Murray Rothbard, mis. The Ethics of Liberty; David Gordon; Walter Block, dan Roderick Long. Saya yakin, para empiris akan dapat menarik banyak manfaat dari mereka.
Hemat saya, dalam mewacanakan lib dan neolib kita tidak dapat menceraikan dari fakta bahwa sebagaimana semua teori sosial, dua isme ini memfokuskan diri pada manusia. Dari sini kentara, persoalan mendasar lib dan neolib bukanlah pada pergerakan modal atau semacamnya, yang cuma satu wujud ekstensinya, melainkan dalam memandang individu yang bernama manusia.

Pertanyaannya sentralnya adalah: siapa yang harus menyelenggarakan hidup setiap individu. Siapa yang berhak mengatur hidup seseorang? Siapa yang harus merencanakan perekonomian?

Maka, semuanya harus dirunut lagi dari Yunani, dari definisi Plato yang lebih mementingkan konstruk ideal “kemanusiaan” ketimbang manusia sebagai individu; Hobbes yang menarik individualisme secara ekstrim dan kontroversial; Locke yang menekankan natural rights dan membahas dasar hak milik; Berlin dengan negative dan positive rights-nya yang lalu dibantahnya sendiri; Rawls dengan original positionsnya yang absurd. Semuanya hanya dengan kelemahan dan bahayanya masing-masing.

Dengan empirisme, semua teori dimungkinkan untuk memerikan realita, termasuk realita sosial. Tapi tidak demikian dengan praksiologi.

--Nad

Anonim mengatakan...

Wah, disini ak kelihatan bloonnya, ha2..
Barangkali saya harus lebih banyak "membeli" buku filsafat daripada buku komputer...he2

Anonim mengatakan...

Bung Nad tolong buat artikel yang kira-kira substansinya seperti yang ingin dikatakan oleh Giyanto, karena saya susah memahami artikelnya Giyanto tuh....

Ato Kang Gik...tolong contack Bung Nad tuk buat artikel itu, sperti yang Kang Gik buat, tapi yang bisa lebih memahamkan pembaca, termasuk saya, dengan pilihan diksi yang tepat dan susunan kalimat yang memahamkan.

Biar saya jadi lebih tahu soal Mises Cs, OK, trims...